Share

Terbakar Api Cemburu

Walaupun hari ini libur, aku tetap saja sibuk. Setelah mandi dan mengenakan daster, aku melakukan rutinitas seperti biasa. Cuci piring, bikin sarapan untuk ibu mertua dan suami, nyapu, ngepel dan bersih-bersih rumah.

Aku melirik jam dinding yang ada di ruang tamu. Sudah pukul tujuh lewat namun Mas Dimas belum juga pulang. Aku semakin gelisah dibuatnya. Hati diselimuti berjuta tanya, kemana gerangan suamiku itu?

Aku duduk di atas kursi ruang tamu. Kuraih remote televisi yang tergeletak di atas meja. Seperti biasa, aku akan menghabiskan pagi minggu dengan menonton berita gosip selebrity tanah air.

Ya, aku sangat senang mendengar berita seputar pesohor dunia keartisan. Apalagi tentang gosip kawin cerai dengan usia pernikahan yang masih seumur jagung. Gemes rasanya.

Tiba-tiba ibu mertuaku keluar dari pintu kamarnya. Sepertinya dia baru saja bangun dan pasti perutnya kosong. Kalau saja sarapan belum ada, singa betina itu akan mengamuk dengan perut keroncongan.

Aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama, nasi goreng kampung dengan irisan bawang merah plus taburan teri akan menjadi santapan ternikmat bagi ibu.

Tin! Tin!

Dua kali suara klakson mobil itu dipencet oleh pengendaranya. Aku menurunkan volume televisi, mencoba memastikan apakah isyarat dari arah depan rumah, betul ditujukan pada kami. Tapi, kayaknya pengemudi mobil tadi tidak mengulang klaksonnya.

Tok! Tok! Tok!

“Assalamualaikum!”

Aku belum menjawab salam yang di ucapkan oleh seseorang dari luar pintu. Yang pasti, itu bukanlah Mas Dimas.

“Waalaikumsallam!” sahutku sebagai jawaban pada seorang lelaki yang kini sedang berdiri tepat di depan pintu rumah kami.

Aku baru saja membuka pintu, wajah yang tak asing bagiku seketika mengembangkan senyuman renyah ke arahku.

“Pak Arif!” sapaku sedikit heran.

“Maaf Bu Rindu, saya mendadak ke sini,” ujar lelaki yang mengenakan kaos olahraga dengan celana training warna hitam. Dia adalah guru Penjaskes di Sekolah Dasar tempat aku mengajar.

“Iya, nggak apa-apa, Pak. Ada apa ya? Kok tumben pagi-pagi.”

Belum sempat aku menawarkan untuk masuk ke dalam rumah, Pak Arif malah langsung mengambil inisiatif untuk duduk di kursi plastik berwarna hijau yang ada di teras.

“Di sini aja ya, Bu. Aku juga agak buru-buru nih!”

“Oh, iya silahkan, Pak.”

Aku juga mengambil posisi duduk di kursi yang ada di sana, hanya meja plastik sebagai pembatas antara kami berdua.

“Jadi gini, Bu. Aku kemaren lupa menanyakan data ukuran seragam olahraga anak kelas empat. Nah, pagi ini aku akan berangkat ke Palembang untuk melakukan pemesanan pakaian olahraga sekalian sama anak-anak kelas lain.”

“Oh, sebentar ya. Aku ambilkan dulu daftar namanya.” Aku mulai berdiri lalu bermaksud menwarkan minum pada Pak Arif, “Pak Arif mau kopi atau teh?”

“Nggak usah repot-repot, Bu,” tolak lelaki itu secara halus.

“Tunggu ya, Pak.”

Aku berlalu mengarah ke dalam rumah. Langkahku agak lebar menuju kamar, mengingat perkataan Pak Arif tadi bahwa dia sedang buru-buru. Setelah selembar kertas A4 berisi daftar nama murid-muridku itu dipegang, aku bergegas keluar dari kamar.

“Siapa lelaki itu?!” tanya ibu sinis.

Wanita itu nampak sedang asik menonton televisi sembari mencongkel-congkel mulutnya dengan tusuk gigi. Mungkin ada teri yang nyempil di sela-sela giginya yang karatan dan sulit dijangkau olehnya.

“Oh, itu Pak Arif, Bu.”

Dahi ibu mengkerut, setelah mendengar nama yang masih asing di telinganya. Aku terus saja menuju ke luar rumah.

Saat hendak menyodorkan daftar nama itu pada Pak Arif, tiba-tiba saja kertas yang kupegang itu terlepas lalu jatuh ke bawah meja.

Aku berusaha jongkok bermaksud untuk memungutnya, begitupun dengan Pak Arif yang juga menjulurkan tangannya ke arah bawah meja. Dan, dalam waktu bersamaan tangan kami memegang kertas itu.

Brum! Brum! Brum!

Tepat betul, Mas Dimas baru saja datang kemudian memarkirkan motor bututnya. Tentu saja, pemandangan itu pasti tak mengenakan hati bagi seorang suami. Apalagi, Mas Dimas tadi tak ada di rumah sementara aku sebagai istri malah menerima tamu.

Aku sudah berdiri menyambut kedatangan suamiku itu. Sedangkan Pak Arif kembali duduk di kursi setelah memegang kertas tadi.

“Mas, kamu baru pulang?” tanyaku dengan muka sedikit takut. Aku tak ingin Mas Dimas salah paham.

Dia tak menjawab pertanyaanku, hanya raut emosi yang tergambar pada wajahnya yang kelihatan kusut. Namun, emosi itu sepertinya masih tertahan oleh Mas Dimas.

“Pagi, Mas. Saya Arif,” ujar Pak Arif mulai berdiri sembari menyodorkan tangannya bermaksud untuk memperkenalkan diri pada Mas Dimas.

Namun, suamiku itu sepertinya sedang terbakar api cemburu buta. Ia tak menggubris ajakan bersalaman dari Pak Arif. Malah, Mas Dimas bergegas menuju masuk ke rumah.

Sekilas lirikan penuh amarah ia tujukan padaku. Aku tahu maksud Mas Dimas. Lelaki yang baru memiliki sifat tempramen beberapa bulan belakangan ini pasti marah besar.

Braght!

Suara pintu kamar dibanting keras, terdengar begitu nyata dari teras rumah. Kalau saja daun pintu itu tak kuat, pasti sudah remuk menghantam kusen.

Aku melirik Pak Arif, mukanya nampak ketakutan, “Maafkan suamiku, Pak.”

Hanya senyum dipaksa yang dilontarkan oleh Pak Arif padaku, “Nggak apa-apa, Bu. Kalau begitu aku permisi dulu, ya!”

“Baik, Pak. Sekali lagi maaf ya.”

Kedewasaan Pak Arif jelas lebih nampak ketika dia menghadapi situasi seperti ini, malah senyumnya sudah mulai normal.  Mas Dimas yang mungkin seumuran dengan lelaki itu, seharusnya tak pantas bersikap kekanak-kanakan seperti tadi.

Perlahan mobil Pak Arif menjauh meninggalkan rumah kami.

Aku mulai khawatir, pasti pertengkaran sengit sebentar lagi terjadi. Mau bagaimana lagi, tak ada maksud untuk menyakiti hati Mas Dimas. Dianya saja yang lebay.

Saat berada di ruang tamu, aku berpapasan sama ibu. Wanita itu telah mematikan televisi dan hendak menuju ke arah teras.

“Tanggung sendiri akibatnya. Ibu tidak ikut campur!” ujar ibu menakut-nakutiku.

Tarikan nafas begitu dalam, lalu aku menghembuskannya lagi secara perlahan. Aku berusaha mengusir segenap rasa takut yang menggelayut di otak ini.

“Siapa lelaki itu?!” tanya Mas Dimas penuh penekanan.

Belum sempat aku masuk ke kamar, pertanyaan itu sudah keluar dari mulut suamiku. 

Aku tak salah, ngapain aku harus takut?

Rileks Rindu, kuasai keadaan. Jangan sampai kali ini kelihatan gugup.

“Pak Arif,” jawabku singkat. Aku mencoba mendekati lelaki itu lalu duduk di atas kasur.

Mas Dimas tak menatap ke arahku, dia masih sibuk melucuti baju kemejanya yang sudah kelihatan kucel. Setelah ia melempar baju itu ke sudut kamar, lelaki itu mulai nanar menatapku.

“Jadi ini yang kamu lakukan saat suamimu tidak di rumah!” Mata Mas Dimas melotot penuh emosi menghujam ke arahku.

“Maksud kamu apa, Mas?” Aku masih belum gentar. Nyali ini masih kuat untuk mengadu argumen yang tentu saja masuk akal bagiku.

“Hey! Kamu menantangku? Istri macam apa kamu ini! Ha!” bentak lelaki itu dengan suara menggelegar.

Mas Dimas mulai mendekat. Sekitar satu jengkal saja jarak dari ia berdiri terhadap tempat tidur yang aku duduki saat ini.

Entah mengapa, seketika aku mulai melempem. Mendengar suara lantang yang keluar dari rongga mulut suamiku itu, aku bagai terserang lumpuh sesaat. Habis sudah segala keberanian dalam diri.

“Tolong dengarkan aku dulu. Mas Dimas hanya salah paham.”

“Salah paham katamu? Setelah jelas-jelas aku menyaksikan kalian bermesraan di depan batang hidungku!”

“Mas---“

“Cukup, Rindu!”

Mas Dimas mengepalkan tangannya, emosinya sudah tak tertahankan lagi. Ia mulai mengayun lengan yang penuh otot itu dengan tinju yang cukup besar.

Mentalku sudah hancur. Aku telah bersiap menerima tingkah kasar lelaki itu. Aku menutup muka dengan kedua telapak tangan. Tak ingin menyaksikan Mas Dimas yang sedang dirasuki setan.

Bught!

Satu pukulan yang cukup keras berhasil mendarat ke pintu lemari.  Kalau saja tinju itu menghantam kepala, tentunya hal buruk yang akan terjadi.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status