Setelah mencium punggung tanganku dan Pak Arif. Indah lalu membuka pintu mobil dan keluar menghampiri mamanya.
Pak Arif menurunkan kaca mobilnya, lalu ia menyapa Lina. “Mbak, kami tinggal dulu ya.”
“Makasih ya, Rif,” balas wanita itu singkat. Pak Arif hanya memberikan senyuman pada wanita itu.
Sementara aku hanya membeku duduk di sebelah. Sengaja aku tak ingin melihat wanita itu lebih lama lagi, karena takut emosi besar ini nanti meluap.
Mobil perlahan menjauh meninggalkan Indah bersama mamanya.
“Sepatunya sudah dicoba, Bu?” tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil.
“Sudah, Pak. Pas banget di kakiku.”
“Bu Rindu suka sepatunya?” Lelaki itu menatapku penuh arti.
Aku mulai canggung berada dalam posisi itu. “Itu sepatu impian saya, Pak.”
Dia mengembangkan senyum manis di bibirnya. Aku mulai curiga, jangan-jangan hadiah itu dari Pak Arif.
“Pak Arif yang memberi hadiah ini, ya?” Aku memberanikan diri untuk menanyakan hal itu.
Lelaki itu tak menjawab pertanyaanku. Hanya sebuah anggukan kecil ia lakukan.
“Kenapa Pak Arif membelikan aku sepatu?” tanyaku dengan rasa curiga.
“Nggak, aku hanya tak tega melihat kaki Bu Rindu menggunakan sepatu lama itu.”
Aku melirik ke arah bawah, memperhatikan sepatu tua yang sedang kukenakan. Memang sih, sudah tak layak lagi karena sudah mengelupas bagian tengahnya.
Tapi, aku tetap bertahan untuk terus menggunakannya. Sebab, aku baru mau berencana untuk membeli sepatu dua bulan lagi. Uangnya sebagian berasal dari honor mengajar, kemudian ditambah dengan sedikit uang pemberian suamiku.
Aku membuang tatapan Pak Arif, lelaki itu pun juga mengalihkan tatapannya ke arah depan untuk lebih fokus menyetir.
Sejenak aku mulai memikirkan tentang rumah tanggaku yang kini telah retak. Sungguh tak kusangka, kehadiran Lina yang baru aku ketahui melalui pesan singkat di ponsel Mas Dimas kemarin, kini bagai duri yang bersarang dalam daging.
“Kok bengong, Bu?” ujar Pak Arif membuatku terperanjat. Aku baru menyadari kalau sedari tadi hanya melamun saja.
“Lagi banyak pikiran aja, Pak.”
“Aku ingin minta maaf sama Bu Rindu.”
“Maaf? Buat apa, Pak?”
“Kemarin pasti Bu Rindu ribut sama suami gara-gara aku.”
“Oh, enggak juga, Pak. Biasa aja.”
“Makanya aku membelikan sepatu itu buat Ibu. Sebagai hadiah atas permintaan maafku.”
“Ah, Pak Arif bisa saja. Seharusnya aku yang minta maaf, karena perlakuan suamiku kemarin.”
“Heheh. Kayak suasana lebaran aja, Bu. Saling bermaaf-maafan.”
Aku hanya tersenyum mendengar gurauan dari lelaki itu.
Tak terasa, kami telah sampai di depan rumahku. Hujan pun kini sudah mulai mengecil, hanya tertinggal rintik-rintik saja.
“Saya duluan ya, Pak. Makasih sudah mengantarku pulang.”
“Iya, sama-sama, Bu.”
"Makasih juga buat sepatunya."
Mendengar ucapanku, lelaki itu melepaskan senyum terbaiknya. Aku juga membalas senyum itu.
Setelah menutup pintu mobil, aku berlari kecil menuju rumah dengan posisi kotak sepatu berada menutupi bagian kepala.
Suasana rumah cukup lengang. Seperti biasa, ibu mertua pasti tidur jam segini. Dan aku harus buru-buru menyiapkan makan siang untuknya. Jika saja terlambat memasak, maka akan membuat maag-nya kambuh plus darah tinggi wanita itu naik.
Aku meletakkan kotak sepatu tadi ke atas meja kamar. Kemudian aku mengganti pakaian dengan daster berwarna pudar andalanku.
Setelah tiba di dapur, aku membuka kulkas kecil satu pintu itu. Mata menyapu ke segala penjuru isinya. Tak satupun telur ayam yang tersisa di sana.
Untung saja tadi Mas Dimas memberiku uang. Kalau tidak, ibu akan marah besar saat ini bangun tanpa di sambut hidangan di meja makan.
Aku bergegas menuju warung Pak Yusron yang berada tak jauh dari rumah kami.
“Telur ayamnya minta setengah kilo ya, Pak,” ujarku pada lelaki tua yang mengenakan peci putih itu. Aku baru saja berada di warungnya.
Belum sempat lelaki itu mengambilkan pesanan dariku tadi, tiba-tiba Bu Lasmi istrinya, muncul dari arah dalam warung.
“Hei! Rindu. Kalau mau ngutang jangan ke sini lagi. Bayar dulu hutang mertuamu kemarin,” ketus wanita bertubuh bongsor itu.
Aku sedikit tersinggung mendengar ucapan Bu Lasmi.
Karena memang sedang ada beberapa pelanggan lain yang tengah sibuk memilah-milah teri dan ikan asin yang berjarak hanya satu depa saja di sampingku.
“Hari gini masih ngutang?” sindir Bu Jana yang ada di dekatku. Ia melontarkan kata pedas itu tanpa menatap sedikit pun.
Bu Jana adalah musuh bebuyutan mertuaku. Entah apa masalahnya hingga mereka bertahun-tahun tak pernah hidup akur, padahal jarak rumahnya dengan rumah kami hanya terpaut dua rumah saja.
Yang pasti ibu mertuaku sangat membenci wanita itu, dan begitupun dengan Bu Jana. Kadang-kadang aku menjadi pelampiasan saja.
“Katanya dulu anak orang kaya? Kok sekarang jadi melarat?” Kembali wanita itu menyerukan sindiran pedasnya.
Ucapan Bu Jana berhasil memancing emosiku. Namun, aku hanya menghela nafas, mencoba untuk menahan amarah di dalam dada.
“Maaf, Bu Las. Aku tidak ngutang kok. Ini aku bawa uangnya.”
“Hala! Paling juga itu uang hasil suamimu selingkuh dengan janda kaya beranak satu itu ’kan?” timpal Bu Jana yang kali ini dengan kata-kata lebih tajam lagi.
“Cukup, Bu! Jangan sembarangan kalau ngomong,” balasku mulai tersulut emosi.
“Lah, emang kamu belum tahu kalau suamimu itu selingkuh? Makanya buka mata dan telinga lebar-lebar. Atau jangan-jangan sekarang kamu juga selingkuh sama lelaki yang mengantarmu pakai mobil tadi?”
“Maaf Bu Jana. Tadi bilang apa?! Jangan sembarangan memfitnah orang ya!” Darahku benar-benar mendidih. Aku mendekat kerahnya dengan dada menantang. Tak tahan lagi rasanya difitnah seperti itu.
“Apa? Kamu nggak senang? Ha!” bentak wanita itu juga membusungkan dadanya ke arahku. Dia sudah berkacak pinggang.
Aku dan Bu Jana saling melotot tanpa berucap lagi. Matanya bagai elang yang siap untuk menerkam mangsa. Begitupun denganku, tatapanku tajam laksana macan yang ingin mencakar wajahnya.
Hampir saja sesuatu hal yang tak diinginkan terjadi. Namun Bu Lasmi menghambur ke arahku.
“Sudah-sudah. Jangan ribut di warungku,” ujar Bu Lasmi mencoba melerai kami.
Dia meraih lenganku kemudian sedikit menarik ke arah belakang, membuatku harus mundur beberapa langkah.
Tiba-tiba, Pak Yusron menyodorkan sekantong telur ayam yang telah ia timbang. “Sudah kamu pulang sana! Rindu.”
Setelah membayar belanjaan. Aku bergegas meninggalkan warung itu. Karena memang aku pun sebenarnya tak ingin membuat keributan di warung Pak Yusron.
Saat tiba di rumah, aku langsung memasak di dapur. Dengan emosi yang masih tersisa, aku semakin berenergi untuk memasak.
Setelah semuanya kelar, aku bersegera makan. Kemudian membereskan meja itu. Sebentar lagi biasanya ibu mertuaku akan bangun dari tidur siangnya dan pasti langsung menuju dapur.
Huft!
Hari yang sangat menguras otak. Aku menghempaskan tubuh ke atas kasur. Mata ini menerawang menatap ke atas. Sekilas wajah Lina terbayang di benakku, tentu saja kehadiran wajah itu membuat luka kembali terasa peri teriris. Ditambah lagi dengan ucapan dari Bu Jana tadi, benar-benar membuat hatiku terkoyak lebih dalam lagi.
Rasanya aku sudah tak kuat menahan sakit ini. Fakta-fakta pengkhianatan dari suamiku sudah jelas, tak ada lagi yang bisa dielak. Kalau saja Mas Dimas nanti pulang dari kerja, aku akan meluapkan segalanya.
Tak terasa air mataku bercucuran dengan sedirinya. Dalam suasana hati seperti ini, aku kembali teringat dengan mama. Rasa penyesalan yang sangat besar setelah meninggalkannya dua tahun lalu, kini kembali membuncah.
Aku ingin pulang, ingin bertemu mama kemudian memeluknya erat-erat sembari mengucapkan kata-kata maaf padanya.
Pikiran kacau itu perlahan-lahan memudar, berganti dengan rasa kantuk yang cukup berat. Akupun akhirnya tertidur.
Bersambung ....
Saat aku terjaga, ternyata hari sudah mulai gelap. Aku beranjak untuk menyalakan lampu kamar.Kring! Kring! Kring!Suara nyaring ponsel memecah keheningan kamar."Halo!""Halo Bu Rindu," sapa Pak Rudi kepala sekolah kami. "Saya mau kasih info mendadak. Indah, muridmu, diminta mewakili Kabupaten kita, untuk berangkat ke Palembang besok pagi.""Palembang? Acara apa ya, Pak?""Lomba siswa berprestasi dan lomba catur tingkat Propinsi. Tahun kemarin 'kan dia menang mewakili kabupaten kita. Nah, tahun ini bapak Kepala Dinas ingin dia maju lagi.""Oh, alhamdulillah kalau gitu, Pak""Saya minta kamu mendampingi dia ya, sama Pak Arif juga."Aku tertegun sejenak. "Baik, Pak.""Tolong segera kasih tahu Indah. Tadi saya menghubungi nomor Pak Arif, tapi belum aktif kayaknya. Kasih tau juga sama beliau.""Baik, Pak. Nanti aku kasih tahu sama mereka.""Akomodasi dan sebagainya, sudah saya minta ditransfer ke rekeni
Tiba-tiba wanita itu meletakkan buku nikahku ke atas meja, lalu ia mendekap tubuh ini dengan erat. Tubuhnya bergetar akibat isak tangis. Kini ia tenggelam dalam pelukanku.Seketika itu, rasa iba menyelinap ke relung hatiku. Tak tega rasanya membiarkan wanita cantik itu terus menangis.Aku menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Mencoba untuk menenangkannya.Perlahan Lina melepaskan pelukan. Matanya telah membengkak nanar menatapku. Aku membalas tatapan mata itu."Sebagai sesama wanita, Mbak Lina tentunya dapat mengerti apa maksudku. Sebelum semua ini berlanjut lebih jauh lagi," ucapku penuh keseriusan.Aku sudah berada di atas angin, kemenangan sebentar lagi aku dapatkan. Rasanya sudah tak sabar lagi ingin mendengar pengakuan kekalahannya."Maafkan aku, Bu Rindu." Tangisnya terus berlangsung.Aku sudah dapat melengkungkan garis bibir, mengembangkan senyum kepuasan.Tiba-tiba wanita itu kembali memelukku. Kali ini dekapannya sa
Nyali Mas Dimas semakin ciut. Mulutnya terkunci, ia tak dapat menjawab pertanyaanku."Jawab! Mas," pekikku sekali lagi. Kadar emosiku terus bertambah. Entah bagaimana ekspresiku saat ini. Yang jelas, gertakan itu berhasil mendominasi keadaan.Mas Dimas membuang tatapan mataku. Ia beringsut menuju kursi. Sepertinya lelaki itu telah sadar kalau aku baru saja membuka semua tabir rahasia besarnya.
Pak Arif menekan saklar lampu yang berada di dinding ruang tamu rumahnya. “Silahkan duduk dulu, Bu,” ujar lelaki itu sembari tersenyum.Aku dan Indah menuruti permintaan Pak Arif. Kami berdua duduk di sofa empuk berwarna abu muda yang memiliki sandaran agak rendah.Setelah duduk, aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu rumah Pak Arif. Nampak tata letak dan dekorasinya cukup apik. Di dindingnya menempel sebuah lukisan abstrak yang didominasi warna hitam dan merah. Pas betul dengan paduan warna cat interior bernuansa putih lembut. Ternyata bagus juga selera lelaki yang masih betah menjomblo itu.Pak Arif menuju kamar yang berada di ruang tengah rumahnya. Sepertinya ada dua kamar yang saling berdempetan di sana.“Bu, aku nggak mau pulang ke rumah lagi,” cetus Indah memecah keheningan ruang tamu
Mendengar suara membentak dari seseorang yang berada di ruang depan, nyali Indah ciut. Ia mendempetkan tubuhnya padaku. Tangannya mencengkeram erat ke lenganku.“Sabar dulu, Pak RT. Dia itu sodaraku. Dia hanya numpang menginap di rumahku satu malam ini saja. Besok pagi langsung berangkat ke Palembang. Lagian kami tidak hanya berdua, ada ponakanku juga,” terang Pak Arif panjang lebar.Lelaki itu mencoba membela dirinya. Ia tak ingin ada fitnah atas kehadiranku ke rumahnya malam ini."Bohong!" teriak beberapa orang hampir berbarengan. Sepertinya Pak RT tak sendirian. Kalau dari suaranya, tak kurang tujuh sampai delapan orang yang berada di depan sana."Kita usir saja wanita yang Pak Arif bawa tadi, Pak!" ujar seseorang dengan suara meninggi. Kayaknya orang itu provokatornya.Genggaman tangan
Aku malu bukan kepalang. Mukaku terasa merah menyalah. Kentut berirama panjang yang baru saja aku keluarkan, tentunya terdenger jelas dari arah Pak Arif berdiri sekarang.Aku membuang tatapanku, tak kuasa membendung rasa yang sangat tak enak untuk diungkapkan itu.Mataku beralih mentap wajah Indah, anak kecil itu nampak menahan tawanya sembari menutup mulut dengan telapak tangan. Sungguh, aku telah berhasil mempermalukan diriku sendiri dihadapan mereka.“Aku nggak dengar kok,” ujar Pak Arif pura-pura. Aku tahu kalau lelaki itu sedang meledekku. Ia berlalu menuju dinspenser yang berada di sebelah meja kompor.Glek! Glek! Glek!Lelaki itu meneguk segelas air putih itu hingga tak bersisa di gelas beningnya. “Aku duluan ya, udah nggak tahan mau buang air,” terang lelaki itu sambil
Tiada terasa kami telah sampai di tepi kota Palembang. Semakin mendekati pusat kota, jalan semakin padat. Hingar-bingar kesibukan pengguna jalan lengkap dengan panasnya mentari yang memanggang.“Kita nanti nginap dimana, Bu?” tanya Pak Arif sembari melirikku.“Acaranya di gedung dekat PS Mall, Pak. Panitia sudah menyiapkan hotel di dekat sana. Siang ini kita harus melakukan registrasi dulu untuk Indah. Ini alamatnya, Pak,” terangku sambil memperlihatkan alamat yang barusan kusebut itu melalui layar ponselku.“Oke, kita langsung ke sana ya,” ujar Pak Arif sambil mengangguk paham.Aku membalikkan badanku, melirik ke arah belakang. Nampak Indah masih pulas dalam tidurnya. Ia duduk bersandar di kursi mobil.Sebenarnya aku sedikit cemas, karena baru pertama kali mendampi
Beruntung kami masih mendapatkan meja. Karena biasanya sangat susah kalau tidak memesan terlebih dulu. Mungkin karena hari ini hari biasa, kalau week end sudah pasti kami tak kebagian tempat.Kami duduk di sana, lalu seorang pelayan mengenakan seragam sembari membawa kertas lengkap dengan pena, sudah berdiri menunggu untuk mencatat semua menu yang akan dipesan."Indah mau makan apa?" tanyaku membuat bocah itu menghentikan pandangannya ke arah jembatan Ampera."Nih silahkan pesan, Pak Arif juga." Aku menyodorkan buku menu yang tadi tergeletak di atas meja. Pak Arif dan Indah mulai membuka halaman buku menu makanan itu. Membaca-baca satu demi satu."Aku mau kepiting saus tiram, minumnya jus mangga aja," ucap Indah sembari menatap pelayan tadi.Pak Arif nampaknya masih bingung dengan pilihannya. Beberapa