Seulas senyum tipis menghiasi wajah ayu Lyra. Ia berjalan dengan elok menuju stage, di mana juniornya menanti dengan ceria. Ia naik, menjabat tangan wanita bergaun putih ketat itu lalu memeluknya. Hal ini tentu menjadi momen yang amat menenangkan. Istri Vindra pun berbisik lirik, "Jangan takut, aku hanya akan mengisi harimu dengan kemalangan." Violet tercengang. Ia menarik tubuh agar lepas dari dekapan tersebut. Putri Burhan kembali tersenyum sumringah, mendekatkan bibirnya ke microphone. "Ini kesempatan yang tidak biasa aku dapatkan. Jadi, aku ingin mengucapkan selamat datang kepada Violet untuk keberhasilannya bergabung di J.D Entertainment. Selamat, ya, akhirnya kamu ada di sini, pasti bukan suatu hal yang mudah. Benar, 'kan?" Tunangan Axe langsung mengangguk dengan senyum setengah terpaksa. Ia menggosokkan kedua telapak tangan yang sebenarnya tak dingin dan berharap agar sang rival segera turun dari podium. Seketika kepercayaan dirinya runtuh begitu saja, seolah angin topan barus
"Camilanmu datang, Nyonya," kata Alvindra yang berpakaian bak pelayan. "Hah, apa-apaan kamu?!" Lyra langsung menekuk kaki dan menutupi bagian depan tubuhnya dengan tangan. Ia terkejut setengah mati sampai membuat air di bak tumpah sebagian. Dalam hati wanita itu memaki. Ingin rasanya menghukum sang pelayan begitu selesai mandi. Akan tetapi, Lyra mengurungkan niat. Sebab, mustahil pekerjanya meninggalkan ia dengan sengaja. Dilihat sekilas pun, sudah pasti ini murni ide konyol sang suami. Mungkin ingin balas dendam karena tadi Lyra mengabaikan panggilannya kala baru pulang, pikirnya. "Kamu malu, ya." Pria berhidung mancung itu meletakkan nampan di meja samping bath up. "Aku ini suamimu lo. Masa sudah lupa?" Ia mengambil handuk yang tersampir, lalu memberikannya pada putri Burhan yang masih berendam. Meski itu hanyalah handuk kecil yang biasanya dipakai guna mengelap wajah, tetapi cukup untuk menutup dada Lyra. "Ayuk bilang jika kau sedang cemas, coba katakan apa yang membuat istri
"Malam ini akan menjadi yang pertama untuk kita," kata Alvindra dengan mantab. "Apa maksudmu?" Lyra menjauhkan diri beberapa senti. "Kita pernah tidur di malam pertunangan Axe. "Jangan sebut nama itu, aku jadi marah. Tapi aku tak melakukan apa pun padamu, justru kau yang selalu berusaha menodaiku. Kau meraba tubuhku sambil memaki. Aku sampai heran kau bermimpi bertengkar atau yang lain," jawab Alvindra sambil tertawa kecil. "Kau buas, ya, Cantik." "Maksudmu aku masih ...." Pria bertubuh kekar itu mengangguk. "Kau masih suci, polos, naif, dan tak punya pengalaman. Aku bisa merasakannya tadi. Jujur saja, aku tak berniat merendahkanmu, tapi kupikir telah terjadi sesuatu antara kau dan pria itu. Kalian menjalin hubungan begitu lama dan mulai menggila saat putus. Apa pria jahat itu tak pernah berusaha menyerangmu?" "Bukan seperti itu, Axe memang pernah beberapa kali menciumku, tapi bukan berarti kami akan melampaui batas." Putri Burhan menunduk dengan suara yang makin lirih. "Itu b
Dokter memastikan keadaan putri Burhan dengan teliti. Mulai dari pengecekan detak jantung, suhu tubuh, dan tekanan darah. Sang pasien pun diminta untuk beristirahat selama dua hari karena suhu tubuhnya mencapai 39,2°C. Namun, bukan Lyra namanya jika langsung setuju dan berdiam diri di rumah.Tepat sepuluh menit saat dokter kembali, ia langsung mempersiapkan diri untuk bekerja. Bahkan Alvindra yang berkata akan menemaninya pun berangkat ke kantor sebelum istrinya sempat diperiksa. Beruntung hal itu tak menganggu Lyra sama sekali. Ia merasa jika tak perlu mempermasalahkan sesuatu yang tak berguna.Mengenakan kemeja santai dengan warna pink, ia meminta sopir untuk mengantar. Tanpa alasan dirinya merasa tak nyaman dan benar saja. Saat tiba, ia terheran melihat kerumunan di depan ruangan Rendra. Mereka terlihat seperti pengantre sembako yang marah karena tak menadapat jatah. Susah payah bertanya, tapi tak ada yang mau menjelaskan situasi. Akh
Semuanya berkumpul di sebuah ruangan untuk makan bersama. Terlihat kehangatan yang erat antara pegawai J.D Entertainment. Sang model junior pun tertawa sumringah saat menanggapi lawakan teman semeja. Sayangnya, tidak semua orang menikmati waktu bersantap, mereka yang memihak Jinju lebih memilih untuk menarik diri dari kerumunan."Coba lihat itu, Ra. Dasar tidak tahu malu, dia malah cengas-cengis begitu," ucap Meta sambil menatap Violet."Biarkan saja, jangan kotori bibirmu dengan membicarakan wanita itu." Istri Vindra berusaha menahan geram, sekalipun hati terasa panas."Sumpah deh, apa yang dilihat Rendra darinya? Badannya sih oke, tapi bukan berarti dia bisa menjadi bintang. Haah, aku selalu kesal sejak melihat dia di sini.""Sabarlah, Bos pasti memiliki alasan bagus untuk membuang Senior dan memilih si ulat."Meta menghela napas panjang. "Ya, sudah kalau kau
"Ayo, makan," ajak Alvindra begitu bertemu sang istri di rumah.Lyra tersenyum, ia mengangguk, dan segera berlari ke kamar untuk meletakkan tasnya. Setelah itu, mereka menikmati makan malam bersama. Tak ada obrolan, selain sesekali mencuri pandang. Mengetahui hal ini, putra Malik pun bertanya, "Kenapa kau?""Aku cuma heran." Wanita berambut hitam itu meletakkan sendoknya. "Sebenarnya kamu ini pebisnis, tukang onar, atau mata-mata sih? Bisa tahu jika Axe akan datang. Benar-benar, ya.""Kau kira aku penguntit?" Vindra tersenyum. "Kebetulan orang yang kerjakan di samping mantanmu itu melapor. Jadi, aku beri tahu saja sekalian. Aku tak mau istriku terlihat muram karena melihat pria lain berjalan dengan wanita yang diukai.""Kamu khawatir padaku?" Netra Lyra berbinar."Tidak. Aku khawatir pada istriku, bukan kau."Menantu Diana menunduk. Ia paham dan tak terluka dengan sikap dingin
"Aku tak mau sok tahu, aku kan karyawan baru," balas Violet sambil memegangi kaleng soda, "tapi jika tanya pendapatku, kurasa sudah jelas.""Ah, kau berpikir begitu juga. Sudah kuduga, ada permainan di sini." Wanita berbaju putih pun menyahut, kini semuanya lanjut untuk bergunjing. Mereka tertawa, seolah rumor itu benar adanya.Pada waktu bersamaan, Lyra memegangi kepalanya yang terasa berat. Ia memeriksa lagi ponsel, memastikan jika belum ada balasan dari Jinju. Padahal, tiga pesan telah terkirim beberapa jam lalu. Hari itu putri Burhan sangat lelah, ia memutuskan untuk pulang usai pekerjaan selesai. Akan tetapi, baru saja berjalan menyelusuri koridor, tatapan dari beberapa temannya berubah.Lyra yang peka pun merasakan suatu keganjilan. Namun, ia tak berpikir keras karena mengira jika ini berkaitan dengan pembelaan yang dilakukan. Sontak dirinya mengambil tas dan masuk ke mobil yang telah menanti. Hari ini
Keesokan harinya, Alvindra dan Lyra berpapasan tanpa menyapa. Keduanya beragak tak acuh, meski sang wanita ingin mengucapkan terima kasih. Berkat plester yang semalam diberikan, kini demamnya telah sirna. Namun, tetap saja keras kepala. Dirinya sarapan sambil menatap layar ponsel, menghindari kecanggungan yang menyelimuti ruangan berlantai marmer.Di sisi lain, putra Diana juga makan dengan cepat. Ia tak ingin tertinggal rapat penting, terlebih sepuluh menit yang lalu Romi mengusik pagi dengan tiga panggilan tak terjawab. Jadilah pria berjas gold itu mengelap mulut dengan sapu tangan, lalu meninggalkan meja makan tanpa memberi salam."Nyonya, apa mau dibawakan bekal?" tanya Ayuk."Berhenti memanggilku nyonya, aku merasa sepuluh tahun lebih tua saat kalian begitu. Panggil namaku saja, aku kan lebih muda," sahut Lyra dengan enteng."Mana bisa begitu. Kami tak mungkin lancang dengan me