"Lo juga bisa gambar lelaki di cerita ini sangat tampan! Jadi … luka di siku lo …” ucapan Vanda terhenti dan melihat ke arah luka yang ada di siku Trisha. Bahkan gambar plester pada gambarnya itu sama persis dengan plester yang menempel di sikunya.
Trisha tersenyum malu dengan menggigit bibir bawahnya, dan itu membuat Vanda semakin tersenyum lebar. “Jadi ini beneran kisah cinta yang nyata?” tanya Vanda yang hanya dijawab satu anggukan oleh Trisha.
“Jadi, lelaki ini dan luka lo di siku …”
“Semuanya nyata,” jawab Trisha dengan senyuman kikuk. “Se-selain itu … wajah aslinya jauh lebih tampan dibandingkan yang ada di gambar,” jelas Trisha dengan malu-malu.
Vanda tersenyum lebar. Dia tak menyangka bahwa teman dekatnya itu akan mengalami hal ini, karena dia sangat tahu bahwa Trisha sering canggung saat bersama dengan orang lain. Vanda beranjak dari duduknya dan langsung merangkul Trisha.
“Sha, sepertinya lo harus berusaha lebih mulai dari sekarang. Lo nggak boleh sia-siakan semua ini, karena ini akan menjadi awal menuju kesuksesan lo!” ujar Vanda dengan mengacungkan ibu jarinya.
Trisha menghela napas dengan menarik bibirnya membentuk senyuman. “Gue tau, tapi … boleh nggak kalau cerita di komik ini diganti?” tanya Trisha yang membuat Vanda melotot dan melepas rangkulannya.
“Hah? Diganti?! Waktu lo cuma tersisa lima menit, Shasha! Jangan aneh-aneh deh, lo! Lo harus kirim ini ke gue!” ujar Vanda dengan melipat tangannya di depan dada.
“Ta- tapi—“
“Enggak ada tapi-tapi, Sha! Lo mau dipecat? Enggak, kan? Kirim ini ke email gue!”
Trisha menghela nafasnya panjang. “Van, dengerin gue dulu.”
Vanda memutar bola matanya malas, lalu melihat ke arah Trisha. “Apa lagi?”
“Gue nggak yakin bisa melanjutkan chapter selanjutnya. Gimana kalau cerita ini lolos, lalu gue nggak ada inspirasi lagi? Bukannya itu sama aja menyerahkan diri buat dipecat?” tanya Trisha yang membuat Vanda menghela napas panjang dan menepuk keningnya. Baru saja dia senang melihat perubahan Trisha, kini dia kembali menjadi Trisha yang sebelumnya.
“Di mana lelaki ini sekarang? Di pantai? Ayo kita temui dia!”
Trisha tersenyum getir. “Dia udah pergi, dan gue nggak mungkin bisa temui dia,” jawab Trisha dengan lirih dan memajukan bibirnya.
Vanda kembali duduk dan memikirkan cara agar alur cerita ini tetap bisa diteruskan. Dia juga tidak bisa membiarkan Trisha dipecat begitu saja. Seketika dia teringat dengan tawaran temannya beberapa hari lalu. Ia tersenyum dan menepuk pelan pundak Trisha.
“Gue ada ide, Sha!”
Trisha menoleh ke Vanda dengan menaikkan alisnya. “Ide? Apa?”
“Lo kirim dulu gambar itu ke email gue, nanti gue kasih tau ide gue ini,” jawab Vanda beranjak dari duduknya dan melangkahkan kakinya ke meja kerjanya.
“Lo yakin? Gimana kalau—“
“Udah! Buruan kirim!” jawab Vanda sedikit berteriak.
Trisha mendengus dan kembali duduk di meja kerjanya, lalu mengirim sketsa-nya itu ke email Vanda. “Udah!”
“Sip. Sekarang, lo buka dokumen yang gue kirim ke chat. Lo cukup menghafalkan semua itu di rumah. Sekarang kita harus pulang. Ayo, gue anter lo pulang,” ucap Vanda seraya berjalan mendekat ke arah Trisha.
“Ini dokumen apa? Lo nggak kirim yang aneh-aneh, kan?” tanya Trisha dengan was-was.
Vanda menggelengkan kepalanya. “Sama sekali nggak, Trisha. Lo percaya sama gue. Nanti malam gue jelasin semuanya. Sekarang waktunya pulang! Ayo!”
Trisha mengangguk dan mematikan kembali komputer, merapikan meja kerja, lalu mempercepat langkahnya menyusul Vanda yang jaraknya sudah lumayan jauh. Dia masih belum paham dengan maksud Vanda. Apa dia menyuruhnya untuk melakukan pekerjaan yang aneh-aneh demi mendapatkan inspirasi cerita? Tapi Vanda juga tak mungkin melakukan itu.
***
Trisha berjalan keluar dari kamar mandi, dan mengusap kepalanya dengan handuk. Langkahnya terhenti tepat di depan cermin besar miliknya. Mata wanita itu bergerak melihat tubuhnya dari atas sampai bawah, lalu menghela nafas panjang saat melihat tubuhnya yang semakin gemuk itu.
“Kapan gue bisa kurus, ya? Apa kalau gue gemuk gini, ada yang mau sama gue?” tanya Trisha pada dirinya sendiri sambil memainkan lemak di perut dan juga lengannya.
Trisha berjalan dengan lemas menuju kamarnya, lalu merebahkan tubuh di kasur berukuran sedang. Dia menatap langit kamar dengan mengangkat tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memegang lengan kanan sambil bergumam, “Coba aja kalau gue kurus dan cantik, pasti gue sekarang punya pacar. Gue nggak perlu cari inspirasi lagi.”
“Gue harus diet!” ucap wanita itu membulatkan tekadnya.
Baru saja dia mengucapkan kalimat itu, perutnya berbunyi keroncongan. Menandakan kalau perutnya meminta makanan. Trisha menghela napas dan beranjak bangun. Dia memukul perutnya pelan. “Kenapa lo selalu bunyi tiap gue bilang diet?” gumamnya.
Trisha pun melangkahkan kakinya keluar dari kamar menuju ke dapur untuk melihat stok makanan yang tersisa. Saat membuka lemari es, dia kecewa karena tidak menemukan makanan yang tersisa.
Trisha mengambil ponselnya dari saku celana. Saat hendak menelepon temannya, satu panggilan masuk dari ‘Ran’ membuat Trisha tersenyum dan langsung mengangkat telepon itu.
Ran adalah temannya sewaktu SMA. Mereka bisa dibilang teman dekat, karena sejak SMA sampai kuliah, Ran selalu satu kelas dengan Trisha.
“Halo, Ran, kenapa?” tanya Trisha dari ujung telepon.
“Sibuk nggak? Ayo ke cafe,” ajak Ran dari seberang sana.
“Oke, gue ganti baju dulu.”
Trisha langsung mematikan sambungan telepon itu dan kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap.
Tidak membutuhkan waktu lama, ia sudah rapi dengan sweater dan celana panjang berwarna putih. Dia langsung berjalan keluar menuju café, karena kebetulan jarak rumah ke café hanya membutuhkan waktu lima menit saja.
Sesampai di café, dia celingukan mencari temannya. Trisha tersenyum saat Ran melambaikan tangan ke arahnya. Dengan cepat, dia melangkahkan kakinya mendekati Ran, kemudian duduk di hadapannya.
"Lama, ya, nunggunya?” tanya Trisha.
“Ah, enggak kok, Sha. Barusan sampai.”
“Oh, udah pesan?” tanya Trisha yang hanya dijawab satu anggukan oleh Ran.
“Gue udah pesan makanan kesukaan lo, selera lo belum ganti kan?”
Trisha tertawa kecil. “Belum, dong!”
“Bagus. Oh, iya. Lo tadi bilang di chat kalau … lo lagi cari orang? Siapa? Saudara lo hilang?” tanya Ran.
Trisha menggelengkan kepalanya. “Bukan, saudara gue nggak ada di kota ini. Kecuali … kakak gue.”
“Terus, siapa?”
“Lelaki yang jadi tokoh utama di komik gue,” jawab Trisha dengan tersenyum malu.
“Ha? Orang itu tinggal di sini, kan? Bukan di Jepang ataupun China? Dia bukan tokoh beda dimensi, kan? Dan … dia belum mati, kan? Masih hidup? Bukan … Ryo, kan?” cecar Ran dengan rentetan pertanyaan.
“Bukan, Ran. Dia benar-benar orang!"
“Ha? Orang itu tinggal di sini, kan? Bukan di Jepang ataupun China? Dia bukan tokoh beda dimensi, kan? Dan … dia belum mati, kan? Masih hidup? Bukan … Ryo, kan?” cecar Ran dengan rentetan pertanyaan.“Bukan, Ran. Dia benar-benar orang, dia masih hidup, dia bukan dari dimensi lain, dan tentu saja dia … bukan Ryo! Kenapa jadi bawa-bawa Ryo? Dia aktor, mana mungkin dia mau ketemu sama gue yang gemuk ini?”Ran menghela napas panjang menatap Trisha. “Kenapa sama cewek gemuk? Emang cewek gemuk bikin negara ini bangkrut? Enggak, kan?”“Pokoknya gue harus diet!”Ran terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya, karena kalimat seperti itu sudah ratusan kali diucapkan oleh Trisha.Mereka berdua pun saling berbincang membicarakan banyak hal. Mulai dari Trisha yang harus membuat komik genre romansa, bertemu dengan lelaki tampan yang kini menjadi tokoh utamanya, sampai pekerjaan Ran.Ia juga menceritakan masa sulitnya di kantor, bahkan Trisha terkejut saat me
Setelah memakan waktu dua jam, Trisha sudah ingat point penting informasi yang ada di data ini. Wanita itu meletakan ponsel di meja sambil menguap dan merenggangkan ototnya yang agak terasa kaku.“Namanya ribet banget. ya,” gumam Trisha saat kembali melihat biodata itu. Trisha mencoba untuk mengingat semuanya tanpa melihat ke layar ponsel. “Nama dia Severino, umur dua puluh empat. Dia alergi seafood, suka kopi, dia—“ Ucapan Trisha terhenti karena menguap dengan lebar sambil mengucek matanya.Dia melihat jam yang ada di layar ponsel. “Udah jam satu, waktunya tidur,” ucap wanita itu seraya bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju kamar untuk mengistirahatkan otaknya yang lelah.***Pagi pukul tujuh, Trisha membuka matanya perlahan karena mendengar ponselnya yang be
“Udah sampai?” tanya Trisha yang kembali melihat ke layar ponsel.“Lo masih mau lanjut main game? Kita udah—““Iya, iya, ini udah selesai, kok!” ucap Trisha menyela ucapan Vanda sambil memasukkan ponsel ke dalam tasnya.Vanda menarik napas panjang sambil tersenyum, lalu mengembuskan dengan perlahan. Mereka melepas sabuk pengaman dan keluar mobil bersamaan.Bola mata Trisha bergerak dari bawah sampai ke atas mengamati gedung besar yang ada di hadapannya. Dia tidak menyangka kalau tempat agensi aktor itu sebesar ini. Jantungnya mendadak berdegup kencang dan tak sabar bertemu dengan lelaki tampan yang pernah dia temui itu.Dia juga tidak menyangka kalau langkah kakinya akan menginjak ke dunia entertainment. Padahal, dia dulu sangat menentang untuk masuk ke dunia ini. Tapi, kini dia berubah pikiran. Dia merasa senang meskipun hanya menjadi asisten. Bukankah kalau dia diterima bisa bertemu dengan aktor tam
“Ayo masuk,” ucap wanita itu sembari masuk ke dalam ruangan, disusul oleh Vanda dan Trisha di belakang.Wanita itu mempersilakan mereka duduk dengan ramah. Trisha sangat kagum pada wanita yang ada di hadapannya itu. Dia terlihat sedikit lebih tua dari Vanda, tapi wajahnya terlihat sangat mulus. Badannya juga terjaga, sangat ideal.“Kamu Trisha?” tanya wanita itu melihat ke arah Trisha.Trisha tersenyum dan menganggukkan kepalanya canggung. Wanita itu juga ikut tersenyum dan langsung mengulurkan tangannya di hadapan Trisha“Selamat,” ucapnya yang membuat Trisha bingung dengan arti uluran tangan itu.Trisha menoleh ke Vanda seakan bertanya maksud wanita itu, sedangkan Vanda hanya menjawab dengan satu anggukan dan menyuruhnya untuk membalas uluran tangan itu. Trisha menggigit bibir bawahnya dengan membalas uluran tangan itu dengan ragu.“Saya Zhui Consina, kamu bisa panggil saya Kak Ina atau Kak Z
“Lo tuli? Gue udah usir lo, kenapa masih di sini?” tanya Sev pada Trisha. Lelaki itu melirik sekilas dengan lirikan mata tajamnya.Trisha masih bungkam dan takut salah dengan jawabannya, karena di situasi seperti ini, jawaban apa pun yang dia berikan akan tetap salah di mata Sev. Sedangkan, lelaki itu berdiri dari duduknya dengan tersenyum miring dan tertawa meremehkan. Zhui masih diam memperhatikan Sev.“Selain tuli, lo bisu?” tanya Sev yang membuat Trisha membuka matanya lebar.Kesabaran Trisha sudah menipis, dia tidak sanggup menghadapi lelaki menyebalkan itu. Trisha pun melangkahkan satu langkah untuk berdiri di samping Zhui, menatap Sev dengan tatapan malas.Trisha menghela napas panjang dengan menarik bibirnya membentuk senyuman paksa. “Gue tuli atau bisu, apa urusannya sama lo? Gue di sini mau kerja jadi asisten lo, bukan teman berantem!”“Lo … jadi gini sikap asisten sama majikannya, ha?!&rdq
Berbeda dengan Trisha, dia justru senang mendapat perlakuan Sev yang mengejutkan seperti itu, karena semua ini bisa dijadikan bahan komiknya nanti. Trisha tersenyum lebar dan mengeluarkan ponselnya untuk menulis outline.Saat sedang asyik menggambar sketsa kasarnya di ponsel, dia terlonjak kaget saat Sev yang tiba-tiba keluar dari ruangannya. Dengan cepat dia menyembunyikan ponselnya ke belakang.“Lo ngapain masih di sini?”“Nunggu lo, apa lagi? Gue asisten lo, jadi gue harus jalan di—“ Belum Trisha menyelesaikan perkataannya, Sev langsung berjalan lebih dulu meninggalkan Trisha.Wanita itu menghela napas panjang saat lelaki itu berlalu begitu saja tanpa menunggunya selesai menjawab, untung saja Trisha sudah mencari cara agar dia tetap bisa menjaga emosinya. Trisha mengambil permen dari kantungnya, lalu membuka bungkus dan memasukkan ke dalam mulut. Dengan adanya permen, dia bisa mengontrol rasa marahnya.***Sesampainya di tempat pemotretan, mobi
“Lo kenapa diem aja? Cepat beli kopi buat atasan lo! Beliin gue juga!” ucap wanita itu beralih pada Trisha.Trisha hanya bisa mengangguk dengan senyuman paksa, dia sudah menggerutu dari dalam hatinya. Rasanya ingin cepat-cepat mengakhiri semua ini, namun semua itu sangat mustahil. Ini baru hari pertamanya, tapi kenapa terasa sangat melelahkan?Bukan lelah fisik, melainkan batin. Dia benar-benar lelah menahan diri untuk tetap tersenyum saat ingin marah.Tak lama Trisha pergi, Sev yang masih dirangkul itu sudah tidak tahan pada wanita ini. Lelaki itu tidak bisa marah pada wanita yang satu ini karena dia termasuk seniornya.“Lepas, Zihan,” ucap Sev pada wanita yang merangkulnya.“Lo enggak kangen sama gue, Sev? Padahal gue baru aja pulang dari Singapura dan ikut pemotretan ini demi ketemu lo,” ujar wanita itu melepas rangkulannya dengan memasang wajah sedihnya melihat ke arah Sev.Zihan Rauhel, aktris senior
“Ji, tanya atasan lo, dia mau yang dingin atau panas, pahit atau manis. Kalau perlu kasih dia air comberan!” ucap Sev pada asisten Zihan dengan meletakan gelas kopi itu di meja dengan kasar, bahkan kopi itu sedikit tumpah.Sev langsung membalikkan tubuhnya dan hendak pergi, namun tangan Zihan menahan lengan lelaki itu.“Sev,” panggilnya dari belakang. Sev diam, dia tidak menjawab panggilan Zihan.“Lo kenapa bela dia? Bukannya tadi lo bentak-bentak dia?” tanya Zihan menunjuk ke arah Trisha.Sev menghela napas, dia menyingkirkan tangan Zihan dari lengannya, lalu membalikkan tubuhnya dengan senyuman paksa. “Trisha itu asisten gue, dia enggak ada kewajiban buat membeli dan mengganti kopi lo. Yang berhak menyuruh dan membentak dia itu gue, bukan lo! Ngerti?”Zihan yang mendengar itu langsung mendengus dan kembali duduk di kursinya, sedangkan Trisha yang dibela oleh Sev pun merasa sedikit senang. Dia tersen