****
"Dia datang, dia datang!" Angel berujar heboh seraya memukul-mukul bahuku. Kami tengah bersembunyi di bagian kanan bangunan bilik ini.Senyum mengembang, menampilkan deretan gigi rapi saat mengintip langkah anak berbadan pendek itu semakin mendekat. Aku membalikkan badan, menarik lengan perempuan dengan tinggi hanya sebahuku ini ke belakang supaya tidak ketahuan.
Terdengar, Zaki mengucap salam sewaktu masuk rumah. Tak terbayang bagaimana eskpresinya kala sepasang mata itu menangkap benda-benda baru terpajang rapi di ruangan tempat dirinya selalu mengerjakan tugas sekolah. Satu lembar kertas bertuliskan suruhan untuk mendatangiku di pinggir rumahnya pun tertempel jelas di sana.
Tak lama setelah itu, dia tiba-tiba menghampiri dan langsung mengarahkan kedua tangan kecilnya ke atas guna merangkul pinggangku. Dilepasnya perlahan rangkulan itu, lalu tubuhku disetarakan dengan tinggi anak itu. Sorot legam netranya tergenangi air yang hendak menya
Sekitar pukul sembilan pagi, aku dan Angel ikut bersama beberapa petani pergi ke sebuah desa di kecamatan dan kabupaten yang berbeda. Kami harus naik turun bukit curam untuk sampai ke jembatan penghubung kedua desa tersebut. Berkali-kali sempat terjatuh karena aku sangat tak terbiasa dengan kondisi jalanan seperti ini. Beruntung, Angel sigap membantu seolah jalanan seperti ini adalah rintangan sebesar upil. "Orang kota mainnya gak menantang, ya?" tanya Angel di sela-sela suara ngosngosanku. Aku menghentikan langkah dan membuat tubuh lebih tegak. "Kata siapa? Banyak, kok, yang lebih menantang. Contohnya main skateboard dari atas bukit bersalju, itu menantang." "Wah, kamu pernah coba, Jen?" "Nggak, aku jadi penonton aja." Dia terbahak-bahak usai mendengar perkataan barusan. Akhirnya, sampailah kami menghadapi tantangan baru. Ya, jembatan gantung bambu yang terbentang sepanjang enam meter ini harus dilewati guna sampai ke
Satu kilogram singkong diberi harga senilai tiga ribu rupiah dari para petani, begitu juga dengan hasil tani lainnya. Namun, jika sedang terjadi paceklik atau hasil tani kurang bagus, maka akan dikurangi sebagian dari harga biasa."Kalau paceklik biasanya dapat penghasilan berapa, Pak?""Lima puluh ribu, kadang nggak sampai segitu."Aku mengangguk paham hingga pengepul tersebut memberi beberapa lembar uang merah dan pecahan dua puluh ribu. Sempat terheran juga ketika sampai di sana banyak yang menjual hasil tani dari tempat yang sama, rupanya mereka berangkat menaiki rakit."Udah selesai, ayo, pulang!" Angel menepuk bahuku, melihat orang-orang mulai merapikan karung yang dibawa.Selang beberapa menit, kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke desa asal. Sempat khawatir jika nanti menggendong beban lagi, alhasil hal ini terobati oleh kabar bahwa kami akan pulang menggunakan rakit menyebrangi sungai.Alat transportas
Sepulang dari desa sebelah, kini kami disuguhi minuman dingin oleh warga. Bukan hanya aku dan Angel yang meminumnya, tapi semua orang yang tadi pergi ke pengepul. Suasana ramai juga hangat, banyak hal dibahas tentu tak luput dari lelucon untuk lebih meningkatkan sebuah keharmonisan.Sesekali, kami berdua yang asik menyimak pun turut terkena banyolan mereka. Terlebih, menyinggung soal 'hubungan percintaan', terkadang ini membuatku geli. Urusan pendidikan dan pekerjaan saja masih ruwet dipikirkan, apalagi soal ikatan dengan lawan jenis. Lebih banyak resiko yang harus dihadapi karena aku belajar dari Mama Papa, kalau hubungan serius itu bukan hanya soal keromantisan."Pelan-pelan minumnya, cuma becanda, kok. Ya, kami doain aja supaya kalian cepat halal, biar kalau ke mana-mana berdua, nggak menimbulkan fitnah." Perempuan di hadapanku yang tersedak sebab mendengar sindiran orang-orang di sini. Memang betul begitu, tapi semua itu tergantung masing-masing, sepert
Tak tau kenapa, tapi kurasa Angel agak aneh sekarang ini. Sedari tadi ekspresinya masam, gerak-geriknya lesu, biasanya dia ceria apalagi kalau sudah mendengar lagu dengan berbagai genre. "Ngomong-ngomong, nanti kita bakal ketemu siapa lagi, ya? Aku pengen banget jalan-jalan sama Zaki, keinget terus waktu dia nerima hadiah itu. Kayak nggak pernah sebahagia itu, ibu bapaknya juga kelewat baik, sih," ungkapnya dengan bahasa tubuh yang sama. "Bibi kamu? Mungkin, itu sentilan dari Tuhan buat kita karena kadang, orang yang hidupnya berkecukupan pun selalu merasa kurang. Beda lagi kalau dengan orang yang serba kekurangan, diberi segimana juga tetap ingat Tuhan." Aku diam sejenak mencari kata-kata estetik lain. "Saya pikir, kelebihan dari orang yang serba kekurangan itu, dekat dengan Sang Pencipta." Ingin tertawa juga sebenarnya habis bicara panjang lebar plus sok bijak seperti itu. Namun, memang rata-rata sesuai dengan realita, bukan?
Pria yang kuberikan dua mi instan dan pasta gigi tersebut sangat berterima kasih, mulanya dia menolak diberikan itu. Namun, kupaksa dengan embel-embel kasihan anak-istri di rumah, beliau juga mendoakanku. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju desa Tenjolaut yang memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit saja. Tak seperti kemarin-kemarin yang mesti menghabiskan berjam-jam untuk sampai di tempat tujuan. "Eh, uang kamu masih cukup buat berapa hari lagi?" tanya Angel menjeda kegiatan makannya. Kujawab kalau persediaan uang masih cukup untuk tiga minggu ke depan, bahkan mungkin lebih. Dia melotot kaget, keripik kentangnya tumpah sebagian. "Hah?! Emang kamu bawa duit berapa? Terus mau berapa hari keliling kayak gini?" "Dua puluh satu hari, pengeluaran per hari satu juta. Kalau kurang, tinggal bilang Mama atau Papa." Bukan melotot lagi, kini dia tersedak. "Orang kota banyak duitnya, bagi, dong!" ucapnya selepas meminum sebotol air min
Kami melahap penganan manis yang terbuat dari campuran gula merah, ketan hitam, parutan kelapa, juga durian: wajit. Saat kedatangan kami berdua, Bi Midah tengah memasak wajit ketan durian dan sekarang, aku membantu membungkusnya kecil-kecil. Memang sangat enak, tapi aroma durian yang menyengat menurutku kurang pas dipadukan dengan banyak kandungan gula."Ini buat dijual, Bi?" Angel menanya, membuang pembungkus kudapan legit ini ke kantong kresek berisikan sampah. Wanita tersebut membenarkan pun berkata jika setengahnya disisakan untuk camilan di rumah."Dijual di mana biasanya?""Ya, di warung biasa kadang juga toko yang jajain oleh-oleh di persimpangan itu." Mengetahui hal itu, Angel mengias sepupu lelakinya dengan bertanya kenapa tidak membuka usaha sendiri?"Nah, iya. Si Epan juga lagi ngumpulin uang buat bangun toko khusus wajitnya bibi. Nanti kalau udah makin laku, pasti pake karyawan." Beliau tertawa kecil.Orang
Kami melahap penganan manis yang terbuat dari campuran gula merah, ketan hitam, parutan kelapa, juga durian: wajit. Saat kedatangan kami berdua, Bi Midah tengah memasak wajit ketan durian dan sekarang, aku membantu membungkusnya kecil-kecil. Memang sangat enak, tapi aroma durian yang menyengat menurutku kurang pas dipadukan dengan banyak kandungan gula."Ini buat dijual, Bi?" Angel menanya, membuang pembungkus kudapan legit ini ke kantong kresek berisikan sampah. Wanita tersebut membenarkan pun berkata jika setengahnya disisakan untuk camilan di rumah."Dijual di mana biasanya?""Ya, di warung biasa kadang juga toko yang jajain oleh-oleh di persimpangan itu." Mengetahui hal itu, Angel mengias sepupu lelakinya dengan bertanya kenapa tidak membuka usaha sendiri?"Nah, iya. Si Epan juga lagi ngumpulin uang buat bangun toko khusus wajitnya bibi. Nanti kalau udah makin laku, pasti pake karyawan." Beliau tertawa kecil.Orang
Ketika memasuki ruangan tamu, terdengar jelas Bi Midah sedang berbicara dengan suara keras dan membentak-bentak; memarahi sang anak yang terlambat bangun. Kulihat ponsel masih pukul tujuh kurang, bangun di pukul tujuh ini wajar saja bagiku ... kalau hari libur. Mungkin, disiplin bangun pagi mereka lebih ketat, tak kenal hari libur atau hari tertentu. Angel kembali menenangkan bibinya setelah menyimpan alat penyiram tanaman. Namun, amarah wanita itu justru semakin menjadi hingga sesuatu yang sering dilakukan orang tua di Indonesia tampak di depan mata. Apa lagi jika bukan membandingkan anaknya dengan anak orang lain. Terdengar lucu, kan? Agaknya, kebanyakan dari mereka tidak memikirkan dampak buruk hal tersebut sehingga malah memperparah kebiasaan buruk si anak karena pola pikir tak sejalan. "Sekarang cepet mandi! Habis itu siap-siap ke kebun cengkeh!" suruhnya masih tersulut emosi. Tak ada jawaban dari anak remaja itu selain berjalan gonta