Share

TUDUHAN ITU TERBUKTI

Jeni melangkah dengan gontai memasuki pintu lift yang baru saja terbuka, namun ia segera ingat sesuatu kalau tasnya ketinggalan di kamar apartemen Louis. Segera ia keluar kembali dan berjalan cepat menuju kamar Louis.

Entah kenapa hatinya mendadak deg-degan saat ia hendak membuka sendiri pintu smart lock kamar apartemen kekasihnya yang ia sangat hafal kode passwordnya.

Jeni ingin sekali mengetuk pintu itu agar Louis sendiri yang membukakannya, namun seakan hatinya mencegah. Jeni pun menghela nafas dan menuruti hatinya untuk membuka sendiri pintu itu.

Dan ternyata saat ia masuk, Jeni mendengar suara tawa manja seorang perempuan dari dalam kamar Louis. Hatinya pun semakin deg-degan dibarengi dengan badan yang gemetar.

Pelan-pelan kaki Jeni melangkah menuju kamar Louis dan tawa manja perempuan itu semakin terdengar jelas. Hal itu membuat sepasang mata indah milik Jeni pun begitu perih dan  langsung berderai air mata. Dadanya seakan bergemuruh menahan emosi, sementara tubuhnya mendadak lemas mendengar kenyataan bahwa tuduhan sahabatnya kepada kekasih yang ia cintai adalah benar.

Ingin sekali tangan Jeni membuka pintu kamar itu namun rasanya ia tak kuasa kalau harus melihat kenyataan yang ada, Jeni mematung di depan kamar itu sambil menangis terisak, tapi suara itu semakin terdengar menjijikkan di telinga gadis cantik berusia dua puluh empat tahun itu. Jeni akhirnya memutuskan untuk kembali pulang dan mengambil tasnya yang ketinggalan di sofa ruang tamu Louis.

Namun ia justru tak sengaja menyenggol vas besar yang ada di dekatnya sehingga jatuh dan menimbulkan suara keras yang akhirnya membuat Louis dan Renata justru keluar dari kamar.

“Jeni!” seru Louis dengan ekspresi kaget bukan kepalang.

Plak

Melihat Louis keluar kamar dengan menggunakan piyama kimono pria bersama Renata dengan lingerie seksinya. Jeni pun tak kuasa menahan emosinya. Ia langsung menghampiri Louis dan langsung melayangkan tamparan begitu keras.

“Apa salahku Louis? Apa?” teriak Jeni kalap.

Ia pun kemudian menangis sejadi-jadinya di depan Louis dan Renata. Sementara Renata justru kembali ke kamar dan tidak mau ikut campur urusan Jeni dan Louis.

“Maafkan aku Jeni, aku bisa jelaskan.” Ujar Louis yang sambil ingin memeluk Jeni karena kasihan.

“Tidak, jangan sentuh aku Louis. Aku sudah mendengar semuanya. Kamu tega!” teriaknya lagi sambil mendorong tubuh Louis dengan sangat kasar.

Jeni sudah tidak kuat lagi berada di tempat itu, ia kemudian berlari keluar dari apartemen Louis dan berjalan dengan gontai masuk ke dalam pintu lift yang baru saja terbuka.

Kebetulan hanya Jeni sendiri yang berada di lift itu sehingga ia langsung duduk bersimpuh sambil menangis sejadi-jadinya. Hatinya begitu hancur.

Rasanya ia tak sanggup lagi untuk bangkit dan melangkah keluar dari pintu lift saat sudah sampai di lobby. Tubuh Jeni begitu lemas.

“Boleh aku bantu?” tanya laki-laki seusianya yang baru saja masuk ke pintu lift itu.

Suara khas bariton laki-laki yang tak ia kenal itu membuat Jeni seketika mendongak ke arahnya dan cepat-cepat menghapus air matanya.

“Tidak usah, terimakasih.” Jawab Jeni yang kemudian berusaha bediri sendiri.

Dan baru beberapa langkah saja, tubuh Jeni terhuyung karena kepalanya yang mendadak pusing. Jeni hampir saja  jatuh namun dengan cekatan laki-laki yang baru ia kenal itu langsung memback up tubuh Jeni sehingga ia saat ini berada pada tumpuan tangan laki-laki itu.

“Terimakasih sudah membantu, aku harus pergi dari sini,” ujar Jeni yang berusaha bediri dengan memegangi kepalanya yang masih pusing.

“Apa kamu bisa pulang dengan kondisi seperti itu?” tanya laki-laki itu yang nampak khawatir.

Jeni hanya tersenyum seraya mengangguk pada laki-laki itu, memastikan bahwa dirinya kuat untuk pulang sendiri.

“Baiklah, hati-hati di jalan!” Ujar laki-laki itu kemudian.

Lagi-lagi Jeni hanya mengangguk, lalu keluar dari lobby apartemen Elite City dengan perasaan dan kondisi yang sebenarnya sangat tidak baik-baik saja.

Jeni kembali terisak saat keluar dari gedung apartemen, bahkan dadanya terasa begitu sesak mengingat semua kejadian yang baru saja ia alami. Ingin sekali ia berteriak sekeras mungkin untuk melampiaskan semua perasaan emosi yang ada pada dirinya saat ini, namun hari sudah semakin malam. Sementara ia justru berjalan kaki sendirian pulang ke kosnya sambil tak berhenti menangisi dirinya sendiri.

“Jeni!” Seru Tamara yang tiba-tiba tak sengaja melihat Jeni yang berjalan sendirian.

“Tamara!” Seru balik Jeni yang mendadak senang sekali bertemu dengan sahabatnya itu.

“Ayo cepat masuk, aku antar pulang sekarang.” Titah Tamara.

Jeni hanya mengangguk lalu menyelinap masuk ke dalam mobil mewah milik Tamara.

“Mata kamu sangat sembab, kamu kenapa Jen? Kamu seperti habis menangis hebat.” Tanya Tamara saat mereka sedang dalam perjalanan menuju kos Jeni.

“Louis.”

“Kalian bertengkar?” tanya Tamara lagi.

Sebenarnya Tamara dan Tania sudah lama sekali memergoki hubungan Louis dan Renata, tapi berbeda dengan Tania yang selalu mencoba memperlihatkannya pada Jeni, Tamara justru memilih diam karena ia tahu Jeni tidak akan pernah percaya dengannya. Tamara lebih kepada memperingatkan Renata agar menjauhi Louis, bahkan ia sudah berkali-kali mengancam primadona kampus itu.

Jeni menggeleng cepat, ia kemudian menggigit bibirnya untuk menahan agar tidak kembali menangis di depan Tamara, namun hatinya begitu perih sekali. Kejadian tadi benar-benar tak bisa lenyap begitu saja dalam pikiran Jeni, bahkan terus menghantui dan membuatnya tidak bisa lagi membendung air matanya. Jeni menangis sejadi-jadinya di depan Tamara.

Seketika Tamara pun melajukan mobilnya ke tepi jalan dan berhenti. Tamara langsung memeluk Jeni, meskipun dalam hati ia belum tahu sebenarnya apa yang terjadi dengan Jeni.

“Maafkan aku Tam, aku tidak pernah percaya dengan kalian,” ujar Jeni menyesal di sela isak tangisnya.

Tamara hanya mengangguk sambil semakin erat memeluk Jeni, ia tahu sekarang kenapa Jeni sampai menangis hebat seperti itu. Tak terasa air mata Tamara pun ikut jatuh, ia bisa merasakan kesedihan yang dirasakan Jeni. Mereka bertiga, Tamara, Tania dan Jeni merupakan sahabat sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, persahabatan mereka begitu kuat hingga sudah seperti saudara kandung.

“Tinggalkan Louis, sudah saatnya kamu bahagia Jen!” tutur Tamara.

“Tapi...”

“Buka mata kamu Jen, Louis tidak pantas untukmu.” Ucap Tamara geram.

“Aku tidak akan pernah bisa meninggalkannya Tam, karena aku...” Jeni tak kuasa melanjutkan kalimatnya, hanya tangis penuh penyesalan yang bisa ia ungkapkan pada Tamara.

Halo readers, terimakasih sudah mampir. Mohon kritik sarannya ya. Oh ya kalian bisa sapa author di IG @ritahawa_

Thank you 😊

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status