Share

Kejutan (6)

"Selalu ingat dan kenanglah hal sederhana yang telah membuat kita bahagia."

****

Setelah hampir seharian penuh menghabiskan waktu dengan berjuang serta bersenang-senang, Zaki diantar pulang olehku juga Angel. Untuk menuju rumahnya, kami harus melewati jalan setapak yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Terpaksa mobil dititipkan kepada orang, lantas berjalan menyusuri sepinya keadaan rumah warga desa ini, sampai akhirnya sampai di sebuah rumah bilik. 

Sedikit berbeda dari rumah bilik lain, di halaman depan bangunan ini tampak kumuh dan berserakan sampah. Tubuh tinggi sepertiku diharuskan menunduk tatkala memasuki ruangan dalam rumah.  Minim pencahayaan dari dalam rumah milik Zaki ini.

"Kamu tinggal sama siapa?" Angel bertanya setelah duduk di lantai beralaskan tikar bangkar. 

"Sama Emak, Bapak, dan adik.

Mereka masih di kebun cengkeh, sebentar lagi pulang," jelasnya. 

Aku mengangguk paham, lalu mengajak berbicara anak itu diikuti oleh kata-kata penyemangat. Telapak tangan kami bertepuk satu sama lain, cara ini kugunakan karena guru sekolah dasarku dulu sering berbuat demikian ketika anak muridnya terkena masalah. 

Kemudian, aku bertanya mengenai sekolahnya. Rupanya, dia siswa kelas empat sekolah dasar. Masih sangat belia untuk dirinya mencari uang, masa-masa ini kebanyakan dilakukan dengan bersenang-senang. Aku tiba-tiba menganga dan perempuan berbadan ramping itu bertepuk tangan saat mengetahui kalau Zaki adalah siswa pintar.

"Kamu dapat juara dua dari kelas dua sampai tahun ajaran kemarin, terus juara satunya siapa, tuh?" Angel menautkan alis keheranan.

"Juara satunya anak perempuan," jawabnya diiringi senyuman yang menampilkan deretan giginya.

"Juara satu perempuan dan juara duanya laki-laki, itu berarti ...," sahutku mencoba menggoda anak ini sembari menempelkan jari telunjuk kanan dan kiri. Kami tertawa lepas, entah apa sebabnya, lalu apa yang sedang ditertawakan?

Tiba-tiba, dari luar terdengar ucapan salam dari seorang wanita yang kemudian diiringi jeritan bahagia anak kecil memanggil nama Zaki. Ibu, ayah, serta adiknya telah kembali. Mereka terkejut dengan kehadiranku juga Angel di rumah ini. Namun, sebisa mungkin kujelaskan tujuan datangnya ke sini semata-mata membantu serta berkunjung saja.

Berbincang-bincang sebentar dengan kedua orang tua anak itu, lantas aku dan perempuan berdarah Sunda itu pamit pulang berhubung matahari sebentar lagi tenggelam. Kami pun sepakat untuk mengunjungi kediaman Zaki lagi esok hari sekaligus berkeliling desa ini.

****

Kegiatan sarapan pagi ini terbilang sangat sederhana. Aku yang selalunya memakan makanan dengan harga di atas seratus ribu rupiah, justru kali ini di bawah dua puluh ribu. Semangkuk bubur ayam dilengkapi taburan bawang goreng, kerupuk, juga kacang goreng. 

Walaupun dibandrol murah, tetapi tidak mengurangi cita rasanya yang lezat. Bahkan, bagian Angel saja sudah hampir ludes. Entah saking laparnya dia atau memang karena rasanya, atau mungkin keduanya? Di kedai kecil ini juga menyediakan banyak bakwan, hati ayam yang telah digoreng, dan nasi uduk.

Alat makan berupa logam cekung itu beradu dengan wadah berisi sisa-sisa bumbu makanan. Habis sudah bubur itu, sebelum membayarnya aku memesan tiga nasi uduk untuk sarapan Zaki dan keluarganya. Beberapa saat setelah pesanan siap di genggaman, kami berpamitan kepada si penjual.

Waktu menunjukkan pukul 05.55, sepagi ini kami berangkat padahal jarak dari Penginapan Asri ke Desa Hegarmulya tak sejauh kemarin. Namun, tidak mengapa agar makanan yang dibawaku dapat dimakan segera. 

"Oh, iya, di kampung tinggal sama siapa, Kak?" tanyaku memulai pembicaraan supaya di dalam kendaraan ini bukan hanya ramai oleh putaran lagu dan mesin saja. 

Angel mengalihkan ponsel yang dimainkannya, lalu menjawab, "Sama orang tua dan kembaran." 

Mimik wajahku seketika berubah, rupanya perempuan ini memiliki kembaran yang mungkin sama cantiknya. "Wah, pasti seru, ya punya kembaran." Aku membalas diikuti kekehan kecil setelahnya.

"Iya, setiap hari ada aja yang diributin. Kalau lebaran pasti dibeliin baju yang sama katanya, sih, biar keliatan banget kembarnya." 

Kami tertawa lepas, baru beberapa menit mobil ini melaju sekarang mendadak berhenti tepat memasuki gang yang sepi. Ah, bisa-bisanya aku lupa mengisi bahan bakar! Kemudian, sepertinya tidak ada pompa bensin mini di jalanan yang dilalui tadi. Aku melirik ke arah Angel yang juga terlihat sedikit kebingungan, dia hanya pasrah dengan mengembuskan napas. 

"Cari pom bensin, ayo!" Pasrah dengan ajakan itu, kuharap ada orang yang mau membantu kami. Bayangkan saja bila harus berjalan kaki mencari beberapa liter bensin, kalau kata orang lain itu; melelahkan! 

Hingga beberapa saat waktu berlalu, perihal kendaraan tadi telah selesai teratasi. Mungkin juga ini terjadi sebab Sang Pencipta hendak mempertemukanku dengan seorang Kakek berusia 70 tahun, menolong nasibnya yang memprihatinkan lewat masalah ini. 

Terbesit rasa bahagia bercampur haru melihat Si Kakek penjual bensin literan tadi diberi uang lebih olehku. Dia mengucap terima kasih berkali-kali sembari tangan bergetarnya menyalami. Karena Kakek itu pula, kami tak perlu jauh-jauh mencari tempat pengisian bahan bakar. 

Sedikit mengobrol setelah mobil diisi dua liter cairan menyengat, Kakek bernama Alam itu menjadi penjual bensin sederhana; dengan alat dan bahan seadanya sejak satu tahun lalu. Beliau sengaja ditinggal pergi anak semata wayangnya karena tak mau direpotkan. Tega, memang. 

Di usia senja yang seharusnya banyak diperhatikan, dirawat penuh kasih sayang, serta dimanja, Kek Alam ini justru merasakan sebaliknya. Angel juga sempat bilang bahwa dirinya khawatir akan terjadi sesuatu bila orang tua itu tinggal sebatang kara. Akan tetapi, kami tak bisa berbuat banyak. Semuanya pasti sudah Tuhan yang atur, berharap Si Kakek mendapat kehidupan yang layak, diperhatikan oleh lingkungannya, dan anaknya senantiasa mendoakan dari kejauhan. 

"Wah, udah selesai? Ayo, berangkat sekarang!" Aku berkata semangat, menampilkan kembali senyum yang seperti kata orang lain 'manis'. Anak itu hanya mengangguk, menyusulku beranjak keluar. Dia mengambil sepatu di atas tumpukkan karung, lantas malah menjinjingnya dan tidak dipakai.

"Yah, kaki kamu kotor, loh. Kenapa nggak dipakai sepatunya?" tanya perempuan berkemeja merah itu menghentikkan langkah.

"Kalau dipake, nanti sepatunya yang kotor. Kalau dicuci enggak kering satu hari, nanti gak bisa pakai sepatu ke sekolahnya," jelas Zaki seraya tersenyum melirik ke arah sepatu hitam yang dijinjing tangan mungilnya. Angel hanya mengusap pelan rambut bocah berseragam merah putih itu. Kemudian, kami lanjut berjalan menuju sekolah Zaki yang berjarak sekitar 25 meter dari kediamannya.

****

Meja belajar lipat, satu lusin buku tulis lengkap dengan alat tulis lain, satu buku ensiklopedia, terakhir Kamus Besar Bahasa Indonesia lengkap menjadi catatan di ponsel. Berada di sebuah toko buku untuk mencari benda-benda tersebut yang nantinya akan diberikan pada Zaki. Aku kasihan terhadapnya yang senang belajar, tetapi dengan keadaan tempat tidak memungkinkan.

Membelikan peralatan belajar ini supaya semangat belajarnya semakin meningkat begitupun kegemarannya menulis yang sama sepertiku. Meskipun mengeluarkan uang yang sepertinya tidak cukup dua ratus ribu rupiah, tetapi uang di dompet masih lebih dari cukup. 

Angel memilih buku tulis bergambar kartun anak laki-laki, entah nantinya akan disukai atau tidak oleh Zaki? Berbelanja kebutuhan sekolah tanpa sepengetahuan si target sebab sudah terencana memberi kejutan saat dia pulang menimba ilmu nanti.

Ketika asyik memilih-milih balpoin di rak empat tingkat, atensiku tiba-tiba teralihkan. Dari arah luar seorang pria berbaju compang-camping, rambut gimbal, membawa tas sobek, serta beberapa plastik berdiri menatap diri ini. Jarinya menunjuk ke arahku diikuti tawa yang sangat tak jelas. 

Sudah kuduga itu siapa, mulutnya semakin terbuka lebar. Bisa dikatakan, dia adalah orang gila yang tengah berbahagia. Tawanya mengundang tawaku juga, sesaat kami tertawa bersama terhalangi oleh pintu kaca. Sampai orang itu berubah mimik wajah, lalu pergi begitu saja dan aku tersadar sedang menjadi pusat perhatian. Untungnya tidak tertular gila.

Buru-buru memalingkan wajah, menahan malu, dan bertingkah seolah kejadian barusan cuma iklan mengerikan. Akan kujadikan pengalaman teraneh saat di sini, pertama kalinya bertemu dengan orang tidak normal, lantas tertular humor rendahannya. Namun, jika masalah kewarasannya sudah pasti tidak akan pernah atau jangan sampai aku tertular. Apa kata warga dunia bila pria setampan ini tidak waras?

"Jen! Ini udah segini?" Angel menghampiri seraya menjinjing keranjang plastik merah berisikan alat-alat tulis. Aku mengangguk, lalu memasukkan dua penghapus ditambah dua pensil dan balpoin. Kami beriringan menuju kasir, setelah semuanya lengkap dibayar kami pergi mendatangi rumah anak itu lagi membawa serta sesuatu yang tentunya membahagiakan.

----0o----

TBC 💚

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status