Jovita baru saja melangkah ke luar dari lift menuju Stariffic ketika dilihatnya Bayu berdiri di dekat pintu masuk. Dari pintu yang terbuat kaca sandblast1 terlihat hanya lampu di atas meja resepsionis yang menyala, pertanda baru Agus seorang yang datang pagi itu.
"Sudah lama?" tanya Jovita sambil menempelkan kartu identitas karyawan ke mesin pemindai. Kunci pintu terbuka setelah data dirinya teridentifikasi.
"Belum, kurang dari lima menit," jawab Bayu. "Ada kejadian apa yang membuatmu mau mengetahui perkembangannya?" Sejak dua hari yang lalu, ia sudah menyampaikan niatnya untuk memberikan bukti yang ditemukan. Namun, Jovita menolak untuk bertemu. Baru subuh tadi, perempuan itu menghubungi untuk melihat semua bukti.
Jovita mempersilakan Bayu duduk di depan meja kerjanya. "Maaf, Bay. Aku kemarin berusaha untuk memercayai penjelasan Ezra bahwa antara dia dan perempuan itu hanya teman, tapi semalam aku menemukan kondom di kantong celananya."
Jovita melangkahkan kaki dari garbarata¹ ke dalam kabin pesawat berbadan besar Airbus 300. Ia tersenyum pada dua flight attendant berpakaian biru tua dan ungu yang menyambut di dekat pintu masuk, lalu berjalan menuju tempat duduknya, nomor 7A kelas bisnis yang terletak dekat jendela. Setelah memasang sabuk pengaman, ia mengenakan headphone dan mencari musik yang cukup menenangkan di inflight entertainment. Berharap agar penumpang yang akan duduk di sebelahnya bukanlah orang yang menyebalkan sehingga ia dapat menikmati 6 jam 20 menit penerbangan menuju Melbourne dengan nyaman. Senyum masam tercipta di bibir Jovita, teringat pertemuannya dengan Ezra pertama kali di penerbangan dari Belanda menuju Indonesia. Jovita yang kala itu masih bekerja sebagai Public Relations Manager usai melakukan perjalanan dinas ke kantor pusat perusahaannya di Rotterdam. Sementara Ezra baru saja menyelesaikan kuliah paska sarjananya di Leiden University. Tidak sengaja bert
Jovita menghempaskan badan ke tempat tidur. Penat di tubuhnya baru terasa setelah padatnya aktivitas Jumat kemarin yang dilanjutkan dengan penerbangan Sabtu dini hari ini. Ditambah lagi kecamuk perasaan tidak menentu yang sering hinggap sejak perilaku kasar dan perselingkuhan Ezra membuat tubuhnya seolah tidak pernah dalam kondisi prima. Jovita meraih ponselnya, melihat penunjuk waktu. Pukul 3 sore di Melbourne, berarti pukul 12 siang di Jakarta. Ia menghubungi Ezra. Satu kali, tidak diangkat. Dicobanya lagi hingga tiga kali, tidak juga diangkat. Rasa curiga dan gelisah dengan cepat berkelindan. Segera diteleponnya Ima, pengasuh Vanya untuk mengetahui keberadaan suaminya di akhir pekan itu. "Halo, Ima," sapa Jovita begitu ponselnya tersambung. "Halo, Bu," jawab Ima. "Vanya di mana? Sedang apa?" "Saya dan Vanya sedang di rumah Oma. Itu Vanya sedang berenang bersama Opa," sahut Ima menjelaskan mereka sedang berada di rumah oran
Bayangan benda di sepanjang jalan yang dilewati oleh Jovita Minggu pagi itu sudah sama tinggi dengan bendanya saat ia berada dalam kereta menuju Belgrave. Belgrave terletak di Dandenong Ranges - yang merupakan paru-paru bagi Melbourne - berjarak sekitar 40 kilometer dari Central Business District (CBD) Melbourne dan dapat ditempuh dalam waktu satu jam menggunakan kereta. Hanya tinggal Jovita sendiri dalam gerbong saat kereta berhenti di stasiun Belgrave yang merupakan ujung dari layanan jalur timur. Hawa Belgrave yang cukup dingin langsung terasa menusuk tulang begitu ia melangkahkan kaki ke luar dari gerbong. Penanda suhu di stasiun memperlihatkan angka 8 derajat Celcius. Dirapatkannya jaket yang membalut tubuh dan bergegas berjalan ke luar. Jovita mempercepat langkahnya saat menapaki ramp¹ menuju jembatan yang merupakan jalan keluar dari stasiun Belgrave. Dari atas jembatan, dilihatnya Agnes baru turun dari mobil Skoda Kodiaq hitam. Ia mempercepat langkahnya.
Agnes membuka pintu teras, lalu mengajak Jovita duduk di beranda yang menghadap ke kebun bunga di samping rumahnya. Udara segar akan bagus untuk menenangkan hati sahabatnya. "Apa yang harus kulakukan, Nes?" Jovita memandang ke depan dengan tatapan kosong, menyiratkan keputusasaan. "Sebelum memikirkan apa yang harus kamu lakukan, ada beberapa hal yang perlu kamu yakini terlebih dahulu. Ini sangat penting untuk membantumu menyiapkan langkah. Pertama, kamu bukan penyebab perlakuan buruk Ezra dan kamu tidak bisa disalahkan atas tindakan yang diambilnya. Apa pun alasannya, semua murni keputusan Ezra untuk berselingkuh dan juga melakukan tindak kekerasan kepadamu. Ini yang sangat mendasar. Banyak korban yang sulit melangkah ke luar karena merasa dirinya turut berkontribusi pada perilaku pasangan," papar Agnes. Jovita mengembuskan napas dengan berat. "Aku sudah sempat berpikir seperti itu, bahwa Ezra menjadi kasar karena ulahku. Aku menjadi sangat berhati-hati bersi
Dengan masih menahan sedikit nyeri di kaki, Jovita memasuki Dock 37 Bar & Kitchen di hotel Pan Pacific yang diinapinya untuk menikmati sarapan. Ia melirik arloji, belum jam 7 pagi, tapi restoran sudah cukup ramai. Tampaknya berbagai kegiatan seminar di Melbourne Convention & Exhibition Center (MCEC) menyebabkan okupansi hotel ini juga meningkat. Kepalanya menoleh ke kanan kiri mencari meja yang kosong. "Kamu bisa duduk di sini jika tidak ada tempat kosong," ujar seorang pria yang duduk persis di samping posisinya berdiri. Jovita menoleh, dahinya berkerut. Penampilan Joseph berbeda dengan dua hari kemarin. Jauh lebih rapi sehingga membuatnya nyaris tidak mengenali pria itu walaupun tadi sempat melihat ke arahnya sekilas. "Terima kasih, maaf aku tidak melihatmu barusan," sahutnya sedikit berbohong sambil meletakkan tas di atas meja. "Bagaimana kakimu?" tanya Joseph lalu menyeruput kopinya. "Jauh lebih baik. Terima kasih,"jawab Jovita. Ia kemudia
Jarum di arlojinya menunjukkan pukul 4 sore saat Jovita selesai berbincang untuk melakukan pendekatan dengan salah satu penulis ternama Personal Branding. Sesi seminar di dalam ruangan sudah separuh jalan, membuatnya sungkan untuk masuk. Ia pun memutuskan untuk keluar dari area MCEC, mencari udara segar di pinggir sungai Yarra. Bangku panjang di South Wharf Promenade pinggir sungai Yarra menjadi pilihan Jovita untuk beristirahat. Hasil terjemahan puisi dari Amelia telah masuk. Ia pun mempersiapkan langkah selanjutnya. Dear Amelia, Terima kasih banyak atas terjemahan puisinya, kekasih saya sangat senang, dia bilang puitis sekali. Katanya puisi ini mampu mengobati kerinduannya karena sudah sebulan kami tidak bisa berjumpa. Kebahagiaan ini tentu tidak akan saya dapatkan tanpa bantuanmu. Terima kasih banyak. Salam,Lydia Jovita membaca ulang konsep surat balasannya, lalu mengirim ke Amelia. Ia harus
Tiiing! Suara nyaring berbunyi yang kemudian diikuti oleh terbukanya pintu lift di lantai 6. Tiga orang telah berada di dalam lift tersebut, dua wanita kaukasia paruh baya dan seorang pria berjas. Joseph. "Morning." Jovita melangkah masuk ke dalam lift seraya mengukir senyum di heart-shaped lips-nya. Dua wanita tersebut membalas sapaan Jovita. Joseph tidak berespons. "Hi, Joe," sapa Jovita khusus untuk pria yang tidak mau membalas tegurannya barusan. "Hi," balas Joseph datar. Dalam hati ia menerka sebentar lagi perempuan ini pasti akan memulai b**a-basinya. "Di lantai berapa kamu menginap?" Jovita membuka percakapan. Joseph tersenyum, dugaannya tidak meleset. "Delapan," jawabnya singkat. Dalam hati kembali menebak, pasti perempuan ini akan melanjutkan dengan pembicaraan tentang seminarnya kemarin. "Sepertinya presentasimu kemarin sukses," sanjung Jovita. Senyum Joseph kian lebar, pred
Penampilan Melissa Benson - seorang pembicara dari Australia yang inspiratif - di panggung Goldfields Theater memukau Jovita. Perempuan kelahiran Arizona, Amerika itu kehilangan penglihatan di awal usia 20 tahun, sehingga terpaksa mengerahkan segenap potensi diri untuk menghadapi tantangan hidup. Berbagai upaya luar biasa telah dikerahkannya hingga akhirnya ia bisa menularkan optimisme bagi banyak orang seperti sekarang ini. Ponsel Jovita bergetar, sebuah pesan masuk. Ia hanya melirik untuk mengetahui asal pengirim karena tidak ingin fokusnya terganggu. Sejak tadi, ia memilih untuk mengabaikan semua pesan. Namun, begitu dilihatnya pengirim pesan adalah Bayu, ia tak bisa menahan diri untuk langsung membukanya. Ezra kemarin datang ke unit Amelia jam setengah dua siang. Isi pesan dari Bayu. Konsentrasi Jovita buyar seketika. Itu berarti selang beberapa saat setelah ia menelepon Ezra yang mengaku hendak masuk ruang sidang. Suaminya jelas-jelas berbohong.