Abi menyewa sebuah rumah sederhana. Setelah dikalkulasi biaya rumah sakit Rara selama satu minggu, cek pinjaman dari Dio masih berlebih. Abi pun putuskan angkat kaki dari tempat kosan. Bukannya tidak boleh tiga anggota keluarga menempati kosan tersebut, Abi hanya ingin Rara lebih leluasa. Istri dan anaknya perlu tempat yang layak.
"Mas, barang dari kosan udah diangkut semua?"
Memakaikan baju untuk Airin, Rara bertanya. Abi mengusulkan nama Airin, dan Rara pun suka. Jadilah mereka sepakat menamai si kecil dengan Airin Humaira Wicaksono.
"Udah, Ra." Jawab Abi. Dirinya sedang memasukan pakaian Rara ke dalam tas. Rara sudah diperbolehkan pulang dan mereka tengah bersiap. Rencananya hari ini akan langsung menempati rumah baru.
"Kapan mas beres-beresnya? Cuti dari kantor kan cuma 3 hari, selebihnya mas kerja dan tiap malem nemenin aku di sini."
"Waktu Mama sama Airin bobo."
Apa sih Mama Mama segala? Bikin Rara geli sendiri, tapi harus diakui jantungnya berdebar cepat setiap kali Abi memanggilnya demikian. Rara dan Abi sudah resmi jadi Mama Papa. Uhuy.
Selesai dengan masalah packing, Abi mencolek pipi tembam Airin. Airin pun teriak kegirangan, terlebih ketika perut mungil itu dijatuhi ciuman bertubi-tubi. "Ohya, rumahnya belum sempet dicat ulang. Mas kemarin baru benerin plafon atap yang bocor sama ngecek pipa air. Gapapa kan, Ma?"
Tuh kan. Mama lagi. Bisa-bisa Rara pingsan di tempat.
"Gampang, nanti aku bantu. Ngecat doang mah aku bisa."
Rara bersama kesoktahuannya merasa senang bukan kepalang. Kontan Abi ikut berbunga hatinya. Ekspresi istrinya adalah hal yang paling mudah dibaca. Pada dasarnya Rara adalah tipe yang sulit menyembunyikan perasaan, jadi Abi dapat gampang menebak mood seorang Larasati Wijaya.
Tanpa angin tanpa hujan, Abi mencium bibir Rara. Rara awalnya berniat berontak, tapi begitu bibir pria itu menjajah area leher, pertahanannya sudah dipastikan lemah. Pun dia akhirnya mendesah tak karuan.
"Mas... aku baru lahiran satu minggu loh...."
"Terus kenapa? Mas kan cuma cium kamu." Abi nakal sekali. Dia menggigit leher istrinya berkali-kali, memberikan hisapan dan tangannya juga berlarian agresif di dada Rara. Ini Abi minta disentil ginjalnya apa bagaimana? Tidak kenal tempat sama sekali.
"Astagfirullah!" Jae yang baru membuka pintu kamar, otomatis berteriak. Menjadikan dua insan itu melepaskan diri diiringi gerak-gerik salah tingkah. Wajah Rara merah padam, lalu berpura-pura sibuk mengenakan Airin kaus kaki. Padahal kaus kaki itu sudah terpasang dari tadi. Beda lagi dengan Abi yang sok sibuk mencari benda tak kasat mata di bawah kasur. "Akhlakless banget kalian. Itu mata keponakan aing jadi nggak suci lagi."
"Kenapa, Jae? Kenapa kamu teriak-teriak?" Kemudian Irana muncul setelahnya.
"Mereka berdua lagi ngadi-ngadi, Ma."
Tolong nyawa Abi-Rara seperti mau lepas saja. Malu.
"Apa artinya?"
Si bungsu menghela napas. "Lupain, Ma. Cukup Jae sama Airin yang jadi saksi."
******
Serius, Rara jatuh hati dengan tempat tinggal pilihan Abi. Bukannya tidak bersyukur karena kemarin-kemarin tinggal di kosan. Tempat petak itu sama hangatnya dengan rumah ini. Hanya saja sekarang mereka mempunyai pekarangan depan. Pemilik rumah juga mengizinkan jika ada sesuatu yang ingin diubah. Rara kalau bosan bisa langsung bercocok tanam atau sebagainya. Sekarang itu masih jadi ide terpendam, belum terealisasikan karena belum bisa juga. Nanti dia akan buka youtube untuk mencari tahu.
Rara kini sedang menyusui Airin di kamar, sementara Abi tengah mandi. Semenjak siang tadi suaminya melakukan semua pekerjaan rumah seorang diri. Rara belum diperbolehkan turun tangan. Dia perlu pemulihan, terlebih lahiran caesar sendiri memakan waktu recovery yang cukup lama.
Ah, caesar.
Jika membahas itu Rara jadi sensitif. Dia teringat omongan dari pihak Abi dan praktis hatinya berdenyut nyeri. Dipandangi bulu mata lentik darah dagingnya yang tengah terpejam. Jari mungil itu Rara telusuri lembut. Sembilan bulan lamanya Airin betah di perut Rara. Kadang menendang aktif hingga perutnya mulas. Dan tak jarang juga Airin anteng ketika Rara sedang capek-capeknya. Airin memahami betul Mamanya.
Apa proses kelahiran mengambil peran sedemikian besar?
Padalah sama-sama berjuang.
Padahal sama-sama memiliki kesamaan resiko; hidup atau mati.
Lalu kenapa mereka mengatakan jika Rara tidak pantas disebut sebagai Ibu?
Apa yang salah dari Rara?
Apa karena Rara hamil duluan?
Tapi... itu pun bukan atas kemauan Rara.
"Ra? Kamu nangis?"
Entah sudah berapa lama Abi menyaksikannya dengan pandangan lekat. Jemari Rara dia arahkan ke wajahnya sendiri. Ah iya, basah. Sejak kapan dia menangis?
"Airin tadi ngegigit..." Bohong Rara. Tentu, Airin baru berusia satu minggu. Belum ada pergerakan berarti apalagi ada yang dinamakan gigi. Namun suara Rara melemah, dan mulai sesenggukkan.
Abimanyu lepaskan perlahan Airin dari jangkauan Rara. Airin dia selimuti, kemudian dibenahilah pakaian istrinya pada bagian atas. Pun Abi dengan sigap memeluk tubuh Rara. Istrinya menangis tertahan. Tanpa suara. Dan sungguh, Abi pilu mendengarnya
"Sakit, mas..." Lirih Rara.
Sesakit itu, kah?
"Gapapa, sayang. Tangisannya jangan ditahan."
Jadi berikutnya Rara bersembunyi di dada Abi. Tangisan yang sedari kemarin dia tahan, pecah. Sesudah Ibu dan Para Ipar Abi meninggalkan rumah sakit, Rara tak mengeluarkan setetes air matapun. Abi mengatakan apa yang diocehkan keluarganya jangan dimasukkan ke hati. Namun hati Rara terlanjur sakit. Mungkin tak masalah jika pernyataan nyeleneh datang dari mulut orang lain, tapi ini justru dari keluarga suaminya sendiri. Bagaimana bisa Rara menganggap itu sebagai angin lalu?
Abi memberikan secangkir teh hangat. Rara tak meminumnya dan justru penglihatannya menerawang tak tahu kemana.
"Masih sakit? Mau mas beliin salep?"
Rara menggeleng singkat, malah berucap, "Mas masih sayang aku?"
"Kenapa kamu nanya gitu? Mas sayang banget sama kamu, Ra. Sejak kamu duduk di ruang BK terus kamu bilang masih bingung mau kuliah di mana, mas udah suka kamu."
"Bohong. Mas kan sukanya sama si Ayu itu." Teringat sosok teman sekelasnya yang gemar masuk ruangan BK. Satu tujuan saja yaitu; ketemu Bapak Abimanyu Wicaksono.
"Ayu mana?"
"Yang suka sengaja pake rok pendek. Biar dia bisa genit sama kamu."
"Oh yang itu. Namanya Ayu?"
Rara memolototi Abi. Ingin menelan suaminya bulat-bulat. "Tuh kamu hapal. Naksir, kan?"
Rasanya Abi berniat mencubiti pipi Rara lantaran terlalu gemas. "Mas naksir satu perempuan aja, dan dia udah ngelahirin putri kecil yang namanya Airin."
Mendengar itu Rara terkesiap sesaat. Nampaknya jawaban Abi barusanlah yang ingin Rara dengar sedari tadi, tapi enggan untuk dia pertanyakan. "Walaupun aku ngelahirin Airin secara... caesar?"
Ya Tuhan, Rara sungguh kehilangan kepercayaan diri. Untuk menyebutkan kata sesederhana caesar saja dia sudah rendah diri duluan.
"Emang apanya yang beda? Kamu tetep Mamanya Airin, tetap istrinya Abimanyu. Nggak ada yang berubah. Mas sayang kamu, dan akan selalu seperti itu."
Di hati terdalam, Rara mendesah lega. Setidaknya suaminya tetap menganggapnya berharga. Abi menyayanginya.
"Ra? Mas mau ngomong. Kamu boleh nolak atau terima. Terserah kamu."
Perlahan Rara menarik diri guna memerhatikan wajah tampan suaminya. Baru sekejap dia merasa baikan, tiba-tiba sekarang di hadapkan dengan aura aneh. Perasaannya berubah tidak enak. "Umm apa, mas?"
"Ibuku mau nginep di sini satu minggu. Mau bantu-bantu kamu ngurusin Airin. Gimana? Boleh nggak?"
"Jaitan lo gimana? Gue bayanginnya ngilu sendiri."Jasmine Putri, mengambil toples cookies dari ruang tamu dan langsung melahapnya. Satu-satunya teman dekat Rara ini datang berkunjung. Jasmine sudah mulai disibukan dengan dunia perkuliahan. Sejak dulu dia bercita-cita menjadi Diplomat untuk Inggris, biar gampang pedekate sama bule-bule British. Dan sekarang Jasmine berhasil masuk ke jurusan Hubungan Internasional di salah satu universitas swasta. Rara bangga dan... sedikit iri.Seperti apa sih rasanya berkuliah?"Udah lumayan kering, tapi masih sakit." Rara menyodorkan segelas sirup. "Lusa paling gue ke rumah sakit lagi buat lepas jaitan."Airin telelap di kasur yang sengaja digelar di ruang tengah. Ditutupi kelambu cantik be
Pagi pertama sejak kedatangan Tia, dan Larasati Wijaya sudah stres berat.Dia dibangunkan paksa oleh suara panci yang seperti sengaja dibuat beradu. Beruntung Airin yang tertidur di sampingnya tidak terusik. Tanpa mencuci muka apalagi sikat gigi, Rara bergegas ke arah dapur. Ada Tia di sana yang sedang mencuci piring sambil mendumel sendiri dalam bahasa daerah."Geus jam sakieu can wae hudang! Karunya pisan Abi boga istri kawas si Rara!" (Udah jam segini, tapi belum bangun juga! Kasian Abi punya istri kayak si Rara!)Bisa dipastikan Rara tidak paham apa artinya, namun dia sadar bahwa ibu mertuanya tengah marah. Apalagi namanya disebut-sebut, jelas ini bukan pertanda bagus."Maaf, Bu. Rara bangunnya telat." Hendak membuka pintu kulkas,
Rara bangun pukul 4 pagi. Dia tidur dengan perasaan tak tenang karena takut kesiangan. Perlahan Rara menaruh guling kecil di samping Airin. Walau Abi tidur disebelah Airin, suaminya masih lelap tertidur. Tentu saja, semalaman Abi mencari apotek yang masih buka untuk menyembuhkan alergi Rara. Abi tidak percaya dengan obat yang istrinya miliki, takutnya memiliki efek samping yang macam-macam. Jadi Abi dengan segenap usahanya mencari obat terbaik.Pun dikecuplah dahi Airin, lalu Abi.Rara berniat membuat sarapan dengan menu ikan bumbu acar kuning dan perkedel kentang. Agak keterlaluan memang berkutat di dapur sepagi ini, tapi inilah yang Rara lakukan sekarang. Handphonenya memutarkan video tutorial selagi dia menggigit bibir. Tak lupa dahinya dikerutkan. Dia ulang satu kali. Dua kali. Tiga kali.Nggg... kok agak ngeri?Oke, mari coba dulu.Di tengah geraknya yang terbatas akibat
Rara tidak mau bertindak implusif dengan melabrak atau semacamnya. Dia mencoba berpikiran positif, bahwa yang dilihatnya siang tadi adalah hal wajar. Pasalnya wanita itu mengenakan seragam kantor. Mereka pasti rekan kerja, dan buku yang dibeli oleh wanita itu sudah tentu untuk pria lain. Ya, tebakannya pasti benar. Penggemar karya Gibran Effendi sudah meluas dan bukan hanya Abi saja.Tapi... kenapa suaminya tadi harus sampai bohong saat Rara tanya sedang ada di mana? Jujur bisa, kan?"Mbak Rara, makasih loh. Si kecil nyemilin terus."Tetangga sebelah datang ke rumah guna mengembalikan wadah puding. Kemarin dia sengaja bikin banyak puding untuk bagi-bagi ke tetangga sekitar. Bagaimana pun juga Rara dan Abi adalah pendatang, dan lumayan sebagai tanda perkenalan biar ada silaturahmi."Kakaknya Mbak Rara mana, nih?" Tanya ibu itu sambil kepalanya celingak-celinguk ke dalam rumahnya.Hah? Kakak?
Satu bulan yang lalu Abimanyu dipecat dari kantor tempatnya bekerja. Pihak HRD transparan bilang mereka kurang nyaman dengan rumor yang beredar di lingkungan kantor. Mereka tahu dulu Abi adalah seorang guru yang menghamili salah satu murid didiknya. Memalukan, tapi Abi bisa apa. Ingin mengelak demi menghidupi Rara dan calon bayi mereka pun tetap dirasa keliru. Jadi, dia mencoba legowo.Marine Ardiansyah, mantan tunangan Abi, entah ada angin apa menghubunginya di siang itu. Abi tengah mengisi perut di salah satu rumah makan karena lelah setelah memasukan CV ke banyak perusahaan. Dengan enggan Abi menerima panggilan itu."Ada perlu apa kamu hubungin saya?" Tanya Abi tanpa basa-basi."Ya ampun, ini beneran Mas Abi!"Sambungan pun dimatik
Aksi ngambek Rara berlanjut di keesokan pagi. Wajah Rara masam sekali. Bahkan dia terus menghindar saat Abi membombardir dengan pertanyaan ini itu."Apa sih pegang-pegang?" Kesal Rara begitu akan menjemur pakaian. Tangan kecil itu dipegang Abi dan Rara segera menepisnya."Biar mas bantu.""Ambil langsung itu di ember. Nggak usah pake acara sentuh-sentuhan."Memang Rara kalau sedang ngambek mudah meledak. Beruntung Tia tidak ada di rumah. Ibu mertuanya pergi ke tempat katering dan Rara harap Tia pergi cukup lama. Sebut Rara kekanak-kanakan karena kini dua orang dewasa di rumah ini membuatnya stres. Yang mengerti Rara cuma Airin dan ----"Rara! Anak lo eek!"Suara cempreng Jasmine dari arah dalam terdengar panik. Ya, hanya Airin dan sahabat semprulnya."Kan pake popok! Gapapa!" Sahut Rara sambil menggantung baju di jemuran."Ih tapi kentutnya gede banget! Gimana ini?""Sebentar. Nanggung nih!""Okay!"Kemudia
Darwin pulang dalam keadaan babak belur. Dia tak sempat diobati lantaran Abi sulit dikendalikan. Sekalinya berhasil dilerai, Abi lagi-lagi malah menghajar mantan muridnya tersebut. Kini Abi terduduk di ruang tengah, disidang oleh Dio yang mengawasi dari balik bingkai kacamatanya. Setelah Putra dan Mine ikut pulang bersama Darwin, kini menyisakan anggota keluarga Wijaya dan sang menantu saja."Coba jelaskan baik-baik. Kenapa kamu pukul teman Rara?" Tanya Dio untuk ke tiga kalinya.Kedua tangan Abi masih mengepal di atas paha, emosinya belum surut sama sekali. Rara dan Irana yang berdiri di depan pintu kamar terlihat gelisah. Untungnya Airin sudah dibawa Jae keluar rumah, menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Bukan berharap ada pertengkaran jilid 2, masalahnya Abi terus menunduk dan tidak menggubris pertanyaan Dio.
"Siapa yang mukul kamu sampai gini?!"Darwin Mahendra bergegas menaiki anak tangga dan mengabaikan pertanyaan Ivanka, sang Ibu. Di kamarnya, Darwin langsung membanting tubuhnya ke kasur. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar mewahnya, seiring pikirannya melayang pada peristiwa 10 bulan lalu saat dia mencumbu bibir ranum Rara."Sialan." Ujarnya, merasakan ujung bibirnya nyeri. Ah pantas saja. Ternyata berdarah."Darwin, cerita ke mami." Ivanka terus mengetuk pintu kamar Darwin, menuntut penjelasan panjang lebar. "Apa kamu digangguin sama anak-anak dari sekolah baru? Kamu dihajar mereka?""Bukan apa-apa. Cuma jatuh." Sahut Darwin, kemudian mulai memejamkan mata. Sosok Larasati Wijaya menjadi hal pertama yang selalu dia bayangkan. 10