Dalam kurang dari satu detik setelah meminta izin secara sepihak pada Kendari, Andra kini sudah benar-benar ada di hadapan Hindia. Membuat wanita itu menahan rasa kaget sekaligus takjub karena aura panas mencekam yang tiba-tiba saja ingin membakar habis tubuhnya.
Hindia selalu menikmati momen-momen ketika dia bisa melawan seseorang yang lebih kuat darinya. Hingga pada umumnya, wanita itu akan memanfaatkan waktu sebaik dan selama mungkin agar bisa membuat perkelahian mereka berjalan dengan sangat lama.
Berbeda dengan seseorang yang dia anggap lebih lemah, dia akan membuat skenario baru seakan dia adalah sosok yang baik, yang membiarkan korbannya itu untuk hidup lebih lama. Lalu, dengan kelengahan yang korban itu miliki karena merasa telah selamat, dia akan memanfaatkan korban itu dan memainkannya seperti boneka di waktu-waktu yang tepat.
Seperti apa yang dia lakukan pada Cuna.
Tepat di satu detik setelahnya, tangan Andra sudah lebih dulu mencengke
Jane dan Putra ada di dalam perisai yang Kintan ciptakan ketika Hindia pertama kali muncul di udara dengan sekumpulan salju yang mulai bersatu dan membentuk tubuh tingginya. Di detik setelahnya, seluruh salju yang melapisi tubuhnya itu seketika lenyap bersamaan dengan hujan salju di sekitar mereka yang kini berubah menjadi ribuan butir bola api. Mereka dalam diam menatap hujan itu mengingat bahwa mayoritas dari para prajurit pun kini juga ada di dalam perisai yang telah di ciptakan oleh beberapa Pilar. Api itu tak bisa menembus perisai yang telah mereka ciptakan, jadi mayoritas dari mereka berpikir ... semua akan aman selama perisai yang kini melindungi mereka tak terbuka. “Kota ini terlihat sepi jadi aku membawa sedikit pasukan,” ucap Hindia bersamaan dengan perisai milik Gandi yang dia buka secara tiba-tiba karena luapan api yang kian membesar di dalamnya. Beberapa pasukan yang ada di sekitar Gandi itu membuka seragam bagian terluar mereka karena bekas salju yang m
[BAGIAN; DI UJUNG NAPAS YANG TERCEKAT]Dalam satu detik yang terasa begitu lama, Dirga menelan salivanya menatap sosok Arta yang kini baru saja menjatuhkan mayat Cuna di hadapan Jane dan Putra. Pemuda itu menahan napas sejenak, mencoba sekeras mungkin untuk mengabaikan apa yang dia lihat. Dirga lalu kembali mengalihkan atensinya ke arah Kendari ⸺mendapati wanita itu sedang terdesak dengan Gilang yang sedang mencengkeram belakang kepalanya⸺ dan dengan segera meloncat terbang hendak meninggalkan Dewiana jika saja wanita itu tidak dengan cepat menusuk lehernya menggunakan tongkat putih bercorak biru tersebut, lalu menjatuhkan pemuda itu, membuat wujud Barong Dirga jatuh ke menghempas kolam raksasa yang ada di dalam tembok.“Kau harus perhatikan lawanmu, Dirga.” Wanita itu menyeringai tanpa sadar, “Tak peduli apa pun yang sedang terjadi di sekitarmu.”Dirga menahan jeritannya, sedangkan tangan pemuda yang memegang pe
“Apa Jakarta memang sesejuk ini?” tanya Anjani Erikalia, atau mereka biasa memanggilnya menggunakan nama penanya –Jane, “Yang kutahu tempat ini sangat panas, jauh lebih panas dibandingkan Samarinda.” Mara Sintanira, gadis yang kini tinggal di Jogja itu terkekeh kecil mendengar pertanyaan Jane, “Ya, dulu juga sangat panas. Tapi cuaca di Jawa akhir-akhir ini memang sejuk, tak begitu panas, dan selalu hujan setiap malam.” “Ah … iya, tadi malam juga hujan.” Jane kembali menatap pemandangan di luar jendela. Hari ini mereka akan pergi ke aula hotel untuk menghadiri penutupan acara sekaligus pengumuman pemenang. Dia sudah ada di Jakarta sejak dua hari yang lalu, perlombaan menulis nasional sangat jarang membawa para pesertanya untuk turun ke lapangan seperti ini namun periode kali ini memang dibuat lebih meriah dibandingkan sebelumnya. Nira –teman barunya, baru sampai ke Jakarta tadi malam. Mereka sam
Suasana mendadak sunyi setelah gempa itu berakhir. Tak ada lagi suara keributan dari orang-orang yang panik berlarian ataupun suara barang-barang yang berjatuhan, Nira mengangkat kepalanya sambil melirik sekelilingnya yang kini masih tak bereaksi. Mereka pingsan? Pikirnya menatap keempat orang yang ada di sekitarnya. Gadis itu tanpa sadar menyentuh tangan Wonu lalu berpindah pada Jane, senyuman tipisnya terukir tipis saat menyadari bahwa tubuh mereka masih hangat, mereka belum mati. “Seseorang … anakku …” Nira membulatkan matanya tanpa sadar ketika mendengar suara kecil yang disambung dengan suara langkah terseret, “Anakku … tolonglah ….” Gadis itu menutup kedua telinganya dan kembali menundukkan kepala, tak ingin mendengar lagi hal-hal seperti itu dan membuat kepalanya memutarkan berbagai adegan mengerikan yang sering dia lihat di film-film. “Seseorang … to—AKH!”
Jane menatap telapak tangannya sendiri yang sejak tadi tak berhenti bergetar. Dia tahu dia masih merasakan bekas getaran gempa itu, bayangan mereka dikejar-kejar oleh mahluk seperti zombie hingga kematian Hanbin yang ada di depan matanya, semuanya masih tercetak jelas di dalam kepalanya. Dia masih sangat ingin menganggap semua ini hanyalah mimpi buruk, tapi melihat bagaimana tangannya tak berhenti bergetar, menyadari bahwa respon tubuhnya bahkan sudah tak bisa menahan ketakutannya sendiri. Dia tahu semua ini adalah realita. Terlebih setelah mereka berhasil keluar dan melihat keadaan yang ada, semua ini benar-benar membuatnya tak bisa berkata-kata. Gadis itu menggenggam lengannya sendiri mencoba menahan tubuhnya agar berhenti bergetar, sebelum akhirnya memerhatikan Wonu yang kini menyetir membawa mobil mereka menembus jalanan rusak Jakarta. “Kita akan kemana?” tanya Jane memerhatikan Wonu yang sedang memberikan sekotak tisu pada Nira, gadis itu masih m
Setelah mereka sampai, Wonu dengan cepat mengatakan pada tiga gadis itu untuk tetap berjaga di mobil sedangkan dia pergi sendiri ke dalam rumah untuk melihat keadaan. Dari pemandangan jalan kompleks perumahannya, dia tak melihat banyak kerusakan, dan juga mahluk sejenis zombie hingga dia pikir mungkin saja wilayah ini sedikit lebih aman dibandingkan hotel tempat mereka kabur tadi. Pemuda itu membuka pintu rumahnya dengan perlahan, meja kaca di ruang tamu itu sudah pecah, lemari kecil yang menyimpan beberapa piala dan boneka-boneka kecil milik adiknya juga sudah rubuh. Dia yakin gempa sebelumnya cukuplah parah karena telah menghancurkan bagian dalam rumahnya seperti ini, Wonu lalu memilih mengambil tiang panjang tempat dia biasa meletakkan topi, dan menggenggamnya untuk berjaga-jaga. Dia mendengar suara yang sedikit berisik dari arah kamar orang tuanya. Pemuda itu memilih berjalan secara perlahan, dia juga tak ingin memanggil nama orang tuanya mengingat bahwa mungkin
Satu jam lebih mereka menyusuri riol untuk menemukan jalan keluar, sampai akhirnya mereka berempat berada di bagian paling ujung gorong-gorong tersebut. Suara sungai yang mengalir deras dan cahaya tipis yang menyambut mereka membuat keempat orang itu dengan segera bersemangat untuk keluar. “Seharusnya ini sudah malam, apa ponsel kalian ada yang masih menyala?” tanya Jane menatap teman-temannya itu. Wonu dan Cuna menggeleng, sedangkan Nira kini mencari ponsel yang sudah lama dia abaikan. “Ini jam setengah 8 malam,” balas gadis itu. Mereka akhirnya berhasil keluar dari riol tersebut, walaupun tak sepekat sebelumnya, kini bau dari air pembungan itu kini tak begitu mereka cium lagi. Wonu bernapas lega tanpa sadar. “Dimana ini?” tanya Cuna. “Sepertinya daerah pinggiran kota, kita harus berhati-hati pada zombie.” Wonu membalas dan ditanggapi dengan anggukan oleh ketiga gadis itu. “Ayo naik!” ajak Jane yang akhirnya menemukan tangga agar mere
“Kau mau mencoba mengigitku?” tanyanya sambil menyerahkan lengannya pada Jane. Gadis itu membulatkan matanya tak percaya ketika mendengar penawaran Cuna, “Kau gila?” tanyanya menatap lengan Cuna yang masih mengarah ke dirinya. Cuna lalu menarik tangannya kembali sambil mengangkat bahu tak acuh, “Ini kan hanya teoriku saja, tak ada salahnya mencoba.” Jane menggeleng cepat sambil melipat tangan di depan dada, “Tidak, bahkan jika teori itu berakhir benar, aku tetap takkan mau melakukannya.” Gadis itu menoleh menatap Jane sejenak lalu kembali fokus pada jalanan di hadapannya, “Kenapa?” tanyanya. “Tidak ada alasan lebih, aku hanya merasa bahwa kanibalisme bukanlah sesuatu yang seharusnya menjadi wajar untuk manusia.” Cuna mengangguk santai, “Hanya karena prinsip ya?” gumamnya tanpa sadar, “Menurutmu, apa aku adalah tipe yang berani memakan sesama untuk bertahan hidup?” tanyanya pada Jane. “Kau tipe yang berani mencoba hany