Belum juga ia membalas uluran tangan itu, dengan cepat sang lelaki menarik tangannya kembali.
“Talinya,” ucapnya yang membuat Trisha mendadak canggung.
“O-oh, talinya. Ini.” Trisha memberikan tali yang dia pegang pada sang lelaki dengan senyuman kikuk.
Dia mengambil alih tali yang dipegang Trisha, lalu menggendong tubuh Shiro. “Apa lo harus gue gendong gini biar nggak lari lagi? Dasar merepotkan!” omelnya pada Shiro. Trisha menahan tawanya dengan merapatkan kedua bibirnya.
“Ayo, pulang,” ujarnya pada Shiro. Namun, saat lelaki itu hendak melangkah, Shiro meronta meminta diturunkan dari gendongannya. Karena kekuatan Shiro lebih besar, lelaki itu kehilangan keseimbangan, dan tak sengaja sedikit mendorong tubuh Trisha.
Bruk!
Tubuh lelaki itu terjatuh tepat di atas badan Trisha yang sedikit lebar. Wanita yang tiba-tiba terjatuh itu pun hanya bisa merintih pelan karena kepalanya terkena batu pantai.
Sedangkan, lelaki itu dengan cepat kembali berdiri dan mendengus pada peliharaannya.
“Shiro! Kenapa kamu—“ Ucapannya terhenti, lalu ia menghela nafas panjang. Tak ada gunanya memarahi Shiro, toh dia juga tidak akan mengerti bahasa manusia.
Trisha yang masih di posisi jatuh kemudian mengubah posisinya menjadi duduk dengan perlahan. Tangannya meraih kacamata dan masker yang terlepas dari wajah lelaki itu, lalu mengangkat kepala dan menatapnya.
Saat melihat wajah lelaki itu, dia tak menyangka kalau dia sangatlah tampan, tapi Trisha juga merasa tak asing dengannya. Seperti pernah melihatnya, tapi lupa di mana. Trisha pun berdiri dari duduknya dan menyodorkan masker dan kacamata. “Ini punya lo.”
Lelaki yang baru sadar kalau masker dan kacamatanya lepas pun langsung meraih dan memakainya kembali. “T--thanks, lo nggak tau siapa gue?” tanyanya yang membuat Trisha menyernit.
“Siapa? Lo bukan … orang jahat, kan?” tanya Trisha dengan berhati-hati.
Lelaki itu terlihat menatap Trisha dengan sedikit lekat. “Beneran nggak tau siapa gue?” tanya lelaki itu perlahan memajukan wajahnya lebih dekat ke wajah Trisha. Wanita itu menggeleng ragu karena dia benar-benar tidak bisa mengingat siapa lelaki yang ada di hadapannya sekarang.
“Oke, lupakan.” Lelaki itu kembali menjauhkan wajahnya, kemudian merogoh saku untuk mengambil plester luka.
“Tangan lo,” ujar lelaki itu tanpa menoleh. Dia masih sibuk membuka kertas plaster itu.
“Ha?” Trisha tak mengerti dengan ucapan lelaki itu. Ia kemudian menghela napas, dan menarik tangan Trisha, lalu menempelkan plaster itu.
“Setidaknya luka lo enggak kemasukan bakteri,” ujarnya seraya berjalan meninggalkan Trisha yang masih terdiam mematung di sana.
Dering panggilan masuk dari ponsel menyadarkannya dari lamunan. Tangan wanita bertubuh gempal itu langsung mengambil gawai yang ada di saku dan mengangkat telepon itu dengan cepat.
"Halo?"
“Lo di mana?” tanya Vanda yang terdengar cemas diujung telepon.
“Gue di … pantai, kenapa?”
“Buruan balik ke studio, sangat mendesak.”
Trisha menghela nafas panjang. “Hal apa yang mendesak? Bukannya lo kasih gue waktu dua minggu?”
“Itu … maaf, gue salah lihat batas waktu pengumpulan karya baru. Ternyata deadline-nya hari ini.”
Trisha yang mendengar kabar itu terkejut. Ia membelalakkan matanya dan melihat jam tangan yang menunjukkan pukul tiga sore.
“Jadi, sebelum jam empat sore?!”
“I- iya.”
Pip!
Trisha langsung mematikan sambungan telepon dan meraih semua barangnya. Ia berlari meninggalkan pantai yang waktu tempuhnya sepuluh menit dari kantor tempatnya bekerja.
***
Vanda berjalan mondar-mandir dengan perasaan gusar. Waktu terus berjalan, tapi Trisha tak kunjung datang. Apa dia pulang terlebih dahulu untuk menggambar? Pikir Vanda yang terus memandang ke bawah.
Vanda tersenyum ketika melihat sahabatnya berjalan cepat menaiki anak tangga. Ia langsung menyambut kedatangan Trisha dengan senyum.
“Datang juga lo, mana gambarnya?” tanya Vanda mengulurkan tangan.
Trisha menurunkan tangan Vanda dengan senyuman menyengir dan berjalan melewatinya.
“Gue belum bikin.”
Vanda membelalakkan matanya. “Belum bikin, Sha? Waktu lo tinggal empat puluh lima menit lagi!”
Trisha tersenyum lebar. “Tenang, ada di otak gue!” jawabnya seraya duduk di meja kerjanya.
Vanda duduk di sampingnya dengan menatap bingung. “Sepertinya pantai memberikan lo banyak ide. Lo pasti ketemu sama cowok tampan yang mempunyai banyak otot di perut, kan? Secara di pantai banyak cowok yang telanjang dada." ledeknya. "Terus ini siku lo kenapa?” sambung Vanda yang pandangannya teralih pada luka di siku Trisha.
“Van! Lo bisa diam?” tanya Trisha dengan menoleh ke Vanda.
Vanda langsung merapatkan kedua bibirnya dengan mengangguk pelan. Dia beranjak dari tempat duduk sahabatnya untuk berpindah tempat duduk. Trisha yang melihat Vanda duduk di hadapannya hanya tersenyum tipis sambil menggeleng pelan.
Trisha langsung mulai menggambar dengan pen tablet-nya itu dengan cepat sambil sesekali tersenyum saat menggambar kisah ini. Berbeda dengan Vanda, dia terlihat cemas dan sedikit panik dengan Trisha. Perasaan wanita itu gusar. Dia ragu dengan apa yang sedang digambar oleh sahabatnya.
Tiga puluh menit berlalu, Vanda masih melihat Trisha yang masih fokus menggambar. Dia belum berani untuk banyak bertanya karena takut mengganggu konsentrasinya. Saat melihat jam tangannya, waktu pengumpulan tersisa sepuluh menit. Vanda sudah tidak bisa menahan diri untuk tetap diam.
“Sha, belum selesai? Sepuluh menit lagi.”
“Sebentar lagi, lo tenang aja. Kali ini lo harus percaya sama gue, Van! Gue yakin kalau cerita yang gue buat ini bakal laris!” jawab Trisha yang masih fokus dengan gambarnya yang ada di layar komputer.
Vanda menaikkan alisnya. Dia sedikit ragu dengan jawaban Trisha barusan.
“Udah selesai!” seru Trisha meletakkan pen itu, lalu merenggangkan ototnya.
Editor Vanda pun langsung beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Trisha untuk melihat yang di gambar oleh wanita itu.
“Minggir, Sha,” ucap Vanda yang membuat Trisha langsung beranjak dari duduknya.
Vanda duduk dan melihat komik itu dari awal sampai akhir. Ia tersenyum lebar dan menoleh ke arah Trisha. Dia benar-benar tidak menyangka dengan perubahan Trisha.
“Awalnya gue ragu sama ucapan lo, tapi setelah melihat ini … gue percaya sama ucapan lo, Sha!” seru Vanda dengan tersenyum bangga pada Trisha.
“Jadi yang lo maksud kisah cinta itu seperti ini? Ini udah lolos?” tanya Trisha yang masih terlihat ragu dengan apa yang dia gambar.
“Lolos! Gue yakin kalau ini seratus persen lolos! Gue nggak nyangka sama lo, Sha. Apa tangan lo yang cuma bisa gambar lelaki berotot ini udah dapat pencerahan? Lo juga bisa gambar lelaki di cerita ini sangat tampan! Jadi … luka di siku lo …” ucapan Vanda terhenti dan melihat ke arah luka yang ada di siku Trisha. Bahkan gambar plester pada gambarnya itu sama persis dengan plester yang menempel di sikunya.
Trisha berjalan di tepi pantai yang sudah tidak ada pengunjung sama sekali. Tiga tahun ini dia selalu datang ke pantai, tempat pertama kali dia bertemu dengan Sev. Dengan harapan lelaki itu datang menghampirinya.Wanita itu kembali menangis ketika teringat pada masa lalunya. Dia benar-benar merindukan lelaki itu. Dia adalah orang yang membuatnya berdiri sampai sekarang, tanpa dia mungkin Trisha tidak akan menjadi mangaka.Tiba-tiba saja ada seseorang yang berdiri di hadapannya. “Jangan nangis, nanti make-up lo luntur.”Trisha yang mendengar perkataan itu merasa tidak asing dan langsung mengangkat kepalanya, matanya menatap lelaki itu dengan tatapan tidak percaya.Severino berdiri di hadapannya dengan tersenyum lebar dan membentangkan tangannya. Trisha pun langsung berdiri dengan memeluknya erat.“Kenapa lo nggak kasih tau gue kalo udah balik?!” tanya Trisha dengan menangis sesenggukan.Sev mengelus punggung Trisha den
Tanpa dirasa tiga tahun berlalu dengan sangat cepat. Trisha melewati banyak rintangan dan sukses menjadi mangaka yang memiliki banyak penggemar. Tidak hanya dari Indonesia, tapi dari berbagai negara menyukai komik yang dibuat oleh wanita gemuk itu. Ralat, wanita yang sangat cantik dengan tubuh ideal.Trisha berhasil diet dengan cara memperbaiki pola hidupnya. Tidak ada panggilan wanita gemuk lagi untuknya.Trisha sudah sangat sukses di dunia komik, dia mendapatkan banyak penghargaan dan tawaran dari penerbit. Tidak hanya itu, satu komik yang sudah terjual jutaan eksemplar akan dijadikan film oleh salah satu sutradara terkenal. Benar-benar perkembangan yang pesat.Hanya saja, Trisha masih merasakan ada yang kurang dari semua pencapaian ini. Ya, kehadiran seseorang yang sudah dia tunggu selama tiga tahun.Tanpa di rasa wanita itu menunggu Sev selama tiga tahun. Dia sangat merindukan sosok lelaki itu yang menghilang tanpa kabar.Dua hari yang lalu, Tr
Tiga hari berlalu dengan sangat cepat, tidak bagi Trisha yang merasa kalau hari sangatlah lambat. Selama tiga hari dia tidak keluar dari apartemen, tidak membuka ponsel dan tidak melihat televisi. Semua itu dia lakukan hanya untuk tidak melihat wajah Sev.Trisha berhasil melakukan itu, tapi tidak berhasil melupakan lelaki itu dalam ingatannya. Entah kenapa setiap ingin melupakan, justru dia semakin ingat akan perhatian Sev yang dilakukan diam-diam. Apa kabar dengan lelaki itu? Apa dia semakin menerima banyak tawaran film?Tidak hanya Sev yang dia pikirkan, melainkan memikirkan cara agar komiknya kembali lagi dari platform dan membersihkan namanya itu. Vanda selalu menyuruhnya untuk menenangkan pikiran dan istirahat satu minggu.Namun, baru lima hari dia sudah merasa bosan dan ingin kembali bekerja seperti biasanya. Dia ingin melihat Sev meski dari kejauhan. Ia juga sudah menghitung total tabungan yang dimiliki. Uangnya hanya bisa membayar setengah dari jumlah to
Langkah Sev terhenti di tepi pantai, dia menatap tempat pertama kali bertemu dengan Trisha. Pertemuan yang pada saat itu Trisha tidak tahu kalau Sev adalah aktor. Lelaki itu duduk tanpa menggunakan alas apapun, pandangannya lurus ke depan.Entah kenapa, wanita itu membuat perubahan terbesar dalam hidupnya. Sev belum bisa melupakan Trisha, tapi dia ingin melupakan dia agar bisa pergi meninggalkan Indonesia dengan mudah. Yang ada di pikirannya adalah ‘apa dia mau menunggunya?’Sev merasa kalau Trisha sudah membenci dan tidak ingin bertemu lagi. Lelaki itu melirik ke kanan, dia mendapati wanita gemuk yang duduk seorang diri di tepi pantai dengan memakan burger. Bukankah itu sama seperti Trisha dulu? Bibir Sev perlahan tersenyum.Lelaki tampan itu mulai menyadari perasaannya. Dia tidak menyukai Tiana, yang dia sukai adalah Trisha. Hanya wanita itu yang membuatnya nyaman. Namun, sekarang sudah terlambat. Sev ingin mengulang semuanya, dia ingin lebih dekat
Tok … tok … tok …“Kak, ada yang cari lo,” ucap Beni dari luar ruangan yang sedikit berteriak.Zhui yang mendengar ucapan Beni kembali membuka matanya perlahan dengan menarik napas panjang dan mengembuskan dengan perlahan. “Ya, tunggu!” teriaknya seraya membenarkan posisi duduknya, lalu menoleh ke arah Sev yang masih memejamkan mata.“Gue harap, lo nggak melakukan hal buat gue marah! Jangan klarifikasi kalo lo nggak mau kehilangan pekerjaan lo!” perintah Zhui berdiri dari duduknya.“Gue nggak janji,” jawab Sev yang membuat Zhui mendengus dan melangkahkan kakinya keluar dari ruangan meninggalkan Sev.Saat mendengar suara pintu tertutup, Sev membuka matanya perlahan seraya mengeluarkan ponselnya dari saku. Dia menatap seisi ruangan dengan senyuman samar. “Maaf, Zhui. Gue harus melakukan sesuatu. Gue nggak mau jadi pengecut yang selalu bersembunyi setiap ada masalah,” gum
“Ada apa?” tanya Sev seraya masuk ke ruangannya dan duduk di hadapan Zhui dengan raut wajah bingung.Zhui memijat pelipis untuk sedikit menghilangkan rasa pening, banyak direktur yang menelponnya setelah melihat berita di artikel. Sang manager menyuruh temannya untuk mencari tau siapa yang membuat berita tidak jelas itu. Dia juga menyuruh security untuk memperketat orang yang masuk ke perusahaan untuk mengantisipasi agar tidak ada wartawan yang masuk.Wanita itu memutar laptopnya untuk memperlihatkan kabar yang menjadi trending. Banyak yang bertanya tentang kebenaran hubungannya dengan Tiana, ada juga yang tidak percaya kalau perusak hubungan Tiana adalah Sev.Sev yang membaca isi artikel itu mengepalkan tangannya, dia sangat marah pada orang yang membuat berita tidak benar itu.“Kita harus—““Direktur dan sutradara membatalkan kontrak setelah membaca skandal ini. Masalah lo kali ini sulit untuk diselesaikan, Sev
Sev yang tengah menunggu pesanannya di restoran hanya diam dengan menatap luar jendela. Dia memikirkan ucapan Zhui. Apa dia sudah keterlaluan pada Trisha?Dia mengamati beberapa pengunjung yang bermesraan dan saling mengobrol, tiba-tiba saja dia teringat pada Trisha saat makan berdua di restoran, dia juga ingat saat dia sering mengajaknya berbicara dan bermain game.Sev mengeluarkan ponselnya dan mengabaikan panggilan telepon dari Zhui. Dia membuka platform dan mencari komik milik wanita gemuk itu. Melihat banyak chapter yang sudah diterbitkan membuat perkataan Zhui terngiang di dalam pikirannya.“Dia udah banyak berkorban sama pekerjaan ini. Pagi dia jadi asisten lo, malam dia buat komik.”Apa benar yang diucapkan oleh Zhui? Itu artinya dia hanya tidur satu jam setiap harinya? Pikir Sev yang melihat waktu penerbitan komik itu. Banyak chapter yang diterbitkan antara pukul tiga atau empat subuh. Sev tau kalau wanita gemuk itu selalu ba
Trisha sementara waktu tinggal di apartemen Vanda karena rumah dan studio sudah dikerubungi oleh wartawan untuk meminta kejelasan. Wanita gemuk itu juga terus menghubungi Sev meski pesan tidak ada yang dijawab satu pun. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak.Wanita itu hanya bisa melihat Sev dari televisi. Dia tidak diperbolehkan keluar rumah sampai wartawan pergi dengan sendirinya. Sev pun tidak memberikan tanggapan lagi, dia hanya bilang kalau akan menuntutnya. Benar ucapan Lio. Sev tidak akan tinggal diam.Yang wanita gemuk itu pikirkan sekarang adalah cara membayar uang kompensasi untuk penerbit dan tuntutan Sev. Uang tabungan Trisha tidak cukup, dia juga tidak mau merepotkan orang di sekitarnya. Trisha merasa kalau ini adalah masalahnya sendiri.Seharusnya Trisha tidak menjadi asisten Sev dan memilih untuk mencari referensi lain. Namun, sudah terlambat untuk menyesali.Trisha merebahkan tubuhnya di kasur dengan menatap langit dari jendela, entah kenapa
Trisha sedari tadi melihat ke layar ponsel dengan harapan kalau Sev membalas pesannya. Namun, nihil. Sudah dua jam tidak ada balasan darinya. Hati wanita gemuk itu gusar dan bingung harus berbuat apa. Hanya satu yang diinginkan olehnya, Sev memaafkannya.Vanda yang melihat Trisha tampak gelisah pun hanya bisa menghela napas panjang sambil memakan cheese cake strawberry yang baru saja datang. Dia juga bingung harus membantu sahabatnya itu bagaimana.“Sha, udah dua jam lo lihat ke ponsel, tapi tetep aja nggak ada balesan. Sev butuh waktu buat maafin lo,” ucap Vanda dengan wajah datarnya.Trisha meletakan ponsel di meja dengan melihat ke arah Vanda. “Menurut lo … Sev bakal maafin gue nggak?” tanya Trisha.Vanda mengangkat kedua bahunya pertanda tidak tau. Namun, melihat tingkah Trisha yang berbeda sebelumnya membuat ia curiga. “Kenapa lo khawatir banget soal Sev maafin lo apa nggak? Jangan bilang lo … suka