Share

Kejutan (6)

Author: Yoshifa
last update Last Updated: 2021-05-07 18:00:09

"Selalu ingat dan kenanglah hal sederhana yang telah membuat kita bahagia."

****

Setelah hampir seharian penuh menghabiskan waktu dengan berjuang serta bersenang-senang, Zaki diantar pulang olehku juga Angel. Untuk menuju rumahnya, kami harus melewati jalan setapak yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Terpaksa mobil dititipkan kepada orang, lantas berjalan menyusuri sepinya keadaan rumah warga desa ini, sampai akhirnya sampai di sebuah rumah bilik. 

Sedikit berbeda dari rumah bilik lain, di halaman depan bangunan ini tampak kumuh dan berserakan sampah. Tubuh tinggi sepertiku diharuskan menunduk tatkala memasuki ruangan dalam rumah.  Minim pencahayaan dari dalam rumah milik Zaki ini.

"Kamu tinggal sama siapa?" Angel bertanya setelah duduk di lantai beralaskan tikar bangkar. 

"Sama Emak, Bapak, dan adik.

Mereka masih di kebun cengkeh, sebentar lagi pulang," jelasnya. 

Aku mengangguk paham, lalu mengajak berbicara anak itu diikuti oleh kata-kata penyemangat. Telapak tangan kami bertepuk satu sama lain, cara ini kugunakan karena guru sekolah dasarku dulu sering berbuat demikian ketika anak muridnya terkena masalah. 

Kemudian, aku bertanya mengenai sekolahnya. Rupanya, dia siswa kelas empat sekolah dasar. Masih sangat belia untuk dirinya mencari uang, masa-masa ini kebanyakan dilakukan dengan bersenang-senang. Aku tiba-tiba menganga dan perempuan berbadan ramping itu bertepuk tangan saat mengetahui kalau Zaki adalah siswa pintar.

"Kamu dapat juara dua dari kelas dua sampai tahun ajaran kemarin, terus juara satunya siapa, tuh?" Angel menautkan alis keheranan.

"Juara satunya anak perempuan," jawabnya diiringi senyuman yang menampilkan deretan giginya.

"Juara satu perempuan dan juara duanya laki-laki, itu berarti ...," sahutku mencoba menggoda anak ini sembari menempelkan jari telunjuk kanan dan kiri. Kami tertawa lepas, entah apa sebabnya, lalu apa yang sedang ditertawakan?

Tiba-tiba, dari luar terdengar ucapan salam dari seorang wanita yang kemudian diiringi jeritan bahagia anak kecil memanggil nama Zaki. Ibu, ayah, serta adiknya telah kembali. Mereka terkejut dengan kehadiranku juga Angel di rumah ini. Namun, sebisa mungkin kujelaskan tujuan datangnya ke sini semata-mata membantu serta berkunjung saja.

Berbincang-bincang sebentar dengan kedua orang tua anak itu, lantas aku dan perempuan berdarah Sunda itu pamit pulang berhubung matahari sebentar lagi tenggelam. Kami pun sepakat untuk mengunjungi kediaman Zaki lagi esok hari sekaligus berkeliling desa ini.

****

Kegiatan sarapan pagi ini terbilang sangat sederhana. Aku yang selalunya memakan makanan dengan harga di atas seratus ribu rupiah, justru kali ini di bawah dua puluh ribu. Semangkuk bubur ayam dilengkapi taburan bawang goreng, kerupuk, juga kacang goreng. 

Walaupun dibandrol murah, tetapi tidak mengurangi cita rasanya yang lezat. Bahkan, bagian Angel saja sudah hampir ludes. Entah saking laparnya dia atau memang karena rasanya, atau mungkin keduanya? Di kedai kecil ini juga menyediakan banyak bakwan, hati ayam yang telah digoreng, dan nasi uduk.

Alat makan berupa logam cekung itu beradu dengan wadah berisi sisa-sisa bumbu makanan. Habis sudah bubur itu, sebelum membayarnya aku memesan tiga nasi uduk untuk sarapan Zaki dan keluarganya. Beberapa saat setelah pesanan siap di genggaman, kami berpamitan kepada si penjual.

Waktu menunjukkan pukul 05.55, sepagi ini kami berangkat padahal jarak dari Penginapan Asri ke Desa Hegarmulya tak sejauh kemarin. Namun, tidak mengapa agar makanan yang dibawaku dapat dimakan segera. 

"Oh, iya, di kampung tinggal sama siapa, Kak?" tanyaku memulai pembicaraan supaya di dalam kendaraan ini bukan hanya ramai oleh putaran lagu dan mesin saja. 

Angel mengalihkan ponsel yang dimainkannya, lalu menjawab, "Sama orang tua dan kembaran." 

Mimik wajahku seketika berubah, rupanya perempuan ini memiliki kembaran yang mungkin sama cantiknya. "Wah, pasti seru, ya punya kembaran." Aku membalas diikuti kekehan kecil setelahnya.

"Iya, setiap hari ada aja yang diributin. Kalau lebaran pasti dibeliin baju yang sama katanya, sih, biar keliatan banget kembarnya." 

Kami tertawa lepas, baru beberapa menit mobil ini melaju sekarang mendadak berhenti tepat memasuki gang yang sepi. Ah, bisa-bisanya aku lupa mengisi bahan bakar! Kemudian, sepertinya tidak ada pompa bensin mini di jalanan yang dilalui tadi. Aku melirik ke arah Angel yang juga terlihat sedikit kebingungan, dia hanya pasrah dengan mengembuskan napas. 

"Cari pom bensin, ayo!" Pasrah dengan ajakan itu, kuharap ada orang yang mau membantu kami. Bayangkan saja bila harus berjalan kaki mencari beberapa liter bensin, kalau kata orang lain itu; melelahkan! 

Hingga beberapa saat waktu berlalu, perihal kendaraan tadi telah selesai teratasi. Mungkin juga ini terjadi sebab Sang Pencipta hendak mempertemukanku dengan seorang Kakek berusia 70 tahun, menolong nasibnya yang memprihatinkan lewat masalah ini. 

Terbesit rasa bahagia bercampur haru melihat Si Kakek penjual bensin literan tadi diberi uang lebih olehku. Dia mengucap terima kasih berkali-kali sembari tangan bergetarnya menyalami. Karena Kakek itu pula, kami tak perlu jauh-jauh mencari tempat pengisian bahan bakar. 

Sedikit mengobrol setelah mobil diisi dua liter cairan menyengat, Kakek bernama Alam itu menjadi penjual bensin sederhana; dengan alat dan bahan seadanya sejak satu tahun lalu. Beliau sengaja ditinggal pergi anak semata wayangnya karena tak mau direpotkan. Tega, memang. 

Di usia senja yang seharusnya banyak diperhatikan, dirawat penuh kasih sayang, serta dimanja, Kek Alam ini justru merasakan sebaliknya. Angel juga sempat bilang bahwa dirinya khawatir akan terjadi sesuatu bila orang tua itu tinggal sebatang kara. Akan tetapi, kami tak bisa berbuat banyak. Semuanya pasti sudah Tuhan yang atur, berharap Si Kakek mendapat kehidupan yang layak, diperhatikan oleh lingkungannya, dan anaknya senantiasa mendoakan dari kejauhan. 

"Wah, udah selesai? Ayo, berangkat sekarang!" Aku berkata semangat, menampilkan kembali senyum yang seperti kata orang lain 'manis'. Anak itu hanya mengangguk, menyusulku beranjak keluar. Dia mengambil sepatu di atas tumpukkan karung, lantas malah menjinjingnya dan tidak dipakai.

"Yah, kaki kamu kotor, loh. Kenapa nggak dipakai sepatunya?" tanya perempuan berkemeja merah itu menghentikkan langkah.

"Kalau dipake, nanti sepatunya yang kotor. Kalau dicuci enggak kering satu hari, nanti gak bisa pakai sepatu ke sekolahnya," jelas Zaki seraya tersenyum melirik ke arah sepatu hitam yang dijinjing tangan mungilnya. Angel hanya mengusap pelan rambut bocah berseragam merah putih itu. Kemudian, kami lanjut berjalan menuju sekolah Zaki yang berjarak sekitar 25 meter dari kediamannya.

****

Meja belajar lipat, satu lusin buku tulis lengkap dengan alat tulis lain, satu buku ensiklopedia, terakhir Kamus Besar Bahasa Indonesia lengkap menjadi catatan di ponsel. Berada di sebuah toko buku untuk mencari benda-benda tersebut yang nantinya akan diberikan pada Zaki. Aku kasihan terhadapnya yang senang belajar, tetapi dengan keadaan tempat tidak memungkinkan.

Membelikan peralatan belajar ini supaya semangat belajarnya semakin meningkat begitupun kegemarannya menulis yang sama sepertiku. Meskipun mengeluarkan uang yang sepertinya tidak cukup dua ratus ribu rupiah, tetapi uang di dompet masih lebih dari cukup. 

Angel memilih buku tulis bergambar kartun anak laki-laki, entah nantinya akan disukai atau tidak oleh Zaki? Berbelanja kebutuhan sekolah tanpa sepengetahuan si target sebab sudah terencana memberi kejutan saat dia pulang menimba ilmu nanti.

Ketika asyik memilih-milih balpoin di rak empat tingkat, atensiku tiba-tiba teralihkan. Dari arah luar seorang pria berbaju compang-camping, rambut gimbal, membawa tas sobek, serta beberapa plastik berdiri menatap diri ini. Jarinya menunjuk ke arahku diikuti tawa yang sangat tak jelas. 

Sudah kuduga itu siapa, mulutnya semakin terbuka lebar. Bisa dikatakan, dia adalah orang gila yang tengah berbahagia. Tawanya mengundang tawaku juga, sesaat kami tertawa bersama terhalangi oleh pintu kaca. Sampai orang itu berubah mimik wajah, lalu pergi begitu saja dan aku tersadar sedang menjadi pusat perhatian. Untungnya tidak tertular gila.

Buru-buru memalingkan wajah, menahan malu, dan bertingkah seolah kejadian barusan cuma iklan mengerikan. Akan kujadikan pengalaman teraneh saat di sini, pertama kalinya bertemu dengan orang tidak normal, lantas tertular humor rendahannya. Namun, jika masalah kewarasannya sudah pasti tidak akan pernah atau jangan sampai aku tertular. Apa kata warga dunia bila pria setampan ini tidak waras?

"Jen! Ini udah segini?" Angel menghampiri seraya menjinjing keranjang plastik merah berisikan alat-alat tulis. Aku mengangguk, lalu memasukkan dua penghapus ditambah dua pensil dan balpoin. Kami beriringan menuju kasir, setelah semuanya lengkap dibayar kami pergi mendatangi rumah anak itu lagi membawa serta sesuatu yang tentunya membahagiakan.

----0o----

TBC 💚

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 21 Days in Sukabumi   Terungkap (20B)

    Kediaman Angel terletak paling bawah di antara rumah lainnya, kalau dideskripsikan, desain rumahnya terkesan sederhana. Pagar dengan tinggi sebatas pinggang orang dewasa serta rerumputan hijau menghiasi pelataran.Seorang perempuan berambut panjang yang tengah menapih beras di teras kaget dengan kedatangan Angel. Mereka mirip sekali, hanya perbedaan tinggi badan dan bentuk alis yang menyiratkan jika mereka adalah kembar."Pulang bawa calon, tuh?" tanyanya melirik ke arahku."Apaan, sih! Bukan, mana bapak sama ibu?""Di dalem. Eh, Kang, mari masuk!" Dia mempersilakan.Angel berlalu menuju dapur bersama saudarinya, sedangkan aku duduk di ruang tamu dengan perasaan waswas. Terlalu banyak peristiwa tak mengenakkan hati hingga seperti ini, belum lagi hal negatif yang akan datang nanti. Lamunanku terbuyarkan ketika Angel bersama orang tuanya datang menghampiri, segera kusalami mereka berdu

  • 21 Days in Sukabumi   Pulang (20A)

    Usai puas bersuka ria di atas bukit, kami lantas berkeliling area sawah. Angel nyaris berlumuran lumpur dan merusak padi-padi yang masih segar, kakinya terpeleset. Beruntung aku sigap menahan agar dia tak jatuh. Dasar gadis kampung ini, banyak tingkah jika sudah berada di alam bebas. Kulihat, ada sekitar empat orang-orangan sawah di sini hingga ujung sana. Agaknya karena tempatnya luas, jadi agar memudahkan mengusir gerombolan burung yang hinggap. Angel merasa capek, kami pun beristirahat di samping saung dengan beberapa orang berada di sana. Kupandangi sekitar, ternyata lebih estetis juga pemandangannya. Kamera yang berada di dalam tas diambilnya, kemudian mengambil gambar dari bagian sebelah kanan dulu, berlanjut ke tengah, lalu ... kuarahkan kamera itu ke wajah Angel yang tengah melamun. Yah! Pose menatap lurus ke depan dengan beberapa helai rambut pendeknya terbawa angin, itu cukup bagus. Aku tersenyum menatap cantiknya---oh, apa dia juga tida

  • 21 Days in Sukabumi   Dinotice! (19B)

    Ayunan dengan desain kursi kayu yang menambah estetika tempat wisata sederhana in, menjadi tempat duduk kami sekarang. Aku dan Angel mengakhiri perdebatan dengan saling bermaafan, tak lupa aku memperingatkan agar dirinya tidak lagi mengakrabkan diri dengan orang asing, terlebih pria. "Berarti, sama kamu juga nggak boleh deket-deket?" tanya gadis itu yang kuyakini dia sendiri tahu jawabannya. "Nggak boleh, kamu harusnya nempel-nempel kalau sama saya." Aku menjawab sembari mesem-mesem, penasaran melihat reaksinya. "Dih, ngapain juga kayak gitu?! Sana jauhan!" suruhnya, lantas kutanggapi dengan tawa membuat pengunjung lain mengalihkan perhatian. "Ngomong-ngomong, temen kamu yang ganteng itu, siapa?" "Penasaran, ya? Ngapain juga kamu cari yang ganteng di luaran sana, sedangkan saya yang nggak kalah ganteng ada di deket kamu?" Kira-kira, hatinya meleleh atau tidak? Jantungnya masih aman, kan? Kulihat ekspresi perempuan ini

  • 21 Days in Sukabumi   Cogan (19A)

    "Njel, saya punya kenalan ganteng, loh." Perempuan itu melepas earphonenya dan menoleh. "Terus kenapa?" "Kamu bukannya suka sama yang ganteng-ganteng?" tanyaku meledek. "Ya, siapa sih, yang gak suka sama cowok ganteng?" Wah, suatu pujian tersembunyi untukku. Itu artinya, dia sendiri menyukaiku, kan? "Berarti kamu juga suka saya, dong?" Mendengar itu, dia mengangkat satu alis serta melengkungkan bibir. Jelas aku bukan pakar ekspresi, jadi hanya dapat menyimpulkan kalau dari ekspresinya mengatakan iya. Perbincangan kami terhenti kala mobil mulai memasuki gang desa, melewati rumah-rumah warga yang berjejer tak luput dari tanaman di halaman rumahnya. Lumayan sepi, mungkin karena pukul delapan pagi adalah waktu di mana orang-orang sibuk. Suasana pedesaan ini memang terbilang sederhana dan persis seperti beberapa tempat sebelumnya yang pernah kami kunjungi. Namun, kesederhanaan alam itulah yang m

  • 21 Days in Sukabumi   Ancaman Ibu (18B)

    "Jen, beneran aku nggak sengaja, maaf!" Angel berucap dengan raut cemas, aku tak memedulikan permintaan maafnya. Dalam hati saat ini cuma sibuk merutuk, bertanya-tanya bagaimana caranya agar meredakan rasa sakit dengan cepat?! Peristiwa menyebalkan ini bermulai ketika Angel berdiri menating kelapa tadi, dia menginjak kakinya sendiri hingga terjatuh dan kelapa itu terlempar ke arahku. Mestinya buah itu jatuh mengenai wajah, tapi aku buru-buru menghindar, sialnya malah menghantam ... organ vital. Perempuan berponi tersebut berjongkok mengusap-usap punggungku yang membungkuk; masih menahan sakit. Supaya tidak canggung dilihat orang, aku pura-pura memainkan pasir yang terkontaminasi sampah. Ah, lebih baik memunguti sampah juga. Beberapa saat setelahnya, rasa sakit itu kian mereda hanya ya sedikit masih ngilu. Aksiku memungut sampah pun menarik pengunjung lain untuk melakukannya juga. Hal tak sengaja dilakukan malah menebar dampak

  • 21 Days in Sukabumi   Insiden Kelapa (18A)

    Cepat-cepat kuhampiri Angel karena takut terjadi peristiwa serupa dengan mimpi semalam. Kulihat dirinya tengah sibuk menggunting rambut juga membuat poni, heran kenapa tiba-tiba begini? "Hei, kok potong rambut? Saking nggak ada uang, kamu pinjem gunting orang buat potong rambut sendiri? Kan bisa bilang ke saya biar ke salon, Papa saya juga titip uang buat kamu," protesku sampai tak sengaja memberi tau soal titipan itu. Bukannya mau mengorupsi uang tersebut, tapi kalau perempuan ini tahu takut akan difoya-foyakan. Maka dari itu, aku berniat mengaturnya sendiri sesuai yang dia butuhkan. "Iya-iya, ini aku lagi kepepet." Dia menjawab seraya mengelap gunting itu dengan kain atasannya. Perempuan yang kini telah 'berponi' itu menoleh ke arahku yang sedari tadi memerhatikannya, seketika tawa ini tak dapat dibendung lagi. Model rambut macam apa yang diterapkannya?! "Kamu mau jadi pelawak?!" tanyaku masih diikuti cekikikkan

  • 21 Days in Sukabumi   Pantai (17B)

    "Njel, ke pantai dulu, yuk! Besok baru ke jalan-jalan ke desa itunya." "Ayok, nanti main pasir! Emangnya mau ke desa mana, sih? Jangan ke kampungku, lah! Aku belum mau ketemu ibu sama bapak ...." Rupanya Angel masih khawatir akan hal itu, padahal apa salahnya mengungkapkan masalah ini secara terang kepada keluarganya? Memang tak semudah itu, banyak resiko yang akan didapat setelahnya. Seperti mungkin menjadi perbincangan tetangga, citra diri menjadi buruk di kalangan masyarakat, bahkan mungkin akan ada fitnah tentang dirinya. Ini tak sepenuhnya salah si pemuda ingusan, tapi aku juga terlibat dan menjadi akar masalah. Andai kata di dunia terdapat mesin waktu, aku ingin mengulang semuanya. Akan menolak mentah-mentah Angel untuk menjadi teman perjalanan kali ini, tapi seperti kata PAnge kalau setiap peristiwa pasti ada hikmahnya meski aku belum tau apa itu? Wahai kartun boneka kucing, pinjamkan mesin waktumu untuk melihat bagaimana nasi

  • 21 Days in Sukabumi   Sandiwara (17A)

    Ceritanya, aku sedang pura-pura marah dengan perempuan ini, tapi dia malah lebih marah dariku. Karena sepanjang jalan, mulutnya tak berhenti mengucap kata maaf dan aku bosan mendengarkan maka dari itu hanya dibalas dengan dehaman.Beberapa daerah telah terlewati, kali ini tinggal menempuh satu jalur lagi untuk sampai di kediaman Angel. Jalan menuju tempat tersebut tertera di Google Map sehingga mudah ditempuh meskipun aku sendiri belum tau letak rumah dia di mana? Itu akan jadi urusan terakhir saat kami sampai di desanya.Bosan pun terus-terusan bersandiwara seperti ini, aku memulai pembicaraan dengan menceritakan mimpi buruk semalam yang menyebabkan peristiwa konyol itu. Sejujurnya, malas mengingat hal ini, tapi demi kedamaian bersama apa harus buat?"Ya, emang habis kejadian itu aku sempet ada niatan buat ... kayak gitu," ujarnya membuatku menyemburkan air hingga membasahi setir.Bagaimana tidak? Kalau saja niatnya benar-benar direalis

  • 21 Days in Sukabumi   Bun*h D*ri (16B)

    Angin sepoi membuat suasana lebih tenang, tidak panas dan tidak pula hujan. Sesekali, aku mengecek ponsel untuk memastikan tak ketinggalan siaran langsung dari idola favorit. Namun, yang tampil justru ribuan komentar penggemar lain, membosankan. Alhasil, kumatikan benda pipih tersebut dan beralih memandang jembatan dengan air sungai deras. Tiba-tiba, suara dering gawai kembali mengalihkan perhatian, entah siapa yang menelepon? Tidak ada apa pun, ternyata itu Angel. Bisa-bisanya dia menyamakan nada dering panggilannya denganku. Mimik wajah Angel usai serius mengobrol di sambungan tampak cemas seperti kemarin saat Epan mengirimi pesan. Apakah bocah itu mengancamnya lagi? "Kenapa? Epan bilang apa lagi sama kamu?" tanyaku ketika dia menyimpan ponselnya ke tas. "Hah? Enggak. Bukan Epan yang telepon, kemarin kan udah diblokir nomornya." "Oh, terus siapa dan kamu kenapa?" "Enggak kenapa-napa, ish! Itu ... keluargaku yang tel

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status