Share

Bab 6 | Masih Ada Satu Dari Sepuluh

Untuk menang, kita butuh lawan

Evaria Dona masih menjadi orang yang paling diburu media, mereka berlomba-lomba ingin mendapatkan sesi wawancara eksklusif dengannya. Tapi Eva menolak semua tawaran itu. Ia ingin mempertahankan citra elegan. Minim bicara, langsung tunjukkan dengan bukti tak terbantah. 

Eva menjadi tamu kehormatan acara peresmian sebuah galeri seni, ia bersama beberapa tokoh penting lain dipercaya memotong pita. Tentu ini sebuah kehormatan tinggi bagi Eva bisa berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh tersebut. Nama baiknya bisa pulih lebih cepat dari yang ia kira sebelumnya. 

Eva berdiri di depan sebuah lukisan berukuran besar. Eva tidak mengerti letak seninya dimana, di matanya itu hanya gambar perempuan nyaris telanjang berkulit pucat dengan latar biru tua dan percikan cat tak beraturan warna kuning, merah, hitam. Ujung-ujung jari perempuan di lukisan itu berdarah-darah, namun tak ada sorot kesakitan di matanya. Entah mengapa Eva jadi sedih melihatnya.

"Berdiri di sini kamu terlihat seolah memiliki jiwa seni." Tiba-tiba Eva menyadari seseorang berdiri di sampingnya. Eva menoleh dan menemukan Rizal Chandra di sana. 

Eva memutar bola mata. "Ini cuma lukisan."

"Cuma." Rizal Tertawa mengejek Eva. “Artis karbitan macam kamu mana mengerti nilai seni."

Sebelah sudut bibir Eva ditarik sinis. "Terima kasih sudah menjadikanku artis beruntung itu." Jika ditotal Eva hanya butuh kurang dari setahun untuk mendapatkan peran di film pertamanya. Relatif sangat cepat dibanding kisah perjuangan bintang besar lain.

"Begitu caramu berterima kasih?"

Eva memalingkan pandangannya dari lukisan dan sedikit memutar badan sehingga berhadapan dengan Rizal. "Apa lagi yang Mas mau? Kita sama-sama memegang kunci kendali, aku nggak akan pernah hancur sendirian. Jadi jangan coba-coba merusak hubungan baik kita sekarang."

"Aku sudah kehilangan kejayaanku, jadi nggak ada yang perlu kukhawatirkan lagi. Tapi bagaimana denganmu? Yang punya julukan baru, si pohon yang makin tinggi makin besar anginnya. Bisa-bisa pohon itu akan tumbang dan membusuk jadi sampah."

"Jangan coba-coba mengancamku."

"Astaga, itu bukan ancaman tapi kamu sepertinya sudah ketakutan. Bagaimana kalau aku mengancam betulan? Bisa-bisa kamu kencing berdiri."

Wajah Eva berubah merah tajam. "Coba saja." Ujarnya dengan kemarahan di dada. "Di industri ini, Mas memang cuma sutradara lama yang bisanya hanya berisik mengkritik film-film baru, sekalinya Mas membuat film baru, Mas nggak sadar melakukan apa yang pernah Mas kritisi. Mas bisa merasa jadi legenda perfilman karena istri Mas, Yestika Emma, sang aktris sepanjang masa. Yakin Mas nggak perlu mengkhawatirkan dia juga? Tanpa nama besar istrimu, sejak awal Mas bukan siapa-siapa."

Nama Rizal Chandra sebagai sutradara film meredup lima tahun terakhir. Empat karya terbarunya tidak ada satu pun yang masuk box office tanah air, dia terkalahkan oleh sutradara-sutradara muda yang dipenuhi ide-ide segar. Seolah belum bisa menerima perubahan, Rizal di banyak kesempatan sering membandingkan film jaman dulu dan jaman sekarang. Juga menyalahkan selera penonton yang dinilai terlalu terpengaruh dengan film barat, dan melenceng dari jati diri bangsa. Dia berbicara terlalu tinggi, padahal sebenarnya tidak berisi.

Sudah Eva duga, Rizal Chandra tidak bisa berkata-kata. Yestika Emma adalah kelemahannya. "Meski bukan dengan kunci itu, jangan kira aku nggak bisa membuka kebusukanmu yang lain." 

"Sudahlah, Mas, aku nggak takut dengan geretakan." Rizal dan Mira hanya dua dari sekian orang yang mengancam akan menghancurkan karirnya. Hasilnya? Eva malah dianugerahi piala aktris terbaik.

"Aku penasaran sampai berapa lama kamu bisa menyimpan kebusukanmu."

"Sama." Eva tersenyum miring. "Aku juga penasaran sampai kapan aku bisa tetap di atas dan membuat kalian semua iri."

Dua orang wartawan berseragam sama mendekati Eva dan Rizal, secara otomatis keduanya memulas senyum ramah. Wartawan itu berbasa basi menyapa, lalu minta izin untuk wawancara singkat. 

“Boleh, kenapa tidak?” jawab Rizal tanpa meminta persetujuan Eva. Rizal merangkul pundak Eva, meski tak nyaman, Eva terpaksa membiarkannya.

“Saya tadi melihat Anda berdua terlihat serius mengobrol, apa mungkin Evaria akan bermain di film terbaru Mas Rizal?”

“Memang benar saya sedang mempersiapkan proyek film baru, tapi itu masih rahasia. Yang jelas, Eva tidak akan terlibat di film saya."

"Kalau boleh tahu apa alasannya?"

"Ka—“

"Saya sibuk." Eva mendahului. 

"Wah sayang sekali, apa mungkin kalian ingin menghindari rumor tentang hubungan spesial kalian?"

"Rumor-rumor seperti itu kan Mas sama teman-teman wartawan yang memulai. Hubungan kami memang spesial karena tidak lagi sebatas rekan kerja. Mas Rizal sudah seperti Kakak tertua saya."

Rizal menambahkan dengan senyum sangat lebar. “Itu rumor yang sangat disayangkan. Keluarga saya sempat merasa terganggu dan Eva juga mengalami kesulitan karena laki-laki yang ingin mendekati dia jadi pikir dua kali. Mereka mengira Eva bukan wanita baik-baik. Lihat saja, sampai sekarang dia masih jomlo.” Meski mengatakannya disertai tawa, Eva tahu Rizal tidak bermaksud bercanda.

Eva bergeser selangkah, risih saat tangan Rizal memberi remasan kecil di lengannya.

“Wah, itu sangat tidak adil untuk Evaria.” Komentar sang wartawan.

“Saya menikmati hidup saya saat ini, dengan atau tanpa pasangan.” Eva menjawab. “Jadi menurut saya itu bukan sesuatu yang perlu disayangkan.”

“Menurutku kamu harus mulai serius memikirkan pasangan hidup juga, Va. Jangan lah sibuk mengejar karir melulu. Jangan mengecilkan wanita karir lain yang bisa sukses berkarir tapi tidak lupa kodratnya. Kamu lihat istriku, Yestika Emma, dia masih aktif berakting sampai sekarang. Kamu bicara seolah-olah menikah itu menghambat karir perempuan." 

Eva memaksakan senyuman. "Itu soal pilihan hidup, Mas. Siapa yang mengecilkan orang lain? Cuma Mas sendiri yang mengartikannya begitu. Mas tahu aku nggak punya waktu memikirkan pernikahan.”

“Ah, benar. Pikiran kamu pasti terkuras untuk kasus hukummu itu, kan? Kabarnya kamu sudah jadi tersangka, tapi tenang saja, kebenaran pasti akan terungkap."

Wartawan muda itu tertawa canggung, barangkali mulai merasakan atmosfer aneh di sekitar. “Kalau boleh tahu sudah sejauh mana prosesnya, Mbak Evaria?”

“Kita hanya perlu menunggu persidangan dan melihat hasilnya.”

“Harapannya bagaimana, Mbak?”

“Sejak awal saya yakin sudah berada di jalan yang benar. Seperti kata Mas Rizal, kebenaran akan terungkap pada akhirnya. Saya tidak bisa membuat semua orang menyukai saya. Apa yang saya lakukan hari itu untuk membela diri.” 

Eva melirik Rizal sekilas, agar Rizal mendengarkan baik-baik apa yang akan dikatakannya. ”Saya bukan orang yang akan mengalah, saya melindungi diri saya dengan melawan ketika diserang.” 

Rizal mengangguk-angguk. “Benar, itu sangat Evaria Dona. Sekali saja dia dibuat marah, dia bisa jadi pendendam mengerikan. Saya termasuk orang yang berhati-hati sama dia.”

“Berhati-hati seperti apa, Mas Rizal?”

“Ya sebisa mungkin tidak membuatnya kesal."

Dering ponsel Rizal menyelamatkan Eva, Rizal memutuskan untuk pergi lebih dulu, sayangnya Rizal terlanjur bicara terlalu banyak. Dua wartawan itu pun mengakhiri wawancara dan berterima kasih pada Eva.

“Tunggu.” Eva memanggil mereka lagi.

“Siapa nama kamu?” 

Meski bingung wartawan itu tetap menjawab. “Aditya Dirga.”

Eva mengangguk sekali. “Oke, Mas Aditya, terima kasih wawancaranya.” 

Saat kedua wartawan itu sudah pergi, Eva mengeluarkan ponselnya menghubungi Prita. “Mbak, tolong bereskan sesuatu untukku.” 

Eva sungguh tidak ingin muncul artikel apa pun tentang dirinya dan Rizal Chandra.

*** 

Usai dari gedung kesenian, Eva langsung menuju sebuah studio pemotretan. Ia melewatkan makan siang, disamping karena tidak memiliki banyak waktu, juga untuk mencegah kemungkinan perutnya terlihat buncit. Ia dijadwalkan melakukan pemotretan bersama 8 artis perempuan lain dengan tipe wajah dan warna kulit berbeda untuk tema pemotretan wajah Indonesia. 

Eva menjadi yang paling terakhir datang, saat itu semua sudah selesai menjalani sesi foto individu dan bersiap melakukan foto bersama. Ketika Eva memasuki ruang make up, mereka tidak mau repot-repot menyembunyikan wajah malas dan bosan seolah mereka sudah menunggu seabad.

Eva langsung berganti kostum. Agar tidak membuat model lain menunggu makin lama, Eva meminta foto grup didahulukan. Setengah jam kemudian, Eva sudah siap.

Sebuah kursi diletakkan di tengah, artis Tania Inka duduk di sana. Sementara yang lain berdiri di belakang dan ada juga yang duduk di bawah. Eva mengambil posisi di berdiri di samping kanan.

“Eva, kamu yang duduk di kursi.” Seru pengarah gaya yang membuat semua mata menatap Eva tak suka. “Tania, bajumu akan lebih bagus kalau berdiri.”

“Tan, tahu diri, dong. Kamu itu wajah Surabaya, bukan wajah Indonesia.” Celetuk salah satu artis.

“Oh iya, lupa.” Tania berdiri mengikuti instruksi. 

Kini Eva menjadi pusat, pengarah gaya dan fotografer tampak mendiskusikan sesuatu. “Eh, itu Eva terlalu polos. Kasih kalung atau apa dong.” 

Kru kembali dibuat sibuk mencari sesuatu untuk yang bisa dipakai Eva, sementara suasana hati model lain makin buruk. “Aku sepertinya perlu touch up yang ke lima kalinya deh.”

“Sabar, guys. Semua orang harus terlihat sempurna... di foto.”

“Tapi yang diurus nggak semua orang tuh, cuma satu orang saja dari tadi."

Eva mencoba mengolah pernapasan, itu sangat berguna untuk mengendalikan emosinya. Persetan apa kata perempuan-perempuan ini, mereka berisik karena sadar Eva telah mencapai hal besar yang mereka inginkan tapi gagal mereka dapatkan.

Sesi foto akhirnya bisa dimulai, mereka berganti busana sebanyak tiga kali. Semua model sudah pergi untuk makan malam bersama, kecuali Eva yang harus menyelesaikan sesi pemotretan individu.

“Belakangan pasti berat sekali, ya?” Mas Ronald, fotografer pemotretan ini menemui Eva di ruang make up. Dia fotografer senior yang sangat disegani. 

Eva menatap Mas Ronald dari pantulan cermin, berdiri tepat di belakang kursi Eva. “Kata orang bijak, seseorang setidaknya harus punya satu atau dua masa terberat dalam hidupnya.”

“Kamu melakukannya dengan baik, Va."

“Terima kasih sudah mengatakannya, Mas.” Ucap Eva bersungguh-sungguh. Dari sepuluh orang, bisa dibilang sembilan diantaranya tidak menyukai Eva. Mendengar kalimat sederhana yang terdengar tulus itu, Eva menemukan kembali semangatnya yang terkikis banyak hari ini.

Mas Ronald menepuk bahu Eva. “Kerja bagus hari ini, kalau aku ajak foto lagi, langsung mau, ya?”

“Dengan senang hati, Mas.”

Mas Ronald hendak berbalik tapi masih ingin mengatakan sesuatu. “Jangan terlalu pikirkan sikap mereka, mereka hanya tidak tahu bagaimana kamu bisa sampai di titik ini.” Eva mengangguk mantap.

Ditinggalkan di ruang itu sendiri, Eva mendesah sambil menatap wajahnya di cermin. 

Satu hal yang masih bisa disyukuri, setidaknya dari sepuluh orang itu, masih ada satu yang bisa menerimanya.

*** 

Saga menerima tamu VIP di restorannya, delapan artis papan atas, dan sejumlah orang yang duduk di meja terpisah. Sebagai Chef, Saga menghidangkan langsung menu utama di meja.

Artis-artis ini selalu mengeluh tentang gosip, tapi di sisi lain mereka juga suka bergosip. Ya, siapa pun akan suka bergosip, selama itu bukan tentang diri mereka.

“Aku nggak bisa makan satu meja dengan dia, untung dia nggak ikut.”

“Dia cuma menang kaki jenjang, wajah dan aktingnya sangat standar.”

"Di bawah standar malah, kalau menurutku ya."

“Nah, jelas sekali, kan?” Tiga orang artis itu berbicara menggebu-gebu, sementara yang lain mendengarkan dengan khidmat. “Kalau bicara soal cantik, banyak yang lebih cantik. Yang aktingnya bagus juga banyak. Dia debut pertama langsung jadi pemeran utama, semua orang tahu kalau dia memang ada apa-apa sama Rizal Chandra—terima kasih.” Patut dipuji karena dia masih ingat mengucapkan terima kasih saat Saga meletakkan piring di depannya.

“Aku jadi kasihan sama Adelia Hara, dia yang akhirnya bisa jadi pemeran utama, eh lampu disorotnya ke pemeran pendukung.”

Apa yang sedang mereka bicarakan adalah Eva? 

“Jangan lagi-lagi deh, kita satu frame sama dia.”

"Ya kalau bukan karena ini pemotretannya Mas Ronald mana mungkin aku mau."

Saga mendesah begitu meletakkan piring terakhir, sebelum undur diri. 

Eva, sepertinya dia bermasalah dengan semua orang. Apa sesulit itu baginya untuk hidup damai?

Saga tidak bisa menghubungi Eva lagi sama sekali, mencoba disambungkan lewat asistennya juga sama saja. Lama-lama Saga lelah, toh ia tidak punya kewajiban untuk peduli.

Restoran sudah tutup dan Saga bersiap tidur di lantai tiga yang memang ia jadikan tempat tinggal. Saga sangat tahu harusnya ia langsung memejamkan mata begitu berbaring, alih-alih mengetikkan nama Evaria Dona di kolom mesin pencari internet lalu membaca satu per satu artikel terbaru terkait Evaria Dona.

Sialan! Saga tidak bisa menahan diri untuk selalu ingin tahu kabar Eva.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status