Share

3 | Cibiran Pedas

Irana duduk di kasur menemani Rara. Terakhir bertemu, Rara masih mengenakan seragam SMA. Dikira putrinya akan pulang dengan seragam penuh coretan untuk merayakan kelulusan. Walau bukan contoh yang baik, setidaknya itu jauh lebih baik di mata Irana ketimbang memberikan kabar bahwa Rara hamil. Abimanyu, pria yang waktu itu datang ke rumah Rara, langsung mendapatkan tamparan. Irana pelakunya. Sementara Dio hanya mampu diam seraya menelan kekecewaan besar.

Waktu berjalan terlampau cepat bagi keluarga Wijaya. Putri dari Irana kini sudah memiliki putri kecilnya sendiri. Mereka sempat canggung sebelum Rara menyerahkan bayinya untuk digendong Irana. Dapat terlihat mata Irana penuh genangan air mata.

"Mama udah jadi nenek, Ra." Tutur Irana, terpikat. Cantik, persis Rara sewaktu bayi. "Udah dikasih nama belum?"

Rara menggeleng, "Belum, Ma."

"Abi gimana? Udah punya referensi nama?" Irana menoleh kepada menantunya. Sedari tadi Abi berdiri bersama Dio. Mereka tidak bicara satu sama lain. Jujur saja Irana belum sepenuhnya memaafkan perbuatan Abi kepada Rara, tapi akan Irana coba.

"Sama, Bu. Belum. Nanti saya akan rundingkan lagi dengan Rara." Jawab Abi.

"Kalau bisa segera. Biar cepat didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil untuk dibuatkan akta lahir."

Selanjutnya giliran Dio yang berbicara, "Papa akan pindahkan kamu ke ruang VIP. Di sini terlalu berisik. Nggak bagus buat kamu."

"Pa..." Rara bersuara tidak suka, dan Abi hanya bisa termenung menatap lantai. Dia sudah hapal betul jika Abi akan bereaksi demikian. Memang Abi memilih kelas 2, dan ada satu keluarga lain di kamar ini, tapi sungguh Rara baik-baik saja. Terlebih dia paham, biaya persalinan caesar cukup mahal. Rara tidak mau membebani suaminya lebih jauh lagi.

"Dan kamu ikut saya keluar." Kata Dio tegas. Abimanyu pun berjalan mengikuti. Mereka berbicara di luar kamar Rara, mengamati hari yang sudah gelap. "Rokok?"

"Saya sudah berhenti merokok, Pak. Terima kasih."

"Tapi tidak bisa menghentikan nafsu dan menghamili anak saya, begitu?" Sindir Dio.

Kerongkongan Abi tentu tercekat. "M-maaf, Pak."

Satu pack rokok yang dibawa Dio dikembalikan ke saku celananya. Dio juga tidak merokok. Dia sebatas ingin tahu Abi bagaimana. Watak, sikap, dan lain sebagainya. Dan Dio dari kemarin sudah mengerti sedikit bahwa menantunya ini kurang suka dianggap remeh atau istilahnya egonya besar.

"Ini untuk biaya operasi caesar Rara." Dio memberikan satu lembar cek dengan nominal nol yang banyak. Abi bersiap menolak (lagi). "Saya tidak memberi secara cuma-cuma. Kamu harus membayar kembali uang ini. Kamu berhutang kepada saya." Jelas Dio. Ini satu-satunya cara agar Abi berkenan menerima uluran Dio.

"Tapi, Pak..."

"Saya paham Rara sudah bukan tanggungjawab saya lagi. Anggap ini untuk cucu pertama saya. Saya bukan hanya Ayah dari Rara saja sekarang, melainkan juga seorang Kakek."

Abi terlihat menimbang-nimbang. Walau keenggananlah yang dirasa lebih besar.

"Tapi ada satu syarat, Pak. Ini akan jadi bantuan pertama dan terakhir. Setelahnya saya akan menghidupi Rara dan cucu Bapak dengan cara saya sendiri. Dan saya pastikan akan segera melunasi hutang ini."

Penilaian Dio memang benar adanya. Egois seorang Abimanyu itu besar.

*****

Ibu Abimanyu bernama Tia Yuliawati. Tia berangkat subuh bersama ipar-ipar Abimanyu yang kebetulan menetap di Bandung. Mereka menaiki dua rombongan mobil dan tiba di rumah sakit pukul 9 pagi. Iring-iringan mereka membawa buah tangan beserta omongan yang pedas, seperti:

"Ai istri kamu kunaon lahiranna caesar?" (Istri kamu kenapa lahirannya caesar)

"Dia kurang ngeden, ya? Atau kurang iman?"

"Larasati, kamu harusnya banyak olahraga. Banyak gerak. Alhasil kami semua bisa melahirkan normal."

"Belum jadi Ibu sepenuhnya kalau belum lahiran secara normal. Leres kan, Bu?" (Benar kan, Bu?)

Hati Rara sakit bukan main mendengar semua kalimat-kalimat itu, terlebih yang terakhir. Luka Rara bahkan belum pulih benar karena operasi semalam, ini sudah harus menerima luka baru. Abimanyu menggenggam tangan Rara. Genggaman itupun terasa lebih kencang ketika Tia membenarkan pertanyaan nyeleneh dari salah satu Ipar Abi.

"Leres (benar). Perempuan jaman sekarang mah manja-manja. Jaman dulu mana ada sok yang namanya sesar."

"Ibu!" Abi memekik, yang langsung disambut gelengan kecil Rara. Rara tidak mau memperkeruh suasana, apalagi sampai ada pertengkaran keluarga. Ibu dan Ipar-Ipar Abi sudah jauh-jauh datang kemari, masa mereka harus berakhir dengan adu mulut. Lagipula niatan mereka baik, yaitu menjenguk Rara dan si kecil.

"Kenapa, Abi? Ibu bicara jujur apa adanya. Apalagi caesar teh mahal. Ibu cuma kasihan sama kamu."

"Abi udah ada uang. Ibu nggak perlu masalahin hal itu. Yang penting Rara dan si kecil sehat."

Kini kakak Ipar yang lain bersuara. "Larasati pas hamil suka ngaji nggak sih, Bi?"

Astagfirullah, apalagi sekarang? Batin Abi dongkol sekali. Dia tak bisa membayangkan sesedih apa perasaan istrinya. Terlebih selepas si kecil dikembalikan ke ruang bayi bersama suster, Rara cuma tersenyum tipis di atas kasur. Sesekali mengangguk atau menggeleng saja. Jika tahu akan begini, mana mungkin Abi izinkan pihak dari Bandung datang. Bukan menjenguk namanya, ini lebih ke menyakiti Rara secara mental.

"Saya sama Rara rajin ngaji." Abi langsung memberikan pembenaran.

"Bagus atuh. Selain nambah pahala, konon ngaji juga bagus biar bayi tenang. Tapi kenapa ya dia tetep nggak bisa lahiran normal?"

Rara pun menarik kesimpulan. Ini adalah salahnya yang tidak mampu melahirkan secara normal. Jadi apakah Rara tidak pantas disebut sebagai seorang Ibu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status