Share

Bab 7. Pagi, waktu paling emas

Di kehidupan rumah tangga Saga dan Lian, pagi bukanlah sembarang pagi. Pagi seolah adalah waktu yang paling emas untuk keduanya merefleksi diri. Di saat baru bangun, mood Lian akan lebih baik daripada malamnya dan itu selalu terjadi setiap mereka bertengkar malamnya. Begitupun Saga. Lelaki itu selalu mengawali hari dengan sesuatu yang lebih baik. Lalu, mereka akan berinteraksi seperti sedia kala, seolah masalah mereka semalam telah selesai karena kesadaran masing-masing.

Lian keluar dari kamarnya dan mendapati Saga masih meringkuk di sofa ruang tengah. Ia menghampiri dan berdiri mematung saja sambil melipat tangannya di dada, memperhatikan suaminya dengan mata terpejam itu. Wajah polos Saga saat tidur seolah tidak mencerminkan bahwa lelaki itu sangat keras kepala dan tidak peka.

Diam-diam, Lian juga sebenarnya mengakui bahwa kelakuannya kemarin memang sangat kekanakan. Itu sangat bukan dirinya sekali. Entahlah, rasanya semenjak Saga mengumumkan bahwa akan melakukan vasektomi, Lian jadi sangat amat sensitif. Ia terus merasa tidak dimengerti oleh suaminya dan semuanya jadi kacau. Padahal misinya saja belum ia jalani sepenuhnya.

Oke. Ia akan mengobarkan semangat juang itu lagi hari ini.

Lian pun meninggalkan Saga dan menuju ke dapur. Mereka akan dirumah hari ini dan dipastikan bisa sarapan bersama. Maka, Lian dengan cekatan mengambil dan menyiapkan bahan untuk memasak.

Orang lain sering underestimate soal dirinya seorang model yang super sibuk, pasti tidak pernah menyentuh dapur apalagi bisa masak. Itu salah besar. Lian pintar memasak. Sejak remaja, mamanya selalu mengajarinya memasak dan tanpa sadar memasak adalah bagian penting dari kehidupannya. Memasak adalah suatu hal yang menyenangkan baginya. Itu sebabnya ia dan Saga tidak punya asisten rumah tangga tetap untuk memasak, karena Lian saja ditengah kesibukannya, masih mampu memasak untuk Saga. Meski seringnya hanya menu sederhana dan simple saja.

Lian memotong-motong sayur sembari menunggu air mendidih di panci. Pagi ini ia akan membuat sop sayur dan menggoreng udang tepung. Menu sederhana tapi Saga selalu suka dan tidak pernah tersisa. Ia melenggang ke sana kemari membelah dapur mewahnya. Sesekali bersenandung. Moodnya sudah kembali dan tidak boleh ada yang merusaknya lagi hari ini. Ia akan berdamai dengan dirinya sendiri dan keadaan. Memulai hari dengan pikiran positif adalah jalan ninjanya.

Saat ia mencicipi kuah sopnya, ia mendengar langkah kaki mendekatinya dan itu pasti Saga.

Lian menoleh dan mendapati Saga masih mode setengah mengantuk berdiri di belakang Lian sambil memberikan ponselnya pada Lian.

"Ibu Mita Lestari mau ngomong sama kamu."

Lian menerima ponsel itu dan me-loud speaker, bersiap bicara dengan ibu mertuanya.

"Ya Ibu, Lian baru masak."

"Waa ... ibu juga mau masakan Lian. Kata Saga kalian lagi libur ya?"

"Iya, Bu. Kita di rumah seharian sepertinya."

"Momen langka sekali itu. Di sini ibu malah sendirian ditinggal Ratmi pulang kampung."

Lian menoleh ke arah Saga yang kini mengambil alih sendok sayur dari tangannya dan mengaduk sayurnya. Mereka memang suka bekerjasama dan untuk hal-hal teknis seperti ini, Saga cukup peka. Berbanding terbalik soal kepekaannya tentang hati Lian. Nol besar.

"Oh ya? Sejak kapan Bi Ratmi pulang kampung, Bu?" tanya Lian seraya menyiapkan mangkuk untuk tempat sopnya.

"Sudah lima hari ini. Anaknya menikah, jadi ibu ijinkan Ratmi pulang satu minggu."

"Oh begitu." sahutnya lalu matanya beralih ke arah Saga. "Mas, bagaimana jika nanti siang kita ke rumah ibu?" tanya Lian pada Saga yang baru selesai mematikan kompor.

"Boleh," jawabnya.

"Benar kalian mau ke sini? Ah syukurlah, nanti ibu ada temannya. Ya sudah, ibu tunggu ya sayang. Kalian hati-hati di jalan."

Lian tersenyum. "Ibu mau dibawakan apa?"

"Tidak perlu repot-repot sayang, kalian datang saja ibu sudah senang, apalagi kalau bawa kabar ibu mau punya cucu, tambah senang lagi. Eh tapi ibu bercanda ya, jangan diambil hati Lian sayang."

Lian tertawa mendengar jawaban ibu Mita. "Iya ibu, santai saja."

Di sebelahnya, Saga menaikkan kedua alisnya. Cukup heran juga dengan perubahan mood Lian yang berubah seratus delapan puluh derajat dari semalam. Aneh, tapi lagi-lagi ini adalah Lian, istri ajaibnya.

Sambungan telepon pun selesai. Lian mengembalikan ponsel itu kepada Saga dan lanjut sibuk menggoreng udang tepung. Saga juga membantu menyiapkan alat makan untuk mereka di meja.

"Jadi nanti kita ke rumah Ibu Mita Lestari?"

Lian hanya mengangguk sambil meniriskan udang dan menggoreng sisanya. "Kita kan lama tidak ke sana, Mas."

"Iya juga, terakhir satu bulan lalu, itupun tidak lama karena kamu ada pemotretan."

"Hmm ... " hanya dehaman yang Lian berikan sebagai respon, tanpa menoleh sedikitpun.

Lalu, karena Saga tidak puas istrinya hanya menjawab singkat, ia pun memeluk Lian dari belakang. Tentu saja setelah kegiatan menggoreng udangnya selesai dan tinggal menata di piring. Awalnya Lian merasa risih, tapi karena tangannya sibuk menata udang, jadi Saga justru diabaikan.

"Minimal cuci muka dan mandi, Mas. Aku tidak suka lelaki bau."

Saga mencium kepala Lian. "Rambut kamu juga bau asem, tapi aku suka-suka saja. Kamu juga belum mandi kan?"

"Kalau aku belum mandi saja masih cantik. Lihat kamu? Bernatakan sekali. Pokoknya jangan menyentuh makanan ini sebelum kamu mandi."

Saga tidak menjawab dan menolak untuk beranjak mandi. Ia justru mengeratkan pelukannya di tubuh Lian dan menghidu dalam-dalam aroma di leher Lian yang terekspos karena rambutnya sudah dicepol ke atas. Anak-anak rambut yang turun di sekitar tengkuk dan lehernya justru membuat Lian tampak lebih sexy pagi ini.

"Iya kamu selalu cantik di kondisi apapun. Ngomong-ngomong, sudah tidak kesal lagi?" ini pertanyaan yang bisa jadi menimbulkan kekesalan Lian lagi, tapi Saga ingin tahu meski mereka sering melalui pagi yang seperti ini.

"Aku masih kesal, dan akan tambah kesal karena kamu tidak menurut."

"Quickly mau? sebelum aku pergi mandi. Lagipula aku sudah lapar, tapi kamu menggoda sekali pagi ini."

Sesungguhnya itu adalah tawaran Saga yang potensial. Quickly pun, jika keluarnya di dalam dan tanpa pengaman, pasti ada peluang untuk jadi anak bukan? Apa Lian menyetujui saja? Toh pagi ini mereka tidak terburu untuk bekerja.

Lian pun membalik tubuhnya, menghadap Saga. Tangannya langsung mengalung di leher suaminya dengan posesif. Lian sudah menimbang, dan tentu saja ia tidak mau melewatkan kesempatan sekecil apapun untuk bisa mencapai misinya.

Mata cantik itu mengerling, menggoda Saga dan detik berikutnya, Saga sudah menyambar bibir Sara dengan tergesa. Mengeratkan tubuh mereka hingga menempel satu sama lain. Adegan berikutnya, tentu saja sudah bisa ditebak. Kitchen Island itu menjadi saksi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status