"Kita bisa pergi berdua, Cloud!"
"Apa maksudmu?"Lekas kudekati ia dan membisikkan banyak kalimat tak terduga. Perlahan, kurasa ia mengangguk. Entah paham atau hanya sekadar respon atas apa yang kukatakan.Seusainya pembeberan rencana, dengan cepat kupeluk ia erat. Setidaknya, untuk beberapa tahun ke depan aku masih punya seseorang untuk kembali pulang. Meski bukan ibu kandung, tetapi Cloud memberi banyak hal layaknya seorang ibu pada anaknya."Idemu boleh juga. Tapi, bagaimana selanjutnya?""Kau tak perlu khawatir, Cloud. Kau tahu, 'kan, aku ini cerdik?" tanyaku sembari menjentikkan jemari hingga berbunyi.Cloud tersenyum lebar. Ada gurat yang tak bisa kuartikan. Juga binar pada kedua matanya yang kian berkaca-kaca.Sama sepertiku, Cloud pasti juga merindu. Tak akan ada orang tua yang rela dipisahkan begitu lama dengan sang anak. Bahkan, untuk mengetahui kabar mereka pun, CloudTerima kasih buat yang terus ngikutin si Grace 💚 jangan lupa, cerita ini bakalan terus update meski nggak tiap hari ya. Jadi kalian bisa loh, smabil ngumpulin koin gratis dengan login tiap hari ke aplikasi. Mayan kan ntar koinnya bisa buat baca Jonathan Deers 🤭 salam hisap 💚
Prang!Keramik yang katanya berseni tinggi itu hancur, lebur bersama dengan amarah yang meninggi tanpa dihibur. Kepakan sayapku dalam apartemen membuat banyak barang pecah belah tak lagi berarti.Bak dikurung, diri ini hanya mampu mengepak di dalam sangkar emas. Ke luar pun sudah pasti akan banyak saksi mata. Dunia tak lagi kerdil, sedangkan aku makin terkucil.Ingin kubentang sayap selebar mungkin, lantas mengepaknya ke arah pepohonan rimbun demi menyaksikan ombak dedaunan yang menyejukkan. Sayang, di mana pun kini banyak mata elang yang mampu mencapai pelosok sekalipun.Terlebih dengan ribuan cahaya lampu, kamera pengintai yang juga digunakan untuk keamanan dan kepentingan para penghuni rimba, tentu saja berdampak dengan kebebasanku sendiri.Napasku terengah saat teringat kembali akan pesan yang ditinggalkan Jonathan pada salah satu gambar yang tercetak. Jean? Kenapa nama itu selalu disebut oleh Jo?Lantas, aku teringat satu ha
"Grace! Jauhi Jonathan!" Aku yang terkejut mendapati bayangan Ibu ada di depan mata pun terjengkang ke belakang. "Ini bukan ancaman atau sebagainya. Tapi, kau boleh menganggap ini sebuah peringatan! Akan ada bahaya yang mengancam!"Aku mengernyit heran, sedetik kemudian bayangan Ibu telah lesap terbawa angin malam. Napasku masih terengah, terlebih bayang perempuan yang melahirkan ku itu datang dengan rupa yang menyeramkan. Lebih menakutkan dari yang pernah kubayangkan."Ha-halo?"Aku mengerjap-ngerjap saat tersadar sosok dari balik telepon memanggil, menanti jawab. "Ya, ada apa?"Kutamatkan suaranya, lalu kembali menatap layar ponsel, mengingat-ingat kapan kali terkahir kuberikan nomor ponsel pada lain orang."Grace Houghlin?" Aku mengangguk, meski tahu ia tak akan mampu melihatku. "Aku mendapat nomormu dari Mea. Katan
"Tunggu!"Pergelangan tanganku dicekal, ditahan sebelum bisa masuk ke gedung Daily News. Kau mengernyit, menatapnya lekat-lekat. Kutamatkan pandangan pada wajahnya yang tampak tak asing, meski lupa di mana mengenalnya."Kau tak ingat?" Kedua alisnya bertaut, lalu kedua sudut bibirnya menyimpul senyum. "Kau putus asa juga?"Aku terperangah, lalu mengangguk pelan. "Kamu?"Hampir saja aku tersenyum, jika saja tak mengingat kejadian lebih dari sepekan yang lalu. Dia mengenaliku!"Ah, maksudku kamu siapa?"Senyum pada wajahnya hirap seketika setelah mendengar pertanyaanku. Ya, begitulah seharusnya.
Dari jarak kurang lebih 130 kaki, aku masih mampu melihat senyum yang terpancar dari raut Jonathan untuk perempuan itu. Mungkin dialah pemilik nama Jean. Nama yang membuat jantungku berdetak tak keruan.Aku masih menatap keduanya, menikmati hunjaman pada dada akibat senyum yang terpatri pada pahatan wajah Jonathan di seberang jalan. Sedikit lagi, aku bisa melihat sosok Jean jika saja pria bermata hazel itu tak mengajaknya berbincang terus menerus.Sementara tatapanku masih awas, terdengar suara dentingan yang terasa begitu dekat. Lekas, kutatap sumber suara. Dio rupanya.Astaga! Aku sampai lupa padanya!"Ada apa?""Kau juga kesepian?"Aku mencebik, lantas meneguk air mineral dalam gelas hingga tandas. "Aku hanya butuh air. Kurang konsentrasi."
"Aku tak percaya! Kau hanya main-main, 'kan?" Dio menatapku tajam. Lantas berjalan menuju ke arah belakang tubuhku. Secara langsung, entah bagaimana caranya ia sampai bisa menyentuh pada kedua sisi punggung. Mungkin menjingkatkan kaki. "Di sini, titik tumpu kedua sayapmu." Aku terdiam. Bahkan, bukan hanya terkejut, tapi semua gerakanku seolah-olah terpaku akan kemampuannya yang bisa tahu sedetil itu. "Ka-kau benar-benar tau?" "Dengarkan aku, Rosalie. Hmm ... maksudku, Grace." Ia telah berdiri di depanku, dengan gaya yang sama seperti sebelumnya di kafe. Gayanya yang bagaikan orang dewasa, memang membuatku sangsi sedari tadi. "Kau tau, terkadang ada hal-hal yang memang terjadi di luar jangkauan dan kendali k
Kuedarkan pandang, mencari sosok yang kata Dio adalah pemilik aroma anyir nan lezat. Namun, sejauh mata memandang tak kudapati pria bermata hazel itu di sekitar. "Siapa yang kau cari?" Fokusku buyar saat mendengar pertanyaan Frederick. "Sorry, kupikir tadi ada yang memanggilku." Frederick menautkan alisnya, lantas turut memandang sekitar. Mungkin, ikut mencari. "Memangnya siapa namamu?" "Grace," ujarku sembari mengulurkan tangan kanan. "Cantik." Tak kuhiraukan pujian Frederick, saat aroma itu kembali semerbak. Kembali kuhirup dalam-dalam demi memuaskan hati mengenai ingin yang tertunda. Sekali lagi, kuedarkan pandang, mencari orang yang berdarah, atau mungkin yang terluka.
Petang baru saja tiba saat kurebahkan badan di ranjang. Banyak hal yang terjadi hari ini, membuatku lupa untuk sekadar mencari asupan gizi. Niat hati ingin meneguk darah super lezat itu saat kutemui, malah berakhir di rumah sakit sebagai wali.Sial!Sembari berbenah diri, kilas kejadian tadi kembali teringat. Mengenai kondisi Jonathan yang jauh dari kata sehat."Kita tak bisa merawatnya di sini, ia ... seperti kehilangan banyak darah.""Lakukan apa pun, bawa secepatnya!" perintahku pada salah seorang paramedis yang datang memeriksa.Bersama dengan dua ahli medis, kubawa Jonathan ke rumah sakit terdekat. Lantas segera masuk pada ruang gawat darurat. Tampak beberapa dokter mendengar pernyataan dari paramedis yang memeriksa sebelumnya.Setelah itu, ia mulai memberi instruksi semb
Dalam sekejap saja, iblis peniru itu telah melarikan diri ke arah sebaliknya. Ia berlari kencang, sedangkan diri ini mencoba mengejar meski enggan. Setidaknya, aku harus benar-benar meyakinkan ia bahwa aku memang temannya."Mau ke mana?!"Kulihat ia hanya menoleh sembari menggeleng padaku. Bersamaan dengan itu, kulihat Jean yang asli melewatiku dari samping. Sementara iblis itu masih melihat, aku tak bisa langsung mendekati yang asli.Jadi, kubiarkan Jean berlalu sembari melihat ke mana ia menuju. Hanya dalam hitungan menit, iblis peniru itu telah hilang ditelan kerumunan masa. Jika dia bisa meniru Jean, sudah pasti ia bisa meniru yang lain.Sebelum hal yang kutakutkan terjadi, lekas kuderap langkah tergesa demi menyusul Jean yang sesungguhnya. Demi Tuhan, jangan sampai iblis itu meniru orang lain untuk kembali kemari.