Kediaman Angel terletak paling bawah di antara rumah lainnya, kalau dideskripsikan, desain rumahnya terkesan sederhana. Pagar dengan tinggi sebatas pinggang orang dewasa serta rerumputan hijau menghiasi pelataran.
Seorang perempuan berambut panjang yang tengah menapih beras di teras kaget dengan kedatangan Angel. Mereka mirip sekali, hanya perbedaan tinggi badan dan bentuk alis yang menyiratkan jika mereka adalah kembar.
"Pulang bawa calon, tuh?" tanyanya melirik ke arahku.
"Apaan, sih! Bukan, mana bapak sama ibu?"
"Di dalem. Eh, Kang, mari masuk!" Dia mempersilakan.
Angel berlalu menuju dapur bersama saudarinya, sedangkan aku duduk di ruang tamu dengan perasaan waswas. Terlalu banyak peristiwa tak mengenakkan hati hingga seperti ini, belum lagi hal negatif yang akan datang nanti. Lamunanku terbuyarkan ketika Angel bersama orang tuanya datang menghampiri, segera kusalami mereka berdu
Kembali aku menginjakkan kaki ke rumah tingkat yang telah ditinggalkan selama hampir dua belas tahun ini. Hanya sedikit yang berubah dari penampilan bangunannya. Cat yang dulu berwarna merah muda sudah berubah menjadi putih, halaman depan pun sudah tak ditanami rumput liar lagi.Sekilas bayangan masa kecil terlukis kembali dalam benak. Saat-saat berkumpul dengan keluarga, bermain dengan teman, hingga ketika hampir menangis sebab akan pergi meninggalkan tempat ini. Sekarang, aku sudah di sini meski mungkin hanya sesaat.Tok-tok-tok!Kuketuk pintu rumah, berharap Papa sedang tidak pergi ke luar. Tak lama kemudian, terdengar suara perempuan yang menyahut dari dalam. Membukakan pintu dan bertanya, "Iya? Ada perlu dengan siapa, ya?""Oh! Perkenalkan saya Jeno putra Pak Johni yang menetap di Kanada," jawab
Pagi menyapa suasana hati yang sedang bersuka cita juga semangat menyala-nyala. Entah mengapa aku bisa terbangun pagi-pagi buta seperti ini? Sekarang pun sedang bersiap untuk mandi, hanya saja airnya yang terlalu dingin setelah diperiksa tadi membuat rasa malas kumat.Iseng kumainkan aplikasi sosial media facebook, rupanya sudah hampir tiga puluh pemberitahuan masuk setelah empat hari tak dibuka. Salah satu yang menarik perhatian adalah seseorang asal Indonesia yang tak kukenal sama sekali, mengomentari unggahan foto kala tengah bermain dengan teman kursus beberapa waktu lalu.Dalam komentar itu dia menuliskan bahwa diri ini terlalu sombong juga banyak gaya. Lebay! Padahal, hanya berfoto menggunakan kaca mata yang sedang terkenal milik teman. Itu artinya, aku memang keren di pandangan banyak orang. Dibalasnya komentar berbau keirian hati itu menggunakan Bahasa Inggris, semoga saja di
Banyak yang bilang kalau realita kadang tak sesuai ekspektasi, begitu pula yang dirasakanku dan Angel. Dari informasi yang didapat, menuju desa ini hanya memakan waktu lima jam. Namun, nyatanya sudah enam jam lebih dan kami harus berusaha lebih susah lagi untuk menuju tempatnya. Kali ini, kami harus putar balik melewati jalur lain untuk sampai ke tempat tujuan. Pasalnya, menurut orang yang berada di sana, jalan yang hendak dilalui ini rusak tertimbun longsor satu hari lalu dan sedang proses perbaikan. Setelah putar balik, lalu melewati jalan yang lurus, aku dan perempuan yang sedang mendengkur ini harus belok ke arah kanan. Terdapat plang besar berisi ucapan selamat datang di Desa Banjarsari di sini. Bentukan jalannya pun bukan berupa aspal, melainkan tanah yang agak becek. Mungkin, dikarenakan terkena hujan semalam. Di belokkan pertama sisi kanan-kiri jalan, hanya terdapat tanaman-tanama
Angel bermalam di penginapan dekat rumah Bu kades, sedangkan diriku di rumah Bah Halim yang terletak kurang lebih harus melewati 18 rumah. Kebetulan dia tinggal seorang diri. Selama berada di dalam bangunan minimalis lengkap dengan cat biru langit yang di beberapa bagiannya terkelupas ini, pikiran merenung. Menatap badan orang tua itu yang tampak tulangnya dari belakang, rasanya ingin merangkul, lalu memberikan apa yang ia minta. Hidup dalam kesendirian, tidaklah menyenangkan. Sama seperti Papa yang mengalami hal serupa. Beruntunglah dia masih bisa ditemani oleh anak buahnya."Ini minumnya, maaf cuma ada air teh, saya jarang sediain sirup kalau nggak lagi bulan puasa atau lebaran," ujarnya seraya meletakan nampan serta teko berisi air teh juga gelas kaca kecil di meja kayu yang bagian kakinya sedikit rapuh."Nggak papa atuh, Bah. Seadanya saja," balasku yang kemudian menuangkan air teh tersebut dan meneguk
"Awas!" Kendaraan berhenti seketika kala perempuan yang sedang memegangi makanan ringan itu berteriak. Jajanan keripik singkongnya tumpah mengotori bawah jok mobil. Aku pun tersentak kaget, kukira kendaraan ini menabrak seseorang atau hewan. Namun, ternyata orang lain yang melakukannya. Dari arah berlawanan kurang lebih tiga meter dari sini, tampak seorang anak lelaki terserempet mobil bak. Aku dan Angel bergegas keluar dari mobil, menghampiri bocah malang yang mencoba bangun dari posisi tersungkurnya tadi. Dilihatnya betis juga telapak tangan berdarah itu, cepat-cepat kuambil kotak P3K yang tersimpan di bagasi mobil, sementara perempuan yang sempat panik itu berusaha menenangkan dan memastikan bahwa anak lelaki tersebut baik-baik saja. Sangat disayangkan, penyerempet bermobil bak itu melarikan diri dengan melajukan kendarannya semakin ugal-ugalan tanpa bertanggung jawab atas perbuatannya
"Selalu ingat dan kenanglah hal sederhana yang telah membuat kita bahagia." ****Setelah hampir seharian penuh menghabiskan waktu dengan berjuang serta bersenang-senang, Zaki diantar pulang olehku juga Angel. Untuk menuju rumahnya, kami harus melewati jalan setapak yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Terpaksa mobil dititipkan kepada orang, lantas berjalan menyusuri sepinya keadaan rumah warga desa ini, sampai akhirnya sampai di sebuah rumah bilik. Sedikit berbeda dari rumah bilik lain, di halaman depan bangunan ini tampak kumuh dan berserakan sampah. Tubuh tinggi sepertiku diharuskan menunduk tatkala memasuki ruangan dalam rumah. Minim pencahayaan dari dalam rumah milik Zaki ini. "Kamu tinggal sama siapa?" Angel bertanya setelah duduk di lantai beralaskan tikar bangkar. "Sama Emak, Bapak, dan adik.Mereka masih di kebun cengkeh, sebentar lagi pulang," jelasnya. Aku mengangguk paham, lalu mengajak berbica
****"Dia datang, dia datang!" Angel berujar heboh seraya memukul-mukul bahuku. Kami tengah bersembunyi di bagian kanan bangunan bilik ini. Senyum mengembang, menampilkan deretan gigi rapi saat mengintip langkah anak berbadan pendek itu semakin mendekat. Aku membalikkan badan, menarik lengan perempuan dengan tinggi hanya sebahuku ini ke belakang supaya tidak ketahuan. Terdengar, Zaki mengucap salam sewaktu masuk rumah. Tak terbayang bagaimana eskpresinya kala sepasang mata itu menangkap benda-benda baru terpajang rapi di ruangan tempat dirinya selalu mengerjakan tugas sekolah. Satu lembar kertas bertuliskan suruhan untuk mendatangiku di pinggir rumahnya pun tertempel jelas di sana. Tak lama setelah itu, dia tiba-tiba menghampiri dan langsung mengarahkan kedua tangan kecilnya ke atas guna merangkul pinggangku. Dilepasnya perlahan rangkulan itu, lalu tubuhku disetarakan dengan tinggi anak itu. Sorot legam netranya tergenangi air yang hendak menya
Sekitar pukul sembilan pagi, aku dan Angel ikut bersama beberapa petani pergi ke sebuah desa di kecamatan dan kabupaten yang berbeda. Kami harus naik turun bukit curam untuk sampai ke jembatan penghubung kedua desa tersebut. Berkali-kali sempat terjatuh karena aku sangat tak terbiasa dengan kondisi jalanan seperti ini. Beruntung, Angel sigap membantu seolah jalanan seperti ini adalah rintangan sebesar upil. "Orang kota mainnya gak menantang, ya?" tanya Angel di sela-sela suara ngosngosanku. Aku menghentikan langkah dan membuat tubuh lebih tegak. "Kata siapa? Banyak, kok, yang lebih menantang. Contohnya main skateboard dari atas bukit bersalju, itu menantang." "Wah, kamu pernah coba, Jen?" "Nggak, aku jadi penonton aja." Dia terbahak-bahak usai mendengar perkataan barusan. Akhirnya, sampailah kami menghadapi tantangan baru. Ya, jembatan gantung bambu yang terbentang sepanjang enam meter ini harus dilewati guna sampai ke