Dua tahun, bukan waktu yang singkat. Aku rela meninggalkan kedua orang tua demi menikah dengan lelaki yang kucintai. Dimas, suamiku. Perlahan mulai memperlakukanku dengan kasar. Hal itu berawal saat Ia telah menjadi pengangguran dan tak punya apa-apa lagi. Keinginan Ibunya memaksa Dimas untuk menikah lagi. Karena bagi ibunya, aku hanyalah istri mandul yang belum juga memberinya cucu. Orang ketiga berhasil menghancurkan rumah tangga kami. Akhirnya aku kembali ke Kota kelahiran, Palembang. Aku hampir terjerumus pada pergaulan bebas akibat ulah teman sendiri. Untung masih bisa selamat dan bertemu dengan Fikri. Aku baru mengetahui kalau tengah mengandung darah daging Dimas. Sedangkan Dimas tak tahu akan hal tersebut. Bagaimana kisah selengkapnya?
더 보기Gerimis siang ini tak mengurungkan niatku untuk pulang. Ibu mertua pasti ngomel kalau saja aku sampai telat tiba di rumah.
"Makasih ya, Mang," ucapku setelah menyodorkan selembar uang kertas lima ribu pada tukang ojek itu.
Aku berlari-lari kecil, menuju rumah. Tas jinjing kini malah berfungsi sebagai payung, menutupi kepala terhadap jatuhan air dari langit.
Huh!
Sebagaian besar seragam coklat yang kukenakan itu basah, setelah melalui perjalan dari Sekolah Dasar yang tak begitu jauh dari rumah kami.
Iya, aku harus banting stir untuk menambal kebutuhan sehari-hari dengan menjadi seorang guru honorer. Sebenarnya gelarku bukanlah Sarjana Pendidikan. Tapi, mau bagaimana lagi.
"Assalamualaikum," ucapku dari depan pintu.
Biasanya ibu mertuaku selalu menyahut salam. Tapi kali ini tak ada balasan dari arah dalam.
Mungkin dia tidur.
Aku melepaskan sepatu semi kulit warna hitam yang telah mengelupas di bagian tengahnya. Namun, sepatu itu tak pernah terganti. Jangankan untuk beli sepatu baru, untuk beli bedak pun aku harus nabung dulu dari sisa honor yang di bayar tiga bulan sekali. Ya, begitulah.
Ceklek!
Kubuka pintu yang dipenuhi bekas tempelan kertas selebaran pemilu itu. Ada-ada saja caleg jaman sekarang. Masa, sampai pintupun ditempel iklan, coblos saya! Bisa saja nanti selebarannya di tempel hingga ke dalam kamar, saking pengennya menang.
Aku masuk ke dalam rumah, melihat-lihat ke ruang tamu. Tak berpenghuni. Pandanganku hanya terbentur pada TV tabung 14 inci sebelah dinding ruang tamu sempit.
Kuputar bola mataku sedikit, berharap ibu ada di atas kursi rotan dengan jok busa warna merah tua sebagai alas duduknya itu. Ternyata juga nihil.
Kemana ibu?
Kulirik jam KW3 di pergelangan tangan. Baru pukul sebelas
Nanti aja ah masak, nasi sudah ada di rice cooker, paling nanti cuma numis kangkung sama ceplok telor buat ibu.
Kepala ini terasa pusing, aku memang tak bisa kehujanan. Selalu saja migrain menyerang sehabis kena air itu.
Setelah ganti seragam setengah basah tadi dengan daster. Aku merebahkan tubuh ke atas dipan berbahan kayu jati model lama. Sedikit berisik suara dipan itu beradu dengan tembok kamar.
Aku menerawang, menatap kosong ke arah atap seng rumah. Rumah tipe tiga enam ini memang belum rampung. Belum ada plafon, sebagian dindingnya pun masih belum diplaster. Rumah ini adalah peninggalan almarhum bapak mertuaku.
Sambil berbaring aku melamun, meratapi nasib dikandung badan.
Dua tahun, bukanlah waktu yang singkat bagiku. Apalagi dengan kondisi yang belum juga dikaruniai seorang buah hati.
Lebih-lebih setelah Mas Dimas, suamiku, harus menelan pil pahit setelah enam bulan di PHK dari perusahaan perkebunan sawit tempat ia mengais rejeki.
Beginilah realita hidup.
Rasa pusing mengantarkanku lelap dalam mimpi.
"Rindu?!" pekik seorang wanita.
"Rindu ... ?!" Kali ini dia berteriak agak kencang.
Terkejut mendengar ibu memanggil namaku.
Mimpikah aku? Perasaan baru sebentar aku terlelap.
Ya Tuhan! sekarang sudah jam dua siang. Mana Aku belum memasak buat ibu.
"Iya, Bu. Sebentar," sahutku cemas.
Aku mengikat rambut panjang yang sudah berantakan. Membenarkan posisi daster yang tadi sedikit tersingkap hingga ke paha, kemudian bergegas menuju ke sumber teriakan yang memanggilku. Masih keliyengan rasanya. Mau pura-pura nggak dengar? Bisa mati kena omel ibu.
"Gimana sih, kamu ini! Kerjanya cuma tidur aja. Tau kalau ibu lapar?!" jerit wanita berusia 58 tahun itu.
"Maaf, Bu. Aku migrain," jawabku lemas. Kepala ini masih terasa melayang-layang.
"Migrain! migrain! Selalu jadi alasan. Lihat udah jam berapa sekarang? Dasar perempuan pemalas!"
Aku mulai tersinggung dengan ucapannya.
"Tapi, Bu---"
"Hala! Kamu itu, yah! Dibilangin selalu saja menjawab. Memang menantu kurang ajar!" maki wanita keriput itu dengan mata yang hampir saja mau copot.
Kali ini hatiku bagai tersobek. Sakit rasanya dimaki habis-habisan. Wanita itu selalu saja memandangku rendah tanpa perasaan.
Tiada kata-kata yang keluar dari mulutku. Adrenalin bagai terpacu untuk segera beraksi ke dapur. Setengah berlari, mencari-cari wajan dan perlengkapannya. Ternyata masih tergeletak di dalam baskom.
Aku menyambar baskom dengan seabrek isi kotornya, kemudian bergegas ke kamar mandi yang masih berlantai semen kasar.
Cepat-cepat aku menyiramkan air kedalam baskom itu. Mataku melirik-lirik kesana kemari memburu sabun cuci. Namun, yang didapati hanya botol hijau bergambar lemon yang di dalamnya tak berpenghuni lagi.
"Bu ..., sabun cuci habis, ya?" Aku setengah berteriak supaya suara ini dapat hinggap ke kuping mertuaku.
Tiada balasan darinya. Hanya suara lagu dari sinetron chanel ikan terbang yang aku dengar. Sangat kencang, begitulah kalau mertuaku menonton, pasti volumenya full.
Aku menghampiri ibu. Ia nampak asik menonton sinetron suami menganiaya istri. Ya, selalu begitu cerita sinetron yang bikin muak untuk ditonton, tapi begitu favorit di mata mertuaku.
"Sabun habis, Bu!" ucapku ke arah wanita yang mengenakan baju partai itu.
"Habis? Ya, beli dong!" ucapnya dengan nada tinggi, seiring suara berisik TV yang baru saja mempertontontan iklan pembalut ekstra tipis.
Aku hanya terpaku, bingung mau beli pakai apa. Tiada lagi sisa uang yang parkir di dompet.
"Minta uangnya, Bu," pintaku dengan wajah memelas. Gaji Mas Dimas yang sebagaian besar dikasihkan padanya, kini kupertanyakan.
"Kamu nggak ada uang lagi? Dihabisin kemana gaji suamimu? Makanya berhemat, suami kamu peras keringat banting tulang jadi buruh lepas. Kamu enak-enakan berfoya-foya!" Terus saja mulut tajamnya itu nyerocos bagai busur panah yang berhasil menancap di jantungku.
Apa dia bilang tadi? Apa aku tak salah dengar? Darahku mulai mendidih tak terima dengan tuduhan wanita yang selalu bersikap dingin itu.
Dua tahun tinggal seatap, bukannya aku dikasihani karena telah kabur dari rumah demi menikahi anaknya. Malah perlakuan kasar yang sering kuperoleh.
Ingin rasanya aku menjerit.
"Bu, gaji Mas Dimas itu hanya tiga juta sebulan. Itu pun kalau kerja full. Aku hanya di kasih satu juta. Selebihnya ibu semua yang ambil. Uang sejuta sebulan, cukup apa, Bu?!" Kali ini emosiku benar-benar memuncak. Geram rasanya.
"Oh, jadi kamu menuduh ibu yang menghabiskan uang suamimu? Sudah berani kamu, yah?!" Kali ini dia menghardikku, sorotan mata penuh amarah menghujamiku.
Dia mulai berdiri, dengan tangan mengayun ingin menamparku.
"Tampar, Bu! Tampar aku!" pekikku menantang.
Aku yang selama ini dikenalnya sebagai perempuan lembut berperasa, mungkin dianggapnya takkan berani melawan.
Bertahun sudah memendam rasa ini. Takut dan selalu takut. Kali ini aku tak peduli.
"Kurang ajar ya, kamu! Dasar menantu tidak tahu diuntung!" Lagi-lagi mertuaku menggertak hendak menampar.
Tiba-tiba Mas Dimas datang dari arah pintu, membuat ibu melemah dan mengurungkan niatnya tadi.
Kulihat pakaian Mas Dimas sedikit basah akibat gerimis yang belum kunjung reda.
Tangannya memegang tas warna hitam banyak bolongan dengan jahitan benang beda warna. Di dalam tas itu penuh dengan perlengkapan alat tukang bangunan.
"Apa sih, ribut-ribut?" tanya Mas Dimas penasaran sambil mengibas-ngibas bajunya yang basah.
Terlihat bekas semen masih belepotan di tangan dan pakaiannya. Dia sekarang menjadi kuli bangunan di proyek gedung pemerintahan kota Sekayu.
"Istrimu ini, Dimas! udah berani membentak ibu," ucap mertuaku dengan wajah memelas. Sepertinya dia minta dikasihani oleh anak lelakinya itu. Fix, itu drama!
"Benar itu, Rindu?!" tanya suamiku sambil mendongak garang ke arahku.
"Mas---"
"Benar, Nak! Istrimu sangat kasar sama ibu. Hik ... hik ... hik ...," ujar ibu memotong ucapanku. Wanita itu merintih dengan lakon tangisnya.
"Aku bisa menjelaskannya, Mas!"
Braghtt!
Suara besi beradu dengan lantai akibat tas Mas Dimas dijatuhkan sengaja dengan paksa. Hampir saja mengenai kakiku.
"Diam kamu!" bentak lelaki berotot itu.
Suara lantang khas laki-laki itu, menciutkan nyaliku. Suamiku itu langsung naik pitam. Matanya merah padam menatap ke arahku.
Plak!
Aku tak sempat menepis.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Tak tanggung-tanggung, aku hampir terhuyung kekanan.
Aku meringis, mengusap pipi yang telah memerah bekas jemari kasar Mas Dimas. Perih rasanya.
"Tega kamu, Mas!" Air mata mulai membanjiri pipiku.
Hati ini benar-benar hancur, bagai ditumbuk batu. Lelaki yang aku cintai kini telah berubah. Seharusnya aku yang dibelanya, tapi mengapa selalu saja diri ini yang disalahkan.
Aku berlari ke kamar. Menghempaskan tubuh ke kasur lalu memeluk guling. Aku tersedu-sedu. Menangis sejadi-jadinya.
Bersambung ....
"Please, untuk malam ini aja, Rin. Aku udah kepalang janji sama Om Samsul," rengek Cica sembari memegang lenganku."Siapa Om Samsul, Ca?" Aku tambah penasaran dengan nama yang asing di telingaku itu."Kamu masih ingat sama lelaki saat pertama kita ketemu makan malam?" tanya Cica mencoba agar aku mengingat kembali.Aku tertegun sejenak, bayanganku teringat pada Om-Om setengah botak yang makan bersama Cica di restauran tepi sungai Musi tempo hari."O ...," Aku manggut-manggut. "Iya aku ingat, Ca.""Nah, itu namanya Om Samsul. Dia adalah pengusaha sukses di kota ini, Rin. Aku sudah mengenalnya tiga bulan terakhir. Dia punya rekan bisnis yang tajir, rekannya itu meminta Om Samsul mencarikannya kenalan juga. Jadi aku menjanjikan malam ini bertemu denganmu. Mau ya?" terang sahabatku itu sembari memasang rau
Perpisahan yang sungguh menguras air mata. Aku bukan hanya berpisah dengan keluarga besar Sekolah Dasar tempatku mengajar, tapi juga berpisah dengan kota kecil yang telah dua tahun aku tinggali.Betapa banyak kisah yang telah terjadi di kota itu. Aku terlena selama dua tahun menetap di sana, bahkan aku hampir tak percaya bahwa aku saat ini telah menjanda.Bukan hanya kehilangan suami, namun aku juga telah kehilangan kedua orang tuaku. Hingga detik ini belum juga aku ketahui kemana mereka pindah.Mataku menatap ke arah luar, menikmati pemandangan dari balik kaca mobil. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke Palembang, menggunakan jasa mobil travel."Mbak, diantar ke Sekip kan?" tanya sopir itu memastikan."Iya, Mas.""Nanti, tolong bilang aja arah ke rumahnya," pinta lel
Mobil yang dikemudikan oleh Pak Arif melaju dengan santai. Memecah jalanan yang masih gelap. Subuh ini kami berlalu meninggalkan kota Palembang untuk kembali ke Sekayu.Indah kelihatan tertidur di kursi belakang mobil. Ia telah siap dengan seragam putih merahnya untuk mengikuti upacara di sekolah nanti. Sedangkan aku duduk membisu menemani Pak Arif menyetir."Bu, siapa sebenarnya lelaki yang Bu Rindu temui di Mall waktu itu?" tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil. Dari nada bicaranya, jelas kalau lelaki itu menaruh curiga padaku.Aku mengernyitkan dahi, lalu melirik Pak Arif. "Maksud Pak Arif, Fikri?""Iya," jawabnya mantap."O ..., Itu anak Pak Agus. Kebetulan waktu itu aku ke rumahnya.""Ke rumahnya?" seru Pak Arif penasaran. "Ada keperluan apa Bu Rindu ke sana?" P
Aku dan pak Arif duduk di kursi bagian belakang bersama guru pendamping lainnya. Sedangkan Indah duduk di barisan paling depan. Nampak suasana ruangan sangat menegangkan, karena sebentar lagi hasil perlombaan yang digelar selama hampir satu minggu itu akan segera diumumkan."Baiklah, para hadirin dan peserta lomba sebentar lagi kami akan mengumumkan hasil pemenang lomba siswa berprestasi tingkat Sekolah Dasar se-Propinsi Sumatra Selatan ini," ujar pemandu acara yang berada di atas podium.Aku melirik ke arah pak Arif dengan raut wajah penasaran, aku sangat berharap agar Indah menjadi juara."Dan inilah pemenang lomba siswa berprestasi tingkat Sekolah Dasar tahun ini," seru pemandu acara bertubuh gemuk itu sengaja menjedah ucapannya.Tentu saja, membuat hatiku berdebar-debar tak menentu. Begitupun dengan pak Arif, ekspresi wajahnya y
"Hei Lepaskan!" teriakku kencang. Aku merasa sakit di bagian pergelangan tangan yang masih dicengkeram kuat olehnya.Sampai di sebuah tempat makan, lelaki yang dari tadi menyeretku itu duduk di sana. Ia telah melepaskan tanganku."Apa-apaan sih kamu ini! Sakit, tau!" protesku sembari mengusap-usap bagian pangkal lenganku. Bekas cengkeraman tangannya memerah, dan aku merasakan bagian itu agak panas."Duduk!" seru lelaki itu sembari melotot. Iya, dia adalah Fikri. Lelaki yang dari awal hingga detik ini masih melangsungkan perang dinginnya denganku.Aku menuruti permintaannya. Kami duduk saling berhadapan dengan sebuah meja kecil berada di antara kami.Mataku membentur piring yang berisi ikan bakar berwarna kehitaman. Satu lagi, mangkok berukuran sedang di dalamnya kelihatan sayur asem. Tak lupa mangkok
"Iya, Bu. Cowok yang ngangkatnya," timpal Pak Arif meyakinkan."Hapeku tadi jatuh. Dia bilang apa, Pak?" tanyaku penasaran."Dia tak bilang apa-apa hanya menyebutkan namanya saja, lalu telepon diputus.""Siapa namanya?" Aku semakin tak sabar ingin tahu."Fikri," jawab Pak Arif singkat."O ...," Mulutku membulat dengan bibir maju hampir dua jari. "Jatuh di sana rupanya.""Siapa Fikri, Bu?" tanya Indah kepo."Anak Pak Agus.""Pak Agus?" tanya Pak Arif tak mau kalah."Nanti aku ceritain. Bisa tolong teleponkan lagi, Pak?" pintaku pada lelaki yang masih duduk di dekat Indah itu.Pak Arif tak menjawab, ia menatap layar ponselnya lalu menempelkannya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글