“Lo tuli? Gue udah usir lo, kenapa masih di sini?” tanya Sev pada Trisha. Lelaki itu melirik sekilas dengan lirikan mata tajamnya.
Trisha masih bungkam dan takut salah dengan jawabannya, karena di situasi seperti ini, jawaban apa pun yang dia berikan akan tetap salah di mata Sev. Sedangkan, lelaki itu berdiri dari duduknya dengan tersenyum miring dan tertawa meremehkan. Zhui masih diam memperhatikan Sev.
“Selain tuli, lo bisu?” tanya Sev yang membuat Trisha membuka matanya lebar.
Kesabaran Trisha sudah menipis, dia tidak sanggup menghadapi lelaki menyebalkan itu. Trisha pun melangkahkan satu langkah untuk berdiri di samping Zhui, menatap Sev dengan tatapan malas.
Trisha menghela napas panjang dengan menarik bibirnya membentuk senyuman paksa. “Gue tuli atau bisu, apa urusannya sama lo? Gue di sini mau kerja jadi asisten lo, bukan teman berantem!”
“Lo … jadi gini sikap asisten sama majikannya, ha?!” bentak Sev dengan raut wajah yang marah.
Zhui menghela napas panjang, dia tidak menyalahkan Trisha yang berbicara seperti itu. Karena kalau tidak diperlakukan seperti itu, Sev akan terus merendahkan dan semena-mena pada wanita gemuk itu.
“Sev! Jangan seperti itu! Cari asisten buat lo itu susah! Lo harusnya berterima kasih sama Trisha karena mau jadi asisten aktor macam lo!” ujar Zhui dengan menatap tajam Sev.
Sev beralih melihat Zhui dengan tersenyum. “Susah? Apa susahnya? Emang nggak ada yang daftar selain dia? Kenapa harus wanita gemuk ini? Enggak ada yang lebih ramping? Kan lo juga bisa jadi asisten gue, Kak!”
“Gue enggak peduli sama keluhan lo. Trisha udah resmi jadi asisten lo mulai hari ini! Lo enggak ada hak buat pecat dia, karena yang berhak pecat dia itu gue, bukan lo! Paham?!” ucap Zhui sedikit meninggikan nada bicaranya.
Sev tidak melawan lagi, dia menghela napas panjang dan kembali duduk di sofa melanjutkan bermain game di ponsel. Trisha yang melihat Sev mendadak diam pun hanya bisa tersenyum tipis. Dia berterima kasih pada Zhui karena sudah menolongnya kali ini. Mungkin kalau Zhui tidak datang, hari ini juga Trisha kehilangan dua pekerjaannya.
Tidak bekerja menjadi asisten, otomatis komiknya itu tidak mendapatkan bahan.
“Sev ada pemotretan jam dua nanti. Trisha, tolong siapkan baju untuknya,” perintah Zhui memberikan arahan untuk Trisha.
Trisha tersenyum mengangguk. Namun, saat dia hendak melangkahkan kakinya, suara Sev membuatnya terhenti.
“Tunggu.”
Trisha menoleh ke Sev dengan senyuman. “Ada apa?”
“Lo nggak perlu repot-repot buat menyiapkan baju, gue bisa sendiri. Lagian lo tau apa tentang fashion gue,” ujar Sev seraya bangkit dari duduknya.
Sev adalah tipikal orang yang sangat mementingkan fashion, karena penampilan yang menarik menjadi keuntungan baginya. Selama ini, Sev juga menyiapkan bajunya sendiri karena Zhui selalu memberikan baju yang tidak sesuai dengan Sev.
Namun, berbeda dengan Trisha, dia menautkan kedua alisnya sambil menjawab, “Gue tau.”
Zhui yang mendengar jawaban Trisha langsung menoleh ke wanita itu sambil menggelengkan kepalanya, seakan memberikan kode agar membiarkan Sev memilih bajunya sendiri. Trisha hanya tersenyum sambil menggeleng, lalu berjalan mendekati Sev dan mengamatinya dari bawah sampai atas.
“Lo tau apa tentang fashion gue? Zhui yang kerja sama gue lebih lama dari lo aja enggak ngerti, apalagi lo yang baru kerja sepuluh menit?” ujar Sev menatap Trisha dengan tatapan sangat tajam.
Trisha tidak menjawab, dia hanya sekilas melihat wajah Sev yang tampak kesal itu. Lalu membuka lemari pakaian milik Sev dan memilahnya untuk Sev. Hanya membutuhkan waktu lima menit, Trisha memberikan pakaian ke Sev.
Sev menatap baju yang dipilih Trisha dengan tatapan ragu akan pilihan wanita itu. “Kalau nggak sesuai, gue bakal pecat lo!” kata Sev seraya mengambil pakaian itu dengan kasar. Trisha hanya tersenyum mengangguk.
“Silakan. Kalau sesuai, lo harus menerima gue sebagai asisten!”
“Oke!”
Sev berjalan ke ruang pass untuk mengganti pakaiannya. Trisha menghela napas lega sambil mengelus dadanya yang berdegup karena takut. Sedangkan Zhui, dia berjalan mendekati Trisha dengan senyuman lebar dan bangga.
“Enggak nyangka kalau Sev sekarang punya asisten yang galak, gue pikir lo orangnya penakut,” ujar Zhui.
“Aku me-memang penakut, Kak. Coba pegang,” sahut Trisha memberikan telapak tangannya ke Zhui.
Zhui memegang telapak tangan Trisha dengan raut wajah yang kaget. Telapak tangannya sangat terasa dingin dan sedikit berkeringat. Dia terkekeh pelan dengan mengucapkan, “Ternyata lo takut? Gue pikir ini sifat asli lo. Oh iya, mulai sekarang jangan pakai aku-kamu, tapi lo-gue aja. Oke?”
Trisha tersenyum dan mengangguk paham.
“Lo siapkan minuman hangat dan jus jeruk, bawa juga roti yang ada di meja. Karena biasanya setelah rapat, dia akan meminta ketiganya,” ujar Zhui menunjuk meja. “Kalau Sev udah selesai, langsung ke mobil. Gue tunggu lo di bawah,” lanjutnya seraya mengambil tas miliknya dan berjalan keluar dari ruangan.
Trisha hanya menjawab dengan satu anggukan dan senyuman manisnya. Dia langsung mengambil paper bag yang ada di dekat meja. Tangannya bergerak memasukan botol termos, botol kecil yang berisi jus jeruk, dan roti isi. Lalu, memasukan ke tas yang dia bawa.
Tak lama, Sev keluar dari ruang pass. Mata Trisha terbuka lebar dengan perlahan saat melihat Sev yang terlihat semakin tampan dengan pakaian yang dia pilih, benar-benar berbeda dari sebelumnya. Dalam hitungan lima detik, Trisha menggelengkan kepalanya dan tersadar dari lamunannya.
“Jangan puji dia lagi, Sha! Dia adalah lelaki yang hampir membuat lo jadi gelandangan,” ucap Trisha dari dalam hatinya.
“Selera lo bagus juga, wanita gemuk!” ujar Sev yang berdiri di depan cermin besar dengan merapikan pakaiannya.
Trisha tersenyum bangga. “Iya lah! Gue emang tau sedikit fashion!”
Sev menoleh ke Trisha dengan mengangkat satu alisnya. “Sedikit?” tanya Sev yang tampak ragu dengan jawaban wanita gemuk itu. “Jangan-jangan lo itu …” Ucapannya terhenti dengan kaki yang terus melangkah maju ke arah Trisha.
“Jangan-jangan apa? Lo mau ngapain?!” tanya Trisha yang melangkahkan kakinya ke belakang saat Sev terus berjalan maju dengan bibir membentuk senyuman miring.
Langkah Sev terhenti, namun wajahnya bergerak lebih dekat dengan Trisha. “Jangan-jangan lo fans berat gue?!” tanya Sev dengan raut wajah penuh curiga. Trisha menghela napas panjang dan mendorong pelan tubuh Sev.
“Kak Zhui udah nunggu di bawah, buruan turun,” ucap Trisha seraya berjalan terlebih dulu keluar dari ruangan itu.
Sev yang masih berdiri itu hanya tersenyum menyeringai. “Meski fashion lo bagus, gue belum menerima lo jadi asisten gue!” gumamnya pelan.
Berbeda dengan Trisha, dia justru senang mendapat perlakuan Sev yang mengejutkan seperti itu, karena semua ini bisa dijadikan bahan komiknya nanti.
Berbeda dengan Trisha, dia justru senang mendapat perlakuan Sev yang mengejutkan seperti itu, karena semua ini bisa dijadikan bahan komiknya nanti. Trisha tersenyum lebar dan mengeluarkan ponselnya untuk menulis outline.Saat sedang asyik menggambar sketsa kasarnya di ponsel, dia terlonjak kaget saat Sev yang tiba-tiba keluar dari ruangannya. Dengan cepat dia menyembunyikan ponselnya ke belakang.“Lo ngapain masih di sini?”“Nunggu lo, apa lagi? Gue asisten lo, jadi gue harus jalan di—“ Belum Trisha menyelesaikan perkataannya, Sev langsung berjalan lebih dulu meninggalkan Trisha.Wanita itu menghela napas panjang saat lelaki itu berlalu begitu saja tanpa menunggunya selesai menjawab, untung saja Trisha sudah mencari cara agar dia tetap bisa menjaga emosinya. Trisha mengambil permen dari kantungnya, lalu membuka bungkus dan memasukkan ke dalam mulut. Dengan adanya permen, dia bisa mengontrol rasa marahnya.***Sesampainya di tempat pemotretan, mobi
“Lo kenapa diem aja? Cepat beli kopi buat atasan lo! Beliin gue juga!” ucap wanita itu beralih pada Trisha.Trisha hanya bisa mengangguk dengan senyuman paksa, dia sudah menggerutu dari dalam hatinya. Rasanya ingin cepat-cepat mengakhiri semua ini, namun semua itu sangat mustahil. Ini baru hari pertamanya, tapi kenapa terasa sangat melelahkan?Bukan lelah fisik, melainkan batin. Dia benar-benar lelah menahan diri untuk tetap tersenyum saat ingin marah.Tak lama Trisha pergi, Sev yang masih dirangkul itu sudah tidak tahan pada wanita ini. Lelaki itu tidak bisa marah pada wanita yang satu ini karena dia termasuk seniornya.“Lepas, Zihan,” ucap Sev pada wanita yang merangkulnya.“Lo enggak kangen sama gue, Sev? Padahal gue baru aja pulang dari Singapura dan ikut pemotretan ini demi ketemu lo,” ujar wanita itu melepas rangkulannya dengan memasang wajah sedihnya melihat ke arah Sev.Zihan Rauhel, aktris senior
“Ji, tanya atasan lo, dia mau yang dingin atau panas, pahit atau manis. Kalau perlu kasih dia air comberan!” ucap Sev pada asisten Zihan dengan meletakan gelas kopi itu di meja dengan kasar, bahkan kopi itu sedikit tumpah.Sev langsung membalikkan tubuhnya dan hendak pergi, namun tangan Zihan menahan lengan lelaki itu.“Sev,” panggilnya dari belakang. Sev diam, dia tidak menjawab panggilan Zihan.“Lo kenapa bela dia? Bukannya tadi lo bentak-bentak dia?” tanya Zihan menunjuk ke arah Trisha.Sev menghela napas, dia menyingkirkan tangan Zihan dari lengannya, lalu membalikkan tubuhnya dengan senyuman paksa. “Trisha itu asisten gue, dia enggak ada kewajiban buat membeli dan mengganti kopi lo. Yang berhak menyuruh dan membentak dia itu gue, bukan lo! Ngerti?”Zihan yang mendengar itu langsung mendengus dan kembali duduk di kursinya, sedangkan Trisha yang dibela oleh Sev pun merasa sedikit senang. Dia tersen
Lima menit berlalu, bus yang ditunggu Trisha pun datang. Dia beranjak dari duduknya dan berjalan dua langkah untuk menunggu orang yang keluar dari bus itu. Setelah tidak ada yang keluar dari bus itu lagi, Trisha langsung masuk ke dalam dan duduk di kursi yang kosong. Kepalanya menyandar dengan mata menatap keluar jendela.Entah kenapa dia sangat menyukai langit senja.Tak membutuhkan waktu lama, bus yang dinaiki Trisha sampai di halte depan studio. Saat dia keluar dari bus, wanita itu tersenyum ketika melihat Vanda yang sudah menunggu kedatangannya.Vanda beranjak dari duduknya dan tersenyum pada Trisha. “Gimana? Lancar? Apa hari lo menjadi menyenangkan? Lebih berwarna? Kepala lo udah enggak mikir adegan membunuh atau berantem, kan?” tanya Vanda dengan rentetan pertanyaannya.Bukannya mendapatkan jawaban, wanita itu justru mendapat pukulan pelan di lengannya. Trisha langsung berjalan keluar dari halte dan masuk ke studio meninggalkan Vanda yang terus memanggi
Sedangkan gadis yang dilihat oleh Sev tidak menyadari tatapan Sev, dia masih asyik mengelus kepala kucing itu. Dia mulai menggambar dengan iPad, dan memakan satu suapan mi instannya. Dengan mata yang sesekali menatap langit malam. dia mulai masuk ke imajinasinya. Tangannya bergerak dengan lihai menggambar di layar iPad dengan bantuan pen yang dia pegang.Pergerakan tangannya terhenti ketika mendengar ponselnya yang berdering, dengan cepat dia mengambil ponselnya. Matanya sedikit terbelalak saat melihat nama sang mama terpampang di layar ponsel. Trisha berdeham dengan menghela napas panjang. Lalu, mengusap tombol hijau ke atas.“Halo, Ma. Kenapa?” tanya Trisha saat menempelkan ponsel ke telinga.“Halo, kamu lagi di mana? Udah sampai rumah? Udah makan? Makan apa kamu hari ini,” tanya sang mama dari seberang telpon.Trisha tersenyum tipis saat mendengar pertanyaan sang mama, dia sudah tau kalau mamanya akan bertanya seperti ini. &ldqu
Pesan terakhir yang Zhui kirim membuat Trisha langsung bergegas keluar rumah, dan berlari. Dia celingukan mencari taksi, karena sudah larut, tidak mungkin ada bus yang datang. Satu-satunya harapan adalah taksi.Jarak yang dikirim Zhui pun lumayan jauh, jadi tidak mungkin dia berlari ke sana. Dia sangat cemas, karena Zhui juga tidak bisa menolong Sev. Sedari tadi dia terus berdoa dalam hati agar menemukan taksi.Trisha tersenyum saat melihat taksi dari kejauhan yang melaju ke arahnya. Dia melambaikan tangannya guna memanggil taksi itu. Dua lampu jauh pada taksi itu berkedip, menandakan kalau dia akan segera datang.Setelah taksi berhenti di hadapan Trisha, dengan cepat wanita itu masuk ke dalam. Dia memberikan ponsel itu pada sang sopir untuk menunjukan alamat yang di kirim oleh Zhui.“Malam-malam ke bar, Mbak? Enggak takut? Mbaknya bukan—““Bukan, Pak. Saya mau jemput …”“Pacar ya, Mbak? Anak muda jaman sekarang, tuh, pasti
Lin memasukkan Sev ke dalam mobil dengan perlahan dibantu oleh Trisha, lalu pria itu menatap Trisha dengan tatapan tak enak. Karena ini sudah malam, dia takut kalau terjadi apa-apa dengannya.“Ada apa?” tanya Trisha.Lin menggeleng. “Kau yakin tidak mau saya antar ke rumah?” tanyanya memastikan lagi.“Iy—maaf, saya angkat telpon dulu,” ujar Trisha seraya mengambil ponselnya yang ada di saku.Satu panggilan masuk dari Vanda membuat dia langsung mengangkat telepon itu. “Halo, Van. Lo di mana?”“Gue ada di dekat bar, lo di mana? Gue susul.”Bibir Trisha perlahan membentuk senyuman mendengar ucapan Vanda, dia merasa beruntung mempunyai teman yang selalu ada di saat seperti ini.“Halo! Lo di mana, Sha! Jangan bikin gue panik dong!”“Gue di … depan bar, dekat tiang.”“Oke, gue tutup, ya!” ujar Vanda yang langsung memati
"Gue mau izin Zhui dulu, lo istirahat--" Ucapannya terhenti saat Trisha menggelengkan kepalanya cepat. "Kenapa?" tanya Vanda yang tidak mengerti maksudnya."Lo tau Sev, kan? Bisa dipecat gue kalau hari ini izin. Sekarang jam berapa?" tanya Trisha celingukan mencari jam dinding. Matanya terbelalak ketika melihat jam yang menunjukan pukul tujuh pagi. Dia teringat pada ucapan Sev yang akan memecatnya kalau ia terlambat."Lo kenapa, sih?""Van, panggil perawat. Kita harus pulang!" ujar Trisha dengan nada cemas.Vanda mengangguk dan langsung pergi memanggil perawat. Sedangkan Trisha, dia meraih ponselnya untuk mengecek apakah lelaki itu mengirimkan pesan. Namun, seketika dia teringat kalau lelaki itu tak mungkin menyimpan nomornya. Secara dia aktor, mana mungkin menyimpan nomor telepon sembarangan.Saat hendak meletakan kembali ke atas nakas, satu pesan masuk membuatnya mengurungkan niatnya, lalu kembali melihat ke layar ponselnya. Trisha menautkan kedu