Share

Awal Pertemuan

Vanda menatap Trisha dengan tatapan tidak percaya. Apa yang selama ini ada di pikirannya itu cuma adegan bertengkar dan pembunuhan saja?

“Kalau kita suka sama cowok, jantung akan berdebar waktu dekat sama cowok itu.”

“Berdebar?”

Vanda mengangguk. “Apa sejak dulu jantung lo nggak pernah berdebar kalau dekat sama cowok?"

Trisha terlihat mengingat-ingat sembari menggigit bibir bawahnya. “Jantung berdebar … Oh! Gue inget, jantung gue selalu berdebar setiap gue lihat Ryo ada di televisi. Itu berarti gue … suka sama Ryo?” tanya Trisha dengan bersemangat.

Lagi-lagi Vanda kembali menghela nafas sambil tersenyum paksa. Dia terlihat bingung bagaimana cara memberikan pengertian tentang rasa suka pada Trisha.

"Udah, jangan bahas itu. Lupakan saja! Gue ada referensi lain buat lo,” ucap sang editor yang membuatnya kembali menoleh.

“Apa?”

“Bentar.”

Vanda membuka laci mejanya dan mengambil tumpukan buku komik. Dia meletakan semua komik itu di atas meja.

"Tanggung jawab gue ke lo cuma tentang komik. Gue nggak bisa mengajari lo pacaran. Jadi, lo baca aja komik ini, pelajari semua cerita yang tertulis di dalam komik ini.”

“Van, lo aneh,” ucap Trisha yang membuat Vanda menatapnya dengan bingung.

“Aneh? Aneh gimana maksud lo?” tanyanya sambil mengernyitkan kening.

“Bukannya lo bilang kalau gue nggak boleh pacaran dulu sampai gue sukses? Karena lo takut kalau gue bakal gak fokus sama karir ini."

Ya, awal Trisha masuk ke studio ini, Vanda memang melarangnya untuk berpacaran atau dekat dengan lelaki. Dia tidak mau kalau Trisha menjadi tidak fokus dengan pekerjaan dan lebih memilih bersama dengan pacarnya. Karena hal ini sering terjadi pada para pekerja dan juga pelajar.

Vanda tersenyum paksa. “Gue nyesel udah larang lo buat nggak pacaran, karena di saat seperti ini, manisnya orang pacaran itu sangat penting. Dan lo sama sekali nggak punya kisah manis. Jadi, mulai sekarang gue nggak akan larang lo buat pacaran. Paham?”

“Paham, terima kasih!” ujar Trisha dengan tersenyum paksa.

“Pemilihan karya baru bulan ini menjadi kesempatan terakhir lo! Pikirkan baik-baik sebelum menggambar! Lo bisa cari inspirasi dari komik yang gue kasih ini! Kalau lo gagal, tinggal tunggu waktu aja, Trisha!

“Ta- tapi—“

“Enggak ada tapi-tapi, Sha! Gue yakin, lo pasti bisa! Gue tunggu outline baru lo!”

“Iya, iya, iya! Kalau tau bakal hiatus, mending gue pulang aja," ucap Trisha seraya beranjak dari kursi.

“Lo mau pulang?”

“Mungkin. Mau cari inspirasi dulu gue!” jawab Trisha seraya melangkahkan kakinya pergi.

Vanda yang melihat Trisha seperti itu hanya terkekeh pelan sambil menggeleng pelan. Dia tau kalau ini akan sangat sulit untuk Trisha, tapi semua itu sudah menjadi konsekuensi baginya.

***

Trisha menenteng sepatunya dan berjalan di tepi pantai sambil melihat keindahannya. Angin yang berhembus itu membuat suasana hati wanita itu menjadi lebih baik. Dia menarik nafas panjang, lalu menghembuskan dengan perlahan.

Wanita itu duduk di tepi pantai dengan menjadikan sepatunya menjadi alas. Trisha mengambil alat gambarnya dari dalam tas, dan tak lupa burger yang baru saja ia beli. Tangannya mengambil pensil dan mulai menggambar di buku sketsanya.

Matanya bergerak melihat seisi pantai. Dia tersenyum tipis ketika melihat beberapa pasangan yang tengah bermain di tepi pantai. Sungguh romantis!

Trisha melihat tubuhnya dan juga wanita yang bertubuh jauh lebih ideal. Dia tersenyum miris dan sedikit timbul rasa iri dalam benaknya. Wanita itu selalu berandai-andai mempunyai tubuh yang ideal seperti wanita pada umumnya.

Ia sudah mencoba diet, tapi tetap saja gagal. Tiba-tiba saja ucapan Vanda terlintas dalam pikirannya. "Apa sejak dulu jantung lo nggak pernah berdebar kalau dekat sama cowok?”

Trisha tersenyum getir. Sangat sakit ketika ia harus mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Dia membuka bungkus burger karena suasana hatinya mendadak buruk. Hanya makan dan melihat pemandangan pantai yang bisa mengembalikan suasana hatinya. Dia mulai menggigit burger itu, lalu meletakannya di samping.

Trisha kembali menggambar sambil mengunyah makanan yang ada di mulut. Namun, gerakan mulutnya terhenti ketika ada anjing besar berwarna putih datang menghampiri. Saat anjing itu mengendus burger miliknya, dengan cepat ia mengambil burger itu.

Anjing itu terus melihat ke arah burger yang dipegang oleh Trisha. Melihat hal itu, ia mencoba menggerakkan makanannya ke kanan dan kiri untuk memastikan. Dan benar saja! Anjing itu mengibaskan ekornya sembari menjulurkan lidah.

Bibir Trisha bergerak membentuk senyuman.

“Kau mau ini? Pemilik mu mana? Nggak mungkin, kan, kalau kamu datang sendirian ke pantai ini?” Trisha berbicara pada anjing itu dan mengelus-elus kepalanya. Anjing itu menggonggong dua kali. Trisha tertawa kecil.

“Iya, karena aku baik padamu, daging ini akan kuberikan untuk mu! Aku harus mulai untuk diet, benar kan?” tanya Trisha mengelus anjing itu dengan gemas. Lagi-lagi anjing itu menggonggong dua kali.

Wanita itu tersenyum dan mengambil daging burger miliknya, lalu ia letakkan di atas telapak tangannya. Dengan cepat anjing itu memakan dagingnya dengan lahap.

“Kenapa kamu lucu sekali?” ucap Trisha yang kemudian melihat kalung di leher anjing putih itu. Di kalung itu tertulis sebuah nama yang merupakan nama anjing tersebut.

“Namamu Shiro ternyata?" ujar wanita itu sambil memegang kalung milik anjing putih itu. "Shiro!” Trisha mengelus-elus kepala anjing itu.

Dari kejauhan, wanita bertubuh gemuk itu mendengar seseorang memanggil-manggil nama Shiro. Ia langsung menoleh celingukkan mencari sumber suara karena banyaknya orang yang tengah berada di pantai. Trisha tidak bisa menebak orang yang memanggil nama anjing itu.

“Shiroo!”

Trisha beranjak berdiri dan menepuk-nepuk bagian celananya yang sedikit kotor karena pasir pantai. Dia mengamati orang-orang yang ada di pantai.

“Yang mana pemilik mu, Shiro? Kenapa kamu nggak hafal sama pemilik mu sendiri?” tanya Trisha mengelus kepala Shiro.

“Shiro! Ke mana saja kamu?” ujar seorang laki-laki di belakang Trisha.

Wanita itu membalikkan tubuhnya. Dia melihat pria itu mengelus Shiro dengan penuh kasih sayang. Tanpa ia sadari, bibirnya bergerak membentuk senyuman tipis. Jarang sekali dia melihat seorang lelaki yang menyayangi peliharaannya.

“Maaf telah merepotkan,” ucap lelaki itu seraya berdiri.

Dengan cepat Trisha kembali berekspresi datar dengan menggelengkan kepalanya. “Sama sekali tidak repot.”

Ia sama sekali tidak melihat wajah lelaki itu karena dia memakai kacamata hitam dan masker. Apa dia sedang flu? Pikir Trisha yang masih melihat lelaki itu.

“Terima kasih,” ucapnya seraya mengulurkan tangannya.

Trisha tersenyum dan tangannya bergerak hendak membalas ulurannya itu. “Sama-sam—“ Belum juga ia membalas uluran tangan itu, dengan cepat sang lelaki menarik tangannya kembali.

“Talinya,” ucapnya yang membuat Trisha mendadak canggung.

“O-oh, talinya. Ini.” Trisha memberikan tali yang dia pegang pada sang lelaki dengan senyuman kikuk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status