Home / Romansa / RINDU MENJANDA / Mandi di Sungai Musi

Share

Mandi di Sungai Musi

last update Last Updated: 2021-04-14 11:29:18

Malam telah menjelang. Aku hanya meringkuk di atas kasur. Mata pun sembab akibat meratapi nasib diri yang kini bagai orang terbuang.

Keluarga yang telah aku tinggalkan, papa dan mama. Dua tahun silam, hingga saat ini aku tahu persis kalau mereka masih belum merestui pernikahan kami. Kini bagai hadir kembali di benakku.

Maafkan anakmu yang hina ini, Pa, Ma.

"Kamu tidak makan?" tanya Mas Dimas mencoba membujuk. Tiba-tiba saja lelaki itu datang lalu duduk di bibir ranjang.

Aku tak menghiraukan ucapannya. Bujukan itu hanya basa-basi busuk bagiku. Hati ini sudah terlanjur luka oleh sikapnya tadi siang.

"Rindu! Kamu tak menyahut pertanyaanku?!"

Lengan Mas Dimas perlahan meraih bahuku. Dengan sedikit tenaga, lelaki itu mencoba untuk membalik tubuhku yang sedari tadi masih berbaring membelakanginya.

"Rindu! Kamu masih punya mulut kan?"

Kali ini, ucapan Mas Dimas memaksaku berbalik. Aku memberanikan diri menatapnya.

"Aku benci sama kamu, Mas!"

Mas Dimas tak menjawab, dia malah membuang tatapannya. Perlahan dia membaringkan tubuhnya di sampingku. Lengannya dilipat, lalu kepalanya menumpu pada tangan itu. Dia terlentang sembari menatap kosong ke arah atap rumah, dengan tangan tadi sebagai bantalnya.

"Rin, ada yang ingin aku tanyakan sama kamu. Tolong jawab dengan jujur?" Nada bicara Mas Dimas mulai melemah.

Aku mulai antusias, amarahku berangsur memudar berganti dengan rasa penasaran. Heran rasanya melihat tingkah suamiku yang aneh.

"Apa?" jawabku masih kesal padanya.

"Apa kamu menyesal menikah denganku?"

Aku menghela nafas panjang. Bari kali ini aku mendengar pertanyaan yang baru saja di lontarkan oleh Mas Dimas.

"Maksud kamu?" Aku belum bisa mencerna perkataannya dan tak paham arah pembicaraan lelaki itu.

"Ya, setelah sekarang hidup melarat bersamaku. Apa kamu menyesal?!" Sekali lagi pertanyaan itu mengusikku.

Aku mulai mendongak ke arah Mas Dimas. Posisi kepalaku kini bagai seekor ular yang sedang mengawasi mangsa.

"Mas. Aku rela kabur dari rumah demi hidup bersamamu. Aku rela meninggalkan kedua orang tuaku. Kenapa kamu malah mempertanyakan hal seperti itu?"

Aku masih tak habis pikir dengan ucapannya. Tak pantas rasanya dia meragukan pilihan yang telah aku ambil.

"Apa sebaiknya kamu kembali pada orang tuamu?"

Hah?! 

Aku tersentak mendengar ucapan itu.

"Kenapa, Mas? Kok bisa-bisanya kamu ngomong kayak gitu?"

"Ibuku ingin segera menimang cucu."

"Oh, jadi itu sumbernya?" Aku mulai tahu maksud hati Mas Dimas.

"Iya, Rin. Tolong kamu bisa mengerti."

"Mengerti bagaimana, Mas?!" tanyaku dengan penuh penekanan.

"Jangan ngegas, dong!" celah Mas Dimas.

Lelaki itu mulai duduk, begitupun denganku. Sekarang kami saling berhadapan, dan juga saling terpancing emosi.

"Mas, tolong tatap aku!" Aku mulai serius, "Apakah kamu sudah tidak mencintaiku lagi?!"

Mas Dimas mulai terpojok dengan pertanyaanku. Dia sedang memikirkan sesuatu untuk menjawab.

"Kamu belum bisa memberiku keturunan! Ibu memintaku menikah lagi." Juga dengan tatapan yang tak main-main ia bidikan padaku.

Sungguh perkataan Mas Dimas berhasil meremukkan dadaku. Hati wanita mana yang tak hancur mendengar pernyataan suami seperti itu. Aku tak rela hidup dimadu.

"Enggak, Mas! Aku nggak mau!" Aku menggeleng beberapa kali. Air mata kembali meleleh di pipiku.

Mungkin ini salah satu faktor perubahan drastis sikap Mas Dimas terhadapku akhir-akhir ini.

"Tolong kamu mengerti keadaanku, Rin. Aku stres menghadapi kenyataan hidup ini."

Tiba-tiba jemari Mas Dimas menyeka air mataku.

"Jangan tinggalkan aku, Mas. Aku mohon. Aku tak punya siapa-siapa lagi selain kamu." Tanganku mencengkeram kuat lengan kekar suamiku itu. Sekuat harapan untuk tetap bersamanya.

"Rindu, aku mohon maaf. Aku tak bisa menentang permintaan ibu. Kamu tahu sendiri beliau sangat sayang padaku. Dan harapan satu-satunya diujung usia ibu, dia menginginkan cucu."

"Beri aku sedikit waktu, Mas. Mungkin saat ini Tuhan belum mempercayakan keturunanmu melalui rahimku. Tapi, aku yakin suatu saat itu bakal terjadi."

Mas Dimas menarik nafasnya yang mulai berat. Dia sedang menimbang-nimbang omonganku.

"Baik, tolong beri aku sedikit waktu juga. Aku akan mencoba meyakinkan ibu sekali lagi."

Ucapan Mas Dimas bagai memberi suguhan rasa damai dalam hatiku. Berangsur, batinku yang berkecamuk kini sedikit tentram.

"Kalau ibu tetap pada pendiriannya, gimana, Mas?!" desakku penuh pengharapan.

Mas Dimas mulai berdiri. Lalu beranjak meninggalkanku.

"Kamu mau kemana, Mas?"

Langkah lelaki itu terhenti sejenak, kemudian wajahnya berbalik menatapku, "Aku mau keluar, cari angin."

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Mas!"

Kali ini, sorotan mata Mas Dimas penuh arti, "Kita lihat saja nanti."

Kemudian dia pergi begitu saja.

Batinku mulai mencurigai gelagat buruk suamiku. Akhir-akhir ini dia sering keluyuran malam. Dan yang paling mengherankan, dandanannya selalu rapi dengan aroma parfum yang semerbak.

Tak wajar rasanya jika hanya ingin keluar cari angin dengan baju kemeja kinclong setrikaanku, jeans warna donker, lengkap dengan sepatu kulit andalannya.

Penampilan Mas Dimas memang terbilang menarik. Ditunjang oleh perawakan tegap, hidung mancung, alis tebal, dan kulit sawo matang. Cukup sudah syarat sebagai pria gagah yang membuatku tergila-gila semenjak pertama aku mengenalnya tiga tahun silam.

Hanya saja takdir tak berpihak padanya. Waktu kami menikah dulu, dia masih menyandang jabatan yang cukup penting di perusahaan perkebunan sawit swasta.

Saling sikut untuk memperebutkan jabatan manager, membuat suamiku itu disingkirkan lalu di pecat tanpa alasan yang masuk akal.

Aku kembali menarik selimut, mencoba memejamkan mata. Gelisah dan gelisah. Miring salah tengkurap salah. Dari siang hingga ke malam, tak sedikitpun aku bernafsu untuk menelan makanan.

Perkataan Mas Dimas tadi, begitu membekas di hatiku. Betapa tidak, lelaki itu lebih memenangkan permintaan ibunya dari pada mempedulikan perasaanku.

****

Sungai Musi, dengan lebar tak kurang dari dua ratus meter membentang di pinggiran kota Sekayu. Bantarannya padat oleh rumah penduduk. Airnya tak pernah kering sepanjang tahun, banyak orang menggantungkan hidupnya di sana. Mulai dari mencari ikan, mandi, cuci, dan sebagainya.

Pagi ini masih gelap, aku harus ekstra hati-hati menuruni tebing sungai Musi. Meniti tapakan tanah yang telah dibuat seperti tangga. Cukup curam, dan kalau sampai terpeleset, alamat terguling, nyemplung di sana.

'Menyebalkan' batinku menggerutu.

Ini gara-gara kebiasaan di hari libur air ledeng tak hidup, dan air di bak mandi hanya tinggal sedikit. Membuatku terpaksa memilih untuk mandi ke sungai saja, dari pada nanti kena semprot ibu mertua gara-gara air habis. Walaupun sebenarnya ini pengalaman pertamaku untuk mencoba mandi ke sungai.

Ternyata aku tak sendiri, dari tengah tebing sayup-sayup terdengar suara orang mengobrol.

*"Kalu Ayuk nga ikak! mahap bae nak di due ke. Tunggu la Lina tu! Kapan Bae die betemu, denggut ke ku rambutnye," ujar wanita paruh baya dengan logat kentalnya.

*["Kalau Saya ini! Nggak bakalan rela didua-in. Kalo Ketemu, akan saya Jambak rambutnya si Lina itu."]

Wanita itu bercakap pada ibu-ibu lain di sebelahnya dengan bahasa Sekayu, sambil memghempas-hempaskan baju yang sedang dicucinya.

Ramai juga orang yang ada di sana, di atas kayu-kayu bulat besar yang disusun semacam rakit, mengapung. Mereka menyebutnya 'Batang'.

Fasilitas baru yang aku temui, di ujungnya lengkap dengan toilet dadakan dibuat berbentuk kotak berdinding papan setinggi lutut. Jadi kalo kita sedang buang air, nongkrong di dalamnya, bisa sambil nge-gosip.

"Pagi , Bik," sapaku ke wanita yang dari tadi ngomel-ngomel menyebut nama Lina. Entah siapa Lina itu, wanita yang sejak tadi ia maki-maki.

"Pagi, Dik," sahut wanita itu, senyum ramah dilontarkannya padaku. Dia tahu kalo aku baru pertama datang ke sana untuk mandi.

Aku menyerok air dan menyiramnya ke kepala.

Byur!

Huh! Dingin sekali. Hanya secukupnya aku mengguyur tubuh ini.

Sepertinya aku akan bersahabat dengan sungai Musi, komplit dengan pasukan ibu-ibu ratu gosip.

Sehabis mandi aku meninggalkan sungai itu. Dengan langkah kecil, berlalu sembari memikirkan Mas Dimas yang tak pulang kerumah.

Entah dia menginap di mana semalam. Sudah tiga kali dia kelayapan tidur di luar. Aku masih belum berani mempertanyakan hal itu. Karena selain akan menjadi sumber keributan, aku juga tak sempat mengajaknya mengobrol serius. Sebab, kami sama-sama sibuk untuk kerja.

Kebetulan hari ini libur sekolah, jadi aku tak mengajar. Rasanya ini waktu yang tepat untuk membahas tuntas tentang keluyuran suamiku akhir-akhir ini.

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • RINDU MENJANDA   Terpaksa Keluyuran Malam

    "Please, untuk malam ini aja, Rin. Aku udah kepalang janji sama Om Samsul," rengek Cica sembari memegang lenganku."Siapa Om Samsul, Ca?" Aku tambah penasaran dengan nama yang asing di telingaku itu."Kamu masih ingat sama lelaki saat pertama kita ketemu makan malam?" tanya Cica mencoba agar aku mengingat kembali.Aku tertegun sejenak, bayanganku teringat pada Om-Om setengah botak yang makan bersama Cica di restauran tepi sungai Musi tempo hari."O ...," Aku manggut-manggut. "Iya aku ingat, Ca.""Nah, itu namanya Om Samsul. Dia adalah pengusaha sukses di kota ini, Rin. Aku sudah mengenalnya tiga bulan terakhir. Dia punya rekan bisnis yang tajir, rekannya itu meminta Om Samsul mencarikannya kenalan juga. Jadi aku menjanjikan malam ini bertemu denganmu. Mau ya?" terang sahabatku itu sembari memasang rau

  • RINDU MENJANDA   Kembali ke Rumah Cica

    Perpisahan yang sungguh menguras air mata. Aku bukan hanya berpisah dengan keluarga besar Sekolah Dasar tempatku mengajar, tapi juga berpisah dengan kota kecil yang telah dua tahun aku tinggali.Betapa banyak kisah yang telah terjadi di kota itu. Aku terlena selama dua tahun menetap di sana, bahkan aku hampir tak percaya bahwa aku saat ini telah menjanda.Bukan hanya kehilangan suami, namun aku juga telah kehilangan kedua orang tuaku. Hingga detik ini belum juga aku ketahui kemana mereka pindah.Mataku menatap ke arah luar, menikmati pemandangan dari balik kaca mobil. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke Palembang, menggunakan jasa mobil travel."Mbak, diantar ke Sekip kan?" tanya sopir itu memastikan."Iya, Mas.""Nanti, tolong bilang aja arah ke rumahnya," pinta lel

  • RINDU MENJANDA   Perihnya Perpisahan

    Mobil yang dikemudikan oleh Pak Arif melaju dengan santai. Memecah jalanan yang masih gelap. Subuh ini kami berlalu meninggalkan kota Palembang untuk kembali ke Sekayu.Indah kelihatan tertidur di kursi belakang mobil. Ia telah siap dengan seragam putih merahnya untuk mengikuti upacara di sekolah nanti. Sedangkan aku duduk membisu menemani Pak Arif menyetir."Bu, siapa sebenarnya lelaki yang Bu Rindu temui di Mall waktu itu?" tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil. Dari nada bicaranya, jelas kalau lelaki itu menaruh curiga padaku.Aku mengernyitkan dahi, lalu melirik Pak Arif. "Maksud Pak Arif, Fikri?""Iya," jawabnya mantap."O ..., Itu anak Pak Agus. Kebetulan waktu itu aku ke rumahnya.""Ke rumahnya?" seru Pak Arif penasaran. "Ada keperluan apa Bu Rindu ke sana?" P

  • RINDU MENJANDA   Sang Juara

    Aku dan pak Arif duduk di kursi bagian belakang bersama guru pendamping lainnya. Sedangkan Indah duduk di barisan paling depan. Nampak suasana ruangan sangat menegangkan, karena sebentar lagi hasil perlombaan yang digelar selama hampir satu minggu itu akan segera diumumkan."Baiklah, para hadirin dan peserta lomba sebentar lagi kami akan mengumumkan hasil pemenang lomba siswa berprestasi tingkat Sekolah Dasar se-Propinsi Sumatra Selatan ini," ujar pemandu acara yang berada di atas podium.Aku melirik ke arah pak Arif dengan raut wajah penasaran, aku sangat berharap agar Indah menjadi juara."Dan inilah pemenang lomba siswa berprestasi tingkat Sekolah Dasar tahun ini," seru pemandu acara bertubuh gemuk itu sengaja menjedah ucapannya.Tentu saja, membuat hatiku berdebar-debar tak menentu. Begitupun dengan pak Arif, ekspresi wajahnya y

  • RINDU MENJANDA   Dibuat Malu

    "Hei Lepaskan!" teriakku kencang. Aku merasa sakit di bagian pergelangan tangan yang masih dicengkeram kuat olehnya.Sampai di sebuah tempat makan, lelaki yang dari tadi menyeretku itu duduk di sana. Ia telah melepaskan tanganku."Apa-apaan sih kamu ini! Sakit, tau!" protesku sembari mengusap-usap bagian pangkal lenganku. Bekas cengkeraman tangannya memerah, dan aku merasakan bagian itu agak panas."Duduk!" seru lelaki itu sembari melotot. Iya, dia adalah Fikri. Lelaki yang dari awal hingga detik ini masih melangsungkan perang dinginnya denganku.Aku menuruti permintaannya. Kami duduk saling berhadapan dengan sebuah meja kecil berada di antara kami.Mataku membentur piring yang berisi ikan bakar berwarna kehitaman. Satu lagi, mangkok berukuran sedang di dalamnya kelihatan sayur asem. Tak lupa mangkok

  • RINDU MENJANDA   Bertemu Kembali

    "Iya, Bu. Cowok yang ngangkatnya," timpal Pak Arif meyakinkan."Hapeku tadi jatuh. Dia bilang apa, Pak?" tanyaku penasaran."Dia tak bilang apa-apa hanya menyebutkan namanya saja, lalu telepon diputus.""Siapa namanya?" Aku semakin tak sabar ingin tahu."Fikri," jawab Pak Arif singkat."O ...," Mulutku membulat dengan bibir maju hampir dua jari. "Jatuh di sana rupanya.""Siapa Fikri, Bu?" tanya Indah kepo."Anak Pak Agus.""Pak Agus?" tanya Pak Arif tak mau kalah."Nanti aku ceritain. Bisa tolong teleponkan lagi, Pak?" pintaku pada lelaki yang masih duduk di dekat Indah itu.Pak Arif tak menjawab, ia menatap layar ponselnya lalu menempelkannya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status