Sejak proposal kerjasama yang mereka ajukan bersambut baik dengan Mercure, Shana dan Siwi sibuk menyiptakan berbagai rencana. Shana merekrut perancang muda yang berbakat. Dalam waktu tiga bulan awal mereka harus menampilkan performa terbaik.
"Masih ada yang kurang. Desain ini bagus, tapi terlalu modern. Seni tradisional batiknya tenggelam," keluh Siwi. Ya, mengangkat batik sebagai bahan material utama, Siwi berharap pilihannya akan menjadi sesuatu yang unik dan berbuah sukses.
"Gimana sama yang ini?" tanya Shana. Siwi masih menggelengkan kepalanya.
"Ada satu desainer yang cukup menarik simpatiku. Tapi dia karyawan Eyang. Namanya lupa, dia menciptakan kemasan yang apik untuk kopi Eyang sampai sekarang laku diimpor ke Belanda," ucap Siwi sambil berpikir keras.
"Bisa dipinjem nggak?" tanya Shana sambil membereskan kertas berisi gambar terpilih di meja.
"Dia kesayangan nenekku, Shan. Aku nggak yakin," jawab Siwi kecut.
"Kenapa nggak pakai Alden buat bujuk Eyang?" tiba-tiba Keenan yang sedari tadi diam di sudut ruangan angkat bicara.
"Alden? Dia kan ...,"
"Bukan cucunya tapi Eyang sayang banget sama Al dibanding aku," potong Keenan pada kalimat Shana. Siwi melirik Keenan dan terlihat setuju dengan saran adiknya.
"Kamu temenin dia ya?" pinta Siwi. Keenan menutup laptop dan tidak segera menjawab.
"Laporan forecast sales sudah kukirim via email," ucap Keenan sambil membereskan barangnya.
"Kok nggak dijawab? Ini penting, Keen," sambar Siwi sewot.
"Ok. Tapi nggak janji," jawab Keenan dan berlalu.
Siwi menghela napas panjang. Ia tahu, Keenan paling enggan mengunjungi Eyang Widari. Sambutan yang kurang ramah terkadang Siwi saksikan sendiri. Alden yang notabene hanya cucu dari sepupunya justru lebih mendapat perhatian neneknya.
Shana hanya bungkam dan memilih tidak ikut campur. Ini terlalu pribadi, walaupun ada sedikit iba saat tahu cerita Siwi dulu.
"Beri Keenan waktu. Jangan maksa, ini bukan hal mudah Wi," saran Shana sambil melenggang keluar. Siwi termangu dan menyadari beban adiknya.
"Aku tau ... aku tau ...," bisik Siwi lirih.
***Indira Sartika. Gadis berusia dua puluh tahun lulusan diploma desain grafis yang sangat berbakat, telah bekerja untuk Widari selama beberapa tahun belakangan.Dari semenjak kuliah, Widari telah merekrutnya. Indira tidak memiliki orang tua. Ia tinggal dengan kakeknya yang juga telah menduda sejak sepuluh tahun yang lalu.
Kakek Indira adalah seniman batik yang cukup terkenal di Sidoharjo. Widari mengenal Pramono, kakek Indira, sejak muda dulu. Pramono menitipkan Indira sejak ia jatuh sakit dan tidak lagi aktif berkarya.
Galeri yang sempat Pramono kelola jatuh bangkrut dan ditutup. Indira mengambil alih tanggung jawab dan bekerja demi kuliah dan pengobatan kakeknya.
"Minum dulu obatnya, Kung," ucap Indira pelan. Pramono menelan lima pil dengan susah payah.
"Indira berangkat kerja dulu, nanti mbak Narti dateng antar makanan buat Kakung ya?" pesan Indira sembari menyelimuti tubuh lelaki renta yang telah mengurusi dirinya sejak kecil. Pramono tersenyum.
"Uang untuk beli obat masih ada, In?" tanya Pramono dengan khawatir.
"Hari ini katanya gajian, Kung. Nanti Indi langsung beli obat," jawab gadis itu seraya mengucir rambut tebal hitam lurusnya ke atas.
"Hati-hati dijalan, jangan ngebut-ngebut," pesan Pramono pada cucunya. Indira mencium pipi keriput Pramono dan berpamitan.
***Motor matic yang Indira kendarai terparkir di depan sebuah perkantoran. Semenjak ia menerima kerja di perusahaan kopi Widari, Indira dan kakeknya pindah ke Salatiga. Mereka membeli rumah kecil yang sederhana.
Pramono menjual semua asetnya dan hanya cukup membeli rumah berukuran kecil. Setidaknya untuk ia dan cucunya tempati.
Indira tidak pernah keberatan untuk pindah ke Salatiga, ini adalah sebuah daerah dingin yang sangat nyaman sebagai tempat tinggal.
"Pagi, Mbak Indi," sapa satpam. Indira mengangguk dengan ramah.
Ia melenggang terus masuk ke ruangan khusus departemen Marketing. Ia menjadi tim pemasaran sebagai marketing communication.
Hari ini ia cukup bingung karena terlanjur berbohong pada kakeknya. Gajian masih dua hari lagi, obat hanya cukup untuk hari ini saja. Kemana ia akan mencari uang?
Indira mengintip dompetnya diam-diam. Beberapa temannya belum datang. Hanya ada dua karyawan yang masih asyik membicarakan acara malam minggu kemarin.
Napas Indira menjadi sesak saat hanya terlihat dua lembar lima puluh ribu di dompetnya. Jika ia beli obat, maka akan tersisa dua puluh ribu. Indira bingung untuk makan dan uang bensin.
'Duh kapan naik gaji ya ..," batin Indira gugup.
Bukan serakah, namun gaji dua juta rupiah tidak cukup untuk menghidupinya saat ini. Obat kakeknya akan menghabisan satu juta sendiri.
"Apa yang harus kulakukan?" bisik Indira pelan berpikir keras.
"Indi! Pagi-pagi udah ngomong sendiri. Kamu dipanggil Eyang tadi tuh!" seru Erna temannya dari pintu masuk.
"Eh ... iyaa, maaf," jawab Indira gugup. Ia segera mengeluarkan buku catatan dan pulpen serta melesat ke ruangan Eyang Widari yang terletak di lantai dua.
"Masuk!"
Suara yang bernada dingin, terdengar dari dalam. Indira mendorong pintu kayu dengan ukiran indah. Setelah masuk, ia duduk di depan wanita berusia tujuh puluh tahun itu dengan wajah terunduk.
"Ada permintaan dari Jakarta yang meminta kamu untuk membantu mereka dalam mendesain baju," ujar Eyang widari dengan suara datar. Wanita itu melepas kacamata bacanya dan meletakkan tangan di meja.
"I-Iya, Eyang. Maaf baju apa?" tanya Indira kaget bercampur heran.
Widari menjelaskan dengan singkat, tapi cukup terperinci. Indira mendengarkan dengan seksama.
"Pindah ke Jakarta? Saya nggak bisa, Eyang," jawab Indira lemah. Widari sudah menduga dan mengagguk.
"Aku tahu. Oleh karena itu, saat mereka datang dan menanyakan itu, jawab saja sesuai keadaanmu. Tapi, kamu bisa mengerjakan selama itu bisa dikerjakan di sini, bukan?"
India mengangguk. Muncul harapan, bahwa penawaran itu bisa menambah penghasilannya. Widari termasuk sulit menerima jika karyawannya bekerja sampingan di luar perusahaannya.
"Besok Alden akan datang. Kamu siapkan jawaban yang ingin kamu berikan, termasuk upah untuk mengerjakan desain tersebut. Indira, ingat! Kamu bisa mengerjakan sesudah jam kantor saja. Jangan menyalahi aturan, walaupun kau bekerja untuk cucuku sendiri," pesan Widari dengan tegas.
Indira mengangguk dengan wajah berbinar. Widari sangat kaku jika menyangkut kedisiplinan. Setelah berlalu dari kantor Widari, Indira tersenyum penuh kebahagiaan.
Entah berapa upah yang layak untuk merancang sebuah baju. Tapi berapa pun yang ia terima, akan sangat berharga untuk menyambung hidup kakeknya. Teguran dari Luis atasannya, menyadarkan Indira untuk tidak terlalu bermimpi.
***Indira keluar apotek dengan wajah lemas. Obat itu menghabiskan hampir semua isi dompetnya yang minim.Dengan gontai ia melangkah ke parkiran dan menuntun sepedanya. Ya, untuk menghemat uang bensin, ia harus memilih naik sepeda.
Begitu sulit saat ini melanjutkan hidup. Ingin rasanya bekerja di kota besar dengan upah yang lebih, tapi kakeknya terlanjur membeli rumah di kota kecil ini. Tidak mungkin ia pergi jauh dan meninggalkan Pramono yang sakit.
Hujan turun rintik-rintik. Indira tidak peduli. Pikirannya yang kalut membuat gadis itu tidak mempedulikan situasi sekeliling. Langkah kakinya menjadi pelan dan pandangan matanya buram oleh bulir bening yang menetes seiring deras air hujan.
"Hei ... hujan! Kamu nggak sadar ini hujan?!" seru seorang pemuda dari dalam taxi.
Indira menoleh, tapi kemudian berjalan dengan cepat. Tubuhnya telah kuyup dan ia tidak peduli. Indira menaiki sepedanya dan mengayuh dengan cepat.
Alden yang ternyata berada di dalam taxi tersebut, melewati kembali sepeda Indira. Gadis itu terlihat berteriak dan menangis sementara mengenjot sepeda.
Melihat penampilan gadis berkaos putih dengan celana pendek selutut tersebut, tampak sekilas biasa saja. Kulitnya cokelat terang, dengan wajah khas gadis jawa. Namun entah kenapa, Alden merasa harus menoleh dua kali. Terutama saat taxi yang ia tumpangi melewati Indira.
'Ada apa dengan gadis itu?' batin Alden.
Indira datang sedikit terlambat dari biasanya. Untuk menghemat ia naik sepeda dan jarak dari rumah ke kantor memakan waktu yang lumayan jauh."Kamu keringatan banget sih!" tegur Erna.Indira mengangguk dan bergegas ke kamar mandi. Dengan secepat mungkin ia berganti baju dan kembali ke ruangan."Naik sepeda lagi?" tanya Erna sebelum ia masuk kantornya."Biar sehat, olahraga," jawab Indira cepat. Erna mencibir dengan kesal."Kenapa nggak bilang kalo bokek, sih?" gerutu Erna sambil merogoh tasnya dan mencabut beberapa lembar. Ia melesakkan ke dalam kantong Indira yang mencoba berkelit."Kalo kamu nggak terima, berarti egois. Kakekmu butuh ini," ancam Erna. Indira berdiri dengan bibir bergetar."Maturnuwun ya, Er," bisik Indira lirih sekaligus menahan malu. Erna menepuk lengan Indira dan tersenyum tulus.***Makan siang setengah jam lagi. Indira membuka dengan pelan tasnya. Empat lembar lima
Indira menarik amplop putih dan merobeknya. Raut wajahnya pias. Banyak sekali uang ini? batin Indira terkejut.Hatinya makin kesal. Ia tidak butuh belas kasihan! Setelah menebus obat, ia bergegas pulang. Ketika melewati warung, Indira membeli semua kebutuhannya dengan sisa uang miliknya. Gadis itu hanya mengambil sejumlah yang ia berikan pada Alden sebelumnya, dari amplop tersebut.Begitu tiba di rumah, Indira mengintip kamar kakeknya. Masih terlelap. Indira kembali keluar dan menerjang malam menuju rumah Widari."Lho? Mbak Indi, kok tumben?" sapa Haris satpam rumah bosnya. Indira tersenyum ramah dan bertanya apakah Alden ada."Baru aja pulang. Sebentar saya panggil, Mbak," jawab Haris dan Indira mengucapkan terima kasih.Gadis itu memilih duduk di pos satpam sambil memeriksa handphonenya."Indira?" seru Alden dengan wajah senang. Indira mengangguk datar dan meraih tangan Alden serta mengembalikan amplop putih t
Alden kembali ke Jakarta dengan semangat yang membara. Tekadnya untuk serius menekuni tugasnya di perusahaan kini bulat. Ia dan Keenan akan bekerja dengan sebaiknya. Semoga usaha Alden menjadi bantuan yang sangat berarti untuk Indira.Entah kenapa Indira sangat mencuri simpati dan perhatiannya. Bukan dalam cara biasa seperti ia tertarik pada lawan jenis. Namun timbul rasa ingin melindungi, yang mendorong Alden hingga ia sendiri bingung akan perasaan tersebut."Al, produksi dari desain Indira sudah diproses. Jika ini berhasil, kamu harus stand by di Salatiga dan mendirikan kantor khusus untuk mengembangkan berikutnya!" seru Siwi pagi ini."Seserius itu?" tanya Alden."Tidak ada yang kuanggap sepele dalam hal apa pun. Menciptakan rumah mode akan membuat Indira nyaman dan bekerja maksimal," jawab Siwi yang didukung oleh Shana.Keenan hanya terdiam membisu di sebelahnya, dengan wajah terpaku pada laptop. Di layar menampilkan de
Pertemuan pagi itu dengan beberapa pemilik ruko, akhirnya berbuah baik. Shana menemukan lokasi yang tepat untuk rumah mode mereka.Tidak terlalu sulit untuk mencapai kata sepakat. Nilai kontrak ruko dan rumah yang mereka ditempati, masih terbilang sangat terjangkau dan murah.Tanpa menawar, Shana membayar dan mendapatkan surat perjanjian kontrak selama lima tahun."Saatnya pindah ke rumah baru!" seru Shana dengan riang.Alden tersenyum dengan antusias. Bukan karena keberhasilan mereka mendapatkan tempat dengan mudah, namun karena Indira akan mendapatkan pekerjaan yang baik ke depannya nanti."Kamu mau kemana lagi?" tanya Shana heran."Kamu pulang aja ke hotel dengan mobil sewa itu. Aku naik taxi, ada seseorang yang harus kutemui," pamit Alden meninggalkanShana yang terpaku dengan perasaan kesal. Kenapa terbersit perasaan tidak suka atas ucapan Alden barusan? Cemburukah ini? Shana menyangkal d
Seharusnya Alden menemui Indira untuk menggabarkan berita gembira. Tetapi saat ia menelepon Keenan untuk mengajak Indira, tiba-tiba Keenan berdalih. Indira masih mengerjakan proyek terakhir sebelum bekerja sepenuhnya untuk Alden. Dengan hati kesal Alden memilih membantu Shana."Semua sudah mereka sediakan. Kita tinggal nempatin aja kok," balas Shana saat Alden menawarkan bantuan untuk menyiapkan rumah yang akan mereka sewa nanti."Ok, aku akan ngambil koper," sahut Alden dengan gontai. Shana memandang Alden dengan pandangan menyelidik. Sikap loyo Alden pasti berkaitan dengan gadis yang sering ia dengar, Indira."Kamu kecewa ...," cetus Shana sambil mengunci koper miliknya. Alden yang sudah membuka pintu kamar hotel untuk keluar mendadak berhenti."Keenan ingkar," sahut Alden."Sepenting itukah gadis tersebut? Maksudku, kalian memperebutkan Indira?" tanya Shana.Alden bagaikan tertampar dan menoleh. Bukankah terl
"Astaga kamu beneran nambah?" tanya Alden. Indira mengangguk dengan geli. Keduanya sedang menikmati makan malam yang lebih awal."Aku nggak makan siang gara-gara Keenan," jawab Indira. Alden berhenti menyuap."Keenan? Kenapa dia?""Sudahlah lupain, aku nggak mau kehilangan selera makan lagi," tangkis Indira ingin beralih topik. Alden menggelengkan kepalanya."Pantesan dia ngotot ngak jadi ngijinin aku ngajak makan siang kamu," gumam Alden. Indira mengernyitkan keningnya."Kenapa nggak nunggu aja pulang kantor? Hindari berurusan sama Keenan deh. Malah jadi ribet sama dia, Al.""Masalahnya dia juga batalin proses transfer kamu ke perusahaan Griya Busana."Deg. Jantung Indira berdetak kencang."Transfer aku ke Griya? Aku baru tau ...."Alden juga baru teringat jika Indira belum mengetahui rencana mereka. Dengan penuh semangat Alden menjelaskan keseluruhan rencana mereka. Indira menj
Berulang kali Indira mengecilkan picingan matanya, untuk memperjelas pandangan pada detail desain. Namun masih tidak berhasil menemukan kejanggalan pada desain. Menurutnya, kemasan premium itu masih belum memuaskan."Kayaknya kotak yang melingkari kemasan masih kurang terang. Kamu bisa ganti dengan wana emas?" bisik Alden tiba-tiba muncul di sebelahnya. Indira terkejut dan melonjak kaget."Al!" pekik Indira yang merasakan konsentrasinya buyar seketika."Aku cuman kasih ide aja." Alden membela diri dan tersenyum mempesona.Indira mendadak merasa jengah, karena ia mengagumi senyum itu."Aku masih kerja. Nanti kalo jam sepuluh Luis belum dapet desain ini, aku bakal kena semprot," keluh Indira kembali menyibukkan diri.Alden akhirnya mengambil kursi dan duduk di depan meja kerja Indira. Kelima rekan kerja Indira melirik dengan iri. Indira mendadak menarik banyak perhatian cowok-cowok ganteng yang bukan dari kalangan bi
Siwi merapikan baju yang akan mengantarnya menuju sukses hari ini. Peragaan sampel dari perusahaannya akan dihadiri oleh pihak Mercure Asia. Desain baju karya Indira akan menjadi kunci untuk mencuri simpati Mercure seutuhnya."Jangan lupa telepon jika semua berjalan baik," pesan Vero ibunya.Siwi menjawab dengan ceria sembari berjalan keluar. Seto menatap langkah kaki putrinya dengan bangga."Mungkin sudah waktunya mundur. Siwi dan Keenan mungkin akan menjadi penerus kita," cetus Seto. Vero tersenyum dengan wajah penuh harap.Hubungannya dengan Seto semakin membaik. Rasa cinta keduanya terjalin dan sesuatu yang tidak pernah Seto lakukan, sekarang menjadi bagian dari hari-harinya.Bunyi panggilan berdering di ponsel Seto. Widari. Pria itu mengangkat, dan selanjutnya rentetan kalimat tidak menyenangkan mengenai Keenan, terlontar dari ibunya.***Siwi akhirnya selesai menyelenggarakan peragaan busana dengan desain