Share

8. Berisik!

Kanya POV

Tubuhku bagaikan sebuah boneka yang dipasangi oleh puluhan tali yang digerakkan oleh pria itu. Tali-tali yang menggerakkan tubuhku tanpa sadar dapat aku lihat dan aku sudah terduduk di dalam mobil sport hitam milik Eros.

"Tali?" melihat seluruh tubuhku, semua tali yang mengikatku barusan telah menghilang, aku menatap aneh pada Eros di kursi kemudi. Dia sama bingungnya denganku padahal dia sendiri yang menggerakkan tubuhku. "Elo!"

"Apa? Tali apa?" Eros Darwin malah balik bertanya padaku. Mimik wajahnya benar-benar nampak kebingungan seperti orang yang tak bersalah sama sekali. 

"Gue melihat tali menggerakkan badan gue barusan."

"Dasar wanita aneh! Tidak ada tali. Tadi pagi berteriak hantu sekarang tali. Kamu harusnya memeriksakan matamu ke dokter atau pergi ke psikiater. Aku memberimu saran tulus agar kamu tidak disangka gila dan menganggap tetangga lainnya sebagai hantu." Ujarnya tanpa rasa bersalah.

Eros Darwin memberikan saran sungguh menusuk hatiku. Mendengarnya saja sudah membuatku cukup geram dan ingin merobek bibir seksi itu. Aku masih waras dan mataku tidaklah bermasalah sama sekali. Tadi benar-benar aku digerakkan layaknya sebuah boneka. Ataukah semua itu hanyalah halusinasiku semata?

"Gue mau turun!" jujur aku sangat takut jika harus berduaan di dalam mobil bersama pria aneh ini. Latar belakang bahkan pekerjaannya saja tidak kuketahui. "Akh!"

Sebelum aku dapat membuka pintu mobil, Eros sudah melajukan mobilnya dengan wajah penuh penolakan. Rupanya dia tidak ingin aku keluar dari mobil ini.

"Hei! Gue bilang mau turun dari mobil kenapa malah jalan?! Berhenti gue mau turun!"

Eros Darwin melirik ke arahku sejenak lantas mengalihkan pandangannya ke depan fokus pada kemudinya. Entah mengapa aku merasa dia sedang kesal saat ini atau hanya aku saja yang terlalu perasa. Mobil terus melaju menembus keramaian jalan, sedari tadi tidak ada lampu merah yang menghalangi laju mobil jadi Eros Darwin tetap melajukan mobilnya dengan fokus menatap ke depan tanpa memedulikan wajahku yang kini tengah memucat.

"Gue mau muntah!" mual saat ini yang aku rasakan. Kemungkinan karena rasa takutku akan pria di sebelahku ini dan juga kecepatan laju mobil. Anehnya Eros Darwin melajukan mobilnya ke arah menuju kantor Samuel Wijaya.

"Berisik!"

Kepalaku pusing dan aku semakin mual. Kedua tanganku menekan area perutku guna mencegah aku muntah di dalam mobil Eros Darwin. Semakin lama, pengelihatanku semakin kabur. Kelopak mataku terasa semakin berat aku bisa merasakan tubuhku melayang di udara.

Kegelapan telah menyelubungi seluruh tempat di mana aku mengambang. Aku dapat merasakannya meski mataku terpejam, sesaat kemudian sebuah cahaya putih menyeruak dari beberapa celah. Aku sangat ingin membuka mata, tapi tetap tak bisa layaknya mataku telah ditempelkan seulas lakban. Tanganku bahkan tak memiliki tenaga untuk digerakkan.

"Make a wish, Kanya."

Suara itu ... suara yang membuat tubuhku bergetar hebat, suara yang membuat aku dapat merasakan tubuhku kembali. Kali ini aku berusaha keras mencoba membuka kedua mataku dengan perlahan-lahan, memaksa agar kelopak mataku terbuka.

Sinar menyilaukan dari celah-celah gudang dalam mimpikulah yang pertama kali aku lihat ketika kelopak mata ini setengah terbuka. Aku bermimpi lagi, namun kali ini aku benar-benar mengambang di udara.

Gudang ini biasa terlihat gelap dengan pencahayaan redup dari sinar rembulan yang memaksa masuk melalui celah-celah kecil dari beberapa bagian dinding dan atap yang bocor. Kai ini aku dapat melihat keadaan gudang dalam mimpi berulangku.

Beberapa bagian atap bocor ditembus oleh cahaya matahari. Menyilaukan, namun keadaan di sekelilingku sepertinya masih nampak gelap karena gudang ini sangat tertutup, berdebu dan nampaknya tak terawat serupa rumah hantu dalam film-film horor.

Tubuhku terlentang masih mengambang di udara, aku tak dapat melihat posisi Eros dengan keadaanku saat ini. Aku sangat ingin berteriak, tetapi bak orang bisu, suaraku tak mau keluar bahkan untuk sekadar membuka mulut pun sama sekali tak mampu.

"Make a wish, Kanya!"

Suara Eros makin lemah. Rintihan kesakitan dapat aku dengar dari nadanya. Tak seperti sebelumnya dia akan berjalan bak model memberikan pisau padaku dengan santainya tanpa ada suara kesakitan itu.

"Eros." Lirihku ketika kepalaku dapat menengok ke sebelah kiri. Aku mendapati Eros berlutut di tanah dengan wajah amat kesakitan. Nampak sangat menderita ketika mata itu terlihat olehku. "Eros!" pekikku dengan suara lantang.

Aku dapat berbicara kembali. "Gue mau turun!" tubuhku masih tetap mengambang di udara. Berusaha sekuatnya agar aku bisa membalikkan badanku dan mencoba menjangkau Eros di bawah sana dengan menjulurkan tanganku. "Turunin gue Eros! Tunggu, ini pasti cuma mimpi lagi. Bukanya tadi gue naik mobil lo?!"

"Kanya, make ... a wish."

Eros Darwin tetap berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakitnya sembari mengulangi kalimat yang sudah sangat sering dia ucapkan dalam mimpi kelam berulang yang menyerbu kewarasanku.

"Nggak! Pasti cuma mimpi. Gue nggak mau lagi!"

Menggeleng sekuatku karena tak bisa menerima mimpi ini lagi, jantungku berdebar hebat ketika memperhatikan dada kiri Eros telah berlumuran darah, namun tak ada bekas senjata yang menancap di dadanya.

"Bukan! Bukan gue yang nikam elo! Bukan gue!" aku mengelak berkali-kali karena bukan aku penyebab dari luka yang di alami oleh pria itu.

"Kanya kumohon!" lirihnya tak berdaya. 

Tak pernah aku melihat Eros Darwin menjadi tak berdaya seperti sekarang ini. Ketika aku menikamnya berkali-kali dia tak sesakit itu. Siapa yang telah melakukan itu padanya? Siapa yang tega membuat Eros merasa kesakitan dan tak berdaya seperti itu dan mengapa hatiku rasanya ditikam oleh belasan belati?

Mataku mulai meneteskan air mata yang tak kuketahui sebabnya. "Udah cukup! Gue nggak mau lagi. Tadi malam gue udah mimpi, sekarang mimpi lagi. Bukan gue yang nusuk elo."

"Akh!" Eros Darwin berteriak kesakitan dan hatiku tambah hancur oleh teriakan itu.

Apa yang harus aku lakukan?

Tiba-tiba sebuah belati nampak di dada kiri Eros Darwin. Belati itu sebelumnya tak ada di sana, mengapa sekarang sudah tertancap di dada pria itu? Hal ini membuatku semakin bingung, sementara aku sendiri masih mengambang di udara.

"Uhuk." Eros memuntahkan seteguk darah hitam. Tangan kirinya bertumpu di atas tanah, sedang tangan kanannya menekan area pada dadanya yang ditikam.

Eros Darwin menatapku dengan mata sayu. Sorot mata itu membuat hatiku makin terkoyak menjadi beberapa keping dan aku rasa tak bisa direkatkan dengan mudah. Sakit! Aku dapat merasakan rasa sakitnya melalui tatapan sayu itu.

Napasku tersengal ketika memperhatikan Eros kembali memuntahkan darah. Darah itu semakin hitam dan semakin banyak. Darah dari dadanya tetap mengalir, perlahan tangan Eros Darwin meraih gagang pisau dan beberapa saat kemudian ketika mata kami saling menatap ... Eros mencabut pisau yang tertancap di dada kirinya dengan tangannya sendiri.

Darah mengucur seketika, Eros Darwin tersungkur ke tanah.

"Eros!"

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status