Malam terus menjalar dan bergerak mendekati tengah malam. Si kembar, Aluna dan Alena menarik kursi masing-masing, lalu disusul mang Dadang dan bi Inah yang duduk di kursinya masing-masing.
Keempatnya menyantap makanan yang telah dihangatkan oleh bi Inah. Tanpa menimbulkan keberisikan keempat orang tersebut menikmatinya.
"Neng Aluna dan Neng Alena apa tidak takut gemuk makan malam jam segini?" tanya mang Dadang.
Aluna menatap mang Dadang penuh dengan tanda tanya, "Memangnya kenapa, Mang? Ada yang salah ya, kalau makan malam selarut ini?" imbuhnya.
"Katanya, perempuan itu takut kalau makan malam sudah melewati jam 7 malam. Lah ini kan hampir jam 10, Neng."
"Ah, mitos itu Mang. Buktinya berat badanku segini terus dari dulu," jelas Alena, disetujui oleh Aluna.
"Setuju aku, dari dulu berat badanku gak baik-baik, Mang. Ada yang punya resepnya tidak?" imbuh Aluna.
"Resap apa, Non? Obat penggemuk badan gitu?" tebak bi Inah, "jangan Non, bahaya!"
Bi Inah mengoceh dengan mulut penuh dengan nasi.
"Sudah segitu saja, tidak perlu ditambah-tambah. Non Aluna dan Non Alena cantik!" sambung bi Inah lagi.
"Tumben otakmu pintar!" ledek mang Dadang.
"Eh, apa!" bi Inah bingung.
Seketika Aluna dan Alena tertawa, namun dengan reflek mereka menutup mulutnya dengan kedua tangan mereka. Aluna dan Alena takut jika nanti tante Nita mendengarkannya dan terganggu.
"Ssstttttt!! Pelanin suara enon berdua, nanti Nyonyah mendengarkan dan kita-kita yang kena protes!" ucap bi Inah lirih.
"Maaf, Bi!" jawab Alena dengan posisi masih menahan tawa.
"Memang kenapa Bi, kalau Tante mendengar kegaduhan kita?" tanya Aluna berbisik.
"Sini ... sini, Bibi bisikin ya Non!" Bi Inah memberi aba-aba, lalu keempat kepala itu lalu saling berdekatan.
"Bi Inah mau bisikin apa?" kata Aluna dengan lirih.
"Bibi cuma mau bilang, kalau Nyonyah dengar dan bangun, bisa-bisa nanti ceramah sampai pagi," jelas bi Inah.
"Betul, Non. Bu Nita kalau ceramah bisa repot. Kuping pasti panas jadinya," timpal mang Dadang.
"Iyalah?" Alena mengerutkan alisnya, lalu menatap kembarannya, Aluna.
"Ah, itu biasa. Mungkin karna faktor Utama!" balas Aluna.
"Sssstttt ... jangan keras-keras!" bisik bi Inah menempelkan jari telunjuknya ke mulutnya sendiri.
Mereka bertiga terdiam sebentar, lalu kembali ke posisi semula. Bi Inah mendongakkan kepalanya, menatap jam yang menempel di dinding. Jarum jam mengarah ke jam 11 lebih sepertiga menit.
"Sebaiknya Non Aluna dan Non Alena kembali ke kamar dan tidur," saran bi Inah.
"Betul, Non. Perjalanan dari Belanda ke Indonesia kan memakan waktu lama. Enon berdua pasti capek dijalan," sambung mang Dadang.
"Nah, benar kan kata bi Inah!" bi Inah mengangguk-anggukan kepalanya.
"Iya, Bi. Lagi pula kita berdua juga sudah ngantuk!" jawab Alena.
"Apalagi besok adalah hari spesial buat enon berdua," timpal mang Dadang.
"Yah, mang. Kenapa mang Dadang malah bilang, sih!" Bi Inah menempuk bahu mang Dadang.
"Eh, maaf Bi. Mamang keceplosan!" mang Dadang menutup mulutnya dengan tangannya.
"Eh, tunggu dulu. Apa yang dimaksud dengan hari spesial?" tanya Aluna pada mang Dadang.
"Besok bukan hari ulang tahun kita loh, Mang!" Alena menatap mang Dadang dengan penuh tanda tanya.
"Eh, anu Non ... itu ... gak ada apa-apa kok, Non!" Mang Dadang nampak salah tingkah.
"Ya sudah, kita berdua masuk kamar dulu ya!"
Aluna dan Alena berdiri dari kursi dan langsung masuk kamar.
***
Pagi menyambut dengan sebuah alunan merdu suara kokok ayam yang saling bersautan. Sedikit sinar menyeruak dari ufuk timur, berwarna oranye kemerah-merahan, menyinari apa saja yang dia temui pagi itu. Hangat dan sangat lembut serta kicau burung-burung yang mulai bersautan membentuk sebuah alunan nada yang sangat indah didengar.
Semburat cahaya pagi menerpa kulit kedua gadis kembar yang masih bergelut dengan selimut di dalam kamarnya.
Cahaya mentari yang meraba begitu lembut dan hangat membuat kedua gadis kembar itu terbangun dari mimpinya.
Tangan Aluna menepuk lengan Alena agar gadis itu segera membuka matanya.
"Hmm ... aku sudah bangun, tapi malas untuk bergerak!" cicit Alena.
"Dasar tukang mager!" ledek Aluna.
Gadis cantik itu menyebabkan selimut dan menurunkan kakinya ke lantai. Melangkah menghampiri jendela dan membuka tirainya, lalu Aluna membuka jendela tersebut dan menghirup udara pagi yang masih bersih dan belum terkontaminasi dengan asap kendaraan.
Aluna kembali melangkah mendekati ranjang dan duduk di samping ranjang, tangannya meraih selimut yang dia kenakan untuk membungkus tubuhnya semalam. Tangannya melipat dengan rapi selimut tersebut dan meletakkan selimut yang telah dilipat tepat di atas bantal, lalu tangannya kembali menepuk lengan kembarannya, Alena.
"Bangun! Hari ini, kita masih ada tugas membenahi koper,"
Alena menggeliat pelan, "iya sudah bangun!"
"Sudah bangun, tapi kalau masih rebahan sama saja bohong, Len!" celoteh Aluna.
Alena menarik napas panjang, lalu dia segera bangun dan melipat selimutnya.
Setelah si kembar mandi, kedua gadis itu lalu keluar dari kamar dan melihat tante Nita yang sedang duduk di ruang makan.
"Pagi tante Nita!" sapa Aluna dan Alena bersamaan.
"Pagi juga Sayang. Ayo duduk dan sarapn. Setelah makan, tante akan mengajak kalian ke suatu tempat," ujar tante Nita sembari mengoles roti tawar yang dia pegang dengan mentega.
Aluna dan Alena menatap menu yang ada di atas meja. Ada roti tawar yang tersusun rapi, mentega dan selai juga ada nasi goreng dan telur mata sapi serta 3 gelas susu putih hangat.
"Ayo, makan. Kalian bisa memilih mau makan roti atau nasi goreng. Bi Inah sudah menyiapkan," Tante Nita menatap keponakannya itu.
Aluna pun meraih roti tawar dan mengolesi dengan selai strawberry, sedangkan Alena mengambil piring lalu mencentong nasi goreng, tak lupa dia menaruh telur mata sapi di atasnya.
Selesai makan tante Nita menyuruh Aluna dan Alena untuk bersiap-siap karena tante Nita akan membawa mereka ke suatu tempat.
"Memangnya tante Nita mau mengajak kita berdua kemana?" tanya Alena.
Aluna mengangkat bahunya, "tidak tahu!"
"Apa ada kaitannya dengan yang mang Dadang bilang tadi malam?" tanya Alena lagi.
"Mungkin!" jawab Aluna singkat sambil membenarkan sepatu ketsnya.
"Lun, kau tahu dimana jaket kulit?" kata Alena mengingat-ingat.
"Bukannya kemarin malam kau masukkan ke dalam mesin cuci," balas Aluna.
Alena pun menepuk jidatnya, "ah benar, aku lupa!"
"Sudah siap?" tanya Aluna meraih tas slempangnya.
"Sebentar, aku belum memakai sepatu,"
"Aku tunggu di depan ya, Len. Tante Nita pasti sudah menunggu kita di depan. Lebih baik kau harus lebih cepat lagi!" kata Aluna.
"Iya ini sudah selesai!"
Alena menyusul Aluna keluar dari kamar. Di halaman depan, tante Nita sudah berdiri menenteng tas dan mengenakan kacamata hitam, sedangkan mang Dadang sibuk memanasi mobil yang akan dipakai.
Setelah siap, mang Dadang membukakan pintu untuk nyonyah besarnya. Tante Nita pun masuk ke dalam mobil.
"Non Aluna dan Non Alena kenapa masih berdiri terus disitu? Masuk sini, Non," ujar mang Dadang.
"Ah iya, Mang!" Aluna segera mendekat dan masuk ke dalam mobil, disusul oleh Alena. Mereka duduk dibangku belakang, karna tante Nita duduk di depan dengan mang Dadang.
Mobil melaju pelan keluar dari halaman rumah. Pak Amir selalu satpam di rumah tante Nita kemudian menutup pintu gerbangnya.
Jalanan ibukota yang tidak ada perubahannya, masih sama seperti dulu macet. Alena menatap gedung-gedung pencakar langit di ibukota.
"Akhirnya bisa melihat ibukota lagi," celetuk Alena yang menikmati pemandangan traffic jam ibukota saat itu.
"Kalau Belanda dan Jakarta macetan mana, Non?" tanya mang Dadang yang masih fokus dengan stir mobilnya.
"Jakarta dong Mang, kalau di Belanda macetnya tak separah Indonesia. Di Belanda jauh lebih tertib, Mang!" jawab Alena.
"Lalu non Alena dan non Aluna apa akan kembali ke Belanda lagi?" tanyanya lagi.
"Tidak Mang, kita berdua akan tinggal di Indonesia," sahut Aluna.
"Syukurlah!" balas Mang Dadang.
Tak berapa lama, mobil memasuki kawasan perumahan elit dan berhenti di sebuah rumah dengan cat warna biru langit. Tante Nita langsung melepas seatbell, lalu keluar dari mobil. Si kembar ikut keluar, mereka berdua tampak memandang rumah yang berdiri di depannya.
"Tante, ini rumah siapa?" tanya Aluna.
Tante Nita tersenyum dan melepas kacamatanya. Wanita itu lalu memandang kedua ponakannya itu.
"Rumah ini adalah rumah kalian berdua, tante membelinya sebagai hadiah ulang tahun kalian," jelas tante Nita pada si kembar.
"Rumah kita, Tante?" tanya Aluna kaget.
"Maksud tante Nita, kita berdua?" sambung Alena.
"Iya, siapa lagi? Keponakan Tante kan hanya kalian berdua," ujar tante Nita tersenyum.
Tak lama setelah itu, keluarlah pak Hadi dari dalam rumah tersebut. Pak Hadi langsung menghampiri tante Nita, Aluna, dan Alena.
"Saya kira, Bu Nita akan datang besok," Pak Hadi tersenyum ramah.
"Kebetulan si kembar baru sampai tadi malam, Pak. Ini mereka langsung tak bawa kemari," kata tante Nita menunjuk dua ponakannya.
"Apa mereka berdua yang akan menempati rumah ini?" tanya pak Hadi pada tante Nita.
"Iya, Pak!" jawab tante Nita, "Aluna ... Alena ... kenalkan ini Pak Hadi!" imbuh tante Nita memperkenalkan kedua ponakannya pada pak Hadi.
Aluna dan Alena mengulurkan tangannya. Pak Hadi pun menyambut ukuran tangan si kembar, Aluna dan Alena.
"Semoga betah ya, Non!" sahut pak Hadi.
"Iya, Pak. Inshaallah kita berdua betah kok tinggal disini," sela Alena.
"Pak Hadi, kapan kira-kira rumah ini bisa ditempati?" tanya tante Nita.
"Kira-kira 4 atau 5 hari lagi, Bu!" jawab pak Hadi. "Mari silahkan kalau bu Nita dan Non Aluna serta Non Alena ingin melihat-lihat, Bapak akan antar."
Tante Nita juga si kembar berjalan di belakang pak Hadi untuk melihat-lihat rumah yang 85℅ hampir selesai direnovasi. Aluna dan Alena nampak begitu senang, terpancar dari raut wajah mereka berdua. Mereka tidak mengira jika tante Nita akan membelikan rumah sebagai hadiah ulang tahun mereka yang tinggal menghitung beberapa hari.
Ketika mereka sedang melihat-lihat, tampak sepasang mata memperhatikan aktivitas mereka.
:: TBC ::
"Aneh?" Revan dan Mang Dadang menatap Bagas. "Iya, aneh." Bagas membalas menatap ke duanya dan setelah itu kembali menatap langit-langit ruang depan. Bagas merasa selama dirinya tidur, dia merasa seperti menjadi tahanan di alam lain. Ya, Bagas dan Alena menjadi tahanan sosok misterius ber-dress merah. Bagas berdecak dan kembali menoleh ke arah Revan. "Ah, sudahlah tidak perlu dipikirkan. Aku mau istirahat dulu." Bagas memejamkan matanya. Revan kembali menatap Mang Dadang dan mengangkat bahunya. Di dalam kamar, tampak Alena duduk di atas kasur lipat. Dia memperhatikan Tante Nita yang membereskan pakaiannya dan memasukkannya ke dalam lemari. Lalu wanita itu membalikkan badannya dan berjalan mendekati Alena. "Kau bisa istirahat dulu. Aluna sedang membuatkan-mu teh hangat." Tante Nita membelai surai hitam Alena. Tidak lama setelah itu Aluna masuk ke dalam kamar dan menaruh gelas berisi te
Setelah semua berlalu hal itu lantas tidak membuat Aluna bahagia. Pasalnya Aluna belum tenang sama sekali, karena saudara kembarnya masih tertidur pulas di rumah sakit. Gadis itu mulai merindukan masa-masa bersama dengan Alena dan dia juga tidak sanggup kalau harus kehilangan Alena. Bagi Aluna, Alena adalah semangatnya. Dia adalah satu-satunya keluarga yang Aluna punya.Hari itu, Aluna masih menunggu tukang bangunan yang harus memperbaiki lantai di ruang tengah. Sebetulnya para tukang bangunan agak ketakutan mengerjakan pekerjaan tersebut. Namun pada saat itu Tante Nita, Mang Dadang, Bi Inah, dan juga Pak Kyai Khusni datang ke rumah Aluna. Pak Kyai pun mengirimkan doa untuk mereka semua agar tidak lagi bergentayangan di dunia ini.Rumah Aluna saat itu menjadi ramai karena Tante Nita dan yang lainnya memang berniat untuk menginap di rumah Aluna. Hari itu setelah mereka mengunjungi Alena dan Bagas di rumah sakit, mereka bercakap-cakap sampai
Sekian lama kasus pembunuhan wanita muda yang dikenal memiliki banyak kekayaan peninggalan dari keluarga besarnya ini ditutup karena tidak menemukan titik terang. Namun sekarang titik terang tersebut sudah mulai muncul.Dentingan suara musik yang dihasilkan dari kotak musik membuat Handoko gelisah dan panik. Dua bola matanya berjelalatan melihat ke seluruh ruang tengah tersebut. Dia merasakan ada dua pasang mata sedang mengawasi dirinya. Lalu sekelebat bayangan melintas di sisi kanannya. Handoko membalikkan badannya, namun dia tidak mendapatkan apapun. Bayangan itu pergi entah ke mana. Lalu Handoko dibuat kaget lagi, karena sebuah sentuhan lembut di tangannya. Dia pun dengan cepat mengibaskan-nya dan lagi dia tidak menemukan siapapun di ruang itu. Gadis yang duduk terikat di depannya tidak sadarkan diri, sedangkan pemuda yang Handoko pukul dengan sekop pasir masih pingsan.Lalu siapa dia?Berkali-kali Handoko dibu
Hanya butuh satu petunjuk lagi untuk membuka gembok terakhir misteri-misteri yang mereka alami. Semakin hari semakin terbuka titik terangnya. Aluna pun berharap dia akan datang lagi menemui dirinya di dalam mimpi ataupun mungkin dengan petunjuk lainnya.Kejadian di Soul Cafe kemarin juga diceritakannya pada Aiptu Anang. Pelan-pelan mereka semua bergerak untuk memancing sang target. Siapa lagi kalau pelaku pembunuhan yang pernah terjadi di rumah tersebut."Bagaimana kita akan memancing dia?" tanya Aluna. "Sedangkan aku belum menemukan petunjuk lagi," imbuhnya."Kalau menurut feeling-ku, petunjuk itu akan segera dia tunjukan," sambung Revan."Lalu bagaimana dengan halaman belakang?""Urusan halaman belakang, kita akan mengerjakannya pelan-pelan. Anggap saja kita sedang berenang sambil minum air, betul tidak, Van?" ujar Aiptu Anang."Yups, betul sekali. Kita
Tante Nita duduk termenung di taman rumahnya. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Sesekali dia menyeruput teh hangat buatan Bi Inah.Menghela napas panjang saat dia teringat kejadian itu. Di mana dia bertemu dengan Saras sahabatnya dan di tidak menyangka jika hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Saras.Flashback on,Soul Cafe, Jakarta, 29 Maret 2018."Selamat siang Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pramusaji."Saya sudah booking tempat atas nama Saras," jawab Nita ramah."Oh, Nona Nita, ya. Anda sudah ditunggu Nona Saras." Pramusaji itu menunjuk tempat duduk paling ujung dan di sana telah duduk seorang wanita dengan dress warna merah."Terima kasih ya Mbak." Nita melangkah dengan senyuman yang merekah di bibirnya. Dia langsung duduk di depan Saras.
Teror masih terus terjadi di rumah Handoko. Pria berkumis tersebut selalu dibuat spot jantung. Berbeda dengan teror yang di alami oleh Revan atau Aluna. Mereka datang hanya bermaksud untuk meminta tolong, akan tetapi tetap saja cara mereka yang muncul tiba-tiba dengar wujud yang menakutkan membuat orang-orang kaget dan spot jantung. Hal itu juga dirasakan oleh Haris. Pria tampan dan juga masih ada ikatan saudara dengan Handoko, serta beberapa kasus yang belum terungkap. Membuat namanya ikut terseret, karena beberapa hari yang lalu ada seorang Polisi yang datang ke rumahnya. Namun demikian tidak ada bukti yang mengarah pada Haris. Haris yang malam itu duduk termenung diam menatap sebuah foto yang ada di dalam dompetnya. Foto sosok seorang wanita yang pastinya adalah wanita pujaan hatinya. Yang akan dipersuntingnya menjadi istri, akan tetapi semua pupus. Di rabanya foto tersebut, terlihat dia sangat sedih akan kepergianny