Setelah memasukan anak kecil itu ke dalam mobil, Nira dengan panik langsung berlari ke dalam minimarket dan memanggil kedua orang itu, setelahnya kembali berlari untuk menghampiri Jane. Tepat di waktu ketika Nira membawa anak itu pergi, Jane dengan sekuat tenaga mencoba mencari cara agar dia tetap bisa menahan pemuda itu di hadapannya.
“KAU BODOH HUH?!” kesal pemuda itu mencoba mengejar anak kecil yang Nira bawa namun Jane dengan cepat menendangnya hingga ambruk, pemuda itu menggeram kesal menatap Jane.
“Kau yang bodoh! Apa maksudmu ingin membuat adikmu hidup dengan memakan daging manusia?!”
“Itu satu-satunya cara agar kita semua bisa bertahan! Kau tak tahu apapun huh?!” kesalnya bangkit berdiri, mencoba menyerang Jane namun gadis itu dengan sigap menahan serangannya. “Hanya dengan memakan sesama kita bisa hidup! Mereka telah merubah berbagai indra di tubuh kita!”
Jane menatap pemuda itu tak paham, “Mereka siapa?!”
“WRENA! KAU TAK TAHU APAPUN HUH?!” kesal pemuda itu tak tahan, dia lalu menendang Jane hingga terhempas ke tanah lalu menyekik lehernya dan mengangkat gadis itu hingga kakinya tak lagi bisa menyentuh tanah. “Mereka sudah menghancurkan tempat ini, mereka bilang kita masih bisa hidup dengan memakan sesama, kita juga bisa terbebas dari efek serangan tornado dan tak menjadi Pati, fisik kita akan berkali-kali lebih kuat jika kita berani makan sesama.”
“Apa maksudmu? Akh!” jerit Jane mencakar lengan pemuda itu agar melepaskan cekikan di lehernya, “Wre—wrena apa? Pa—ti? Omong kosong!”
Pemuda itu menyeringai, kedua taring di giginya memanjang layaknya vampire sedangkan kedua matanya kini memiliki warna hijau yang sama, Jane juga dapat merasakan bahwa cekikan di lehernya itu bertambah kuat serta kuku-kuku tajam yang memanjang seakan sedang menusuk kulit-kulit lehernya.
“Mau melihat langsung perubahannya?” gumam pemuda itu pelan, dia lalu menatap goresan di tangannya bekas dari cakaran kuku Jane, membuat gadis itu mengikuti arah pandangan pemuda tersebut tanpa dia sadari. “Lihatlah, lukaku bisa sembuh dengan sendirinya.”
Bekas cakaran itu sedikit mengeluarkan asap namun luka goresan itu perlahan mulai menghilang dan kembali seperti semula, “Kau takkan bisa melakukan apapun.”
Jane tak begitu peduli dengan gertakkan kecil dari pemuda itu dan memilih mencoba menguatkan dirinya, lalu mengayunkan tubuhnya dan menggunakan kakinya untuk menendang dada pemuda tersebut setelah itu memutarkan tubuhnya hingga cekikan itu terlepas.
Dia menarik napas cepat setelah berhasil menjatuhkan pemuda itu sambil mengusap pelan lehernya sendiri yang terasa sedikit perih, pemuda itu tak bersuara lagi, namun ketika Jane menoleh menyadari kedatangan Nira, dalam hitungan detik, pemuda itu sudah ada di hadapannya, lalu menggenggam lengan Nira yang baru saja sampai di hadapan Jane.
“Kau butuh bukti lebih kan?” ujar pemuda itu pelan.
“AKH!! FUCK!” jerit Nira keras ketika menyadari bagian dalam lengannya yang digenggam kini terasa seperti ditembus dengan besi panas, Jane membulatkan matanya tak percaya.
Ada tulang yang menembus lengan Nira seakan sedang mengoyak lengan gadis itu, tulang tersebut yang dia yakini tumbuh dari telapak tangan pemuda yang sedang mencengkram tangan kawannya itu.
“Dan ini adalah kekuatan—“
“AKH!”
“STOP BERENGSEK!” amuk Jane ketika melihat tangan Nira seakan sedang dihancurkan dalam sekali genggam, suara jeritan gadis itu benar-benar membuat Jane kehabisan akal.
Jane mencari berbagai barang yang bisa dia gunakan untuk menghancurkan pemuda itu sampai dia akhirnya menemukan batu cukup besar dan langsung melemparkannya ke arah pemuda itu, namun diluar dugaannya, pemuda itu menarik Nira dan meletakkan gadis itu tepat di depan wajahnya, membuat kepala Nira otomatis menjadi korban serangan dari lemparan batu Jane.
Gadis itu membeku, tak lagi bisa berkata-kata ketika melihat kepala Nira yang berdarah karena ulahnya. “Ouh, dia melemah karenamu.” Pemuda itu memancing, lalu meletakkan tangannya di leher Nira dan mendekatkan mulutnya disana membuat mata Jane membulat panik dengan sempurna. “Aku tak ingin dia menderita lebih lama,” gumam pemuda itu menyeringai puas dan langsung mengigit leher Nira, mengoyaknya hingga sebagian dagingnya tertarik keluar.
“NIRA!” teriak Jane panik bersamaan dengan sebilah pisau yang menancap tepat di leher pemuda itu.
Wajah tegas dan tatapan dingin Wonu membuat Jane akhirnya sadar bahwa dia tak sendirian, namun ketika kembali melihat wajah pucat Nira yang kini telah tak bernyawa, gadis itu benar-benar kehilangan kendalinya.
Dia dengan cepat menyingkirkan Nira dari tangan pemuda itu dan mengambil dua bilah pisau dari tangan Wonu sambil mendorongnya, “SELAMATKAN NIRA!” jeritnya pada Wonu lalu langsung menginjak pemuda yang masih mengumpulkan kesadarannya setelah tusukan dari Wonu.
Jane tak memberikannya jeda bahkan untuk bernapas sekalipun, gadis itu dengan membabi-buta menghancurkan wajah pemuda itu dengan kedua pisau yang baru dimilikinya, tangisannya pecah tak terkontrol sedangkan tangannya benar-benar tak berhenti menusuki wajah hingga leher pemuda itu hingga kepala pemuda tersebut terlepas dari tubuhnya.
“Apa dengan ini kau belum mati huh? Benarkah?!” lirih Jane menyeringai lalu memindahkan tusukannya ke dada pemudanya itu, dan kembali menusukinya berkali-kali.
“Jane ...” cicit Cuna tak tega melihat gadis itu, “Jane ....”
“APA? KALIAN TAK MENYELAMATKAN NIRA HUH? DIA SEKARAT!”
“Dia ... mati,” gumam Cuna menahan tangan Jane agar berhenti menghancurkan Wrena yang tubuhnya sudah berantakkan itu. “Wonu meletakkannya di bagasi, kita akan menguburkannya. Maaf ... kami terlambat datang.”
Tubuh Jane melemas mendengar pernyataan Cuna, dia lalu menatap tangannya sendiri yang penuh dnegan darah serta tubuh di bawahnya yang sudah hancur berantakkan. Jane menutup mulutnya sendiri, menahan mual yang mendadak menyerang perutnya dan memilih beranjak pergi dari tempat itu.
“Dia tak mungkin masih hidup,” gumam Cuna melirik mayat Wrena tersebut. “Kita akan langsung pergi,” lanjutnya lagi membawa Jane untuk masuk ke dalam mobil tersebut.
Gadis itu masuk dengan lemas ke dalam mobil, bersamaan dengan itu, Wonu memberinya sapu tangan agar Jane bisa membersihkan darah yang ada di sekitar tangan dan bajunya. Gadis itu tak membalas dan hanya membersihkan tubuhnya sendiri dengan sapu tangan tersebut.
Wonu serta Cuna juga tak banyak bicara, pemuda itu dalam diam memilih untuk langsung menyalakan mobilnya dan pergi. Jane menatap punggung tangan serta lengannya yang memiliki bercak berwarna merah muda, bekas dari warna darah yang tak ingin menghilang, gadis itu lalu kembali meraba lehernya, dia masih bisa merasakan bekas cekikan itu namun bayangin Nira yang mati di hadapannya membuatnya benar-benar takut.
Gadis itu mengigit bibirnya dalam diam, mencoba menyalurkan rasa takut serta kagetnya karena peristiwa sebelumnya.
“Jane,” tegur Wonu tak mendapatkan balasan dari Jane. “Jane!”
Gadis itu tersentak kaget mendengar teguran Wonu, “Hmm?” balasnya langsung menoleh ke arah Wonu. “Apa?”
“Bibirmu berdarah,” balas pemuda itu membuat Jane membisu.
Cuna memerhatikan anak kecil yang sejak tadi duduk tenang di sampingnya ketika Jane sedang sibuk mengusap bibirnya yang berdarah karena dia gigit sendiri. Anak kecil itu menatap Jane sejenak sebelum akhirnya menelan salivanya tanpa sadar, dia lalu menggeleng kecil, membuat Cuna penasaran akan gelagat anak tersebut.
“Hey,” tegur Cuna mengusap lembut pucuk kepala anak itu. “Siapa namamu?” tanyanya lagi.
Anak itu tak membalas, dia malah mengusap leher sendiri dengan pelan sambil terus menelan salivanya. “Kak …” balasnya menatap Cuna. “Tenggorokanku sakit, apa kalian punya minuman?” tanyanya membuat Cuna dan Wonu saling tatap, gadis itu lalu mengangguk santai membalas pertanyaan anak tersebut.
“Sebentar ya, akan aku ambilkan.” Cuna bergegas mengambil tas yang dia gunakan untuk mengangkut banyak makanan tadi, dia ingat sekali dia ada mengambil susu kedelai karena sama-sama terbuat dari kacang juga.
Anak itu menyandarkan tubuhnya pada kursi sambil terus memegangi lehernya sendiri, “Panas …” keluhnya tanpa sadar. “Kak … tenggorokanku panas ….”
Cuna hanya membalas keluhan itu dengan gumam kecil, sejak tadi Wonu sudah fokus menyetir sedangkan Jane masih terdiam seakan pikirannya tak ada di tempat itu, tangannya masih memegang satu pisau yang kini sudah dia bersihkan dari darah.
Anak kecil itu melirik Cuna yang kini masih mencoba mengambil tas di kursi belakang mereka, bagian lengan gadis itu terekspos dengan jelas dan entah mengapa membuat akal pikiran anak tersebut melayang ke hal-hal yang tak pernah dia bayangkan.
Dia masih ingat dia tak memakan daging apapun dan dia yakin dia masih manusia, namun rasa panas di tenggorokannya itu dan juga bayangannya ketika melihat lengan Cuna sungguh membuatnya gila.
Dia sama sekali tak sadar ketika matanya sudah berganti warna menjadi hijau terang, mirip dengan mata kakaknya. Dia juga tak sadar dengan taringnya yang mulai memanjang, akal sehatnya mulai berantakkan karena dia menganggap apa yang ada di hadapannya sebagai makanan, dan dia benar-benar tak sabar untuk menyantapnya.
“Kak …” gumam anak itu bersamaan dengan Cuna yang menoleh menatapnya sambil membawa susu kedelai. “Aku lapar.”
Detik setelahnya, anak itu menerjang ke lengan Cuna. Dia tak begitu lincah sekalipun tenaganya cukuplah kuat, jeritan tertahan Cuna sekaligus suara punggung gadis itu yang menubruk pintu mobil membuat fokus Wonu dan Jane teralih, keduanya membulatkan mata tak percaya melihat anak itu yang sedang menindihi Cuna dan mencoba menggigitnya.
Cuna menahan kedua tangan anak itu sedangkan lututnya menahan tubuh anak tersebut agar tak mendekat ke arahnya, kepala anak itu terus mendekat seakan siap untuk mengigitnya. Sampai akhirnya kuku-kuku anak tersebut memanjang dan mulai menancap ke lengan Cuna, membuat gadis itu menjerit keras dan tanpa sadar melemahkan pertahanannya.
“Tetap diposisi itu Cuna!” jerit Jane sedangkan Wonu sudah tahu bahwa dia tetap harus fokus menyetir.
Jane menelan salivanya tanpa sadar, lalu membuka pintu mobil yang ada di hadapan Cuna bersamaan dengan dia yang menusuk leher anak tersebut dan mengoyaknya hingga darah dari anak itu tercecer kemana-mana.
“Tendang sekarang!” ujarnya keras dan langsung di turuti oleh Cuna.
Anak itu terlempar ke keluar mobil dan terhempas jatuh ke jalan, Cuna lalu dengan cepat menutup pintu mobil itu kembali dan terdiam menatap pergelangan tangannya yang terluka karena ulah anak itu.
Jane terdiam melihat wajah Cuna yang terkena banyak darah, dia masih ingat bahwa ketika Nira membawa anak itu ke mobil, anak tersebut juga memiliki bekas darah di sekitar mulutnya.
“Cuna …” tegur Jane pelan, namun tangannya terus memererat genggamannya pada pisau. “Apa darah tadi masuk ke mulutmu?” tanyanya membuat Cuna membeku sedangkan Wonu kini melirik kedua gadis itu melalui spion mobil.
Cuna mengambil kain yang tadi Jane gunakan lalu membersihkan wajah dan lehernya sendiri dari darah tersebut, dia lalu menghela napas pelan sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi mobil, mengabaikan Jane yang masih menatapnya penasaran.
“Ya …” balas gadis itu pelan, dia lalu mengangkat kepala dan menatap Jane yang kini membulatkan matanya tak percaya. “Sepertinya teoriku malam itu benar, Jane.”
Jane menelan salivanya tanpa sadar, dia masih mengingat dengan jelas apa yang mereka bicarakan malam itu dan dia tak pernah percaya bahwa dia penyebab dari semua kejadian pagi ini.
“Darah anak tadi masuk ke dalam mulutku sedikit,” gumam Cuna pelan sedangkan Jane kini hanya memegang kepalanya sendiri sambil meremas rambutnya, mencoba mengalihkan rasa frustasinya sendiri. “Dan rasanya … sangat manis, kupikir darah dan daging manusia memiliki zat adiktif sendiri untuk lidah kita karena aku sangat ingin mencobanya lagi setelah pertama kali merasakannya.”
Cuaca pagi hari menjelang siang itu sangatlah sejuk, Wonu bahkan sempat berkata bahwa ini pertamakalinya Jakarta memiliki cuaca sesejuk ini, bahkan jauh lebih sejuk dibandingkan Bandung. Walaupun upayanya membuka topik tetaplah gagal karena Jane sama sekali tak bersuara sedangkan Cuna kini sibuk menghabiskan susu kedelai untuk terus dia konsumsi. Setelah pernyataan Cuna bahwa dia merasa ingin terus mencoba menyantap manusia, gadis itu juga dengan cepat mengambil susu kedelai dan beberapa kacang untuk dia konsumsi. Dia dengan cepat membuat Jane tenang karena dia yakin gadis itu sudah cukup frustasi atas kematian Nira dan pembunuhan yang baru saja dia lakukan. Wonu juga tak ingin membahas lebih perihal apa yang baru saja mereka lewati karena dia tahu bahwa Jane masih sangatlah terluka akan hal itu. Dia tahu bahwa gadis itu memerlukan waktu untuk meluruskan isi pikirannya seperti saat dia pertama kali membunuh ayahnya sendiri. Pemuda itu malah tak begitu mengerti mengap
Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk sampai ke Bandung, rest area sebelumnya sudah membawa mereka pergi cukup jauh dari Jakarta dan kini mereka akhirnya sampai ke pembuka jalanan yang mulai memperlihatkan beberapa bangunan –tanda bahwa mereka sudah dekat dengan kota itu. Ketiganya terdiam, masih tak yakin dengan apa yang mereka lihat bersama, entah itu adalah kenyataan atau mereka hanya sedang berhalusinasi. “Apa … itu salju?” buka Jane pada akhirnya menyuarakan keraguannya sendiri. Wonu yang sejak tadi memegang kendali kemudi masih tak menjawab, cukup tak percaya dengan apa yang Jane katakan sekalipun dia juga melihatnya. Kumpulan salju itu turun dengan pelan layaknya sebuah kapas-kapas kecil yang berjatuhan. Perlahan juga jalanan yang mereka lewati mulai memperlihatkan tumpukkan-tumpukkan salju yang memenuhi pinggiran jalan dan bangunan. “Apa benar salju?” balas Wonu ikut bertanya. Cuna yang duduk di belakang masih terdia
“Masih lama?” tanya Jane ragu. Ini sudah dua jam berlalu semenjak mereka keluar dari mall dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya. Wonu sama sekali tak membalas pertanyaan Jane, dia yakin bahwa dia tidak tersesat mengingat bahwa pemuda itu sangat suka berpergian keluar kota sejak dia SMA, namun semua ini terasa begitu aneh. Hari sudah mulai sore dan matahari seakan terasa lebih cepat ketika hendak ternggelam. Pemuda itu hanya menatap sekelilingnya, dia tak merasa mereka melewati jalan yang sama, namun disisi lain juga, dia merasa bahwa mereka sejak tadi hanya berputar-putar saja. Di kursi belakang, Cuna menatap ke luar jendela memerhatikan bangunan tua yang memiliki patung gurita besar di atapnya. Dia tak begitu yakin, namun rasanya mereka sejak tadi hanya memutari pusat bangunan itu sejak dua jam yang lalu. “Rumah Gurita itu, bangunan lama ya?” tanya Cuna mengalihkan perhatian Jane dan Wonu yang sejak tadi sibuk dengan pikiran
Setelah kepergian Cuna menuju rumah gurita itu, Jane dan Wonu benar-benar disibukkan dengan berbagai tornado yang muncul di banyak tempat. Jane bertugas untuk melihat segala bahaya di berbagai arah, sedangkan Wonu terfokus pada kendali mobil agar mereka bisa terus melarikan diri. “Lebih baik menjadi Wrena dibandingkan Pati, sumpah!” kesal Wonu tanpa sadar. “Kita bisa saling gigit jika ingin menjadi wrena,” balas Jane masih dengan raut wajah seriusnya. Wonu terkekeh pelan mendengar hal itu, mereka lantas memutar haluan menyadari ada pusaran angin yang perlahan mulai membentuk tornado di hadapan mereka. “Pati!” jerit Jane cepat namun Wonu sama sekali tak menahan diri untuk menabrak sekumpulan manusia tak berjiwa itu. Apapun itu mereka harus selamat, lagi pula Pati takkan berbahaya selama mereka tak tiba-tiba menyerang Wonu dan Jane menggunakan tangan tajam mereka. “Arah jam 2, kosong!” ucap Jane cepat membuat Wonu kembali membanting stir.
Ketika kau terbiasa menikmati film ataupun cerita-cerita bertema horror maupun thriller, kau mungkin sudah sangat terbiasa dengan berbagai adegan sadis yang ada di dalam sana. Tak peduli seberapa menyeramkan rupa para mahluk yang datang, tak peduli seberapa sadis adegan yang sedang berputar, kau akan tetap menganggap itu hal biasa ―atau mungkin menyenangkan― karena kau tahu bahwa semua itu tak nyata, dan itu takkan membuatmu benar-benar ketakutan. Namun saat adegan itu berada di depan matamu. Ketika kau bisa mendengar suara jeritan itu dengan jelas, ketika kau bisa melihat sendiri bagaimana tubuh itu diremas, dirobek menjadi dua bagian, dikoyak, dan dihancurkan. Ketika kau benar-benar bisa melihat bagaimana rupa mengerikan itu sedang menyeringai saat menikmati daging segarnya, ketika kau dapat melihat dengan jelas bagaimana tangan itu habis tertelan masuk ke dalam mulutnya. Kau mungkin akan mendapatkan rasa baru yang berbeda, reaksi tubuhmu menunjukkan bahwa
“PORTAL HITAM ITU DATANG! CEPAT KE MOBIL!” teriak Cuna keras bersamaan dengan sosok siren raksasa yang kini muncul tepat di belakangnya. Ketiganya langsung berlari kencang menuju mobil yang ada di tengah atap gedung tersebut, namun ketika sebuah helaian rambut yang menajam itu menghantam mobil tersebut hingga hancur, Cuna dan Wonu tanpa sadar langsung terdiam. Sedangkan Jane yang nyaris saja sampai ke mobil itu langsung melompat menjauh untuk menghindari sisa-sisa bagian mobil yang terhempas itu. Cuna yang berdiri paling dekat dengan posisi siren raksasa itu sama sekali tak berani menoleh ke belakang, sedangkan Wonu yang berdiri jauh di hadapannya kini bisa melihat dengan jelas sosok siren tersebut. Pijakannya terasa melemah. Dewiana Surya, siren berukuran raksasa yang berada tepat di belakang Cuna itu terlihat mengerikan. Mahluk itu meletakkan satu tangannya pada rooftop bangunan, sedangkan tangan lainnya dia gunakan untuk menyangga daguny
Keraton Yogyakarta rata dengan tanah. Dua pohon beringin yang berada di tengah alun-alun kini telah rubuh dan memutuskan pintu dimensi menuju pusat kerajaan milik Sang Ratu di Pantai Selatan. Semua prajurit yang dikerakan sudah jatuh tanpa bisa berperang lebih lama, segala cara mereka lakukan untuk tetap bertahan hidup, namun para iblis yang datang secara tiba-tiba sama sekali tak memberi mereka ampun. Kota itu tak bisa kembali berdiri dengan megah. Banyak yang berharap bahwa Ratu akan datang mengingat bahwa mereka telah begitu setia mengabdi pada Sang Pemilik Tanah Jawa, semua orang beranggapan bahwa Ratu akan datang menolong mereka, atau setidaknya membiarkan orang-orang penting yang selama ini memiliki tahta tetap hidup. Mereka berharap bahwa setidaknya segala hal yang selama berabad-abad ini mereka jaga, tetap memiliki sisa dan tak hancur dengan sia-sia. Namun harapan tetaplah sebuah harapan. Tak ada keajaiban di dalam sebuah harap
“Nusa Cania Nitasa ...” Cuna melirik Hindia yang kini memanggilnya, menyebut nama lengkapnya sekalipun dia tak pernah yakin bahwa dia pernah memberitahukan nama lengkapnya pada wanita elok bergaun hitam itu atau tidak. “Aku menyukainya.” Mata gadis itu akhirnya bertemu langsung dengan netra merah milik Hindia. Tatapan wanita itu terasa hangat untuknya, senyuman tipis yang Hindia berikan padanya membuat Cuna tanpa sadar bisa bernapas dengan sangat lega sekalipun tubuh kecilnya masih digenggam oleh Dewiana. “Dia akan menangis jika kau membunuh dua kawannya itu, dan aku ...” Cuna membeku ketika menyadari ada sebuah tangan tipis yang menggenggam tangannya di dalam cengkraman Dewiana. Perlahan ... genggaman itu melebar ke seluruh tubuhnya, seakan sedang memdekapnya, memeluknya dengan sangat hangat. “... tak suka melihatnya menangis.” Tepat saat kalimat itu berakhir, Cuna baru menyadari bahwa kini dia sudah berpindah ke temp