Hujan deras turun ketika malam telah larut. Dingin menerpa tubuh Ratih yang saat ini meringkuk di atas kasurnya. Tak ada penghangat selain selimut tebal yang ia beli sejak satu tahun yang lalu. Tak ada teman pengisi sepi kecuali bisingnya suara hujan itu.
Dalam kesendirian itu, Ratih tengah merindu. Bukan pada seorang kekasih, melainkan kedua orang tuanya. Pengandaian pun ia lakukan di dalam otaknya, andai ayah dan ibunya masih ada. Ah, tentu saja hidupnya tak sesepi sekaligus semiris sekarang ini. Ia tidak perlu bersikeras menyempurnakan diri hanya untuk melindungi diri sendiri.“Ayah, Ibu, Ratih kangen," gumam wanita itu sembari meneteskan air mata.Terkadang nasib seseorang memang tidak seberuntung orang lain. Pun pada Ratih yang selalu menanggung nestapa hidup sendirian. Masih hangat dalam ingatan ketika ia mendapat cerca karena tidak punya orang tua. Cemoohan anak-anak sebaya tak terlewat untuk ia alami, bahkan hanya karena yatim piatu ia kerap dipukuli. Menginjak usia empat belas tahun, Ratih mulai memiliki ambisi. Ia harus kuat dan juga pintar! Setidaknya untuk memperbaiki diri sekaligus mencari masa depan yang lebih baik.Dari usia itu, Ratih mulai belajar ilmu bela diri kelas taekwondo. Ia juga belajar dalam segi materi sekolah, kendati Kani masih kerap memerintah bak majikan pada pembantu rumahnya. Namun, pada dasarnya Ratih merupakan gadis pintar, ia mampu membagi waktu untuk berbagai kegiatan. Hingga akhirnya, tibalah sekarang, Ratih telah berusia 28 tahun. Ia cantik, kuat, karir bagus bahkan naik jabatan dalam waktu yang terbilang cepat.Tepat ketika Ratih hendak turun dari ranjangnya, suara pintu tengah dipaksa terbuka terdengar oleh telinganya. Tentu saja membuat wanita itu lantas mengernyitkan dahi. Lantas, pertanyaan perihal apa atau siapa terlintas di benaknya. Ia melirik waktu yang sudah hampir di pertengahan malam.Ratih menghela napas. “Kucing mungkin," ucapnya tak ambil pusing.Kemudian karena suatu panggilan alam yang disebabkan oleh hawa dingin, Ratih segera melanjutkan tujuan. Kakinya berjalan menuju luar kamar demi mencapai keberadaan kamar mandi rumah itu. Tak ada sedikit pun rasa takut, kecuali rasa sepi yang begitu setia bergelayut pada hatinya.“Ck, coba tadi aku menginap di tempat Nurma, pasti aku enggak bakal kesepian begini dehhmm ...," gerutu Ratih selepas menyelesaikan hajatnya, menyesali keputusan yang tidak ia ambil sampai saat ini. Segelas air dingin ia ambil untuk mengisi kerongkongan yang kering. “Andai ada Oppa-oppa tampan ada di sini. Ah ... bahagia akuuu ... mereka kan tampan banget, beda sama si culun Sugantara."Menggumamkan nama Suga, bibir Ratih lantas mendesis. Bayangan tadi siang perihal pertengkaran masih hangat untuk dikenang. Wanita bergaya cool pecinta oppa-oppa Korea itu menjadi cemberut. Entah mimpi apa malam kemarin sampai harus terlibat dengan Suga.“Tapi, ... kenapa Pak Suga menutupi jati dirinya, ya? Padahal, orang lain justru bangga dengan visual wajah yang setampan sekaligus semanis itu. Eh! No! Enggak, dia jelek! Oke, Ratih!"Kendati telah mencoba membuang wajah Suga dari benaknya, Ratih masih saja merasa heran. Terlebih, ketika Suga bersikeras untuk mengawasi dirinya. Pria itu seolah-olah tengah ketakutan jika Ratih membongkar wajah aslinya.“Hmm ... kalau tertutup poni sama kacamata memang jelek sih. Tapi, pas lepas kacamata dia manis banget. Aaaah ... sudahlah, mau tidur! Bukan urusanku juga!" ucap Ratih seiring langkah yang ia ambil untuk kembali ke kamarnya.Sunyi senyap, hujan pun berangsur mereda. Kini, hanya suara jangkrik yang berderik memberikan kesan mencekam. Secara manusiawi, tentu saja Ratih merinding. Namun ia segera menghempas kengerian atas suasana itu. Tak peduli merupakan cara untuk memupuk rasa berani.Namun ... hal lain justru terjadi. Tepatnya ketika Ratih hendak membuka pintu kamarnya, suara benda berat yang terjatuh terdengar begitu keras. Selain itu, pintu utama rumahnya kembali dibuka secara paksa.“Maling?" Ratih mengernyitkan dahinya. Matanya yang indah seketika memicing tajam. Perlahan, ia berbalik badan serta melangkah.“Mau macem-macem tuh maling sama aku?!" ucap Ratih sembari berkacak pinggang. Detik berikutnya, ia menyatukan kedua telapak tangan dan membunyikan para sendi di jari-jari lentiknya.Suara yang berasal dari pintu masih saja terdengar. Hingga beberapa detik kemudian, sepertinya pintu itu berhasil dibuka. Ketika Ratih sampai di beberapa meter dari benda tersebut, tampak dua sosok manusia bertopeng hitam serta berpakaian setelan serba hitam.“Siapa kalian?!" tanya Ratih penuh amarah berapi-api. “Mau maling? Aku miskin, enggak ada yang bisa dimaling, tahu!"Dua orang penyusup itu saling bertatapan. Sesungguhnya, mereka merasa heran sebab sebagai seorang wanita Ratih terbilang berani. Selain itu, Ratih justru terkesan menantang.“Pulang sono! Jangan bikin dosa! Samber geledek, mati kaliam pada. Mau masuk neraka?" lanjut Ratih masih berapi-api.Salah satu orang itu maju. “Ikut kami secara sukarela. Agar Nona enggak perlu merasakan sakit, Nona," ucapnya.Ratih menggedikkan kedua bahunya. “Kalau kalian ini seorang Oppa, aku mau saja. Faktanya bukan, 'kan? Huu!" balasnya dengan ekspresi yang konsisten santai.“Sudah bereskan saja dia. Nanti Bos Dewa marah,” bisik rekan sosok pertama.“Dewa ...?" tanya Ratih heran. “Siapa Dewa?"Tak ada sahutan dari kedua orang itu. Mereka langsung menerjang tubuh Ratih yang masih berdiri tegak. Namun dengan ketangkasannya, wanita itu berhasil menepis setiap serangan. Dua lawan satu! Dua pria melawan satu wanita! Ya, perkelahian terjadi. Pukulan demi pukulan saling mereka lemparkan. Dengan kelihaiannya dalam bela diri, Ratih masih mampu menghindari. Kendati sesekali, ia mendapat pukulan di wajah maupun tubuhnya.“Gila nih wanita!" pekik salah satu dari kedua penyusup itu.Ratih tak melewatkan kesempatan. Di saat salah satu sosok justru tertegun dan berhenti memberikan serangan, wanita itu lantas memberikan tendangan putaran. Kepala dari sang target menjadi sasaran. Ia tumbang!“Hah?!" Rekan dari sosok yang tumbang begitu tercengang. Bagaimana tidak, jika Ratih mampu membuat pria yang merupakan anggota mafia roboh dalam waktu tak sampai lima menit.“Sekarang giliran kamu!" Setelah memberikan peringatan, Ratih bergerak cepat. Satu pukulan, dua pukulan, sampai akhirnya tendangan mematikan ia ulangi lagi pada penyusup kedua.Tubuh sang penyusup menabrak sofa dan terhempas ke lantai begitu saja. Ia dan rekannya mendesis merasakan sakit yang luar biasa.“Gegayaan sih kalian berdua, sok mau nyulik aku. Ilmu enggak seberapa juga!" ucap Ratih sembari mengusap permukaan telapak tangannya.Sebelum Ratih mengetahui wajah di balik topeng tersebut, kedua penyusup itu bergegas bangkit. Dengan langkah yang terseok-seok keduanya melarikan diri dari rumah wanita itu.Ratih menghela napas, sembari menatap kepergian mereka. Detik berikutnya ia bergumam, “Dewa ...? Siapa Dewa? Memangnya kenal ya sama aku?"“Ratih!" Seseorang meneriaki nama Ratih dari luar rumah. Tak lama kemudian, ia mendorong pintu rumah Ratih dengan keras. Napasnya terengah-engah dengan wajah penuh kecemasan.Ratih tertegun. “Gatra?"“Kamu enggak apa-apa, 'kan?"“Iya, aku baik-baik saja kok."“Tadi? Suara sama dua orang tadi?"“Mungkin, komplotan maling. Sudah aku beresin."Gatra mengusap dadanya sembari menghela napas lega. Tak bisa ia bayangkan jika terjadi sesuatu pada Ratih. Mungkin terbilang terlambat ketika datang karena tidurnya sempat lelap. Suara gebrakan yang keras membuat Gatra terbangun. Dan ketika menyadari berasal dari rumah Ratih, ia lantas bangkit dan berlari ke rumah wanita pujaannya itu.Ratih berjalan menghampiri Gatra. Ia tersenyum manis, meski pipi kirinya tampak lebam.“Dah, tenang saja. Aku beneran baik-baik saja kok. Kamu harus pulang lagi, Gat," ucap Ratih.“Sorry, ... aku telat," jawab Gatra.“Ck, iya, aku paham kok mengenai kamu kalau lagi tidur."Sesaat setelah terdiam, Gatra meraih tubuh Ratih tanpa permisi. Pria itu memeluk Ratih dengan erat seolah takut kehilangan.“Gatra ...?"“Aku takut kalau kamu sampai kenapa-napa, Tih."“Aku—"“Pintu rumahmu rusak, izinkan aku menjagamu di sini."Mendengar ucapan itu, Ratih segera melepaskan diri dari pelukan Gatra. Ia menunduk sembari berkata, “Sorry, Gat. Kamu beneran harus balik. Jangan sampai gegara aku, nanti Tante Hesvi marah lagi."“Ratih, itu—"“Please, Gat. Aku enggak mau musuhan sama keluarga kamu. Aku bisa menahan pintu rusak itu pakai sofa sama lemari, apa saja deh, buat sementara ini. Kamarku juga masih bisa dikunci kok nanti. Lagian ... aku kan si jago. Jadi jangan khawatir lagi, Gatra, terima kasih ya audah sempetin nengok ke sini. Tapi, beneran deh kamuharus pulang."Gatra menghela napas. Di sisi hati yang lain, ia merasa bersalah atas sikap ibunya pada Ratih. Rasa khawatir yang tidak bisa ia tepis itu, terpaksa ia tahan dengan kuat. Ia tidak mau membuat Ratih tidak nyaman, apalagi jika setelah malam ini rumor buruk dari wanita itu justru bertambah. Ya, tentu saja, ketika seorang pria dan wanita lajang menghabiskan malam bersama, mulut berbisa milik beberapa tetangga pasti akan mendesis mengumumkan gosip tidak benar.“Oke, aku bakal balik. Tapi kamu harus hati-hati, kalau ada apa-apa hubungi aku. Aku janji enggak akan tidur malem ini," ucap Gatra.Ratih tersenyum. “Haha. Oke, oke!" jawabnya.****Pipi Suga sampai memar karena sambaran tangan Daichi Lesmana yang belum lama ini melampiaskan kemarahan cara memberikan tamparan keras. Namun setelah dipukul, Suga masih saja berdiri tegak, mungkin hanya kepalanya saja yang tertunduk. Bukan hanya perkara seorang wanita saja. Hal yang membuat Daichi Lesmana sampai murka, tidak lain dan tidak bukan adalah Suga yang tidak lekas datang ketika diminta untuk pulang, lebih tepatnya menghadap dirinya. Cara Suga yang membangkang, bahkan meski hal itu jarang Suga lakukan, tetaplah membuat Daichi Lesmana tidak terima. "Apa sekarang kamu sudah mulai berani pada Ayah?!" ucap Daichi Lesmana yang belum berkenan untuk menyudahi kekesalannya. "Kamu pikir, usia Ayah yang sudah tua ini, justru mengurangi kekuasaan dan kekuatan yang Ayah miliki, Sugantara? Tidak! Ayah masih bisa membunuhmu kapan saja, atau mungkin sekadar mengganggu kedua adikmu itu!"Mendengar ancaman yang keluar dari mulut sang ayah angkat, Suga lantas menelan saliva. Kedua telapak t
"Aku ingin memintamu turun, tapi ...." Usai berkata demikian, Suga berangsur meraih tangan Ratih. Genggaman erat ia lakukan terhadap lentiknya jari-jemari milik wanita itu. Dan ketika ia menoleh, Ratih malah sibuk menatap ke arah depan. "Kamu masih saja merasa canggung ya? Kenapa? Apa suasana di hubungan kita ini benar-benar membuatmu enggak nyaman, Ratih?"Ratih menelan saliva dengan susah-payah. Nyatanya meskipun jago bela diri, pemberani, serta berharga diri tinggi, ia tetap mati kutu ketika Suga memperlakukan dirinya dengan cara yang berbeda. Belum lagi, status hubungannya dengan Suga yang belum jelas, sejatinya membuat Ratih terus berpikir keras; rasanya tidak pantas jika ia dan Suga sampai berciuman ketika tak ada hubungan spesial apa pun, selain atasan dan bawahan. Namun sekali lagi, ia tidak cukup percaya diri untuk menuntut kejelasan hubungan yang ia pikirkan tersebut. "Saya mau turun sekarang, Pak," ucap Ratih setelah sekian detik mampu menentukan langkahnya. Detik berikutn
Jantung Ratih tak bisa berhenti berdebar, sejak Suga merenggut ciuman pertamanya. Bahkan sekarang, ketika telah kembali ke kantor dan jam kerja sudah hampir selesai, Ratih masih belum bisa merasa lebih tenang. Konsenterasinya terus terganggu dengan bayangan keromantisan itu. Sentuhan bibir Suga seolah masih tersisa di bibir, pipi, hingga kening Ratih. Wajahnya kerap memerah setiap kali ia membayangkan itu semua.“Ugh ... bagaimana bisa aku menjadi orang yang semesum ini sih?” ucap Ratih. Detik berikutnya ia lantas mengutuk dirinya sendiri. “Kalau begini terus, aku enggak akan bisa bekerja dengan baik. Ck ....”Usai mengeluh, seulas senyuman justru tampak tertera di bibir Ratih. “Tapi, tadi ... Pak Suga ... apa dia memiliki banyak pengalaman? Kenapa dia selihai itu? Yah, enggak heran sih. Toh, tampang aslinya memang luar biasa tampan. Wanita mana yang akan menolak pesonanya itu?”“Ah, enggak boleh begini terus. Aku harus bekerja. Dan aku harus menemuinya. Mau enggak mau aku memang haru
"Kenapa malah membawa saya ke apartemen sih, Pak?! Katanya tadi ada kerjaan!" omel Ratih usai dibawa ke apertemen milik atasannya tersebut. Suga tidak menjawab dan justru memasang ekspresi yang cukup datar. Meski kacamata tebalnya belum ia lepaskan, dan poni panjangnya tak ia singkirkan, rona kekesalan terlihat jelas di wajah berpenampilan culunnya tersebut. Sikap Suga tentunya membuat Ratih menjadi heran sekaligus penasaran. Namun untuk kembali mengomel, Ratih sudah tidak berani. Pasalnya, ia sendiri cukup takut dengan apa yang akan Suga lakukan terhadapnya. Terlebih ketika pria itu terus melangkah maju di hadapannya, yang otomatis membuat dirinya terpaksa berjalan mundur. "Aaaakh!" pekik Ratih saat tubuhnya menabrak sebuah meja bundar berukuran lebih kecil daripada meja lain yang juga ada di ruang tamu dari apartemen tersebut. Dengan cepat, Suga menangkap pinggang Ratih, sehingga wanita pemberani itu tak sampai terjatuh. Berkat penyelamatan dadakan yang Suga lakukan, Ratih semak
"Baik, Ayah, akan saya usahakan datang secepatnya. Setidaknya sampai urusan saya kelar," ucap Suga pada sang ayah ketika ia diminta untuk pulang, usai ia menjawab panggilan dari ayahnya tersebut. "Pulanglah sekarang. Ayah tahu kamu enggak ada agenda penting! Ayah ingin bicara denganmu, Sugantara!" sahut Daichi Lesmana. Suga menggertakkan giginya usai sejenak menurunkan ponsel dari telinga dan wajahnya. Sebelum memberikan jawaban pada Daichi Lesmana, Suga lantas menatap Ratih yang masih sibuk berbincang dengan Gatra, bahkan saat ini keduanya akan melangsungkan makan siang bersama."Saya akan datang, Ayah," ucap Suga kemudian berangsur mengakhiri panggilan tersebut. Dan seharusnya ia memutar badan, lalu berangkat menuju rumah Daichi Lesmana. Sayangnya, kebimbangan justru terus menyiksa batin dan pikiran seorang Sugantara, yang otomatis membuatnya kebingungan. Ia harus segera merealisasikan perintah Daichi Lesmana, tetapi di sisi lain, ia tidak rela ketika melihat Ratih tertawa bersam
Ratih menuju salah satu restoran yang cukup mahal. Ia mencoba untuk melampiaskan kekesalannya pada Suga dengan membelanjakan sedikit uangnya demi seporsi steak yang lezat. Sekali-kali jajan mahal, tak masalah, bukan? Lagi pula, akhir-akhir ini Ratih juga tergolong lebih hemat, lantaran Suga selalu membayari makan siangnya sekaligus juga memberikan tumpangan untuknya. Hanya saja, dengan sikap yang sebaik itu, masih sangat disayangkan ketika Suga malah bersikap plin-plan. Pria itu sangat ambigu, bukan? Perasaan? Yang benar saja! Mengapa kata perasaan harus keluar dari mulut Suga, jika pada akhirnya tak ada kejelasan apa pun tentang hal tersebut? Yang pada akhirnya malah membuat Ratih semakin tidak habis pikir, bahkan geram. Sikap Suga yang awalnya lebih memilih dirinya daripada ajakan makan siang dari Rinjani, sang adik, mulai tak bisa membuat hati Ratih bergetar lagi."Ck, mungkinkah kebaikannya selama ini padaku memang digunakan untuk menghentikan pendekatan yang dilakukan oleh sang a