Home / Romansa / RINDU MENJANDA / Petunjuk Perselingkuhan

Share

Petunjuk Perselingkuhan

last update Last Updated: 2021-04-14 11:34:20

Aku membuka mata, memberanikan diri menatap wajah Mas Dimas. Sorotan tajam mata lelaki itu kembali ditujukannya padaku.

Aku mengalah, lalu membuang tatapan. Tak ingin rasanya berlama-lama berada dalam kamar bersama suami yang sedang terbakar emosi. Perlahan aku bergegas menuruni kasur.

"Mau kemana kamu?!" Mas Dimas mencegah langkahku yang baru saja hendak meninggalkan kamar.

"Aku mau keluar, Mas."

"Tunggu!" Tangan lelaki itu mendorong bagian bahuku. Tentu saja dengan tenaga kuatnya aku terpental satu langkah ke belakang.

Aku menghela nafas dalam. Mencoba mengatur irama jantung yang sedari tadi berdegup tak berirama.

Aku memperkuat mentalku. "Cukup, Mas! Aku ini istrimu. Jangan seenaknya memperlakukanku dengan sikap kasarmu itu."

"Oh! Jadi kamu sudah berani melawan suami? Ha!"

Hentakan suara di ujung kalimat yang diucapkan Mas Dimas, mencoba untuk menghancurkan pertahananku. Tapi aku tahu kalau saat itu dia hanya menggertak.

"Ya! Aku berani! Kenapa?" teriakku menantang sembari mendongak ke wajah lelaki itu.

Aku merasa berada diposisi yang tak salah saat itu. Wajar kalau aku membela diri.

Mas Dimas tersentak, mungkin dia heran menyaksikan istrinya sekarang mulai berani membungkamnya.

"Mas, apa salahku? Bukankah Mas Dimas yang sekarang tengah membuat kesalahan terhadapku?"

Sepasang mataku garang menatap lelaki itu. Entah apa yang sekarang membuat keberanian semakin memuncak. Mas Dimas benar-benar padam. Kepalan tinjunya mulai terurai lemas.

"Tolong jawab aku dengan jujur, Mas. Kemana kamu semalam?" Akhirnya kalimat yang telah lama terpendam itu muntah dari mulutku.

"Jawab, Mas!" Sekali lagi aku mendesak dengan nada naik satu oktaf.

"Bukan urusanmu!" jawab Mas Dimas sembarang.

"Itu urusanku. Karena aku ini istrimu."

Lelaki itu membalikan tubuhnya. Dia berlalu meninggalkanku.

Braght!

Sekali lagi pintu kamar dibantingnya.

Aku hanya mengelus dada, mencoba melemaskan syaraf-syaraf yang sedari tadi tegang semua.

Tubuhku mulai layu, otot-otot terasa mengendor. Dengan lemas aku kembali duduk di bibir ranjang.

Ternyata selama ini aku salah dengan haya diam dan takut. Kalau saja sejak dulu aku bersikap seperti ini, mungkin tak terlalu ditindas oleh suami kasarku itu.

Klung!

Suara pesan singkat yang baru saja masuk ke ponsel Mas Dimas. Aku baru menyadari kalau dia lupa membawa ponselnya yang tergeletak di atas meja kamar.

Aku meraih ponsel itu. Jiwa penyidikku seketika menyeruak. Ingin rasanya menguliti semua jejak informasi dari ponsel Mas Dimas.

[Mas, terima kasih untuk semalam. Aku sungguh bahagia]

Deg!

Jantungku kembali bergetar hebat, setelah membaca pesan singkat dari ponsel Mas Dimas. 

Ternyata ini biang keladinya.

Lina, itu nama yang tertulis di kontak ponsel yang barusan saja mengirim pesan singkat.

Sesaat emosiku meledak-ledak. Pikiran mulai tak sehat. Ternyata ada sesuatu yang ganjil telah terjadi pada rumah tangga kami.

Pantas!

Aku berusaha menjernihkan otak. Sebab, tak ingin mengambil tindakan yang gegabah. Lebih baik aku selidiki dulu sampai semuanya benar-benar terkuak.

Kusambar ponselku, lalu mengetik nomor telepon wanita tadi dan save, nomor itu tersimpan.

****

Pagi senin, awal hari yang agak mendung. Namun, aku harus tetap mengajar ke sekolah.

Setelah siap dengan seragam, aku keluar dari kamar. Mas Dimas nampak masih tertidur pulas di atas kursi ruang tamu. Padahal aku tak melarangnya jika saja lelaki itu hendak tidur di kamar semalam.

Aku hanya ingin kelihatan biasa-biasa saja olehnya. Walaupun di relung hati yang paling dalam sedang menyimpan luka menganga yang sangat menyakitkan. Biarlah nanti setelah terbukti saja, baru aku menumpahkan semuanya.

"Bangun, Mas!" ujarku sambil menggoyang-goyang lengan Mas Dimas.

Bukannya bangun, malah ia semakin menyembunyikan wajahnya.

"Mas! Bukankah kamu juga harus kerja hari ini? Ayo bangun. Udah pagi."

Lelaki itu akhirnya membalik badannya. Beberapa kali ia mengucek mata sembari menguap cukup lebar. Setelah itu ia menggaruk-garuk kepala.

"Aku minta uang, Mas. Buat ongkos ojek. Uangku sudah habis."

Mas Dimas tak membalas perkataanku. Dia hanya merogo saku jeans-nya. Dengan mata yang masih berat, ia mengeluarkan dompet kulit, mengambil selembar uang lima puluh ribu lalu menyerahkannya padaku. Entah hal itu ia lakukan dengan sadar atau tidak.

"Kamu nggak kerja?" tanyaku sekali lagi.

"Iya kerja." Akhirnya Mas Dimas menjawab.

"Ya udah, aku permisi dulu berangkat ke sekolah."

Seperti biasa, ojek langgananku telah siap menunggu di depan rumah. Dia adalah Mang Toyib, seorang lelaki yang cukup senior di dunia perojekkan kota sekayu.

"Ayo, Mang. Kita berangkat," pintaku pada Mang Toyib.

"Ayo, buruan, Bu. Kayaknya bentar lagi mau hujan."

Motor honda yang memboncengku itu kemudian menuju ke sekolah tempat aku mengajar.

Langit semakin gelap, suara petir saling bersahutan terdengar dari arah kejauhan. Untung saja kami telah sampai. Kini air hujan mulai berjatuhan membasahi bumi.

Aku langsung menuju kedalam ruang kantor guru.

"Pagi Bu Rindu," sapa Pak Arif dengan wajah cerianya.

"Pagi, Pak."

Aku masih merasa bersalah terhadap Pak Arif, atas apa yang telah dilakukan oleh suamiku padanya. Namun, sepertinya guru yang mengenakan kaos olahraga itu telah melupakan kejadian di teras rumah kemarin.

Bel tanda mulainya jam pelajaran telah berbunyi. Aku bergegas menuju ruang kelas empat. Hari ini akan mengisi pelajaran pada jam pertama di kelas itu.

"Pagi anak-anak," sapaku ramah setelah tiba di dalam ruang kelas.

Serentak murid-murid yang mengenakan seragam putih merah itu berdiri. "Selamat pagi ibu guru!"

Selalu saja wajah-wajah riang dari bocah-bocah polos itu menyejukkan hati. Terkadang rupiah malah jadi nomor dua jika harus dibandingkan dengan keinginanku mendidik anak-anak penerus bangsa itu.

"Baik anak-anak. Hari ini ibu mau menyuruh kalian semua menulis cerita di hari minggu kemarin. Nanti gantian maju kedepan membaca ceritanya. Setuju?"

"Setuju!" jawab mereka tak kompak. Karena ada saja yang enggan saat di suruh maju kedepan untuk bercerita.

Aku mulai mondar-mandir mengawasi mereka yang nampak begitu antusias menulis ceritanya di buku. Beberapa dari mereka kelihatan mengerutkan dahi karena kesulitan merangkai kisah mereka.

Setelah waktu yang kuberikan terasa cukup. "Sudah selesai semua?"

"Selesai, Bu." Tiga puluh persen yang menjawab selesai. Selebihnya diam seribu bahasa.

"Joni! Maju ke depan."

Bocah lelaki itu melangkah dengan berat untuk maju ke depan kelas.

"Hari minggu. Saya pergi ke kebun mangga nenek. Saya menjolok mangga. Ternyata ada sarang tawon. Saya berlari di kejar tawon. Lalu terjun ke sawah nenek. Nama nenek saya itu adalah Nuning. Terima kasih." Joni baru saja menyelesaikan ceritanya.

"Hu!" ledek teman-temannya. Tentu saja muka Joni jadi memerah.

"Baik, sekarang coba maju, Indah!"

Sorak sorai tepuk tangan murid laki-laki bergemuruh. Karena memang Indah adalah murid paling cantik di kelas.

"Pagi minggu yang indah. Seindah nama yang di berikan oleh papa padaku. Namun, kisah hidupku tak seindah namaku. Karena semenjak kepergian papa dua tahun lalu, membuat aku rindu ingin berjumpa dengannya. Sehingga, hari minggu kemarin aku mengajak mama untuk menjenguk papaku. Sebelum menjenguk papa, aku membeli seikat bunga sebagai ole-ole buat papa tercinta. Aku membawa bunga itu untuk papa yang telah tenang berada di pemakaman umum."

Cerita Indah terhenti sejenak, dia tak kuasa melawan tangisnya. Menyaksikan hal itu aku mendekat kemudian memeluknya erat-erat. Sedangkan teman-temannya yang lain hanya membisu, terharu oleh cerita Indah.

"Saya lanjut ya, Bu," pinta Indah sembari melirikku.

"Baik, Nak."

Selain cantik, Indah memang murid paling pintar di kelas ini. Dia pandai menyanyi, bisa melukis, dan ramah terhadap siapa saja. Itulah kenapa aku sangat menyayanginya. Terlebih lagi, mungkin karena hingga saat ini aku belum juga punya seorang anak.

"Setelah aku menjenguk papa. Kami akhirnya pulang. Setiba di rumah, aku sangat kecewa mendengar permintaan dari mamaku. Beliau mengatakan kalau ia akan memberikan pengganti papaku. Mamaku mau menikah lagi."

Air matanya kembali berderai. Anak seumur itu ternyata sudah sensitif sekali tentang perasaannya.

Aku lalu memeluknya sekali lagi.

"Siapa nama mamamu, Nak?" Bisikku pada Indah.

"Lina, Bu."

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • RINDU MENJANDA   Terpaksa Keluyuran Malam

    "Please, untuk malam ini aja, Rin. Aku udah kepalang janji sama Om Samsul," rengek Cica sembari memegang lenganku."Siapa Om Samsul, Ca?" Aku tambah penasaran dengan nama yang asing di telingaku itu."Kamu masih ingat sama lelaki saat pertama kita ketemu makan malam?" tanya Cica mencoba agar aku mengingat kembali.Aku tertegun sejenak, bayanganku teringat pada Om-Om setengah botak yang makan bersama Cica di restauran tepi sungai Musi tempo hari."O ...," Aku manggut-manggut. "Iya aku ingat, Ca.""Nah, itu namanya Om Samsul. Dia adalah pengusaha sukses di kota ini, Rin. Aku sudah mengenalnya tiga bulan terakhir. Dia punya rekan bisnis yang tajir, rekannya itu meminta Om Samsul mencarikannya kenalan juga. Jadi aku menjanjikan malam ini bertemu denganmu. Mau ya?" terang sahabatku itu sembari memasang rau

  • RINDU MENJANDA   Kembali ke Rumah Cica

    Perpisahan yang sungguh menguras air mata. Aku bukan hanya berpisah dengan keluarga besar Sekolah Dasar tempatku mengajar, tapi juga berpisah dengan kota kecil yang telah dua tahun aku tinggali.Betapa banyak kisah yang telah terjadi di kota itu. Aku terlena selama dua tahun menetap di sana, bahkan aku hampir tak percaya bahwa aku saat ini telah menjanda.Bukan hanya kehilangan suami, namun aku juga telah kehilangan kedua orang tuaku. Hingga detik ini belum juga aku ketahui kemana mereka pindah.Mataku menatap ke arah luar, menikmati pemandangan dari balik kaca mobil. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke Palembang, menggunakan jasa mobil travel."Mbak, diantar ke Sekip kan?" tanya sopir itu memastikan."Iya, Mas.""Nanti, tolong bilang aja arah ke rumahnya," pinta lel

  • RINDU MENJANDA   Perihnya Perpisahan

    Mobil yang dikemudikan oleh Pak Arif melaju dengan santai. Memecah jalanan yang masih gelap. Subuh ini kami berlalu meninggalkan kota Palembang untuk kembali ke Sekayu.Indah kelihatan tertidur di kursi belakang mobil. Ia telah siap dengan seragam putih merahnya untuk mengikuti upacara di sekolah nanti. Sedangkan aku duduk membisu menemani Pak Arif menyetir."Bu, siapa sebenarnya lelaki yang Bu Rindu temui di Mall waktu itu?" tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil. Dari nada bicaranya, jelas kalau lelaki itu menaruh curiga padaku.Aku mengernyitkan dahi, lalu melirik Pak Arif. "Maksud Pak Arif, Fikri?""Iya," jawabnya mantap."O ..., Itu anak Pak Agus. Kebetulan waktu itu aku ke rumahnya.""Ke rumahnya?" seru Pak Arif penasaran. "Ada keperluan apa Bu Rindu ke sana?" P

  • RINDU MENJANDA   Sang Juara

    Aku dan pak Arif duduk di kursi bagian belakang bersama guru pendamping lainnya. Sedangkan Indah duduk di barisan paling depan. Nampak suasana ruangan sangat menegangkan, karena sebentar lagi hasil perlombaan yang digelar selama hampir satu minggu itu akan segera diumumkan."Baiklah, para hadirin dan peserta lomba sebentar lagi kami akan mengumumkan hasil pemenang lomba siswa berprestasi tingkat Sekolah Dasar se-Propinsi Sumatra Selatan ini," ujar pemandu acara yang berada di atas podium.Aku melirik ke arah pak Arif dengan raut wajah penasaran, aku sangat berharap agar Indah menjadi juara."Dan inilah pemenang lomba siswa berprestasi tingkat Sekolah Dasar tahun ini," seru pemandu acara bertubuh gemuk itu sengaja menjedah ucapannya.Tentu saja, membuat hatiku berdebar-debar tak menentu. Begitupun dengan pak Arif, ekspresi wajahnya y

  • RINDU MENJANDA   Dibuat Malu

    "Hei Lepaskan!" teriakku kencang. Aku merasa sakit di bagian pergelangan tangan yang masih dicengkeram kuat olehnya.Sampai di sebuah tempat makan, lelaki yang dari tadi menyeretku itu duduk di sana. Ia telah melepaskan tanganku."Apa-apaan sih kamu ini! Sakit, tau!" protesku sembari mengusap-usap bagian pangkal lenganku. Bekas cengkeraman tangannya memerah, dan aku merasakan bagian itu agak panas."Duduk!" seru lelaki itu sembari melotot. Iya, dia adalah Fikri. Lelaki yang dari awal hingga detik ini masih melangsungkan perang dinginnya denganku.Aku menuruti permintaannya. Kami duduk saling berhadapan dengan sebuah meja kecil berada di antara kami.Mataku membentur piring yang berisi ikan bakar berwarna kehitaman. Satu lagi, mangkok berukuran sedang di dalamnya kelihatan sayur asem. Tak lupa mangkok

  • RINDU MENJANDA   Bertemu Kembali

    "Iya, Bu. Cowok yang ngangkatnya," timpal Pak Arif meyakinkan."Hapeku tadi jatuh. Dia bilang apa, Pak?" tanyaku penasaran."Dia tak bilang apa-apa hanya menyebutkan namanya saja, lalu telepon diputus.""Siapa namanya?" Aku semakin tak sabar ingin tahu."Fikri," jawab Pak Arif singkat."O ...," Mulutku membulat dengan bibir maju hampir dua jari. "Jatuh di sana rupanya.""Siapa Fikri, Bu?" tanya Indah kepo."Anak Pak Agus.""Pak Agus?" tanya Pak Arif tak mau kalah."Nanti aku ceritain. Bisa tolong teleponkan lagi, Pak?" pintaku pada lelaki yang masih duduk di dekat Indah itu.Pak Arif tak menjawab, ia menatap layar ponselnya lalu menempelkannya

  • RINDU MENJANDA   Tawaran Cica

    Bismillah.Aku mengumpulkan segenap keberanianku untuk menelepon nomor papa.Perlahan kutempelkan hapeku ke telinga. Aku berharap kali ini tak salah nomor lagi."Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi."Sial. Nomor telepon itu masih belum tersambung.Sekali lagi aku menghubungi nomor itu, ternyata masih suara wanita sama yang menyatakan kalau nomor itu tidak aktif.Huft!Aku menghembuskan napas, setelah itu melemaskan bahuku. Perjuanganku sampai detik ini belum membuahkan hasil."Gimana, aktif?" tanya Pak Agus penasaran.Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Lalu memasang raut kecewa beralih menatap wajah Cica. Sahabatku

  • RINDU MENJANDA   Lelaki Aneh

    Ceklek!Seorang lelaki paruh baya membuka pintu rumahnya. Kalau melihat dari warna rambutnya yang sudah delapan puluh persen uban, sepertinya lelaki yang memiliki perut buncit itu, angkatan tahun enam puluhan."Pak Agus, ya?" sapaku menerka nama lelaki yang masih berdiri di tengah pintu itu."Apa?" tanyanya sembari memajukan kepalannya satu jengkal.Cica menatapku, wanita itu mencoba menahan tawa yang hampir saja pecah. Ia tahu kalau aku sedang menghadapi orang yang bermasalah dengan kupingnya."Pak Agus!" teriakku juga dengan membungkuk menjulurkan kepala ke arahnya."Oh ..., iya," jawab lelaki itu singkat. "Kamu yang menelepon tadi? Anaknya Badri?"Aku hanya mengangguk saja. Tak mau terlalu banyak bercakap.

  • RINDU MENJANDA   Orang yang Beda

    "Iya halo," jawabku gugup."Siapa?" tanya lelaki itu dengan suara agak besar. Aku menjauhkan ponselku dari telinga."Ini Rindu," kataku menjawab pertanyaannya."Rindu? Namamu Rindu?"Aku mulai curiga, sepertinya aku salah orang. Kalau dia benar papaku, mana mungkin lelaki itu bertanya demikian.Kulihat layar ponselku. Nama kontak yang kutulis papa itu terlihat jelas. Tak salah. Atau bapak yang tadi salah kasih lihat nomor."Hei! Kok diam?" cetusnya lagi."Maaf, kalau boleh tau, anda siapa?""Loh, situ yang nelpon. Kok saya yang ditanya," sindir lelaki itu dengan nada sewot.Aku mulai kesal, sudah bisa dipastikan kalau aku telah salah orang."Ha

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status