“Datang ke kantorku!” Pesan yang baru masuk itu, membuat tangan Danas bergetar apalagi ketika sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Mobil Toyota corolla Altis berwarna hitam tepat berhenti di depannya. Seseorang keluar dari dalam mobil, dan membuka pintu mobil untuknya. Pria yang membuka kan pintu sedikit membungkukan badan menyambutnya. “Tuan sedang menunggu di kantor.” Tatapan terkejut terlihat di raut wajahnya, bagaimana tidak dia tidak pernah dijemput oleh sopir setelah keluarganya bangkrut. Sejenak dia melirik ke arah sekitarnya, beberapa orang memandanginya dengan tatapan tidak senang. Sejak orang tuanya, dinyatakan bangkrut, dan perusahaannya diambil alih oleh Neha’v Group, bully-an diterima olehnya. Orang-orang memandangnya rendah, yang bertahan dan masih bersahabat dengannya adalah Davina. Danas hanya bisa menghela nafasnya ketika masuk ke dalam mobil. “Besok, jangan menjemputku di tempat ramai, aku tidak mereka melihatku seperti itu lagi.” “Maafkan aku Nyonya, aku
“Datang ke kantorku!” Pesan yang baru masuk itu, membuat tangan Danas bergetar apalagi ketika sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Mobil Toyota corolla Altis berwarna hitam tepat berhenti di depannya. Seseorang keluar dari dalam mobil, dan membuka pintu mobil untuknya. Pria yang membuka kan pintu sedikit membungkukan badan menyambutnya. “Tuan sedang menunggu di kantor.” Tatapan terkejut terlihat di raut wajahnya, bagaimana tidak dia tidak pernah dijemput oleh sopir setelah keluarganya bangkrut. Sejenak dia melirik ke arah sekitarnya, beberapa orang memandanginya dengan tatapan tidak senang. Sejak orang tuanya, dinyatakan bangkrut, dan perusahaannya diambil alih oleh Neha’v Group, bully-an diterima olehnya. Orang-orang memandangnya rendah, yang bertahan dan masih bersahabat dengannya adalah Davina. Danas hanya bisa menghela nafasnya ketika masuk ke dalam mobil. “Besok, jangan menjemputku di tempat ramai, aku tidak mereka melihatku seperti itu lagi.” “Maafkan aku Nyonya, aku
Danas tidak pernah melihat pria yang menegurnya sebelumnya. “Siapa aku? Kau tidak perlu kau tahu, aku siapa. Em, dan kenapa aku ada di sini karena melihat gadis cantik memasang wajah seperti ingin mengakhiri hidupnya, apalagi lewat tangga darurat. Kupikir kau akan bunuh diri. Itu, tidak akan baik jika kau bunuh diri di sini.” “Sebaiknya kau tidak perlu ikut campur urusan orang lain,” ucap Danas ketus, kemudian memilih untuk pergi dari sana sedang pria itu hanya menggaruk kepala yang tidak gatal. “Apa aku melakukan kesalahan?” tanyanya kemudian melangkah keluar dari pintu tangga darurat. Langit menghentikan langkah kaki saat melihat pria yang baru saja keluar itu. “Jagad, sedang apa kau di sini? Dan, apa yang kau lakukan di sana?” tanya Langit yang baru saja keluar dari dalam ruangannya. “Menyapa teman,” jawab pria itu dengan santai. “Dan, itu—hanya penasaran pada wanita cantik yang ada di sana, kupikir dia akan bunuh diri jadi aku mengikutinya tapi dia mengabaikanku.” Langit men
Renata seakan dihujam oleh ribuan batu ketika mendapatkan kenyataan jika Danas menikah dengan kekasihnya-Langit. Rasa menyesal meninggalkan Langit kini membuatnya frustasi. “M-mereka menikah?” batin Renata bertanya. Ia menatap Danas dengan intens, ia benci wanita itu. Mimpi buruknya selama ini menjadi kenyataan. Dadanya terasa sesak, emosinya meluap membuat rasa benci pada Danas semakin menjadi-jadi. Posisi yang dia inginkan selama ini, kini ditempati oleh orang lain. Keadaan begitu mencengkam, Danas memilih diam. Ia adalah korban di sini, tetapi semua orang menyalakannya. “Semua ini salahmu,” tuduh Renata membuat Danas melihat ke arahnya. “Kau membuatku tidak bisa menikah dengan Langit, kau mengambil posisi yang harusnya kumiliki,” ucap Renata lagi emosi. “Kita bicarakan ini nanti, biar aku antarkan kau pulang,” ucap Langit menarik tangan Renata kemudian dihempas kasar olehnya. “Tidak. Kau harus jelaskan apa yang terjadi. Kenapa kau bisa menikahi wanita ini. Kenapa?” Renata seda
“Diam kau jalang!” bentak Renata. “Jangan memasang wajah polosmu itu. Sangat menjijikan dengan apa yang kau lakukan.” Tamparan serta umpatan itu mengundang beberapa orang menyaksikan apa yang tengah terjadi di antara mereka. Danas menyentuh pipi yang baru ditampar oleh Renata, terasa perih. Entah apa yang membuat Renata berubah menjadi begitu membencinya, bahkan dia sendiri tidak lagi tertarik dengan Langit. “Kau telah mengambil apa yang harusnya menjadi milikku,” ucap Renata geram. Dia ingin menampar Danas sekali lagi tetapi dihentikan, begitu banyak yang melihat apa yang mereka lakukan. “Aku tidak mengambilnya darimu, dia yang memaksaku menikah,” bela Danas. Apa yang dia katakan memang benar, ia tidak berbohong. Langit sendirilah yang datang serta mengancam orang tuanya. Namun, percuma wanita di hadapannya tidak akan menerima apa yang dia katakan walaupun itu kebenaran. “Memaksa? Kau pikir Langit akan memaksamu menikah dengannya? Kau pasti merayunya,” tuduh Renata. “Kenapa kau
Langit baru saja kembali ke rumah, tubuhnya begitu lelah membuatnya segera ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Ia tertegun sejenak ketika melihat kamar mandi yang dipenuhi oleh lilin aroma terapi yang membuatnya merasa nyaman, bahkan air yang berada di bathtub pun masih hangat. “Apa dia yang melakukannya?” tanya Langit melihat sekelilingnya. Handuk pun berada di sana, serta peralatan mandi sangat lengkap, tidak lupa dengan baju mandi yang berada di sana. Rasa lelah yang menyelimuti tubuhnya membuatnya segera masuk ke dalam bathtub dan menikmati sentuhan air hangat tersebut. Langit sedikit terkejut ketika air yang dipakainya berendam terasa asin, membuatnya ingin segera beranjak dari sana tapi ia mengurungkan niatnya karena rasa lelah dan sensasi yang ia rasakan berbeda dari biasanya. Pakaian mandi berwarna silver dipakainya kemudian melemparkan tubuh kekar di atas tempat tidur, seketika Langit memejamkan mata sesuatu tengah mengganjal dipikirannya. Tubuhnya begitu lelah, tap
Mata Langit mencari keberadaan Danas tetapi tidak menemukan keberadaan wanita itu. “Tuan, mencari Nyonya?” tanya seorang maid seakan tahu apa yang tengah dicari oleh Langit. “Nyonya telah berangkat ke kampus, dia membuatkan sarapan untuk Tuan,” tambah Maid sambil melihat ke arah meja. Langit menganggukan kepala sambil memberikan isyarat wanita itu pergi. Sangat jarang, dia melihat Danas di pagi hari, wanita itu seakan menghindar darinya. Dan, mungkin akan terus menghindarinya, mengingat dia telah memaksa wanita itu untuk melayani. Tidak ada satu kalimat yang keluar dari mulut Langit saat menikmati hidangan itu. Hingga, terdengar suara derapan langkah kaki menuju ke arahnya. “Sayang. Aku menghubungimu tapi kau tidak mengangkat teleponku.” Suara Renata terdengar menghampiri Langit yang tengah makan. Dia duduk tanpa menunggu Langit memerintahkannya, bahkan menyambar makanan yang tengah dimakan oleh pria itu. “Aku belum sarapan, kau tidak mengangkat teleponku.” Langit sama sekali tida
Renata begitu kesal karena Danas mulai berani untuk menentangnya. Apalagi sampai mengancamnya. “Siapa dia, berani-beraninya mengancamku? Sialan.”Perempuan itu mengumpat. Wajahnya terlihat merah padam. Matanya menyimpan dendam yang luar biasa. Dia tak akan pernah membiarkan orang lain melawannya.Renata pulang ke apartemennya. Dibukanya pintu dengan kasar lalu dibantingnya. Suaranya berdebam membuat kaget yang mendengarnya. Renata tak peduli.Dilemparkannya tas yang berada di tangannya dengan sembarangan dan mendarat di atas ranjang. Renata lalu berjalan ke arah wastafel dan mencuci wajahnya.Berulangkali dia mencuci wajah dan membasahi rambutnya, berharap kekesalannya pada Danas hilang. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Bayangan Danas mengancam dirinya berseliweran di kepalanya tanpa jeda.“Aaaarrghh. Sial!”Renata kembali berseru keras. Satu tangannya tak sadar memukul kaca yang tergantung di depan wastafel. Retak. Pecah. Tangan Renata berdarah.Namun, Renata tak memperdulikann