Lyra amat cepat beradaptasi. Kebiasaannya melakukan semua dengan sempurna menjadikan kontrak ini tak sekadar mainan. Ia ingin menghilangkan seluruh keraguan yang ada dalam benak anggota keluarga Grason yang lain. Menjadi menantu ideal, istri yang dapat diandalkan, sekaligus wanita karir yang sukses adalah sesuatu yang harus diwujudkan demi memenuhi ambisi. Vindra pun tersenyum, dipenuhi mood positif setelah mendapat morning kiss. Ia bertaruh dalam hati bila ini akan menyenangkan. Sayangnya Diana masih berusaha mencari cela dalam hubungan sang anak tiri. Ia yakin bila pernikahan tersebut hanyalah taktik agar bisa lolos sebagai pemilik perusahaan yang lama dikembangkan oleh Malik, suaminya. Biar kata Romi adalah putra sulung, tapi kasih sayang Malik tetap dikuasi Vindra. Sebab, mendiang ibunya merupakan sosok tegar yang menemani Malik meniti karir dari nol usai mengalami kebangkrutan. Tentu saja ini tak akan bisa disaingi oleh Diana, sekalipun ia istri sah pertama. Ia teramat membenci
Lyra merasa tercekik. Ia memiliki fobia terhadap kesendirian di tengah gelap. Berulang kali jarinya meraba tembok, sementara tangan lain memegangi dada. Rasa cemas membuatnya lupa untuk menyalakan sorot ponsel. Kaki jenjangnya pun menabrak tempat sampah di sudut ruangan, membuat keseimbangan goyang. "Aaa!" teriaknya saat merasakan sebuah benturan. Beruntung, seseorang menangkapnya sebelum jatuh ke lantai. Gemuruh petir kembali datang. Sekelebat cahaya menyambar langit, membuat ruangan terang untuk beberapa saat. Lyra langsung memeluk tubuh di depannya. Ia berusaha yakin bila itu adalah sang suami yang akhirnya teringat akan dirinya. "Tenanglah, aku sudah meminta supir untuk mengecek sambungan listrik. Ayo, bangun," ajaknya lembut sambil memegangi lengan Lyra. "Ti-tidak, aku terlalu takut." Wanita itu sampai menggigil, ia sama sekali tak memiliki kekuatan untuk beranjak dari posisi. Bahkan kakinya lemas. "Baiklah, jangan khawatir." Vindra lantas mendekap putri Burhan. Ia bersadar p
Surya bersinar amat terang, menembus sela-sela gorden yang terbuka separuh. Pagi itu, sepasang sejoli beranjak untuk pulang ke rumah pribadi. Lembut Vindra memegangi sang istri dan menuntunnya menuju balkon. Ia menarik kursi, memastikan jika Lyra tak mengalami kesulitan berarti untuk duduk. "Tunggulah di sini, aku akan ambil sarapan." Usai mengatakan hal tersebut, anak Malik menuju pintu. Asistennya telah menanti di depan kamar bersama seorang pelayan yang bertugas mengantarkan makanan. Meja beroda pun didorong Vindra menuju balkon. Sejenak dirinya terperanjat kala mendapati sosok putri Burhan yang duduk terpejam, menikmati petrikor yang memberi rasa tenang. Namun, jantungnya malah berdebar kencang. Adik Romi seperti melihat malaikat berbaju tidur putih. Segera pria berpostur tegap itu mengalihkan fokus. "Apa kau yakin hanya makan salad? Aku menyuruh mereka memasak beberapa menu. Ada nasi goreng kesukaanku juga."Lyra membuka netra. "Ya, sayuran memiliki kadar lemak dan karbohidrat
Sigap investor itu mengambil kertas tersebut, lalu membacanya. Seulas senyum pun menghiasi wajah yang berseri. "Anda sangat teliti, Pak. Saya menyukai projek ini." "Terima kasih, jadi kita sepakat?" balas Vindra turut tersenyum pula. "Tentu saja, hubungi sekertaris saya jika ada berubahan dalam kontrak." Kedua pria berjas itu pun bangkit dan berjabat tangan, diikuti oleh anggota rapat lain. Romi sekilas melirik berkas yang tergeletak di depan Andrian, jelas menunjukkan jika 80% tanah di Desa Kembang telah sang adik miliki. Itu berarti kesempatan Grason's Company untuk mengambil alih lahan luas tersebut menjadi kian besar. Memang itu berita yang bagus. Namun, tetap saja gundah kian menerkam hati Romi. Putra Diana menatap adiknya yang tampak sumringah. Ia merasa jika usahanya dalam menarik perhatian investor kali ini pun gagal, anak kesayangan Malik sudah pasti akan memonopoli kekuasan yang harusnya menjadi bagian Romi. Namun, tak masalah, sejak awal Romi memang tak begitu tertarik
"Aduh, Anak cantik. Jangan menangis." Kakek memberi tisu pada Lyra. "Maaf, ya. Aku malah membuat Kakek panik. Aku pulang saja kalau begitu. Permisi." Buru-buru Lyra bangun. "Tunggu, Nak. Kenapa pulang? Ayo, minum dulu tehnya." Istri Vindra menyeka air mata, lalu duduk kembali. Mereka pun mulai berbagi cerita dengan akrab. Suana kekeluargaan amat kental, sekalipun belum lama kenal. Akan tetapi, usaha tersebut membuat pasangan renta itu menerima kontrak penjualan dan resmi pindah minggu depan. Sayangnya, hal ini justru membuat Lyra sedih. Ia merasa telah memperdayai mereka. Nuraninya tak mampu melakukan itu, putri Burhan lantas mengakui segalanya. Tentang rencananya beserta sang suami yang hendak menarik empati dengan akting. Namun, mitra bicara malah tersenyum. Mereka mengaku jika telah mengetahui semuanya. Berkata jika di umur seperti ini, tak ada yang ingin mereka pertahankan, melainkan sekadar ingin tahu bagaimana cara orang-orang kaya membujuk. Mereka pasti menolak jika dipaksa
Lyra masih berkeras hati. Sejak kembali dari restoran, ia tak lagi banyak bicara. Apalagi ketika berduaan di kamar, mereka terlihat seperti pasangan yang dipaksa menikah, padahal tak saling kenal. Melihat hal ini, Vindra tentu merasa khawatir. Akan tetapi tak banyak yang bisa diperbuat. Keesokan harinya, mereka bertolak pulang ke kediaman pribadi. Sudah cukup menghabiskan hari di rumah mertua, putri Burhan kini merasa bebas. Kalimat pertama yang diucapkan adalah seruan untuk membeli ranjang baru. Oleh karena itu, siangnya kamar pengantin langsung terisi dua kasur yang bersebelahan, tetapi tersekat jarak tiga langkah. "Kau masih marah, Ra?" tanya Vindra sembari memakai kaos kaki. "Tidak, kenapa juga harus marah?" "Baguslah kalau begitu, kupikir kau marah karena aku tak membatalkan kerja sama." Lyra yang berkutat dengan maskara pun memilih untuk fokus dalam menghias diri, lalu menjawab dengan ogah-ogahan, "Itu urusanmu. Aku tak akan ikut campur lagi." "Tepat sekali, kuharap kau
Seulas senyum tipis menghiasi wajah ayu Lyra. Ia berjalan dengan elok menuju stage, di mana juniornya menanti dengan ceria. Ia naik, menjabat tangan wanita bergaun putih ketat itu lalu memeluknya. Hal ini tentu menjadi momen yang amat menenangkan. Istri Vindra pun berbisik lirik, "Jangan takut, aku hanya akan mengisi harimu dengan kemalangan." Violet tercengang. Ia menarik tubuh agar lepas dari dekapan tersebut. Putri Burhan kembali tersenyum sumringah, mendekatkan bibirnya ke microphone. "Ini kesempatan yang tidak biasa aku dapatkan. Jadi, aku ingin mengucapkan selamat datang kepada Violet untuk keberhasilannya bergabung di J.D Entertainment. Selamat, ya, akhirnya kamu ada di sini, pasti bukan suatu hal yang mudah. Benar, 'kan?" Tunangan Axe langsung mengangguk dengan senyum setengah terpaksa. Ia menggosokkan kedua telapak tangan yang sebenarnya tak dingin dan berharap agar sang rival segera turun dari podium. Seketika kepercayaan dirinya runtuh begitu saja, seolah angin topan barus
"Camilanmu datang, Nyonya," kata Alvindra yang berpakaian bak pelayan. "Hah, apa-apaan kamu?!" Lyra langsung menekuk kaki dan menutupi bagian depan tubuhnya dengan tangan. Ia terkejut setengah mati sampai membuat air di bak tumpah sebagian. Dalam hati wanita itu memaki. Ingin rasanya menghukum sang pelayan begitu selesai mandi. Akan tetapi, Lyra mengurungkan niat. Sebab, mustahil pekerjanya meninggalkan ia dengan sengaja. Dilihat sekilas pun, sudah pasti ini murni ide konyol sang suami. Mungkin ingin balas dendam karena tadi Lyra mengabaikan panggilannya kala baru pulang, pikirnya. "Kamu malu, ya." Pria berhidung mancung itu meletakkan nampan di meja samping bath up. "Aku ini suamimu lo. Masa sudah lupa?" Ia mengambil handuk yang tersampir, lalu memberikannya pada putri Burhan yang masih berendam. Meski itu hanyalah handuk kecil yang biasanya dipakai guna mengelap wajah, tetapi cukup untuk menutup dada Lyra. "Ayuk bilang jika kau sedang cemas, coba katakan apa yang membuat istri