Pukul 19.00 WIB, Adnan sudah berada di teras rumahnya, ia mematikan mesin motor matic sekaligus membuka helm yang membungkus kepalanya. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah sambil mengucapkan salam.
"Sudah pulang?" tanya Fina pada Adnan sambil mengulurkan tangan kanannya untuk dicium sang anak.
"Sudah, Bu." Adnan mencium tangan Fina lalu berjalan sempoyong masuk ke dalam kamarnya yang berukuran 5x4. Adnan membanting tubuhnya dengan kasar di atas ranjang tanpa mengganti baju kerjanya.
"Astaga, ganti dulu bajunya," ucap Fina melihat Adnan yang masih mengenakan pakaian seragam kerja.
"Besok lagi aja, Bu."
"Huh, kalo calon suamimu tahu kelakuaan burukmu, jangan salahkan ibu jika dia minta cerai," ancam Fina yang dibalas anggukan oleh sang anak. Adnan membenarkan posisi tidurnya sebelum ia benar-benar tertidur.
***
Hari ini, Reyndad mendapatkan pesan dari Leo bahwa saat ini Adnan sudah sampai di rumahnya.Senyum manis terukir di wajah manly sang Reyndad. Ia berjalan menuju lemari pakaian untuk mengganti pakaiannya lalu mengambil kunci mobil yang tergantung rapi di dinding kamar berwarna putih.
Sampai di mall, ia mengambil beberapa buah-buahan lalu melihat berat dari buah yang ia pilih itu sebesar 4,5 kg dan membayarnya di kasir. Sebelum menuju mobil, ia terlebih dahulu membeli masker untuk menutupi sebagian wajahnya lalu menancap gas menuju rumah Adnan.
Mobil mewah itu bertengger manis tak jauh dari pagar rumah Adnan, agar ia tidak ketahuan jika sedang berkunjung ke rumah gadis yang selama ini ia incar.
"Semoga dia mau nerima ini," ucapnya menatap kresek bening yang ada di genggamannya. Langkahnya berjalan dengan pasti menuju rumah Adnan. Sampai di depan pintu kayu yang tertutup itu, tangannya terulur untuk mengetuk pintu kayu tersebut.
Tok ... tok ... tok ...
"Permisi."
Reyndad menaikkan sedikit maskernya agar ia tidak ketahuan pada anak dari pemilik rumah ini.
Ceklek.
"Siapa, ya?"
Fina menatap laki-laki bertubuh tegap dengan rambut sedikit berantakan, setelan celana jeans hitam dipadukan dengan jaket kulit, seperti ingin pergi berkencan saja dan juga terkesan sangat maskulin.
"Saya temannya Adnan, Bu. Ini ada bingkisan dari saya." Reyndad memberikan kresek bening tersebut. Fina menerimanya sambil mengucapkan terimakasih.
"Ayo, masuk dulu. Saya panggil Adnan dulu, ya."
Deg.
Jantung Reyndad berdebar ketika mendengar nama Adnan, ia menggelengkan kepala pertanda menolak ajakan dari Fina lalu mencium tangannya sambil mengucapkan salam. Langkahnya melangkah menuju keluar dari pekarangan rumah Adnan dengan sangat terburu-buru.
Sampai di depan mobilnya, ia melepaskan masker yang menutupi setengah dari wajah tampannya sambil mengembuskan napasnya dengan kasar.
"Baru aja dengar nama gadis itu, jantung gue yang berkontraksi." Reyndad memegang dadanya seraya mengatur napas yang sedikit memburu lalu masuk ke dalam mobil.
Ia mengambil ponsel dari saku celananya untuk melihat wallpaper di ponselnya tersebut. Ya, di ponselnya terdapat wallpaper dari foto Adnan yang ia bidik lalu menyetelnya untuk wallpaper di ponsel pintarnya itu.
"Tahan Rey, sebentar lagi."
Reyndad meletakkan ponsel di dashboard mobil lalu menancap gas menuju rumahnya. Saat di depan pagar rumahnya, Pak Tio selaku satpam di rumahnya membukakan gerbang untuk Reyndad. Senyumnya terukir kala memasuki rumah hingga Silvia heran menatap anaknya dengan tingkah juga gayanya hari ini.
"Kamu ke mana aja?" tanya Silvia berkacak pinggang.
"Cari angin," jawab Reyndad duduk di sofa lalu memakan beberapa cemilan yang terbungkus manis di toples cantik itu.
"Kamu mau mama jodohin sama anak Mama?" Silvia berucap to the point sehingga Reyndad berhenti mengunyah mendengar ucapan Silvia.
"Rey mau lihat dulu orangnya kayak apa."
Reyndad mengalihkan tatapannya dari wajah teduh sang ibu ke layar televisi yang sedang menayangkan siaran yang membuatnya tertarik untuk melihat layar tersebut.
"Namanya anak dari Fina itu Adnan Rahmaliyah Husein."
Uhuk ... uhuk ....
Reyndad terbatuk-batuk karena tersendak salivanya sendiri. Ia menatap Silvia dengan heran. bagaimana ia tahu tentang Adnan? Gadis yang ia incar beberapa hari ini.
"Boleh."
Cup.
Reyndad mengecup pipi Silvia lalu tersenyum manis padanya sebelum pergi menuju kamarnya. Silvia yang menatap Reyndad, berubah mendengar nama Adnan, anak dari Fina.
"Boleh, kalo gitu aku akan bilang ini pada suamiku." Silvia mematikan televisinya lalu berjalan menuju kamar untuk menghubungi sang suami yang bekerja di Korea.
***
"Ah, terima kasih Tuhan, Engkau sudah mempermudahkan jalanku untuk mendapatkan gadis itu," gumam Reyndad. Ia segera mengganti bajunya dengan piyama lalu mengistirahatkan tubuhnya yang letih karena esok ia akan kembali bekerja.
***
Pagi ini, Silvia hanya menyiapkan nasi goreng untuk sarapan Cinta dan Reyndad."Kak, hari ini uang jajan Cinta abis. Minta uang dong." Cinta mengadahkan tangan kanannya pada Reyndad. Ia menghembuskan napas lalu merongoh saku belakang untuk mengambil dompet dan memberikan uang merah empat lembar padanya.
"Untuk 1 bulan."
"Ah, gak cukup buat paket data," protes Cinta.
"Sayang, Kakak kamu juga mau nabung untuk nikahnya," ucap Silvia pada Cinta sambil menyentuh kepala Cinta dan tersenyum penuh kasih sayang.
"Nikah?"
Reyndad menganggukkan kepala sambil mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya, sedangkan Cinta membelalakkan matanya menatap sang kakak.
"Ma, perempuan mana yang mau sama dia? Seorang laki-laki yang jarang senyum, dingin. Mending ruqiyah dulu perempuannya, Ma. Daripada kecewa ujung-ujungnya," jelas Cinta yang dihadiahkan sebuah jitakkan di kepalanya oleh sang kakak.
Pletak!
"Bicara yang benar. Lo gak liat kalo gue ini seorang laki-laki yang berwibawa, tampan dan juga mapan?" tanya Reyndad dengan sinis.
"Habiskan sarapan kalian sebelum terlambat," cegah Silvia pada kedua anaknya. Cinta memeletkan lidahnya lalu kembali menghabiskan sarapannya, sedangkan Reyndad hanya diam menatap sang adik yang berlaku tidak sopan pada dirinya.
****
18 Februari, kamar Reyndad sudah diubah 90° dari kamar aslinya karena untuk beberapa Minggu lagi, ia akan menggelar hari bahagianya bersama Adnan.
Sedangkan gadis itu tidak tahu menahu mengenai hal itu, karena Fina tidak memberitahu pada anaknya.
Reyndad berkacak pinggang melihat kamarnya yang dulu berwarna abu-abu dan sekarang sudah berwarna dasar biru muda dan ada beberapa lukisan tetesan hujan di depan ranjang king sizenya.
Ranjang yang dulu ia letakkan di tengah-tengah kamarnya, kini ia ubah di sudut kamarnya dekat jendela karena Fina bilang jika Adnan sering terjatuh di pinggir ranjang. Tidak masalah bagi Reyndad, karena ia mengagumi gadis tengil itu.
Reyndad juga meletakkan sebuah humidifier di nakasnya, agar terkesan lebih mewah dan segar walaupun ruangan ini sudah dilengkapi dengan pendingin ruangan. Tapi, ada yang kurang.
Lampu tidur.
Reyndad tidak menempatkan lampu tidur di nakasnya. Entahlah, pria itu kini berjalan sedikit tergesa-gesa keluar dari kamarnya karena dia merasa ada yang kurang di kamarnya itu.
"Ma, lampu tidurnya kurang," ucapnya yang menatap Silvia sedang menikmati cemilannya sambil menonton televisi berukurang 60 inchi tersebut.
"Beli aja, Sayang." Silvia berucap tanpa menoleh ke arah anaknya. Reyndad mengeluarkan ponsel pintarnya yang berada di saku celana lalu berjalan ke kamar seraya melihat beberapa motif atau bentuk lampu tidur yang dia inginkan.
"Kayaknya gak ada yang pas, deh." Reyndad menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang lalu kembali men-scroll ke bawah untuk mencari-cari bentuk yang dia inginkan dan dapat. Reyndad memesan lampu tidur yang dia inginkan dan 1 set lampu tumbler warna putih.
***
Malam ini, Adnan duduk di kursi bambu cantik di ruang tamunya sambil memegang ponsel yang ada di tangannya. Hari ini, Adnan tengah memakai baju kaos lengan panjang berwarna merah yang dulu dikirim Reyndad untuknya atas nama Seok.Kemarin, sang ibu memakan buah mahal di meja makan membuat Adnan terheran-heran. Bagaimana bisa ia membeli buah mahal itu? Pikir Adnan. Tapi, sang ibu menjawab bahwa ada seorang laki-laki yang memberikan buah padanya, dan untuk keluarga kita.
Adnan sempat memerintahkan agar buah itu di buang saja, tapi Fina menggelengkan kepala lalu menawarkan buah itu pada Adnan. "Ibu makan aja," jawabnya lalu kembali masuk ke dalam kamarnya.
"Cantik, gak makan malam?" tanya Fina menatap Adnan yang sibuk dengan dunianya sendiri.
"Beli martabak aja." Adnan beranjak dari kursi menuju kamarnya untuk mempersiapkan diri keluar sebentar untuk membeli martabak. Ia mengeluarkan uang 20 ribu, lalu meninggalkan rumah dengan berjalan kaki.
Dari kejauhan, ia melihat ada seorang bertubuh tinggi tegap. Tapi, ia tidak melihat dengan jelas wajah pria tersebut karena pria itu berdiri di tempat yang gelap.
"Mau maling, ya?" terkanya. Di sisi lain, bulu kuduknya berdiri membayangkan bagaimana jika pria itu membunuhnya atau melakukan hal yang tidak wajar pada dirinya. Tapi, ada keberanian juga karena di sini banyak rumah warga. Jadi, jika ia merasa tidak aman, ia bisa berteriak minta tolong.
"Demi martabak, rela deh." Adnan melangkahkan kakinya berjalan menuju pria tersebut. Bukan, tapi untuk membeli martabak untuk Fina dan adiknya di rumah. Semakin lama, ia melihat pria tersebut tak asing baginya.
"Lo lagi?" Adnan menuju ke arah Reyndad yang membuka kupluk di atas kepalanya sehingga rambutnya sedikit berantakan membuat ia terlihat sangat tampan.
"Kenapa?" Reyndad menatap Adnan dari atas ke bawah, melihat penampilan gadis yang akan menjadi istrinya beberapa hari kemudian.
'Seperti ingin pergi berkencan saja,' batinnya sehingga matanya membulat ketika Reyndad menatap baju yang dikenakan Adnan.
'Itu baju yang gue beli,' batin Reyndad.
"Mau ke mana? Gak pake jilbab lagi," ucap Reyndad.
"Kencan."
Adnan melangkahkan kakinya seiring mata Reyndad membola mendengar penuturan gadis tersebut. Tangan kekarnya mencengkram lengan mungil Adnan sehingga langkah gadis itu terhenti membuat sang empu jengkel.
"Dengan siapa? Di mana? Gak boleh pokoknya."
"Heh, terserah gue dong. Kok lo yang ngatur, sih?"
Adnan berjalan dengan sangat cepat, sehingga Reyndad kewalahan untuk menyamakan langkahnya pada gadis itu. Adnan berhenti tepat di samping gerobak yang menjual martabak.
"Katanya pergi kencan, rupanya mau beli martabak," ujar Reyndad pada Adnan.
"Bang, beli martabak rasa coklat, durian sama kacang, ya."
Adnan menatap ke arah Reyndad kesal. Bukannya Adnan yang membeli martabak, tapi Reyndad malah yang memesannya. Reyndad menatap Adnan sekilas sambil mengeluarkan dompetnya lalu meletakkan uang lima puluh ribu di atas meja dan duduk di kursi di dekatnya.
"Martabak coklatnya satu." Adnan berucap tanpa menghiraukan Reyndad yang menatapnya dari belakang.
"Udah gue pesanin yang banyak, tuh."
"Gue gak minta."
"Maaf Mas, Mbak. Kalo mau berantem di rumah aja," ungkap penjual martabak pada Adnan dan Reyndad.
Mereka hanya diam tak menghiraukan sang penjual martabak, lalu ia memberikan martabak tersebut pada Adnan.
"Makasih." Adnan berlalu meninggalkan Reyndad yang menunggunya mengucapkan kata 'terima kasih' padanya, tapi nihil. Gadis itu malah menghadiahkan tatapan kesal padanya dan berjalan menuju rumah.
"Ah, dasar gadis tengil," gerutunya lalu berjalan memata-matai gadis tersebut sampai ke rumahnya. Setelah pintu rumahnya tertutup dengan rapat, Reyndad segera pulang ke rumah karena ia hanya jalan kaki menuju rumah Adnan sekitar 33 kilo meter dari rumahnya. Perjuangan Reyndad benar-benar mengagumkan untuk gadis pujaannya.
3 hari sebelum pernikahan dimulai, Fina sudah memberitahu pada Adnan bahwa dia akan dijodohkan dengan anak dari temannya yang baik hati.Mendengar hal itu, Adnan sangat terkejut. Bahkan hampir saja pingsan, karena napasnya sesak mendengar penuturan dari sang ibu. Tapi, Fina mempercayai Adnan jika dia adalah lelaki yang baik, bertanggung jawab dan juga tampan.Adnan berjalan masuk ke dalam kamarnya sambil memikirkan bagaimana calon suaminya itu. Jika dia benar-benar menginginkan Adnan, pasti ia tidak akan malu jika menjadikan Adnan adalah keluarganya."Argh!"Adnan mengacak-acak rambutnya frustasi, ia memilih membaringkan tubuhnya lalu mengirimkan pesan pada atasannya bahwa ia besok tidak masuk kerja karena sakit.Damn!Bukan, itu hanya alasan belaka bahwa ia ingin menenangkan pikiran setidaknya 1 hari lalu kembali bekerja tanpa memikirkan pernikahnnya yang tinggal menghitung hari.****
PoV ReyndadAku dan Adnan selesai melaksanakan salat magrib berjamaah. Dia mencium tanganku lebih dulu membuat jantungku kembali aktif tak seperti biasanya.***Malam ini, kami meletakkan peralatan salat ke gantungan kecil setinggi pinggang lalu duduk di bibir ranjang sambil terdiam. Aku teringat akan sesuatu."Tadi Cinta taruh kue di laci nakas." Aku menunjuk laci nakas menggunakan dagu. Adnan berjalan menuju arah tunjukku lalu menggeser keluar laci tersebut."Cantik."Aku menoleh ke arah Adnan yang berjalan mendekatiku lalu duduk di sampingku. Cinta memang juara kalo masalah makanan, dia membelikan khusus untukku walau menggunakan uangku. Huh, sama dengan tidak, sih.Kue brownies ukuran kecil, dihiasi dengan buah strawberry di pinggir kue tersebut. Sangat cantik dan jika aku memakannya berdua bersama Adnan, mungkin akan lebih romantis."Ayo, di makan." Aku mengambil kue itu lalu Adnan lebih dulu memotong kue tersebut dengan
Aku menatap Adnan dengan gaya tidurnya yang terlentang dan tangan kanannya ia luruskan ke samping hampir mengenai dinding kamar.'Anak ini, tidur gak ada cantik-cantiknya,' batinku sambik berdecak.Tak lama, sebuah tangan menampar pipiku dengan kasar sehingga aku sangat terkejut dengan kejadian yang begitu cepat."Main tabok aja," ucapku tanpa menyingkirkan tangan mungil itu dari wajahku.Aku menarik selimut yang turun sampai pinggangnya, untuk menutupi sebagian tubuhnya sampai leher dan menutupi tangannya juga.Suhu di subuh ini sangat dingin. Tanganku terulur menyibakkan beberapa helai rambut ikalnya yang menutupi wajah itu dari mataku dan mengarahkan kepalanya agar menghadap ke arahku.1 jam aku menikmati wajah damai gadis yang sudah resmi menjadi milikku. Tapi, tidak ada pergerakan darinya. Dia tidak merasa terganggu ketika aku menyentuh pipinya lalu beralih ke dagu.Netraku terhenti tepat di bibir plumnya berwar
"Ayo."Aku menoleh ke arah Adnan yang memakai baju kaos berwarna hitam lengan panjang serta rok kembang berwarna biru senada dengan jilbab yang ia ikat ke belakang.Aku bangkit dari duduk lalu berjalan menuju mobil lalu Adnan masuk ke dalam dan kami berangkat menuju rumah Paman Jeehyoon."Kita ke swalan dulu, beli buah." Aku membelokkan mobil memasuki parkiran swalan lalu berjalan masuk beriringan dengan Adnan."Kamu aja yang pilih buahnya," ujarku pada Adnan.Tangan mungilnya mulai memilih buah-buahan lalu menimbangnya yang hampir 3 kilogram. Aku menambahkan 3 piring buah anggur yang berukuran setengah kilo.Aku menuntun Adnan berjalan ke kasir untuk membayar buah tersebut menggunakn kartu ATM dan kami kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah Pama Jeehyoon."Ini rumahnya?"Aku menatap Adnan yang sedang memperhatikan rumah megah berwarna biru. Mobil berhenti tepat di luar pagar rumahnya, karena halaman rumanya hanya ke
Saat aku fokus memikirkan senyuman Adnan, tiba-tiba ponselku yang tergeletak di dashboard berbunyi satu kali menandakan pesan masuk.Aku meraihnya lalu melihat pesan tersebut yang ternyata dari mama, ia menyuruhku untuk pergi ke Indomaret untuk membelikan beberapa cemilan karena sudah habis."Dari siapa?"Aku menoleh ke arah Adnan yang menatapku penasaran."Dari mama, nyuruh ke Indomaret beli cemilan," jawabku sambil meletakkan ponsel di dashboard. Mobil berhenti tepat di depan swalayan kecil lalu kami keluar.Aku mengambil keranjang yang tersusun rapi lalu berjalan menuju rak yang menyediakan beberapa cemilan, sementara Adnan mengikutiku dari belakang.Tanganku mengambil cemilan kesukaan aku dan Cinta. Setelah dirasa cukup, aku membawanya ke kasir untuk dibayar."Rp 521. 600," ucap pelayan pria itu sambil membungkuskan cemilan yang kupesan.Aku mengambil dompet lalu menyerahkan karu ATM padanya dan menuntun Adnan u
Mobil memasuki pekarangan rumah, aku turun dari mobil sambil menenteng ponsel lalu menutup garasi. Langkahku terhenti saat mama keluar dari rumah sambil berkacak pinggang. Salahku apa sekarang?"Dari mana aja?" tanya mama sambil menatapku tajam."Ada hal penting."Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, tapi lebih dahulu ia tahan. Sehingga aku kembali berdiri di tempat yang sama."Di mana?"Terpaksa aku harus jujur sekarang."Dari rumah Jaya, temanin ke rumah baru. Sekaligus pesan beberapa interior rumah ke Alazka," jelasku. Mama menganggukkan kepalanya lalu menggeser tubuhnya sedikit untuk memberi ruang bagiku masuk ke dalam rumah.'Akhirnya,' batinku sambil tersenyum.Aku bergegas masuk ke dalam kamar dan melihat Adnan yang tengah duduk di ranjang sambil memainkan ponselnya tanpa menyadari bahwa aku tengah memperhatikannya."Ekhem."Adnan menoleh ke arah pintu di mana aku berdiri. Ia mendengar dehemank
Sampai di rumah, aku berjalan menuju dapur lalu meletakkan madu pesanan mama di dalam kabinetnya dan masuk ke dalam kamar."Maaf, ya. Saya pulang telat, tadi habis ke rumah Ibu," ucapku pada Adnan yang duduk di bibir ranjang. Mungkin dia menunggu kedatanganku."Aku juga minta izin untuk renovasi rumahnya terus kasih uang," sambungku sambil mendudukkan tubuhku di sampingnya."Makasih ya, udah mau rubah kehidupan gue."Adnan membuka suaranya. Aku mengganggukkan kepala sambil tersenyum lembut padanya."Saya mandi dulu."Aku berjalan menuju lemari untuk mengambil baju ganti lalu masuk ke dalam kamar mandi.Setelahnya, kami melaksanakan salat magrib lalu makan malam. Aku membicarakan perihal untuk mengisi rumah baru yang akan kutempatkan bersama Adnan. Hanya berdua, lalu perihal renovasi rumah untuk sesegera mungkin.Papa mendukung niat baikku, aku tersenyum bahagia bisa menolong keluarga istriku.Malam ini,
"Kita ke rumah kamu sekarang."Adnan menoleh ke arahku yang sedang memeluk dirinya. Pagi ini, udaranya sangat dingin karena hujan semalam cukup lama."Oke."Adnan berlari masuk ke dalam rumah, mungkin bersiap-siap. Aku merengangkan otot-ototku yang kaku sehabis tidur lalu masuk ke dalam kamar.****Aku mendengar suara shower di kamar mandi, lalu membuka almari untuk memasang jaket parasut, ponsel dan headset dan lari pagi. Sudah lama aku tidak melakukan kegiatan ini.50 menit kemudian, aku selesai lari dan berjalan santai menuju rumah.Ping!Ponselku berbunyi lalu melihat pesan masuk dari Jaya bahwa ia sudah mendapatkan beberapa tukang untuk merenovasi rumah ibu Adnan."Assalamualaikum," ucapku berjalan masuk ke dalam rumah sambil menatap ponsel."Astaga, Kakak. Kami dari tadi udah nunggu. Cepatan mandi!" teriak Cinta padaku.Puk!