LOGIN(Mature 21+) Aura lelah berusaha menjadi istri sempurna karena Arman, sang suami, hanya membalasnya dengan dingin dan hinaan. Di tengah kehampaan itu, kehangatan justru datang dari Pras, paman suaminya sendiri. Lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Pras adalah godaan yang tak pantas, namun terlalu nyaman untuk diabaikan. Terjebak antara janji pernikahan yang hampa dan pelukan terlarang yang terasa seperti rumah, Aura harus memilih: menjaga nama baik keluarga atau mengikuti suara hati yang mulai berani melawan.
View MoreBegitu pintu terbuka, Aura langsung melompat memeluknya dengan manja, lalu menciumi wajah lelaki itu.
Namun kenyataannya tak seperti yang dia bayangkan.
Alih-alih tersenyum bahagia, Arman justru tampak masam dan menatapnya dingin.
“Kau tidak lihat aku baru datang dan lelah? Bersikaplah sedikit dewasa,” gumamnya, memadamkan seketika kerinduan Aura yang menggebu.
“Oh, maaf, Mas…”
Itu saja yang bisa Aura katakan. Walau dalam hatinya, dia tahu Arman pun tak seharusnya bersikap sedingin itu.Sudah dua tahun mereka menikah.
Dua tahun hidup dalam segala “pemberian” Arman. Tapi Aura tak pernah benar-benar merasa memiliki suaminya itu.Arman memang memberi banyak hal: rumah untuk orangtuanya, modal usaha toko roti orang tuanya, biaya sekolah adiknya, bahkan kuliah untuk dirinya—meski sesungguhnya itu bukan keinginannya.
Semua itu terasa seperti hadiah yang tak bisa ditolak.
Arman terdengar logis, penuh kasih, penuh rencana. Tapi di balik itu, ia adalah pria yang tenggelam dalam dunia dan ambisinya, namun lupa akan cinta dalam rumah tangga.Keluarganya kaya raya—pemilik salah satu perusahaan terbesar di negeri ini. Tapi Arman justru memilih menjadi dosen.
Malam itu, bahkan mereka belum intim kembali pasca kedatangannya. Namun teriakannya membuat tubuh Aura meremang. Wanita muda itu langsung berjingkat dari kamar dan keluar ingin mengetahui kenapa suaminya sampai memanggilnya sembari berteriak begitu.
“Kenapa, Mas?” tanya Aura setiba di ruang kerja suaminya.
“Kenapa katamu? Kau tidak lihat laptopku basah karena kecerobohanmu!” Arman melotot pada Aura sembari menunjuk gelas teh yang tumpah di mejanya.
“Sial, ada banyak file dokumen yang belum sempat kusimpan di sana… kenapa kau tidak berubah sih? Tolol dipiara!” lagi Arman memarahi Aura yang membeku tak tahu harus bagaimana.
“Mas Arman kan yang tadi minta dibuatin tehnya.” Aura mencoba sedikit membela diri. Walau dia tahu pada akhirnya itu tidak ada gunanya.
“Kau kan punya otak. Harusnya dipikir, di mana seharusnya kau letakkan sekiranya tidak akan membuat kekacauan. Dan lagi, kalau salah ya minta maaf. Bukannya ngeyel melulu kamu!”
“Iya, Mas. Maaf!” ucap Aura menahan rasa ketidakberdayaannya karena sikap Arman yang seperti itu padanya.
Tidak jarang dia merasa dirinya tak lebih sebagai pembantu di rumah ini. Ditolol-tololin dan dibentak-bentak sesuka hatinya.
Namun, selalunya, ketika Arman membutuhkannya lagi seperti saat ini, dia akan mendatangi Aura. Memeluknya, menatapnya dengan hangat dan mencium keningnya lama.
“Jangan marah, ya? Aku hanya sedang capek,” tukasnya memaksa Aura memahaminya.
Wanita itu hanya mengangguk dan menyembunyikan lukanya di balik kata, “Tidak, aku tidak marah.”
“Kau sudah mengerti bagaimana aku, kan? Kalau banyak pikiran dan lelah, emosiku tak terkendali. Makanya jangan bikin masalah apapun saat kondisi mentalku seperti itu.”
“Iya, Mas. Maaf.”
“Aku mencintaimu, Ra!” bisik Arman, lalu kecupan hangat di bibir sudah menghapus jejak pertengkaran mereka.
Arman melepas kancing baju Aura sebagai isyarat ingin berhubungan. Aura yang sudah merindukan suaminya itu memilih melupakan rasa kesalnya ditolol-tololkan tadi. Dia pun dengan senang hati melayani sang suami.
Namun sayang, panggilan dari posel Arman kembali menjeda kedekatan yang belum juga memanas itu. Arman menarik dirinya dan bangkit untuk meraih ponselnya. Membiarkan Aura melongo dengan merana.
Aura mencoba bersabar. Daripada nanti mereka bertengkar lagi. Mungkin Arman memang ada panggilan yang mendesak. Jadi ditunggunya hingga selesai.
Ketika melihatnya mengakhiri panggilan, Aura bangkit dan memeluk pria itu dari belakang. “Mas, ayo kita lanjutkan,” ujarnya mesra merayu sang suami agar kembali memanaskan rajang mereka.
“Ra, kau kembalilah tidur. Aku ada yang harus dikerjakan.” tukas Arman sembari melepas lengan Aura yang melingkari pinggangnya.
Aura tentu kecewa. Arman yang mengajak duluan, membujuknya tadi agar mau melayaninya, sekarang ketika Aura sudah berhasrat, tiba-tiba ditinggal begitu saja…
Sekedar menyampaikan sedikit kecewa yang dipendamnya, Aura mencoba protes.
“Mas baru pulang setelah dua minggu sibuk seminar, lho. Kenapa masih sibuk lagi?”
Namun, pria itu malah menatap Aura dengan dingin dan menusuk.
💗💗💗
Paginya, Arman datang lagi mendekap Aura dari belakang saat sang istri membersihkan dapur.
Dia kembali meminta maaf. Seolah dengan hal itu semuanya akan selesai. Dan yang bisa Aura lakukan hanya menahan napas dan mengiyakannya begitu saja.
Kalau tidak, sepagi ini mereka akan berdebat dan Arman akan mengeluarkan semua teori ilmiahnya menceramahinya tentang bagaimana menjadi istri yang baik.
“Kau marah karena semalam?” tanyanya sambil mengendus leher jenjang Aura.
Aura hanya meliriknya. Dalam hati, ia membatin—mana mungkin dia berani marah?
“Tidak, Mas. Aku saja yang tidak tahu situasi. Mas Arman banyak urusan dan pasti lelah.” Begitu saja jawabnya. Biasanya Arman lebih terima kalau Aura yang mengaku salah.
Arman membalik tubuh Aura dan mengecup bibirnya lembut dan mesra.
Padahal hanya dengan itu, Aura luluh. Lupa pada kecewa yang semalam membekas. Semudah itu membujuk Aura. Tapi Arman sering lupa, bahwa hal-hal kecil seperti ini pun penting.“Aku ada berita lagi,” ujarnya, membelai pipi Aura.
“Apa itu, Mas?” tanya Aura, menatapnya penuh antusias.
“Aku diterima di program S3 Oxford. Pengajuanku dari sebelum kita menikah akhirnya dipanggil juga.”
Tatapan Arman berbinar—penuh ambisi, seperti biasa.
Sementara Aura hanya menelan ludah. Lagi-lagi suaminya ini akan meninggalkannya. Sudah terbayang, malam-malamnya akan semakin dingin dan sepi.
.
.
.
<Next>
Pras sudah tak bisa berpikir jernih begitu mendengar kabar itu. Kepalanya seperti dipenuhi kabut pekat, dan dada terasa menyesak seolah tak cukup ruang bagi napasnya sendiri.Tanpa menimbang apa pun, dia langsung memerintahkan untuk menyiapkan helikopter perusahaan di Bandung agar bisa tiba di Jakarta dalam waktu kurang dari satu jam.Tadinya Pras bersikeras ingin mempiloti sendiri helikopter itu. Semasa muda, menerbangkan helikopter adalah hobinya.Namun Rico memohon agar tuannya menggunakan kebijaksanaan. Sudah terlalu lama Pras tidak menerbangkan helikopter, dan kondisi emosionalnya yang kacau dapat berakibat fatal.Karena itu Rico segera menghubungi pilot perusahaan. Dalam hitungan menit, pilot itu akan tiba.“Saya hubungi Tata lagi, Pak, menanyakan keadaan Bu Aura. Untuk sementara, saya harap Pak Pras bisa tenang dulu,” ucap Rico hati-hati.Pras hanya mengangguk, meski wajahnya tampak kosong. Shock masih memenuhi seluruh rautnya. Dia tidak bisa menerima kemungkinan bahwa Aura men
Beruntung ketika itu seseorang yang kebetulan melintas refleks meraih lengan Aura, menahan tubuhnya sebelum sempat terjerembab menghantam lantai.Aura terhuyung. Jantungnya masih berdegup di tenggorokan ketika ia buru-buru menegakkan tubuh. Saat hendak mengucapkan terima kasih, tatapannya sontak membeku—seolah waktu diseret mundur paksa.Wanita yang menolongnya adalah… Vanesha.Teman yang pernah sangat dekat dengannya.Teman yang kini bahkan tak sudi menyebut namanya lagi.“Te—”Kata itu tercekat. Hilang ditelan rasa kaget, syok… dan sedikit pedih.Ada sekilas kesedihan melintas di matanya. Karena ia tahu—kalau saja Vanesha sadar siapa yang ditolongnya, mungkin tangan itu tak akan terulur sama sekali. Mungkin Vanesha bahkan akan memalingkan wajah, membiarkannya jatuh. Mungkin itu lebih sesuai dengan keadaan mereka sekarang.Vanesha tampak tertegun menatap perut Aura yang semakin membuncit. Aura tahu, sekarang jelaslah alasan pertengkaran tadi. Jelaslah apa yang sampai ke telinga Vanes
Aura mengerjapkan matanya berkali-kali, berharap air matanya tidak tumpah dan Tata tidak melihatnya menangis. Perempuan itu tentu akan langsung melaporkan semuanya kepada sang tuan, dan seperti biasa Pras akan mencemaskannya berlebihan, lalu melarangnya lagi menemui keluarganya.Dia menarik napas dalam-dalam di taman kecil di samping rumah, mencoba menyingkirkan rasa sedih dan luka yang sejak tadi membendung di dadanya. Aura menyayangi Oma Eliyas seperti neneknya sendiri, tetapi saat ini dirinya tak ubahnya orang asing yang tidak penting untuk dipedulikan. Berkali-kali ia meminta maaf, berkali-kali pula ia memohon dimaklumi—namun semua itu terasa seperti angin lalu, tak pernah benar-benar masuk ke hati sang nenek.Dan ketika teringat betapa dulu Oma Eliyas begitu membenci Veny, namun sekarang dengan mudahnya memaafkan semua kesalahannya… dada Aura semakin sesak. Itu seperti penegasan paling jelas tentang siapa dirinya di mata wanita itu sekarang. Bukan siapa-siapa lagi. Hanya gadis mi
Jika kata-kata tuduhan Veny itu diucapkannya sebelum Aura tahu tentang Mikayla yang bukan putri kandung Pras, juga sebelum tahu semua keburukan Veny selama ini, mungkin Aura masih akan merasa insecure. Mungkin dia hanya akan menunduk dan menerima semua caci makinya.Tapi tidak untuk saat ini. Ketika bahkan Aura sendiri merasa begitu muak atas apa yang sudah dilakukannya terhadap pernikahannya dengan Pras.Kini Aura menatapnya dengan berani dan membalikkan semua ucapannya hanya dengan kalimat sederhana.“Anda sadar dengan tuduhan itu? Apa Anda lupa bagaimana Anda sebelum ini?”Veny terkejut Aura ternyata membalikkan kata-katanya. Namun bukan Veny kalau dia langsung menyerah.“Setidaknya aku bukan wanita menjijikkan sepertimu. Yang berselingkuh dengan paman dari suamimu. Dari sudut manapun, orang akan jijik melihat kelakuanmu.”“Terserah Anda, Nyonya. Tapi aku bangga kini bisa menjadi wanita dari pria sebaik Om Pras. Aku malah kasihan padamu. Matamu buta sampai menyia-nyiakan pria sese












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ratings
reviewsMore