Share

Episode 4-Aturan Daichi Lesmana

Ratih melambaikan tangannya pada Gatra, sesaat setelah turun dari mobil pria itu. Tak berselang lama, ia bergegas memasuki pekarangan rumah sederhananya. Sementara Gatra, ia menuju rumahnya sendiri yang berlantai dua di samping rumah Ratih.

Setiap kali berhasil menjemput Ratih, perasaan Gatra seketika menghangat. Meski ia tahu jika sampai saat ini, perasaannya tak tersampaikan dengan baik. Namun dengan begitu, tentu tidak ada kecanggung ketika sedang bersama Ratih. Hubungan baik itupun akan terjalin dalam kurun waktu yang lama, tanpa mengkhawatirkan perihal perpisahan karena cinta.

Baru saja turun dari mobilnya, Gatra sudah dihadang oleh ibu tercinta. Hesvi namanya. Wanita paruh baya itu tengah berkacak pinggang dengan raut yang penuh kemarahan.

“Gatra! Mama 'kan udah bilang, jangan deket-deket sama Ratih. Kamu ngeyel banget, sih!” omel Hesvi pada putra pertamanya tersebut.

Gatra mendengkus kesal. Sedetik kemudian, ia menjawab, “Emang kenapa sih, Ma? Ratih 'kan baik.”

“Pokoknya nggak boleh! Kamu nggak denger gosip yang beredar, hah?! Mengenai Ratih, Gatra!”

“Gosip apaan lagi sih, Ma? Berhenti bergosip yang nggak jelas, Ma. Kalau perlu nggak usah ikut arisan komplek lagi. Mama jadi begini, 'kan. Haaaah ....”

Gatra berjalan menuju rumahnya. Sedangkan Hesvi menyusulnya di belakang. Selalu seperti itu, jika ia ketahuan sedang bersama Ratih. Hesvi tidak pernah menyukai wanita yang saat ini sudah berusia 28 tahun itu. Selain terkenal kasar, Ratih merupakan yatim piatu yang tidak jelas latar belakangnya.

“Gatraaaaa! Mama serius!” ucap Hesvi sembari menarik blazer yang dikenakam oleh putranya tersebut.

Otomatis Gatra menghentikan langkahnya. Ia menghela napas panjang. “Ma! Ratih itu cewek baik-baik, perusahaan di mana dia kerja aja lebih besar daripada perusahaan tempat Gatra kerja. Membuktikan kalau Ratih memiliki moral yang bagus, Ma! Ayolah, jangan termakan omongan tetangga,” jawabnya.

“Hais! Kamu jadi cowok kok polos banget sih, Gatra, Gatra. Bisa jadi 'kan Ratih pakai cara genit buat masuk ke perusahaan itu.”

“Mama!”

“Gatra! Mama serius lho! Dan belum lama ini, Ratih menghajar preman pasar yang suka pungutan liar. Habis semua sama dia, Mama nggak mau kamu sampai habis juga sama Ratih. Apalagi jatuh cinta sama wanita kayak gitu, ah! Serem!”

“Ck, justru bagus dong dengan begitu nggak ada preman lagi di pasar! Mama dan temen-temen gosip Mama nggak perlu takut lagi, 'kan?”

“I-itu ....”

“Mama ... Gatra bilangin ya, kenapa banyak gosip nggak enak mengenai Ratih karena ibu-ibu julid pada takut kalau suaminya kepincut sama Ratih. Lagian, Ratih itu yang nyelametin nyawa Gatra tiga tahun silam. Kalau nggak ada dia, Gatra udah mati di tangan para mafia itu, Ma.”

“Gatra! Kenapa sih ungkit yang dulu-dulu? Dan terus belain cewek bedigasan itu, hah?! Pamornya udah jelek. Jangan terlalu deket sama dia, jangan jatuh cinta sama dia, apalagi kalau sampai berencana menikahi dia, jangan! Titik!”

Hesvi pergi begitu saja meninggalkan Gatra, ia menuju lantai dua rumahnya tersebut.

Gatra berteriak geram. Ia menyesalkan sikap Hesvi yang mudah terpengaruh omongan orang. Sampai-sampai, ibunya itu tidak tahu terima kasih atas jasa Ratih dalam menyelamatkan dirinya. Apa yang salah pada diri Ratih? Mengapa wanita itu memiliki nasib tak bagus? Hidup di komplek perumahan dengan warga yang kurang mengenakkan.

Gatra tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan ia justru selalu diperingatkan untuk menjauhi wanita itu. Bukan hanya dari hesvi, melainkan teman-teman dari ibunya tersebut.

Sementara itu, Ratih masih terdiam di teras rumahnya. Posisi rumah keluarga Gatra yang sangat dekat, membuatnya mendengar setiap omelan yang diucapkan oleh Hesvi.

“Ck, seharusnya gue nggak ikut Gatra tadi. Aaaah! Hari ini kenapa nggak ada untungnya sih?!” ceracau Ratih sembari melangkah untuk masuk ke dalam rumahnya.

Keadaan pintu yang sudah tidak terkunci membuat Ratih mengernyitkan dahi. Ia menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya dengan kasar. Sudah pasti bibinya yang datang untuk meminta uang. Rasanya ingin menangis saja bagi Ratih, tetapi ia terlalu malu untuk melakukan hal itu.

Lantas Ratis masuk ke dalam. Ia berusaha tegar dan bersikap sekenanya saja.

****

Suga membatalkan gerakannya untuk membuka pintu ruang pribadi milik Daichi Lesmana yang tidak tertutup dengan rapat. Ia melirik sekilas, tetapi melihat seseorang ada bersama ayah angkatnya tersebut. Tampaknya Rinjani Lesmana Dewi—adik paling bungsu—yang berasal dari panti asuhan serupa.

“Ayah, apa Ayah benar-benar enggak mau menutup bisnis gelap itu?” Suara Rinjani bertanya memastikan perihal bisnis ilegal tersebut pada Lesmana.

Lesmana terdengar menghela napas oleh telinga Suga. Kemudian, ayahnya itu berkata, “Tidak akan, Jani. Jangan bertanya lagi, Ayah sudah memberimu kebebasan tanpa harus melibatkan diri, 'kan? Kenapa masih mendesak Ayah untuk menutup bisnis itu?”

“Jani cuma khawatir, Ayah.”

“Khawatir? Pada siapa? Suga atau Ayah?”

Rinjani terdiam.

“Jani ... jangan mencintai kakakmu sendiri. Kalian memang enggak berasal dari rahim yang sama, tapi kalian sudah menjadi saudara sejak kecil. Ayah tidak pernah menuntutmu melakukan apa pun, karena Ayah menyayangimu.”

“Tapi, Ayah. Bukankah dengan menikahkan kami, Ayah nggak perlu khawatir jika Kak Suga mencintai gadis atau wanita biasa? Dengan begitu identitas Kak Suga akan selalu aman, karena Jani sangat paham.”

Lesmana bergeleng-geleng kepala. Ia tidak habis pikir atas sikap putri angkatnya tersebut. “Jangan ngomong yang nggak masuk akal, Jani. Kamu harus bersyukur karena terlahir sebagai seorang wanita, dengan begitu kamu Ayah perbolehkan menikahi pria mana pun, asal bukan Sugantara, kakakmu sendiri.”

Mendengar perbincangan itu, Suga termenung sebentar. Ia tidak tahu harus berbuat apa pada Rinjani untuk saat ini. Perihal perasaan yang tumbuh dari gadis itu padanya, cukup lumrah untuk terjadi, bukan? Lantaran memang tidak memiliki ikatan darah. Namun mau bagaimanapun, Rinjani tetap adik baginya. Sekalipun Lesmana memberikan izin, Suga tidak akan pernah bisa membalas perasaan itu.

Tapak kaki yang menuju pintu ruangan itu tiba-tiba terdengar. Dengan cepat, Suga bersembunyi di balik dinding ke ruangan lain. Lalu, Rinjani keluar dari sana. Wanita berusia 25 tahun tersebut menghentikan langkah sesaat. Ia menghela napas berat, sepertinya tengah menahan gejolak di dadanya dengan kuat. Detik berikutnya, Rinjani melanjutkan langkah kakinya.

Kini, giliran Suga yang masuk ke dalam. Seperti biasa ia harus melaporkan beberapa hal, ataupun mendapat tugas besar dari Lesmana. Kedatangan Suga disambut sumringah oleh Lesmana. Namun tak lebih dari sekedar tertawa.

“Ada masalah, Putra Ayah?” tanya Lesmana.

Suga tersenyum. “Tidak, Ayah, semua aman dan lancar,” jawabnya.

“Barang itu sudah masuk kapal dengan aman?”

“Tentu, Ayah. Perusahaan juga baik, satu bulan lagi aku akan mengadakan launching produk terbaru.”

Lesmana manggut-manggut, ia merasa puas dengan laporan singkat itu. Sebuah berkas ia terima dari Suga. Bulan ini penjualan produk perusahaannya meningkat dengan pesat. Lesmana merasa bangga, sebab Suga mampu memanfaatkan klien di bisnis gelapnya menjadi klien nyata di perusahaan Daichi Electronic.

“Suga?”

“Ya, Ayah?”

“Duduklah, Nak. Kamu harus istirahat sejenak. Sekaligus, dengarkan informasi dari Ayah.”

Sesungguhnya, Suga merasa enggan duduk berhadapan di ruangan yang sama dengan ayahnya. Namun ia tidak bisa menolak sama sekali. Sembari menelan saliva beberapa kali, ia lantas mendudukkan dirinya di sebuah kursi mewah tepat menghadap Lesmana.

“Suga?”

Suga menatap wajah Lesmana. “Ya?”

“Kamu masih tidak mau membunuh para pengkhianat sekaligus musuhmu?”

“....”

“Ya, ya, Ayah tahu caramu memang luar biasa. Kamu melakukan penyiksaan tiada ampun ke mereka dan menjebloskan mereka ke penjara. Tapi, Nak, jika cara itu selalu kamu gunakan, identitasmu akan terbongkar.”

Suga menggeleng tegas. “Tidak akan, Ayah. Sudah bertahun-tahun Suga melakukan itu, dan selalu aman.”

“Hmm ... anak jenius memang memiliki pendirian yang kuat, ya. Tapi, Suga, bolehkah Ayah bertanya?”

“Tentu.”

“Apakah kamu menggunakan cara itu karena merasa iba dengan mereka? Atau kamu sendiri tidak kuasa untuk melakukan pembunuhan?”

Rahang Suga mengeras. Ia terdiam tanpa bisa memberikan kepastian. Sedikitnya, ia membenarkan kedua dugaan Lesmana. Namun untuk mengangguk ia tidak sanggup. Sugesti yang ia dapatkan sejak kecil membuatnya ketakutan untuk melakukan perlawanan. Jika tak sejalan, maka ayahnya itu akan menghajarnya habis-habisan.

Melihat sang putra yang justru membisu, Lesmana menyeringai. Sudah pasti apa yang ia tanyakan adalah kebenaran. Kendati tidak sejalan dengan otaknya, Lesmana masih bisa menerima. Selain karena tidak pernah membangkang lagi, Suga selalu memuaskan hatinya dengan keberhasilan dari bisnis legal maupun ilegal.

“Tenang saja, Ayah tidak akan marah. Asal kamu selalu menjalankan kedua bisnis itu dengan baik. Membunuh bukan perkara mudah, apalagi untuk seseorang berhati lembut sepertimu,” ucap Lesmana.

Suga hanya bisa menelan saliva.

“Suga ... selalu berbicara formal di manapun berada. Terus bangun citra baikmu. Jangan berbahasa layaknya preman di pasar, kamu harus terlihat berkelas di mata orang-orang biasa. Terus sembunyikan wajah tampanmu itu, habisi dengan caramu bagi siapapun yang tahu.”

“Ba-baik, Ayah.”

“Kenapa lidahmu bergetar? Apa sudah ada yang mengetahui wajah tampanmu itu?”

Dada Suga begitu sesak. Pandangannya menurun dengan perasaan gelisah yang luar biasa.

“Suga?”

Suga terkesiap. “Ah ... tidak ada, Ayah, sama sekali tidak ada.”

“Hmm ... bagus kalau begitu. Satu hal penting yang harus terus ingat, jangan pernah jatuh cinta, Suga. Boleh kamu mengencani gadis manapun, tapi jangan mencintai mereka. Karena—”

“Karena selain membahayakan wanita itu, mereka akan meninggalkanku ketika mengetahui jati diriku sebagai seekor monster.”

Lesmana tertawa. “Hahaha, kamu masih ingat ternyata. Putraku memang jenius dan selalu ingat setiap hal dengan detail.”

Nasib seseorang memang tidak ada yang tahu. Namun bisa diubah, bukan? Rasanya mengubah nasib bukanlah sesuatu yang mudah bagi sosok Sugantara. Apa yang ada di hidupnya sekarang akan menjebak dirinya selama. Jika ia bersikap jujur, maka penjara atau bahkan hukuman mati yang akan ia terima. Ketika ia terus melanjutkan gelarnya sebagai ketua mafia, maka ia akan menjadi seekor monster seumur hidup

Padahal impian Suga cukup sederhana, hanya ingin menjadi manusia biasa. Berbaur dengan banyak orang tanpa menutupi identitas. Tak lagi berbuat kejam layaknya psikopat. Ia hanya ingin hidup dengan wajar. Kenyataannya tak sesuai keinginan. Tak peduli dengan usia yang menginjak 32 tahun, ia belum menikah. Bahkan, tidak akan pernah bisa menikah!

“Ingat, Suga, jika kamu berani membangkang, Ayah akan mengubah kedua adikmu sama seperti dirimu, atau bahkan diri Ayah sendiri. Seekor monster atau seorang psikopat yang keji. Maka teruslah menjadi anak yang berbakti,” ucap Lesmana sebelum Suga beranjak berdiri.

Setelah itu, Suga beranjak. Ia berbalik badan, kemudian melangkah keluar.

“Aku harus membereskan Ratih Kembang,” gumamnya di sela langkah kakinya.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status