Freya tidak kuasa menahan tawanya. Ia sama sekali tidak menyangka jika sahabatnya yang cantik itu diberikan julukan ‘Perempuan Alien’ oleh mantan calon suaminya. Laura tertegun memandang Freya yang masih tergolek lemas memegangi perutnya yang mendadak kram akibat terlalu banyak tertawa. Pertemuan Laura dengan Abraham waktu lalu meninggalkan kesan mendalam untuknya. Laura benar-benar tidak menyangka jika dokter tampan itu ada di tempat kejadian. Entah disengaja atau tidak.
“Sumpah deh, La. Aku jadi penasaran seperti apa sosok Dokter Abraham itu. Kocak banget Dokter satu itu. Apa dia ganteng? Kenapa dari sekian ribu kata yang ada di dunia ini harus alien yang dia pilih sih? Pasti masa kecilnya dulu kurang bahagia,” cetus Freya lagi setelah mengatur napasnya. “Pasti dia juga tipe laki-laki kanebo. Iya, kan?”
Laura mengangkat bahu lalu ikut bergabung dengan Freya di sofabed. “Nggak tahu ah. Aku nggak tertarik sama dia. Dia memang tampan, tapi dia bukan tipeku.”
“Tapi aku merasa kok kalian cocok. Kadang-kadang yang nggak sesuai sama tipe justru yang malah naik pelaminan, La. Ketimbang Si Gavin yang plin-plan itu.”
Laura bungkam untuk beberapa waktu. “FYI, aku juga sempat ketemu Gavin kemarin, Frey. Dia memintaku kembali.”
“Terus? Kamu mau?” tanya Freya penasaran. “Ya kalau dia berubah pikiran dan mau mikir masa depan, kenapa nggak. Semua orang juga butuh proses,” tambah Freya lagi.
“Gila kamu!” sahut Laura. “Susah-susah aku lepas dari Gavin masa mau mengulanginya lagi? Aku nggak sebodoh itu kali.”
Freya mengubah posisi duduknya lalu menarik bantal yang sedari tadi berada dalam pelukan Laura. Laura tertegun atas tindakannya itu. “Kayaknya aku harus syukuran buat merayakan semua ini. Untuk pertama kalinya seorang Laura Wilona memakai otaknya untuk berpikir.”
“Sialan!!” tukas Laura penuh tawa lalu melempari bantal yang tidak berpenghuni ke arah Freya membuat sahabatnya itu berulang kali menghindar dari serangannya. “Kalau di resto Padang, gimana? Aku traktir. Sudah lama juga nih nggak makan jeroan dkk,” usul Laura.
“Ok, deal di sana ya.”
Sewaktu kuliah, Laura dan Freya memang sering sekali makan siang di restoran Padang. Ada satu restoran Padang enak yang selalu ramai saat jam-jam makan siang. Mayoritas pembeli tentu saja mahasiswa-mahasiswa kelaparan yang tidak sempat bangun pagi untuk sarapan. Apalagi harganya yang ramah kantong pelajar semakin membuat restoran Padang ketika itu menjadi primadonanya anak satu kampus, tanpa terkecuali Laura dan Freya. Mereka berdua mana ingat timbangan kalau sudah makan di sana.
“Hei ....”
Tepukan lembut membuat Freya menoleh. Sosok laki-laki tampan dengan kaos oblong hitam menghampiri meja mereka berdua.
“Dokter Galileo, kan?” Laki-laki tanpa snelli itu mengangguk dengan gigi putihnya.
“Kamu kenal, La?” sahut Freya heran.
“Aduh jelas dong, Frey. Dia dokter yang menangani behel gigiku. Kok kamu bisa kenal?”
“Mas Gale ini kakak sepupuku dari pihak Papa.”
“Betul.” Galileo menengahi. “Aku ke sini bareng teman, tapi biar dia kusuruh pulang duluan deh. Tunggu sebentar ya!”
Laura mengangguk kemudian melesatlah Galileo menjauh. Tak sampai lama Galileo pun ikut bergabung di meja Laura dan Freya.
“Bisa kebetulan gini ya, La. Kamu teman sepupuku. Eh, nggak apa-apa kan aku panggil gitu?”
Laura mengangguk lagi. “Nggak apa-apa kok. Btw, yang sama Dok ... eh, Mas Gale itu Clara bukan sih?”
Mata Galileo membulat. “Loh, kamu kenal Clara juga?”
“Kita bertiga satu kantor, Mas,” sahut Freya menyela. “Jangan bilang kalau kalian pacaran?”
Galileo terbahak. “Kita belum sampai ke tahap itu sih. Aku juga baru beberapa kali clubbing bareng sama dia.”
“Mas, kamu itu dokter. Mana ada sih dokter mainnya ke club. Jaga sedikit dong reputasimu itu.”
“Dokter juga manusia, butuh refreshing juga. Yang penting aku pulang dalam keadaan sadar. Nggak perlu bawa-bawa soal reputasi lah. Mirip Abe kamu lama-lama.”
“Abe siapa? Kenal saja nggak.”
“Abe ya Abraham. Tuh yang mau dijodohkan sama Laura. Memangnya ada Abraham lain?”
Freya berganti pandang ke arah Laura. “Jadi yang mau dijodohkan sama kamu itu Abraham Wibisana, dokter gigi tampan yang terkenal sulit didekati itu? Kok aku baru ngeh sekarang.”
“Ya aku mana tahu kalau kamu kenal sama dia. Harusnya aku dong yang kaget,” sahut Laura tidak mau kalah. Obrolan tentang Abraham pun dimulai. Di depan Laura, Galileo membuka semua kartu mengenai Abraham. Abraham inilah, Abraham itulah, dan bla bla bla. Sungguh luwes sekali Galileo ketika mempromosikannya. Laura hanya bisa mengangguk mengiyakan. Mendadak ia menjadi hilang selera menghabiskan sepiring nasi rendang di depannya. “Jadi alasannya itu Mas Gale mengubah jadwal kontrol kemarin?” tanya Laura disela-sela celoteh Galileo.
“Maaf ya tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Abe yang memaksa.”
“Tapi memangnya boleh ya? Setahuku beda dokter jelas beda tangan. Gigiku nggak apa-apa nih!”
“Nggak apa-apa, kok. Justru Abe itu pakarnya orthodontist jika dibandingkan denganku. Tapi bukan berati aku nggak kompeten loh ya walaupun hanya dokter gigi biasa. Yang kemarin hanya kasus khusus dan menyalahi kode etik dokter. Untuk selanjutnya kamu tetap kontrol denganku seperti biasanya. Atau jangan-jangan kamu mulai meragukanku ya, La?”
Laura menggeleng. “Nggak gitu. Aku tahu Mas Gale justru dari review orang-orang. Lagipula aku juga kurang nyaman sama dia.”
“Loh, kenapa? Ganteng kayak gitu. Bisa sekalian cuci matalah.” Freya ikut ambil bagian yang langsung dibalas anggukan Galileo. “Kalau andaikata dari dulu aku tahu Abraham yang kamu maksud adalah Mas Abe jelas aku dukung. Dia baik loh, La. Cuma agak sedikit kaku.”
“Sekarang kamu malah plin-plan ya. Ilmu Gavin kamu serap juga ternyata.”
Freya berdecak. “Bukan begitu. Aku bilang gini ya memang benar orangnya baik.”
“Baik menurut kamu bukan berarti baik buatku, kan?” Dulu Laura pernah berkata seperti itu pada Mama, dan sekarang ia mengulangi hal yang sama pada sahabatnya. Laura kesal minta ampun. Selalu saja mengaitkan topik apapun dengan Abraham. Selalu saja nama Abraham menjadi trending teratas. Mau setampan atau sebaik apapun, keputusan Laura masih tetap. Ia tidak tertarik. Ia tidak tertarik dengan laki-laki bernama Abraham. Paling tidak untuk saat ini.
***
Siang itu Galileo pamit lebih dulu. Tapi sebelumnya laki-laki itu sempat mengundang mereka ke pestanya nanti malam. Laura pun mengiyakannya. Padahal Laura sendiri tidak tahu pesta seperti apa yang akan dihadirinya itu. Sampainya di sana, Laura dan Freya tertegun sejenak. Pesta tak bertujuan itu berlangsung intimate. Tidak banyak orang yang diundang, tapi tentu alkohol di mana-mana. Laura merasa salah tempat datang kemari. Galileo datang mendekat saat Freya memanggilnya lantang.
“Ini acara apa sih?” celetuk Freya tanpa basa basi. “Benar-benar deh kamu, Mas. Kalau polisi datang gimana?”
Galileo tertawa. “Tenang saja, Frey. Kadar alkohol di sini dibawah standar kok. Lagipula ini acaraku yang terakhir. Hitung-hitung perpisahan.”
“Lho, kamu mau ke mana, Mas?” Freya balas bertanya.
“Nggak ke mana-mana. Sudah umur juga. Nggak pantes saja,” jawab Galileo. “Kalian pesan saja minuman yang disuka. Nggak semuanya alkohol kok. Aku tinggal ya.”
Lepas kepergian Galileo, Laura bersama Freya duduk di meja paling pojok. Meja yang selalu dihuni oleh geng yang tidak ingin tampil mencolok. Meskipun mereka berdua pernah pergi ke club, tetap saja berada di tempat seperti ini sangatlah tidak nyaman. Perempuan baik-baik itu memang tidak pantas berada di sini terlalu lama, setidaknya itu yang Laura pikirkan. Untung saja makanan yang disuguhkan di sini benar-benar enak. Membuat Laura dan Freya lupa sejenak.
“Laura ....”
Mimpi apa laura semalam. Selepas keluar dari toilet seseorang sangat familar menyapanya. Baru saja kemarin ia bertemu dengan Gavin, sekarang laki-laki itu malah muncul kembali di depannya. Senyum menawan Gavin menghiasi wajah tampannya. Laki-laki itu mendekatinya tanpa memberikan jeda untuk Laura menghindar.
Gavin menggenggam tangan Laura erat. “Kita ketemu lagi,” katanya. “Kamu ngapain di sini? Sama siapa? Sendirian?”
“Harusnya aku yang tanya itu ke kamu. Kamu membuntutiku?” tembak Laura to the point.
Gavin menggeleng. “Pengelola cafe ini adalah keluargaku. Dan kebetulan yang menghandle salah satu acara di sini adalah aku.”
“Ooh ....” jawab Laura ber-oo ria. Kemudian tanpa permisi yang bersangkutan Gavin dengan seenaknya membawa Laura menjauh dari area toilet. Dengan tangan yang masih digenggam Laura dituntun ke sebuah jembatan buatan dengan ikan koi dibawahnya. Suara gemericik air terjun buatan meningkatkan suasana yang tenang di antara mereka. Tatapan Gavin padanya mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang tersirat di sana.
“Aku kangen kamu, La. Kangen banget.”
Lalu? Batin Laura.
“Mama dan Papa menyayangkan kita udahan. Termasuk juga aku.”
Terus? Batin Laura.
“Ayo kita menikah!”
“APAA ... ?!?” Laura meninggikan nada suaranya. Ingin rasanya ia menampar laki-laki ini sekarang juga. “Maksud kamu apa ngomong kayak gitu?”
“Kita putus karena masalah ini, kan. Kalau gitu ayo! Kita nikah. Kita nikah seperti yang kamu mau. Ayo kita tentukan kapan orangtuaku ke rumahmu. Kita—”
Ada keterkejutan di mata laki-laki di depannya ketika Laura mendaratkan tamparan pedas dipipi. Tentu saja Gavin tidak bisa menyembunyikan rasa keterkejutannya. Apalagi ini adalah pertama kali dalam sejarah petualangannya dipermalukan oleh perempuan. Dan perempuan itu adalah orang yang saat ini ia bujuk untuk kembali.
“Kamu memang nggak pernah mengerti, Gavin. Kamu keterlaluan. Kamu kira aku ini apa?!”
Laura juga tak kalah menggeram dengan tangannya yang mengepal. Ia marah. Benar-benar marah. “Aku memang ingin menikah, tapi yang jelas nggak sama kamu.”
“Tapi kamu kan yang mengajakku lebih dulu?” Gavin menambahkan. “Mau kamu gimana sih sebenarnya?”
“Nggak gimana-gimana. Yang jelas aku menyesal pernah mengajakmu.”
Sakitnya hati Laura tidak sebanding dengan sakitnya tangan yang ia gunakan saat menampar Gavin. Kebodohan yang selama ini selalu ia pertahankan membawanya pada rasa sakit yang kian menyesakkan. Rasa cintanya pada Gavin hilang bersamaan dengan hilangnya keyakinan Laura pada laki-laki itu. Gavin yang dulunya sangat ia puja yang bahkan selalu ada jika Laura butuh, ternyata tidak lebih dari seorang laki-laki brengsek. Laura tidak sudi menoleh ketika namanya dipanggil. Suara yang dulu selalu terdengar merdu di telinga, mendadak membuat gendang telinganya sakit. Tiba-tiba saja Laura melihat Abraham dalam radius pandangnya. Kehadiran laki-laki itu sedikit membuatnya lega.
“Mas Abe ....” panggilnya lantang.
Laki-laki itu menoleh dan memasang wajah terkejut saat Laura tiba-tiba menghambur dalam pelukannya. Tangis Laura tiba-tiba tumpah tanpa bisa ia cegah. Laura membenamkan wajah sedalam mungkin dalam balutan kaos putih dibalik jas kasual yang dikenakan Abraham.
“Anda siapa?” tanya Gavin dengan nada bicaranya yang tidak bersahabat. “Bukan sekali ini saja kita bertemu sepertinya. Ah, di cafe waktu itu juga.”
“Saya—”
“Kalau Anda bukan siapa-siapanya, tolong jangan ikut campur.” Gavin menarik paksa tangan Laura agar ia mau ikut bersamanya, tapi buru-buru Abraham mencegahnya.
“Anda laki-laki tulen, kan? Tolong jangan main kasar sama perempuan.”
“Tapi dia pacar saya.”
“Mantan ....” kata Laura menyela. Laura mengusap sisa-sisa airmata dipipi. Tatapan matanya menatap ke manik mata Abraham sekilas sebelum mengalihkannya pada laki-laki satunya.
“Kamu hanya orang yang pernah singgah, Gavin. Kita sudah selesai, dan kamu sudah nggak ada hak menyeretku ke mana-mana. Dan satu lagi, aku akan menikah dalam waktu dekat.”
Gavin tertegun. Seringai senyum menghiasi wajahnya. “Jangan ngaco. Kamu mau menikah sama siapa? Kita putus juga belum ada tiga bulan. Kamu pikir mencari pasangan gampang?”
“Mas Abe ini calon suamiku.”
Gavin tertegun, begitu pula Abraham. “B-Buktinya apa? Bukankah dia cuma laki-laki random yang asal kamu tarik saja?”
Laki-laki random? Sialan, batin Laura.
Dengan keberanian yang entah didapatnya dari mana, Laura menangkup kedua pipi laki-laki yang sedari tadi masih setia memegang pundaknya. Abraham menaikkan satu alisnya tanda jika laki-laki itu menunggu penjelasan darinya. Laura tidak berkata apa-apa selain mengganti semuanya dengan sentuhan lembut bibirnya di atas bibir Abraham. Laki-laki itu terbelalak dengan mata terbuka. Padahal pertemuan di antara dua bibir itu berlangsung cukup ringan dan tidak menuntut. Harusnya tidak akan meninggalkan kesan apa-apa. Ya, harusnya seperti itu. Namun Laura merasakan lain. Bibir yang menyentuh bibirnya itu ternyata cukup hangat. Ia bahkan ingin merasakannya lagi. Keinginan liar di dalam diri Laura terbangun tanpa bisa ia tahan.
Abraham menatap dalam diam ke pusara yang penuh dengan taburan bunga. Abraham masih tidak percaya jika perempuan yang dulu pernah memenuhi hatinya itu akan tertidur di sana dengan begitu cepat. Kita tidak bisa memprediksi umur manusia dan Abraham tentu saja tahu itu sejak lama. Meskipun tahun telah berganti, namun rasa tidak percaya itu masih membekas dihatinya. Perempuan itu amat sangat berarti dihatinya dan akan selalu menempati tempat khusus dihatinya. Tidak peduli apa yang dulu perempuan itu lakukan padanya, Abraham tetap akan selalu mengingat perempuan itu. Oliver menepuk pundaknya perlahan—membawanya kembali pada kenyataan di depannya. “Ayah, ayo kita pulang!” ajak Oliver dengan tangan yang penuh dengan keranjang bunga. “Sudah selesai kirim doanya? Ayah bisa kok menunggu sedikit lebih lama,” tukas Abraham. Oliver menggeleng. “Sudah cukup, nanti Oliver bisa melanjutkannya di rumah.” “Yakin? Nanti Bunda kira Ayah yang nggak sabaran ingin c
Begitu tahu istrinya tengah berbadan dua lagi, Abraham kembali mengaktifkan mode posesif pada dirinya sekali lagi. Semua anggota keluarga dilibatkan olehnya sampai-sampai membuat Laura geleng-geleng kepala. Bagi Laura, kewaspadaan Abraham saja sudah cukup tidak perlu sampai merepotkan anggota keluarga lainnya segala. Tapi Laura seakan lupa kalau perkataan Abraham tidak ada bedanya dari sebuah perintah dari Hitler yang artinya adalah mutlak. Tidak boleh melakukan ini dan itu, tidak boleh ke sana dan kemari selain untuk keperluan ke kamar mandi. Laura jadi teringat bagaimana obrolan random namun berakhir dengan kekesalan saat Abraham membalas sindirannya. “Begini ibaratnya kalau Mas di rumah terus pasti bahkan ke kamar mandi pun aku digendong ala tuan putri. Lebay banget sih aku!” “Kamu ingin aku melakukan itu? Ok, mulai besok aku akan membawa pekerjaanku ke rumah lagi untuk mengabulkan permintaanmu itu. No worry, Sweetheart. I’ll do it for you!” See? Sindiran
Hampir setiap pagi kediaman Laura gaduh setiap harinya. Dua bayi besarnya sama-sama tidak membantu pekerjaannya sama sekali. Oliver yang tidak kunjung mau beranjak dari tempatnya sungguh memancing emosi Laura. “Oliver, stop bermain dengan Si Kembar. Cepat mandi katanya kemarin ada piket kelas.” Putra sulung Laura itu benar-benar memanfaatkan waktu luangnya untuk menyempatkan diri bermain dengan Si Kembar di dalam boks mereka. Mulanya Laura tersentuh, tapi setelah tahu Oliver menjadi terlambat ke sekolah karenanya, Laura benar-benar mencegahnya. Tapi tetap saja anak itu bersikap acuh dengan panggilannya. “Oliver, tolong dengarkan Bunda, Nak. Nanti kamu terlambat datang ke sekolah.” “Oliver—” Satu kata dari Abraham langsung membuat Oliver menurut kemudian keluar dari kamar Laura menuju kamar mandi. Masih untung Abraham bisa membantu menghandle anak itu meskipun mereka berdua sering terlibat argumen tidak penting di lain kesempatan. Lain Oliver l
Tiga tahun kemudian … Tidak ada kebahagiaan yang kekal bagi Laura dan Abraham selain berkumpul bersama dengan keluarga. Baginya keluarga lebih dari segalanya. Berada di antara empat laki-laki benar-benar menguras tenaganya. Laura menemukan lagi satu sifat Oliver yaitu keras kepala. Terlalu keras kepala malahan. Oliver akan tetap keukeuh dengan pendirian serta kemauannya meski harus beradu argumen dengan lawan bicaranya. Laura terkadang harus menyerah karena salah satu sifatnya itu. Pembawaannya yang mendadak berubah dewasa, ditambah tubuh jangkungnya yang melebihi teman sebayanya, tidak akan ada yang percaya jika usia anak itu belum genap sepuluh tahun. Mendadak Laura merindukan Oliver yang dulu. Rasanya waktu berlalu sangat begitu cepat. Laura menghampiri Si Kembar. Dua jagoan yang beberapa bulan ini sedang aktif menjelajahi rumah benar-benar tidak bisa jauh dari jangkauan dan pengawasannya. Untuk itu kehadiran Mbak Omas ditengah-tengah keluarga kecilnya sangat memb
Satu bulan adalah masa percobaan yang Laura dan Abraham sepakati bersama untuk Oliver. Jika selama itu malah memperburuk keadaan Oliver, maka dengan terpaksa home schooling adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasinya. Atau dengan kata lain mereka diminta menyerah dan menerima semua kekurangan Oliver.Satu minggu pertama di sekolah. Oliver masih tidak menunjukkan respon apapun saat ditanya dalam hal pelajaran. Tapi anehnya setiap kali diminta mengerjakan soal di depan papan tulis, Oliver dapat dengan mudah menyelesaikannya dengan baik. Terlalu baik malah. Yang berarti putranya itu anak yang pintar, kan? Paling tidak itu yang telah Laura ketahui darinya. Jika tidak terlampau sibuk Laura dan Abraham akan datang bergantian melihat kegiatan apa saja yang dilakukan Oliver selama di sekolah. Nihil. Oliver hampir tidak melakukan apapun kalau bukan gurunya yang meminta. Soal pertemanan jangan ditanya. Jelas belum ada teman disekitaran Oliver. Berdiri ditengah kelas saat perten
Satu minggu pasca kedatangan Oliver di rumah. Mendadak rumah yang biasanya sepi menjadi ramai tak terkendali. Papa dan Mama Laura semakin sering singgah ke rumahnya dengan dalih menengok cucu. Oliver yang pemalu menjadi lebih berani mengutarakan keinginannya meski harus menggunakan bahasa tulisan. Oliver sering kali memberi selembar kertas bertuliskan kata ‘Bunda’ pada Laura. Sungguh kalau mata ini bukanlah ciptaan Sang Pemilik Semesta, pasti cairan bening ini sudah bolak-balik turun dengan derasnya. Laura merengkuh laki-laki kecil di depannya dengan sayang. Sejenak ia mengumpat dalam hati. Di mana otak Alana sampai hati meninggalkan anak tidak berdosa sendirian di dunia ini.“Iya, Sayang. Oliver juga boleh kok panggil Tante Bunda,” kata Laura tanpa mau melepaskan pelukannya.Bahu yang Laura peluk benar-benar kecil. Jadi bagaimana mungkin sanggup mengarungi dunia luar yang kejam sendirian.“Oliver senang tinggal di sini sama, Bunda?