Share

5 | Tempat Baru, Petaka Baru

Abi menyewa sebuah rumah sederhana. Setelah dikalkulasi biaya rumah sakit Rara selama satu minggu, cek pinjaman dari Dio masih berlebih. Abi pun putuskan angkat kaki dari tempat kosan. Bukannya tidak boleh tiga anggota keluarga menempati kosan tersebut, Abi hanya ingin Rara lebih leluasa. Istri dan anaknya perlu tempat yang layak.

"Mas, barang dari kosan udah diangkut semua?"

Memakaikan baju untuk Airin, Rara bertanya. Abi mengusulkan nama Airin, dan Rara pun suka. Jadilah mereka sepakat menamai si kecil dengan Airin Humaira Wicaksono.

"Udah, Ra." Jawab Abi. Dirinya sedang memasukan pakaian Rara ke dalam tas. Rara sudah diperbolehkan pulang dan mereka tengah bersiap. Rencananya hari ini akan langsung menempati rumah baru.

"Kapan mas beres-beresnya? Cuti dari kantor kan cuma 3 hari, selebihnya mas kerja dan tiap malem nemenin aku di sini."

"Waktu Mama sama Airin bobo."

Apa sih Mama Mama segala? Bikin Rara geli sendiri, tapi harus diakui jantungnya berdebar cepat setiap kali Abi memanggilnya demikian. Rara dan Abi sudah resmi jadi Mama Papa. Uhuy.

Selesai dengan masalah packing, Abi mencolek pipi tembam Airin. Airin pun teriak kegirangan, terlebih ketika perut mungil itu dijatuhi ciuman bertubi-tubi. "Ohya, rumahnya belum sempet dicat ulang. Mas kemarin baru benerin plafon atap yang bocor sama ngecek pipa air. Gapapa kan, Ma?"

Tuh kan. Mama lagi. Bisa-bisa Rara pingsan di tempat.

"Gampang, nanti aku bantu. Ngecat doang mah aku bisa."

Rara bersama kesoktahuannya merasa senang bukan kepalang. Kontan Abi ikut berbunga hatinya. Ekspresi istrinya adalah hal yang paling mudah dibaca. Pada dasarnya Rara adalah tipe yang sulit menyembunyikan perasaan, jadi Abi dapat gampang menebak mood seorang Larasati Wijaya.

Tanpa angin tanpa hujan, Abi mencium bibir Rara. Rara awalnya berniat berontak, tapi begitu bibir pria itu menjajah area leher, pertahanannya sudah dipastikan lemah. Pun dia akhirnya mendesah tak karuan.

"Mas... aku baru lahiran satu minggu loh...."

"Terus kenapa? Mas kan cuma cium kamu." Abi nakal sekali. Dia menggigit leher istrinya berkali-kali, memberikan hisapan dan tangannya juga berlarian agresif di dada Rara. Ini Abi minta disentil ginjalnya apa bagaimana? Tidak kenal tempat sama sekali.

"Astagfirullah!" Jae yang baru membuka pintu kamar, otomatis berteriak. Menjadikan dua insan itu melepaskan diri diiringi gerak-gerik salah tingkah. Wajah Rara merah padam, lalu berpura-pura sibuk mengenakan Airin kaus kaki. Padahal kaus kaki itu sudah terpasang dari tadi. Beda lagi dengan Abi yang sok sibuk mencari benda tak kasat mata di bawah kasur. "Akhlakless banget kalian. Itu mata keponakan aing jadi nggak suci lagi."

"Kenapa, Jae? Kenapa kamu teriak-teriak?" Kemudian Irana muncul setelahnya.

"Mereka berdua lagi ngadi-ngadi, Ma."

Tolong nyawa Abi-Rara seperti mau lepas saja. Malu.

"Apa artinya?"

Si bungsu menghela napas. "Lupain, Ma. Cukup Jae sama Airin yang jadi saksi."

******

Serius, Rara jatuh hati dengan tempat tinggal pilihan Abi. Bukannya tidak bersyukur karena kemarin-kemarin tinggal di kosan. Tempat petak itu sama hangatnya dengan rumah ini. Hanya saja sekarang mereka mempunyai pekarangan depan. Pemilik rumah juga mengizinkan jika ada sesuatu yang ingin diubah. Rara kalau bosan bisa langsung bercocok tanam atau sebagainya. Sekarang itu masih jadi ide terpendam, belum terealisasikan karena belum bisa juga. Nanti dia akan buka youtube untuk mencari tahu.

Rara kini sedang menyusui Airin di kamar, sementara Abi tengah mandi. Semenjak siang tadi suaminya melakukan semua pekerjaan rumah seorang diri. Rara belum diperbolehkan turun tangan. Dia perlu pemulihan, terlebih lahiran caesar sendiri memakan waktu recovery yang cukup lama.

Ah, caesar.

Jika membahas itu Rara jadi sensitif. Dia teringat omongan dari pihak Abi dan praktis hatinya berdenyut nyeri. Dipandangi bulu mata lentik darah dagingnya yang tengah terpejam. Jari mungil itu Rara telusuri lembut. Sembilan bulan lamanya Airin betah di perut Rara. Kadang menendang aktif hingga perutnya mulas. Dan tak jarang juga Airin anteng ketika Rara sedang capek-capeknya. Airin memahami betul Mamanya.

Apa proses kelahiran mengambil peran sedemikian besar?

Padalah sama-sama berjuang.

Padahal sama-sama memiliki kesamaan resiko; hidup atau mati.

Lalu kenapa mereka mengatakan jika Rara tidak pantas disebut sebagai Ibu?

Apa yang salah dari Rara?

Apa karena Rara hamil duluan?

Tapi... itu pun bukan atas kemauan Rara.

"Ra? Kamu nangis?"

Entah sudah berapa lama Abi menyaksikannya dengan pandangan lekat. Jemari Rara dia arahkan ke wajahnya sendiri. Ah iya, basah. Sejak kapan dia menangis?

"Airin tadi ngegigit..." Bohong Rara. Tentu, Airin baru berusia satu minggu. Belum ada pergerakan berarti apalagi ada yang dinamakan gigi. Namun suara Rara melemah, dan mulai sesenggukkan.

Abimanyu lepaskan perlahan Airin dari jangkauan Rara. Airin dia selimuti, kemudian dibenahilah pakaian istrinya pada bagian atas. Pun Abi dengan sigap memeluk tubuh Rara. Istrinya menangis tertahan. Tanpa suara. Dan sungguh, Abi pilu mendengarnya

"Sakit, mas..." Lirih Rara.

Sesakit itu, kah?

"Gapapa, sayang. Tangisannya jangan ditahan."

Jadi berikutnya Rara bersembunyi di dada Abi. Tangisan yang sedari kemarin dia tahan, pecah. Sesudah Ibu dan Para Ipar Abi meninggalkan rumah sakit, Rara tak mengeluarkan setetes air matapun. Abi mengatakan apa yang diocehkan keluarganya jangan dimasukkan ke hati. Namun hati Rara terlanjur sakit. Mungkin tak masalah jika pernyataan nyeleneh datang dari mulut orang lain, tapi ini justru dari keluarga suaminya sendiri. Bagaimana bisa Rara menganggap itu sebagai angin lalu?

Abi memberikan secangkir teh hangat. Rara tak meminumnya dan justru penglihatannya menerawang tak tahu kemana.

"Masih sakit? Mau mas beliin salep?"

Rara menggeleng singkat, malah berucap, "Mas masih sayang aku?"

"Kenapa kamu nanya gitu? Mas sayang banget sama kamu, Ra. Sejak kamu duduk di ruang BK terus kamu bilang masih bingung mau kuliah di mana, mas udah suka kamu."

"Bohong. Mas kan sukanya sama si Ayu itu." Teringat sosok teman sekelasnya yang gemar masuk ruangan BK. Satu tujuan saja yaitu; ketemu Bapak Abimanyu Wicaksono.

"Ayu mana?"

"Yang suka sengaja pake rok pendek. Biar dia bisa genit sama kamu."

"Oh yang itu. Namanya Ayu?"

Rara memolototi Abi. Ingin menelan suaminya bulat-bulat. "Tuh kamu hapal. Naksir, kan?"

Rasanya Abi berniat mencubiti pipi Rara lantaran terlalu gemas. "Mas naksir satu perempuan aja, dan dia udah ngelahirin putri kecil yang namanya Airin."

Mendengar itu Rara terkesiap sesaat. Nampaknya jawaban Abi barusanlah yang ingin Rara dengar sedari tadi, tapi enggan untuk dia pertanyakan. "Walaupun aku ngelahirin Airin secara... caesar?"

Ya Tuhan, Rara sungguh kehilangan kepercayaan diri. Untuk menyebutkan kata sesederhana caesar saja dia sudah rendah diri duluan.

"Emang apanya yang beda? Kamu tetep Mamanya Airin, tetap istrinya Abimanyu. Nggak ada yang berubah. Mas sayang kamu, dan akan selalu seperti itu."

Di hati terdalam, Rara mendesah lega. Setidaknya suaminya tetap menganggapnya berharga. Abi menyayanginya.

"Ra? Mas mau ngomong. Kamu boleh nolak atau terima. Terserah kamu."

Perlahan Rara menarik diri guna memerhatikan wajah tampan suaminya. Baru sekejap dia merasa baikan, tiba-tiba sekarang di hadapkan dengan aura aneh. Perasaannya berubah tidak enak. "Umm apa, mas?"

"Ibuku mau nginep di sini satu minggu. Mau bantu-bantu kamu ngurusin Airin. Gimana? Boleh nggak?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status