“Udah sampai?” tanya Trisha yang kembali melihat ke layar ponsel.
“Lo masih mau lanjut main game? Kita udah—“
“Iya, iya, ini udah selesai, kok!” ucap Trisha menyela ucapan Vanda sambil memasukkan ponsel ke dalam tasnya.
Vanda menarik napas panjang sambil tersenyum, lalu mengembuskan dengan perlahan. Mereka melepas sabuk pengaman dan keluar mobil bersamaan.
Bola mata Trisha bergerak dari bawah sampai ke atas mengamati gedung besar yang ada di hadapannya. Dia tidak menyangka kalau tempat agensi aktor itu sebesar ini. Jantungnya mendadak berdegup kencang dan tak sabar bertemu dengan lelaki tampan yang pernah dia temui itu.
Dia juga tidak menyangka kalau langkah kakinya akan menginjak ke dunia entertainment. Padahal, dia dulu sangat menentang untuk masuk ke dunia ini. Tapi, kini dia berubah pikiran. Dia merasa senang meskipun hanya menjadi asisten. Bukankah kalau dia diterima bisa bertemu dengan aktor tampan lainnya? Trisha benar-benar tidak sabar menanti kehadiran itu.
“Lo kenapa senyum-senyum gitu? Bukannya tadi lo marah dan protes waktu—“
“Kenapa? Gue harus memasang wajah cemberut gue gitu? Gini?” tanya Trisha seraya mengubah raut wajahnya menjadi cemberut. Vanda yang melihat wajah Trisha seketika tertawa dan memegang kedua pipi wanita itu agar tidak berekspresi seperti itu lagi.
“Udah, ayo masuk,” ajak Vanda dengan meredakan tawanya dan merangkul Trisha memasuki gedung besar itu.
Saat masuk ke dalam gedung, Trisha sangat asing dan sedikit menahan rasa malu saat ditatap oleh beberapa orang yang berada di sana. Wanita itu juga berpapasan dengan beberapa aktris dan aktor yang sama sekali tidak Trisha kenal.
Ralat, bukannya Trisha tidak kenal pada artis populer itu. Melainkan dia memang tidak pernah melihat televisi, sehingga dia tidak tau dengan artis yang ada di negara ini. Berbeda dengan Vanda yang sudah heboh sendiri saat melihat beberapa artis yang datang dan pergi.
Vanda memang mengikuti artis-artis yang ada di negara ini, dan beberapa negara lainnya. Jadi, dia sangat senang bisa masuk di perusahaan ini. Sebenarnya, tujuan Vanda menjemput Trisha itu bukan karena dia ingin mengantar teman dekatnya untuk interview, tapi dia hanya ingin bertemu dengan artis-artis yang ada di agensi ini.
Trisha menoleh ke Vanda yang sudah berjalan meninggalkannya, dan pergi menghampiri satu lelaki tampan yang berdiri di dekat lift. Trisha terkekeh pelan saat melihat Vanda yang memperkenalkan diri dan meminta untuk foto bersama.
Saat tengah memperhatikan Vanda, pandangan mata Trisha beralih pada lelaki yang baru saja keluar dari lift dan dikawal oleh beberapa orang di sampingnya. Perlahan mata Trisha membulat sempurna ketika melihatnya yang berjalan semakin dekat. Bibirnya perlahan membentuk senyuman saat jarak dia hanya beberapa langkah saja.
Lelaki itu menoleh sekilas ke Trisha dengan raut wajah yang sangat dingin, bahkan tatapan matanya sangat tajam.
Saat lelaki itu melewatinya tanpa membalas senyuman, seketika ekspresi wajah Trisha menjadi datar. Dia menoleh dan menatap punggung lelaki itu dengan tatapan tidak percaya. Dia sangat berbeda dari sebelumnya.
Bukankah kemarin dia murah senyum dan bersikap perhatian? Tapi kenapa sekarang dia terlihat sangat dingin dan menakutkan? Apa karena sekarang dia di perusahaan? Jadi dia menjaga image di depan semua orang. Trisha kembali tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan.
“Pasti karena itu dia jadi cowok dingin,” gumam Trisha dengan bibir yang masih membentuk senyum.
“Shaa!” panggil Vanda dari belakang dengan sedikit berteriak.
Trisha kembali membalikkan tubuhnya menatap Vanda yang tengah melambaikan tangannya di depan lift. “Buruan! Lima menit lagi interview!”
Trisha langsung mempercepat langkahnya mendekati Vanda dan berjalan masuk ke dalam lift. Trisha yang melihat Vanda sedari tadi senyum-senyum sendiri langsung memegang kening Vanda dengan telapak tangannya.
“Van, lo sehat, kan?” tanya Trisha yang membuat raut wajah Vanda seketika datar, lalu kembali tersenyum dengan memegang ponselnya.
“Untung gue anterin lo ke perusahaan, kalau enggak … gue enggak bisa foto sama cogan!” ujar Vanda dengan nada sangat senang. Trisha hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya.
“Dasar! Ternyata bukan cuma gue yang otaknya dipenuhi sama cowok tampan, tapi lo juga!”
“Udah, berhenti bahas gue. Sekarang gue tanya, kenapa lo tadi senyum terpukau pas lihat Severino lewat? Gue pikir lo cuma tertarik sama aktor yang ada di Jepang!” kata Vanda dengan senyuman menggoda.
Trisha tak bisa lagi menyembunyikan wajah senangnya. Dia kembali tersenyum saat mengingat kejadian kemarin dan di pantai.
“Kenapa? Berubah pikiran? Udah—“ Belum selesai bicara, Trisha langsung meletakan jari telunjuknya di depan bibir Vanda dengan tersenyum paksa.
“Gue senyum itu bukan karena gue kagum sama aktor itu, tapi … sebagai salam sapa aja. Ya kali gue lihat dia pasang wajah cemberut. Bener kan?” jelas Trisha yang bersusah payah menjelaskan pada Vanda.
Vanda tersenyum dan menyingkirkan jari telunjuk Trisha dari mulutnya. “Benar, sih, masuk akal. Oh, iya, setahu gue … Severino itu aktor yang dingin dan suka ketus,” ucap Vanda dengan sedikit berbisik.
Trisha yang mendengar ucapan Vanda hanya mengangkat satu alisnya. Aktor dingin? Seingat Trisha, Severino ini memang irit dalam bicara, tapi dia penuh dengan perhatian. Buktinya dia sangat menyayangi anjing peliharaannya.
Trisha menggeleng pelan, dia tidak boleh langsung percaya dengan ucapan Vanda yang mengatakan kalau aktor itu mempunyai sifat yang buruk.
“Kenapa diem lagi, sih? Jawab, Trisha!”
Trisha menghela napas panjang dengan tersenyum paksa. “Gue harus jawab apa?”
“Apa kek, terserah. Oh, iya. Severino itu juga gampang marah. Lo harus hati-hati dan tetap sabar, jangan emosi. Ngerti?”
“Iya, Van, iya. Gue ngerti. Kenapa lo yang jadi panik gini?” tanya Trisha menyandarkan tubuhnya di lift.
“Karena gue takut kalau lo enggak betah kerja sama aktor itu, jadi—“
“Udah, sampai. Ayo keluar,” ucap Trisha menyela ucapan Vanda saat pintu lift sudah terbuka. Dia berjalan keluar terlebih dulu meninggalkan Vanda. Vanda hanya bisa menghela napas dan berdecak pelan.
Vanda berjalan keluar menyusul Trisha. Dia celingukan mencari orang yang sudah menyuruhnya untuk menunggu di sini. Trisha tidak banyak bertanya dan memilih untuk melihat-lihat yang ada di koridor itu. Bibirnya tersenyum tipis saat melihat foto beberapa aktor yang terpajang di dinding.
Namun, dia lebih lama menatap foto Severino. Baginya, empat foto aktor lainnya terkalahkan dengan foto aktor yang satu itu. Karena foto ini memperlihatkan roti sobek yang ada di perut Severino. Benar-benar mengagumkan.
“Maaf sudah menunggu lama,” ucap seorang wanita yang baru saja datang.
Trisha dan Vanda menoleh ke belakang dengan bersamaan. Keduanya tersenyum pada wanita itu dengan sopan.
“Tidak lama, kita juga baru aja sampai,” ujar Vanda.
“Ayo masuk,” ucap wanita itu sembari masuk ke dalam ruangan, disusul oleh Vanda dan Trisha di belakang.
“Ayo masuk,” ucap wanita itu sembari masuk ke dalam ruangan, disusul oleh Vanda dan Trisha di belakang.Wanita itu mempersilakan mereka duduk dengan ramah. Trisha sangat kagum pada wanita yang ada di hadapannya itu. Dia terlihat sedikit lebih tua dari Vanda, tapi wajahnya terlihat sangat mulus. Badannya juga terjaga, sangat ideal.“Kamu Trisha?” tanya wanita itu melihat ke arah Trisha.Trisha tersenyum dan menganggukkan kepalanya canggung. Wanita itu juga ikut tersenyum dan langsung mengulurkan tangannya di hadapan Trisha“Selamat,” ucapnya yang membuat Trisha bingung dengan arti uluran tangan itu.Trisha menoleh ke Vanda seakan bertanya maksud wanita itu, sedangkan Vanda hanya menjawab dengan satu anggukan dan menyuruhnya untuk membalas uluran tangan itu. Trisha menggigit bibir bawahnya dengan membalas uluran tangan itu dengan ragu.“Saya Zhui Consina, kamu bisa panggil saya Kak Ina atau Kak Z
“Lo tuli? Gue udah usir lo, kenapa masih di sini?” tanya Sev pada Trisha. Lelaki itu melirik sekilas dengan lirikan mata tajamnya.Trisha masih bungkam dan takut salah dengan jawabannya, karena di situasi seperti ini, jawaban apa pun yang dia berikan akan tetap salah di mata Sev. Sedangkan, lelaki itu berdiri dari duduknya dengan tersenyum miring dan tertawa meremehkan. Zhui masih diam memperhatikan Sev.“Selain tuli, lo bisu?” tanya Sev yang membuat Trisha membuka matanya lebar.Kesabaran Trisha sudah menipis, dia tidak sanggup menghadapi lelaki menyebalkan itu. Trisha pun melangkahkan satu langkah untuk berdiri di samping Zhui, menatap Sev dengan tatapan malas.Trisha menghela napas panjang dengan menarik bibirnya membentuk senyuman paksa. “Gue tuli atau bisu, apa urusannya sama lo? Gue di sini mau kerja jadi asisten lo, bukan teman berantem!”“Lo … jadi gini sikap asisten sama majikannya, ha?!&rdq
Berbeda dengan Trisha, dia justru senang mendapat perlakuan Sev yang mengejutkan seperti itu, karena semua ini bisa dijadikan bahan komiknya nanti. Trisha tersenyum lebar dan mengeluarkan ponselnya untuk menulis outline.Saat sedang asyik menggambar sketsa kasarnya di ponsel, dia terlonjak kaget saat Sev yang tiba-tiba keluar dari ruangannya. Dengan cepat dia menyembunyikan ponselnya ke belakang.“Lo ngapain masih di sini?”“Nunggu lo, apa lagi? Gue asisten lo, jadi gue harus jalan di—“ Belum Trisha menyelesaikan perkataannya, Sev langsung berjalan lebih dulu meninggalkan Trisha.Wanita itu menghela napas panjang saat lelaki itu berlalu begitu saja tanpa menunggunya selesai menjawab, untung saja Trisha sudah mencari cara agar dia tetap bisa menjaga emosinya. Trisha mengambil permen dari kantungnya, lalu membuka bungkus dan memasukkan ke dalam mulut. Dengan adanya permen, dia bisa mengontrol rasa marahnya.***Sesampainya di tempat pemotretan, mobi
“Lo kenapa diem aja? Cepat beli kopi buat atasan lo! Beliin gue juga!” ucap wanita itu beralih pada Trisha.Trisha hanya bisa mengangguk dengan senyuman paksa, dia sudah menggerutu dari dalam hatinya. Rasanya ingin cepat-cepat mengakhiri semua ini, namun semua itu sangat mustahil. Ini baru hari pertamanya, tapi kenapa terasa sangat melelahkan?Bukan lelah fisik, melainkan batin. Dia benar-benar lelah menahan diri untuk tetap tersenyum saat ingin marah.Tak lama Trisha pergi, Sev yang masih dirangkul itu sudah tidak tahan pada wanita ini. Lelaki itu tidak bisa marah pada wanita yang satu ini karena dia termasuk seniornya.“Lepas, Zihan,” ucap Sev pada wanita yang merangkulnya.“Lo enggak kangen sama gue, Sev? Padahal gue baru aja pulang dari Singapura dan ikut pemotretan ini demi ketemu lo,” ujar wanita itu melepas rangkulannya dengan memasang wajah sedihnya melihat ke arah Sev.Zihan Rauhel, aktris senior
“Ji, tanya atasan lo, dia mau yang dingin atau panas, pahit atau manis. Kalau perlu kasih dia air comberan!” ucap Sev pada asisten Zihan dengan meletakan gelas kopi itu di meja dengan kasar, bahkan kopi itu sedikit tumpah.Sev langsung membalikkan tubuhnya dan hendak pergi, namun tangan Zihan menahan lengan lelaki itu.“Sev,” panggilnya dari belakang. Sev diam, dia tidak menjawab panggilan Zihan.“Lo kenapa bela dia? Bukannya tadi lo bentak-bentak dia?” tanya Zihan menunjuk ke arah Trisha.Sev menghela napas, dia menyingkirkan tangan Zihan dari lengannya, lalu membalikkan tubuhnya dengan senyuman paksa. “Trisha itu asisten gue, dia enggak ada kewajiban buat membeli dan mengganti kopi lo. Yang berhak menyuruh dan membentak dia itu gue, bukan lo! Ngerti?”Zihan yang mendengar itu langsung mendengus dan kembali duduk di kursinya, sedangkan Trisha yang dibela oleh Sev pun merasa sedikit senang. Dia tersen
Lima menit berlalu, bus yang ditunggu Trisha pun datang. Dia beranjak dari duduknya dan berjalan dua langkah untuk menunggu orang yang keluar dari bus itu. Setelah tidak ada yang keluar dari bus itu lagi, Trisha langsung masuk ke dalam dan duduk di kursi yang kosong. Kepalanya menyandar dengan mata menatap keluar jendela.Entah kenapa dia sangat menyukai langit senja.Tak membutuhkan waktu lama, bus yang dinaiki Trisha sampai di halte depan studio. Saat dia keluar dari bus, wanita itu tersenyum ketika melihat Vanda yang sudah menunggu kedatangannya.Vanda beranjak dari duduknya dan tersenyum pada Trisha. “Gimana? Lancar? Apa hari lo menjadi menyenangkan? Lebih berwarna? Kepala lo udah enggak mikir adegan membunuh atau berantem, kan?” tanya Vanda dengan rentetan pertanyaannya.Bukannya mendapatkan jawaban, wanita itu justru mendapat pukulan pelan di lengannya. Trisha langsung berjalan keluar dari halte dan masuk ke studio meninggalkan Vanda yang terus memanggi
Sedangkan gadis yang dilihat oleh Sev tidak menyadari tatapan Sev, dia masih asyik mengelus kepala kucing itu. Dia mulai menggambar dengan iPad, dan memakan satu suapan mi instannya. Dengan mata yang sesekali menatap langit malam. dia mulai masuk ke imajinasinya. Tangannya bergerak dengan lihai menggambar di layar iPad dengan bantuan pen yang dia pegang.Pergerakan tangannya terhenti ketika mendengar ponselnya yang berdering, dengan cepat dia mengambil ponselnya. Matanya sedikit terbelalak saat melihat nama sang mama terpampang di layar ponsel. Trisha berdeham dengan menghela napas panjang. Lalu, mengusap tombol hijau ke atas.“Halo, Ma. Kenapa?” tanya Trisha saat menempelkan ponsel ke telinga.“Halo, kamu lagi di mana? Udah sampai rumah? Udah makan? Makan apa kamu hari ini,” tanya sang mama dari seberang telpon.Trisha tersenyum tipis saat mendengar pertanyaan sang mama, dia sudah tau kalau mamanya akan bertanya seperti ini. &ldqu
Pesan terakhir yang Zhui kirim membuat Trisha langsung bergegas keluar rumah, dan berlari. Dia celingukan mencari taksi, karena sudah larut, tidak mungkin ada bus yang datang. Satu-satunya harapan adalah taksi.Jarak yang dikirim Zhui pun lumayan jauh, jadi tidak mungkin dia berlari ke sana. Dia sangat cemas, karena Zhui juga tidak bisa menolong Sev. Sedari tadi dia terus berdoa dalam hati agar menemukan taksi.Trisha tersenyum saat melihat taksi dari kejauhan yang melaju ke arahnya. Dia melambaikan tangannya guna memanggil taksi itu. Dua lampu jauh pada taksi itu berkedip, menandakan kalau dia akan segera datang.Setelah taksi berhenti di hadapan Trisha, dengan cepat wanita itu masuk ke dalam. Dia memberikan ponsel itu pada sang sopir untuk menunjukan alamat yang di kirim oleh Zhui.“Malam-malam ke bar, Mbak? Enggak takut? Mbaknya bukan—““Bukan, Pak. Saya mau jemput …”“Pacar ya, Mbak? Anak muda jaman sekarang, tuh, pasti