Danas hanya terdiam tidak menjawab. “Danas,” panggil Langit. Kali ini suaranya agak meninggi.
Semua wanita ingin dipuja, dimanja, mengapa diriku mengalami nasib seperti ini. Apa aku salah, menginginkan seorang suami yang perhatian?! Semua wanita menginginkan hal yang sama. Tapi, aku harus membuang semua keinginan itu, bagi diriku berharap hal itu terwujud hanyalah sia-sia.
Mata Danas berada satu garis dengan hazel mata Langit, kemudian beranjak mendekat ke arah suaminya.
Dia tahu, jika pria itu sedang menjaga imej, namun hal itu membuat hatinya terasa sakit. Kepura-puraan yang dilakukan oleh Langit, mengiris hatinya paling dalam. Bukan ketulusan saat melakukan kemesraan, namun semuanya adalah Fake.
Langit yang perhatian, adalah Palsu. Langit yang tersenyum dan hangat adalah palsu.
Melihat langkah Danas yang pelan, membuat pria itu segera menarik tangan gadis itu dan membuat gadis itu kini duduk di dalam pangkuannya.
“A-aku duduk di kursi saja.”
Langit mempererat pelukannya. “Jadilah anak baik, duduk dengan tenang. Kau pikir, aku akan memelukmu seperti ini, aku tidak ingin mereka berpikir yang tidak-tidak tentangku,” bisik Langit.
Ada rasa sakit ketika suami sendiri yang mengatakan hal itu padanya, walaupun dia tahu jika yang terjadi hanyalah sandiwara, tapi tetap saja sakit ketika Langit yang mengatakannya.
Tangannya dikepalkan dengan erat, berusaha tegar. Dia tidak bisa mengatakan bagaimana rasa sakit yang tengah dipendamnya dalam hati, menerima semua perlakuan pria itu. Usia pernikahan mereka belum satu minggu, tapi dirinya tidak tahan dengan apa yang sedang terjadi pada hidupnya.
Duduk dipangkuan Langit, membuat tubuhnya sedikit menegang, dia takut jika membuat kesalahan, akan membuat suaminya marah.
Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat tubuhnya makin menegang. Tidak pernah dia merasa sedekat ini dengan Langit. Berada di dalam pelukan pria itu, membuatnya takut.
“Aku tidak akan kasar padamu, jangan membuat semua orang di sini menatap aneh ke arah kita,” bisik Langit.
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Danas, gadis itu memilih untuk diam, dan tersenyum. Sesekali Langit mengajaknya berbicara beberapa hal kecil, kemudian kembali diam.
Pura-pura tersenyum, rasanya begitu menyakitkan.
Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan membuatnya tanpa sadar bersandar di dada bidang Langit, perlahan-lahan gadis itu tertidur. Pria itu sejenak melirik ke arah istrinya yang telah tertidur di pangkuannya itu.
Gadis itu tertidur dengan pulas, seakan tidak terjadi apa-apa. Langit menatap wajah Danas yang tengah tertidur.
“Cantik, tapi aku tidak berniat untuk baik padanya,” batinnya.
Aroma mint, dan vanilla dari tubuh Danas membuat pria itu tanpa sadar memeluk gadis yang dipangku olehnya. Dirinya bahkan tidak sadar, jika bahwa dia tengah kecanduan dengan wangi tubuh Danas.
“Aku tidak bisa berbohong, jika aroma tubuhnya membuatku tenang,” batinnya.
Danas yang tengah berada dalam pangkuannya ikut terlelap dengan suaminya yang tertidur sambil memeluknya.
Samar-samar terlihat langit-langit kamar dengan seorang pria yang tengah berbaring di sampingnya.
“Kapan kami sampai di Jerman?” tanya dalam hati sambil beranjak dari tempat tidur.
Matanya menjelajahi ruangan itu, diikuti langkah kaki yang tengah menyelidiki setiap ruangan.
“Wah, ini seperti sebuah apartemen,” batin Danas.
Dia mencari tas miliknya, tetapi tidak menemukannya.
“Aku harus bergegas mandi, sebelum dia bangun,” gumamnya sambil melangkah ke kamar mandi.
Wajahnya dibasuh lebih dulu dengan air, sambil menatap tajam ke arah kaca yang tengah berada di depannya.
Pantulan wajahnya yang berada di dalam kaca membuatnya prihatin pada dirinya sendiri. Dia seharusnya orang paling bahagia, bisa menikah tapi bukan pernikahan seperti ini yang dia inginkan.
Ceklek
Pintu kamar mandi terbuka, membuat Danas bisa melihat jika Langit tengah berada di belakangnya saat ini. Sejenak mata mereka berada dalam satu garis lurus, menyadari kedatangan Langit membuat lamunannya buyar dan cepat berlalu dari sana.
Tidak banyak yang dia lakukan pagi itu, duduk menyantap sarapan yang telah dihidangkan, dengan suaminya yang pergi entah ke mana. Terkadang dia berjalan keluar balkon sambil melihat pemandangan luar balkon.
“Nona,” panggil Marvin membuat gadis itu menoleh ke asal suara yang memanggilnya.
“Anda tidak bosan berada di sini?” tanya pria itu.
Danas menghela nafasnya dengan pelan.
“Kamu sudah lama bekerja dengannya bukan?” tanya Danas membuat Marvin.
Pria itu menganggukan kepalanya. Danas menyandarkan tubuhnya di pagar balkon, menatap ke arah pria yang tengah berada di depannya.
“Jadi, apa kau tahu kenapa dia membenci?” tanya Danas dengan pelan.
Marvin mengerutkan keningnya, dirinya tidak percaya akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari wanita yang kini menjadi istri atasannya.
“I-itu karena—“
Gadis itu berharap mendapatkan jawaban, mengapa suaminya begitu membenci dirinya, alasan Langit yang mengatakan jika dirinya seorang pembunuh.
Ddzz …
Marvin meraih ponsel dari sakunya, kemudian melihat ke arah Danas.
“Maaf, Nyonya. Aku harus menerima telfon ini,” ucap pria itu kemudian beranjak dari sana.
Dirinya tidak mendapatkan jawaban ketika perkataan pria di depannya harus terpotong dengan sebuah panggilan telepon.
“Huh!” Helaan nafas panjang, sambil menikmati pemandangan langit yang akan gelap saat itu. Tanpa teman, tanpa seseorang yang membuatnya merasakan kesendirian.
Langit Jerman saat itu, tampak indah, dan tampak begitu luas untuk dirinya sendiri. Suaminya entah pergi ke mana setelah meninggalkannya. Diabaikan mungkin adalah kata yang tepat untuknya.
Honeymoon seperti apa, meninggalkan pasangannya. Bahkan sangat jauh dari kata honeymoon, lebih tepatnya saat ini bukanlah honeymoon.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka, terlihat Langit pulang dengan pakaian yang tidak lagi rapi seperti saat pria itu keluar. Kancing pakaian yang telah terbuka, dan hilang.
Danas meraih tubuh atletis itu, membuatnya mengibaskan tangannya karena mencium bau alkohol dari tubuh suaminya.
“Kenapa dia minum banyak sekali,” keluh Danas sambil membaringkan suaminya di atas ranjang.
Sepatu, dan juga kaos kaki dilepaskan olehnya.
Sebuah ketukan terdengar.
“Kamu …”
Danas melihat Marvin yang berada di depan pintu kamar mereka, sambil mengukir senyum.
“Apa yang terjadi? Kenapa—“
“Tuan mabuk-mabukan.”
Gadis itu melihat Langit yang tidak sadarkan diri, kemudian beralih menatap tajam ke arah Marvin, kemudian menutup pintu kamar dari luar.
“Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Kenapa dia datang ke sini.”
“It-itu.”
“Marvin …” Suara Danas terdengar mengintimidasi pria yang ada di depannya saat ini.
“Sebaiknya kita bicara di tempat lain.”
“Baik, kita pergi ke kantin.”
Danas melangkah perlahan. “Nyonya, kantinnya bukan ke arah sana, tapi ke arah sini.”
Gadis itu memutar tubuhnya melihat ke arah Marvin. “Ah, ke sana, ya.”
Langkah kakinya mengikuti pria yang menjadi asisten suaminya itu, tidak ada yang membuka suara saat mereka berada di dalam lift. Marvin menuntun Danas menuju meja dan memesan minuman.
“Jadi, ceritakan padaku segala yang kau tahu,” ucap Danas sambil melihat ke arah Marvin. “Apa yang membuatnya datang ke sini?”
“Se-sebenarnya Tuan datang ke sini untuk mencari Nona Renata.”
“Re-renata?” tanyanya.
Dirinya agar terkejut mendengar nama itu.
“Siapa Renata?”
“Nona Renata adalah kekasih Tuan.”
“Nona Renata adalah kekasih Tuan.” Jantung Danas berdegup dengan sangat kuat, gelas di tangannya digenggamnya dengan erat. Hatinya terasa sakit, seakan ada sebuah duri yang di tembakan langsung menuju dasar hatinya. Rahasia besar seperti ini, sangat menyakitkan baginya. Air mata tanpa terasa membasahi pipinya, dengan cepat dihapus olehnya. “Nyonya, anda tidak apa-apa?” tanya Marvin yang melihat istri tuannya menangis. “Ya, tidak apa-apa, lanjutkan.” Sejenak Marvin menatap gadis itu. “Tuhan, kenapa Engkau memberikan cobaan untuk wanita yang begitu tegar hatinya. Harusnya, Engkau membuatnya menikah dengan pria yang bisa menghargai dirinya lebih dari dia menghargai dirinya sendiri,” batin Marvin merasa iba. Dia menceritakan seluruh apa yang dia ketahui sambil melihat respon Danas, dia tahu gadis itu sangat terluka dan terpukul mengetahui segalanya. Hanya ada senyuman paksa yang terbit di bibir Danas, tapi matanya tidak bisa berbohong jika dia terluka dengan seluruh penjelasan itu.
“Hei, Dan. Tumben naik taksi, biasanya naik bus,” sapa seorang wanita, ketika Danas baru saja turun dari dalam taksi. “Aku tidak tahu kau mengambil cuti beberapa hari, aku bahkan menghubungimu, tapi tidak tersambung.” Gadis itu menghela nafasnya, ada rasa lega, namun tubuhnya terasa remuk saat ini apalagi ketika mereka baru saja sampai dari Jerman dan Langit memberikan begitu banyak pekerjaan untuknya. Danas menengok ke belakang. Melihat siapa yang menyapanya itu. “Ah, ternyata kau, Dav.” Gadis berambut pendek, dengan poni yang tersusun rapi, ditambah lipstik berwarna pink di bibirnya membuat wajah gadis itu terlihat cantik. Davina Rahwani—sahabatnya. “Iya dong,” respon gadis itu sambil menepuk pundak Danas. “Aw …” ringisnya. “A-ada apa? Kenapa kau meringis?” “T-tidak ada apa-apa,” jawab Danas, gadis itu mencoba untuk menyembunyikan jika tubuhnya terdapat luka memar. “Benar-benar tidak apa-apa? Kau berbeda dari biasanya, kau tampak pucat dan lelah.” “Ya, aku baik-baik saja. A
Tidak ada yang berani berbicara. Sepanjang perjalanan hanya keheningan, Danas bahkan begitu ketakutan ketika duduk dengan pria yang tengah bersamanya itu. Tubuhnya menegang, dengan tangan yang tengah mengepal erat. “Jangan membuatku malu, hari ini kita akan makan malam dengan klien-ku. Kau harus berganti pakaian.” “A-aku—” “Aku benci penolakan, perkataanku adalah perintah,” potong Elang. Kini Danas tidak ingin membantah lagi, semua yang ingin dia katakan, tidak akan didengar oleh Langit. Pria di sampingnya begitu mengintimidasi dirinya. Dirinya ingin bertanya, tentang kesalahan apa yang diperbuat olehnya, siapa yang dibunuhnya, namun dia tidak pernah diizinkan untuk berbicara. Kkkrrr … Danas memegang perutnya, terdengar bunyi yang tidak seharusnya. Sejak tadi pagi, dia tidak sarapan karena harus buru-buru ke kampus. “Huh!” Langit yang mendengar hal itu, menghela nafasnya. “Kita mampir ke restoran lebih dulu,” titah Langit. “Baik, Tuan.” “Ini Pak Rajo, dia yang akan mengantarka
Danas terisak sejenak, dia menangis tanpa suara. Bagaimana rasanya menangis tanpa suara? Begitu menderita, hati masih menyimpan begitu banyak penderitaan di dalam hati, sedangkan tidak ingin ada yang tahu jika diri kita begitu menderita. Dirinya yang ada di dalam cermin, sangat jelas terlihat jika dia begitu rapuh. “Oh tidak, aku membuat make upnya rusak,” pekiknya sambil celingak-celinguk mencari tisu. Karena tidak menemukan tisu, Danas mencoba untuk menyeka air matanya menggunakan tangan. “Oh tidak, kau merusaknya,” pekik Mike yang melihat hal itu, kemudian buru-buru mendekat. “Kenapa? Apa kau berkeringat? Jangan menyekanya dengan tangan. Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan tisu untukmu.” Pria itu bergegas keluar ruangan mengambil tisu. “Kapan selesai? Kenapa kau membuatku begitu lama.” Langit tengah duduk menyilangkan kaki dan tangannya. Kini matanya tengah menatap ke arah Mike. “Sabar sedikit lagi. Kau akan mendapatkan hasil yang sempurna, tuan Langit. Aku janji, kau aka
Mobil Langit berhenti di depan sebuah gedung, dengan beberapa orang yang siap untuk menyambutnya. Langit menatap Danas, membuat tubuh gadis itu menegang. Seakan perlakuan pria itu padanya, membekas, dan membuat tubuhnya bereaksi ketika pria itu mengeluarkan suara berat miliknya. “Ingat, jangan lakukan sesuatu yang membuatku malu, atau kau tahu akibatnya,” ancam Langit. Danas mengangguk pelan. “Bagus, jadilah anak baik, atau kau akan tau akibatnya,” bisik Langit, lagi-lagi membuat Danas merinding dengan kalimat terakhir yang diucapkan Langit. Seseorang telah membuka pintu mobil, membuat Langit turun lebih dulu. Pria itu, seketika berdiri di dekat pintu mobil, sambil mengulurkan tangannya. Ada keraguan ketika Danas mencoba untuk meraih tangan kekar itu, bahkan Langit tersenyum padanya, membuatnya sedikit takut. Dia jelas tahu jika pria itu terpaksa tersenyum, untuk menutup segalanya, dan tidak ingin mendapatkan gosip tentang hubungan mereka yang tidak baik-baik saja. Langit memberik
Mata Danas membulat, ketika ada sentuhan lembut dilehernya. Pria yang tengah memeluknya mempererat pelukannya, membuatnya tidak bisa bergerak. Hanya beberapa saat saja, hal itu terjadi kemudian Langit mencoba menjauhkan diri dari gadis itu dengan mendorong tubuh Danas, kemudian menariknya kembali agar masuk ke dalam pelukannya. “Apa kau sedang menggodaku?” tanya Langit. “T-tidak, aku tidak menggodamu.” “Tapi kenapa kau—“ Melihat Danas yang tengah tertunduk karena takut, membuat Langit mendengkus pelan. Ada ego yang membuatnya tidak menerima jika dirinya yang tergoda namun lagi-lagi dirinya tidak ingin mengakui hal itu. Ada rasa candu yang tengah mengebu di dasar hatinya, aroma tubuh Danas seakan tengah memikatnya untuk mencicipi tubuh ini. “Sial, kenapa dia menggodaku. Aroma tubuhnya begitu membuatku nyaman,” umpatnya. Suasana ruangan masih gelap, dengan alunan piano yang masih berlanjut, dansa pun masih belum selesai. Beberapa orang telah ikut bergabung di lantai dansa, sedang
“Apa yang kalian bicarakan?” Danas melihat ke arah pria yang tengah berada di sampingnya. Ada sedikit ketakutan di mata Danas ketika Langit bertanya padanya. “Apa kau tiba-tiba bisu, setelah tertawa begitu puas saat bersama gadis itu?” “Alexa Amareta—namanya.” “Jadi namanya Alexa.” Langit mengangguk pelan. “Dia hanya menceritakan hal lucu, itu saja.” Langit menatap gadis yang bersamanya itu, seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Danas. Tatapan penuh menyelidiki. “Dia bertanya, kapan kita bertemu dan jatuh cinta tapi aku tidak menjawabnya.” “Sudah kuduga, dia pasti mendekatimu untuk bertanya hal seperti itu. Jangan bertemu dengannya lagi, dia memiliki niat buruk untuk mencari tahu tentang hubungan kita.” Danas menunduk sejenak, kemudian menoleh ke luar jendela. Perkataan Langit, menyadarkannya satu hal, jika hubungan mereka tidak layak untuk dipublikasikan pada banyak orang. Menjadi istri seorang Langit, adalah sebuah masalah untuknya, dia pun tahu itu. Di luar
“Datang ke kantorku!” Pesan yang baru masuk itu, membuat tangan Danas bergetar apalagi ketika sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Mobil Toyota corolla Altis berwarna hitam tepat berhenti di depannya. Seseorang keluar dari dalam mobil, dan membuka pintu mobil untuknya. Pria yang membuka kan pintu sedikit membungkukan badan menyambutnya. “Tuan sedang menunggu di kantor.” Tatapan terkejut terlihat di raut wajahnya, bagaimana tidak dia tidak pernah dijemput oleh sopir setelah keluarganya bangkrut. Sejenak dia melirik ke arah sekitarnya, beberapa orang memandanginya dengan tatapan tidak senang. Sejak orang tuanya, dinyatakan bangkrut, dan perusahaannya diambil alih oleh Neha’v Group, bully-an diterima olehnya. Orang-orang memandangnya rendah, yang bertahan dan masih bersahabat dengannya adalah Davina. Danas hanya bisa menghela nafasnya ketika masuk ke dalam mobil. “Besok, jangan menjemputku di tempat ramai, aku tidak mereka melihatku seperti itu lagi.” “Maafkan aku Nyonya, aku