Share

Bab 8. Sedikit sentilan

"Mau aku temani?"

"Memangnya aku anak kecil yang masih butuh dampingan?" gerutu Lian sambil membuka pintu mobil dan bersiap keluar.

Sebelum ke rumah ibu Mita, mereka mampir dahulu ke toko bunga langganan, membelikan satu buket lily putih kesukaan ibu Mita. Namun, sejak perjalanan itu dimulai, Lian memang sedikit sinis kepada Saga. Apalagi jika bukan soal ekspektasi perempuan itu terhadap Saga dan segala misinya mendapatkan benih cinta dari suaminya. Ya, lagi-lagi gagal total.

Bayangkan saja, Lian sudah optimis, geloranya sungguh membara seiring sentuhan Saga yang tergesa-gesa si setiap jengkal tubuhnya, tapi tetap on poin. Di puncak hasratnya, ia sudah tersenyum dan menyebut nama Saga di sela desahannya dengan penuh damba. Namun, senyum dan kebahagiaannya itu terpatahkan saat Saga merogoh sesuatu di saku celana kerjanya yang masih ia pakai dari semalam. Bisa-bisanya Lelaki itu mengeluarkan pengaman dan memakainya. Wajah Lian, pias seketika. Akhirnya, klimaksnya tertahan dan ia jadi uring-uringan. Lian mengingkari untuk tidak kesal hari ini. Pada kenyataannya, realita memang tidak seindah imajinasinya.

Sebenarnya, salah Lian juga selalu berekspektasi terlalu tinggi terhadap Saga. Sudah tahu lelaki itu akan kekeh pada pendiriannya untuk tidak akan memiliki anak. Dan Saga bukan tipe lelaki yang bodoh apalagi ceroboh dan lalai. Ia bertanggungjawab atas pilihannya. Sudah jelas di sini bahwa Lian tidak bisa menaruh ekspektasinya terlalu tinggi lagi pada suaminya. Pagi tadi, ia terlalu memaksakan hingga Lian sakit hati sendiri.

Sekarang, janji terakhir kalinya Lian kesal dengan Saga. Besok ia akan mencari strategi yang lebih jitu lagi tanpa harus melibatkan ekspektasi dan menggantungkan harapan setinggi langit pada Saga. Lian kapok, bukannya mendapatkan benih, ia malah kesal karena energinya jadi berkurang drastis menghadapi Saga dan moodnya sendiri.

Lian pun masuk ke toko bunga itu. Seorang karyawan tersenyum manis padanya tapi tidak mampu mengubah hari buruknya ini. Lian segera menyebutkan pesanannya seperti biasa.

Tak selang lama, buket lily itu sudah ada di tangannya dan ia kembali masuk ke mobil. Namun, saat melewati parkiran, seseorang memanggilnya.

"Anda! Lianda!"

Jarang-jarang ia dipanggil penggalan nama yang seperti itu jika bukan satu orang di masa lalunya. Lian pun menoleh dan benar saja, seorang dari masa lalunya —yang pernah bilang bahwa Anda adalah nama paling indah— itu menghampirinya.

"Fahri?"

"Hey, kamu baru beli bunga?"

"Oh iya. Kamu juga mau beli? Kalau begitu silakan, mumpung belum banyak customer yang datang."

Lelaki bernama Fahri itu tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku jelas tidak akan melewatkan pertemuan dengan mu lagi walau sebentar saja. Kamu dengan siapa?" tanyanya.

"Aku deng—"

"Sayang, sudah selesai?" Saga tiba-tiba hadir di sampingnya dan membebat pinggang Lian dengan tangan kirinya secara posesif.

"Aku dengan suamiku. Fahri maaf ya, kita sedikit buru-buru. Jadi maaf sepertinya kita akan sungguhan melewatkan pertemuan singkat ini." ujar Lian yang mengerti bahwa situasi ini tidaklah baik.

"Oh tentu saja. Aku yang harus meminta maaf karena sudah menganggu waktu kalian."

"Kita permisi dulu. Sampai jumpa lain waktu." pamit Lian dengan senyum sumringah.

Saga membawa Lian kembali ke mobil tanpa suara. Akan tetapi, Lian biasa saja. Ia bahkan hanya mengedikkan bahu saat tahu Saga berubah cuek dari sebelumnya.

"Harus sekali ya bilang 'sampai jumpa lain waktu' pada mantanmu itu?" tanya Saga yang sudah melajukan mobilnya membelah jalanan kota.

Dalam hati, Lian tersenyum. Pancingannya yang spontan itu, termakan juga oleh Saga. Tinggal bagaimana lelaki itu akan bereaksi selanjutnya.

"Memang kenapa? Fahri punya perusahaan media, siapa tahu aku akan jadi salah satu modelnya suatu hari nanti? Who knows?" Lian menaikkan kedua bahunya dengan cuek.

"Kamu berharap jadi model di sana? Tidak cukup pekerjaan kamu yang sudah merambah mencanegara ini, sampai harus menerima tawaran kerjaan dari perusahaan itu?"

"Loh, apa yang salah? Kita kan tidak boleh menolak rejeki. Lagipula hubunganku dengan Fahri baik-baik saja, kita berpisah baik-baik dan hubungan kita sekarang seperti teman pada umumnya."

Ya bagus, sepertinya Saga mulai cemburu. Lian tidak sabar melihat ekspresi wajah kusut Saga sekarang.

"Aku tidak akan mengijinkan kalau sampai kamu menerima perkerjaan itu."

Lian tertawa sumbang. "Kenapa? Kamu mulai cemburu, Mas?" tanyanya yang sudah menoleh sepenuhnya ke arah Saga.

"Tidak. Untuk apa aku cemburu dengan lelaki yang levelnya dibawahku?"

Lian bersungut-sungut, apa maksud Saga bicara seperti itu?

"Jadi kamu mengejekku secara tersirat? Kamu menganggap kualifikasi pacarku dulu sangat buruk begitu?"

"Ck! Aku tidak bilang begitu Lian. Ah sudahlah, susah bicara dengan kamu, kita sudah sampai. Mau turun atau tidak?" Saga mengalihkan pembicaraan sambil membuka pintunya.

Tidak terasa perjalanan yang memakan waktu satu jam ini akhirnya sampai. Namun, Lian masih belum puas dengan perdebatannya dengan Saga. Ia ingin melihat seberapa besar rasa cemburunya pada Lian. Konon, cemburu adalah tanda cinta bukan? Melihat mata Saga yang penuh kilat saat membicarakan mantan Lian itu sesuatu yang Lian tunggu-tunggu.

Siapa tahu, dengan memberikan sedikit getaran cemburu itu, Saga jadi lebih mau melunak dengan Lian dan menuruti apa katanya. Eh lihat saja, Saga membukakan pintu mobil untuk Lian dan meraih tangan Lian untuk digandeng dengan erat saat memasuki rumah ibu Mita Lestari. Lian pun tersenyum. Ego lelaki memang harus disentil dulu, baru bisa seperti ini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status