Share

PENGALAMAN PERTAMA

Jeni melongo bingung melihat Tania dan Tamara yang bercipika-cipiki ria dengan Steven secara bergantian.

“Kalian sudah saling kenal?”

Steven mengangguk dengan senyumannya yang begitu mengoyakkan hati siapapun yang memandangannya.

“Kita dulu satu geng saat SD, geng penyelamatan, dan kali ini kita kembali dipersatukan untuk misi yang sama,” sahut Tamara diiringi gelak tawanya yang disusul oleh Tania dan Steven.

Jeni tersenyum dingin, kemudian duduk di kursi di samping Steven karena Steven dengan sigap menarik mundur kursi itu untuk Jeni.

“Ehem,” goda Tania.

Jeni hanya bisa mendelik marah pada salah satu sahabatnya itu, ia tidak suka, dalam hatinya ia masih menginginkan Louis kembali karena janin yang ada dalam perutnya. Jeni tidak ingin buru-buru mencari pengganti Louis, sifat keras kepalanya harus ia pertahankan untuk menarik Louis kembali dari tangan Renata, ia yakin bisa.

Tania dan Tamara justru cekikikan menahan tawa sambil membungkam mulutnya masing-masing, mereka sangat jahil.

“Kalian mau pesan apa?” sahut Steven.

“Beef Steak sama orange squash,” timpal Tania.

“Lemon tea saja,” balas Tamara

Jeni diam, perutnya tiba-tiba sangat mual.

“Kalau kamu Jen?” tanya Steven.

Jeni mengangkat tangan kanannya, lalu sedikit menunduk karena kepalanya tiba-tiba sangat pusing, sementara perutnya sangat mual, mata Jeni sampai merah karena berusaha menahan semua rasa itu.

“Kamu sakit Jen?” tanya Tania dan Tamara panik.

Steven yang segera ingat bahwa Jeni mengalami perubahan hormonal akibat hamil muda, segera memegangi pundak Jeni dan tidak ikut panik seperti Tania dan Tamara.

“Perutku sakit, aku tadi sarapan mie instan lagi.”

“Aku sudah bilang sama kamu, jangan makan mie instan setiap hari,” tutur Tamara.

Steven syok mendengarnya, segitu tidak mampukah kehidupan Jeni sehingga hanya bertahan di kos yang sangat tidak layak dan mengganjal perut hanya dengan mie instan setiap hari. Steven jadi ingin menjerit dalam hati.

“Louis, apa kamu juga tidak tahu tentang itu? Apa memberinya uang cukup untuk sebulan akan membuat keluargamu miskin?” Steven mencibir dalam hati.

Jeni sudah tidak tahan lagi, ia terus memegangi perutnya dan berusaha menahan dirinya agar tidak muntah di tempat itu.

“Toiletnya dimana?” tanyanya panik.

Baru saja Steven hendak memanggil waitres dan bertanya, Tania yang memang sudah sering ke tempat itu langsung bangkit dari duduknya dan menggandeng tangan Jeni agar segera menemukan toilet.

Huek

Jeni langsung memuntahkan semuanya ke wastafel, bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Membuatnya sangat tersiksa dengan keadaan ini, Jeni tahu ia harus bisa adaptasi, ini pengalaman pertamanya muntah-muntah seperti ini.

Tania yang menunggunya di luar, tak sabar ikut masuk. Tania curiga Jeni seperti itu bukan karena perutnya sakit akibat tidak sarapan, Tania berpikir lain.

“Apa mungkin Jeni hamil?” Batin Tania bergejolak.

Jeni semakin tak berhenti, kondisinya sangat memprihatinkan, membuat Tania buru-buru mencari minyak di dalam tasnya, barang wajib yang selalu ada di dalam tas perempuan berdarah Tionghoa tersebut. Tania memberikan minyak itu kepada Jeni sambil membantu menggosok lembut pungung sahabatnya itu.

“Coba oleskan ini ke perutmu, siapa tahu bisa membaik Jen,” tutur Tania.

Jeni mengangguk lalu menuruti perintah Tania.

“Kepalaku sangat pusing Tan,” keluh Jeni.

Sedetik kemudian ia kembali mual dan muntah-muntah tak karuan, Tania jadi semakin yakin bahwa ada yang tidak beres pada Jeni, tapi ia tidak mau menuduhnya begitu saja, ia tahu perangai Jeni yang begitu sensitif.

“Tunggu di sini, aku akan meminta teh hangat untukmu,” ujar Tania.

Jeni menolak sambil berkata lirih, “aku ingin pulang.”

“Apa kamu sudah tidak ingin muntah lagi?”

Jeni lalu menggeleng, wajahnya berubah pucat, matanya sayu dan tubuhnya sangat lemah.

“Baiklah, ayo kita pulang.”

Tania menggandeng Jeni pelan-pelan, sementara Tamara dan Steven ternyata menyusul Jeni dan Tania di depan toilet.

Bruk

Jeni tiba-tiba pingsan.

“Jangan panik, aku akan menggendong Jeni sampai ke parkiran,” ujar Steven.

Tania dan Tamara mengangguk setuju, dalam hati mereka berdua masih sangat panik melihat Jeni sampai seperti itu.

Panorama Resto n Cafe terletak di atas lantai 7 Lux City Mall, tentu saja hal itu membuat pusat perhatian orang-orang di sekitar yang melihat Steven, laki-laki dengan ketampanan yang terukir sempurna seperti sebuah manekin hidup berjalan menggendong seorang gadis cantik yang penampilannya sangat biasa, tidak sepadan dengan Steven yang seluruh outfit yang dipakainya bernilai total hingga puluhan juta rupiah, semua barang branded menempel di tubuh laki-laki tampan itu.

Steven tak peduli, dalam hati ia harus cepat membawa Jeni masuk ke mobil Tania.

“Steven, apa kamu tahu sesuatu tentang Jeni?” tanya Tamara penuh selidik saat Steven sudah berhasil membawa Jeni masuk ke mobil Tania.

Steven menggeleng dengan santai, ia berusaha menahan semua emosionalnya demi Jeni, Jeni pernah berpesan padanya untuk merahasiakan semua ini dari Tania atau Tamara.

“Lebih baik kita bawa dia ke rumah sakit, agar semuanya jelas Tam,” timpal Tania.

Mereka berdua mengangguk setuju, sementara Steven sedikit keberatan, untung saja dia tidak kehilangan akal.

“Baiklah, aku saja yang menyetir. Aku akan membawanya ke rumah sakit paling dekat,” sela Steven.

“Tapi mobilmu?”

“Tidak usah khawatir Tan,”

Lagi-lagi Tanaia dan Tamara mengangguk setuju, ia tahu Steven bukanlah orang biasa, ia pasti akan menyuruh orang kepercayaannya untuk membawa mobilnya pulang, sementara saat Tania dan Tamara sudah masuk ke mobil, Steven masih berdiri di luar sambil mengirim pesan kepada dokter langganan keluarganya.

***

“Jadi teman kami hanya asam lambung Dok? Enggak hamil?” tanya Tamara memastikan.

Dokter langganan keluarga yang sudah diberi pesan oleh Steven segera mengangguk dan meyakinkan mereka berdua, senyum bahagia juga perasaan lega langsung menyembul dari wajah Tania juga Tamara begitu mendengar penjelasan Dokter Riska.  

Sementara Steven juga ikut tersenyum lega bisa meyakinkan kedua sahabat lamanya, meskipun awalnya Dokter Riska begitu keberatan dengan permintaan Steven.

“Saya permisi,” pamit Dokter Riska kemudian.

Tania, Tamara juga Steven mengangguk lalu bersamaan menghampiri Jeni yang sudah siuman.

“Kami senang kamu sudah sadar Jen, maaf kami sempat berpikir negatif tentangmu,” ujar Tania.

Jeni yang awalnya sudah sangat takut langsung menghela nafas lega dan berusaha tersenyum kepada mereka, ia tahu Steven pasti ada di balik semua ini.

“Jangan makan mie instan lagi,” goda Steven.

Jeni menggelang sambil tersenyum kecil untuknya, matanya berkaca-kaca, terharu dengan semua kebaikan Steven padanya.

“Iya Jen, jangan banyak pikiran juga kamu harus istirahat beberapa hari ke depan,” timpal Tamara.

“Tapi...”

“Kami yang akan mengurus perijinanmu di cafe ‘Sky’, kamu harus bedrest,” tutur Tania.

Jeni mengangguk pasrah.

“Bila perlu kamu tidak usah bekerja lagi Jen, aku yang akan menanggung semuanya,” pungkas Steven.

        

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status