Mobil yang dikemudikan oleh Pak Arif melaju dengan santai. Memecah jalanan yang masih gelap. Subuh ini kami berlalu meninggalkan kota Palembang untuk kembali ke Sekayu.
Indah kelihatan tertidur di kursi belakang mobil. Ia telah siap dengan seragam putih merahnya untuk mengikuti upacara di sekolah nanti. Sedangkan aku duduk membisu menemani Pak Arif menyetir.
"Bu, siapa sebenarnya lelaki yang Bu Rindu temui di Mall waktu itu?" tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil. Dari nada bicaranya, jelas kalau lelaki itu menaruh curiga padaku.
Aku mengernyitkan dahi, lalu melirik Pak Arif. "Maksud Pak Arif, Fikri?"
"Iya," jawabnya mantap.
"O ..., Itu anak Pak Agus. Kebetulan waktu itu aku ke rumahnya."
"Ke rumahnya?" seru Pak Arif penasaran. "Ada keperluan apa Bu Rindu ke sana?" P
Perpisahan yang sungguh menguras air mata. Aku bukan hanya berpisah dengan keluarga besar Sekolah Dasar tempatku mengajar, tapi juga berpisah dengan kota kecil yang telah dua tahun aku tinggali.Betapa banyak kisah yang telah terjadi di kota itu. Aku terlena selama dua tahun menetap di sana, bahkan aku hampir tak percaya bahwa aku saat ini telah menjanda.Bukan hanya kehilangan suami, namun aku juga telah kehilangan kedua orang tuaku. Hingga detik ini belum juga aku ketahui kemana mereka pindah.Mataku menatap ke arah luar, menikmati pemandangan dari balik kaca mobil. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke Palembang, menggunakan jasa mobil travel."Mbak, diantar ke Sekip kan?" tanya sopir itu memastikan."Iya, Mas.""Nanti, tolong bilang aja arah ke rumahnya," pinta lel
"Please, untuk malam ini aja, Rin. Aku udah kepalang janji sama Om Samsul," rengek Cica sembari memegang lenganku."Siapa Om Samsul, Ca?" Aku tambah penasaran dengan nama yang asing di telingaku itu."Kamu masih ingat sama lelaki saat pertama kita ketemu makan malam?" tanya Cica mencoba agar aku mengingat kembali.Aku tertegun sejenak, bayanganku teringat pada Om-Om setengah botak yang makan bersama Cica di restauran tepi sungai Musi tempo hari."O ...," Aku manggut-manggut. "Iya aku ingat, Ca.""Nah, itu namanya Om Samsul. Dia adalah pengusaha sukses di kota ini, Rin. Aku sudah mengenalnya tiga bulan terakhir. Dia punya rekan bisnis yang tajir, rekannya itu meminta Om Samsul mencarikannya kenalan juga. Jadi aku menjanjikan malam ini bertemu denganmu. Mau ya?" terang sahabatku itu sembari memasang rau
Gerimis siang ini tak mengurungkan niatku untuk pulang. Ibu mertua pasti ngomel kalau saja aku sampai telat tiba di rumah."Makasih ya, Mang," ucapku setelah menyodorkan selembar uang kertas lima ribu pada tukang ojek itu.Aku berlari-lari kecil, menuju rumah. Tas jinjing kini malah berfungsi sebagai payung, menutupi kepala terhadap jatuhan air dari langit.Huh!Sebagaian besar seragam coklat yang kukenakan itu basah, setelah melalui perjalan dari Sekolah Dasar yang tak begitu jauh dari rumah kami.Iya, aku harus banting stir untuk menambal kebutuhan sehari-hari dengan menjadi seorang guru honorer. Sebenarnya gelarku bukanlah Sarjana Pendidikan. Tapi, mau bagaimana lagi."Assalamualaikum," ucapku dari depan pintu.Biasanya ibu mertuaku selalu menyahut salam. Tapi kali ini tak ada balasan dari arah dalam.Mungkin dia tidur.Aku melepaskan sepatu semi kulit war
Malam telah menjelang. Aku hanya meringkuk di atas kasur. Mata pun sembab akibat meratapi nasib diri yang kini bagai orang terbuang.Keluarga yang telah aku tinggalkan, papa dan mama. Dua tahun silam, hingga saat ini aku tahu persis kalau mereka masih belum merestui pernikahan kami. Kini bagai hadir kembali di benakku.Maafkan anakmu yang hina ini, Pa, Ma."Kamu tidak makan?" tanya Mas Dimas mencoba membujuk. Tiba-tiba saja lelaki itu datang lalu duduk di bibir ranjang.Aku tak menghiraukan ucapannya. Bujukan itu hanya basa-basi busuk bagiku. Hati ini sudah terlanjur luka oleh sikapnya tadi siang."Rindu! Kamu tak menyahut pertanyaanku?!"Lengan Mas Dimas perlahan meraih bahuku. Dengan sedikit tenaga, lelaki itu mencoba untuk membalik tubuhku yang sedari tadi masih berbaring membelakanginya."Rindu! Kamu masih punya mulut kan?"Kali ini, ucapan Mas Dimas memaksaku berbalik. Aku memberanikan diri menatapnya."Aku
Walaupun hari ini libur, aku tetap saja sibuk. Setelah mandi dan mengenakan daster, aku melakukan rutinitas seperti biasa. Cuci piring, bikin sarapan untuk ibu mertua dan suami, nyapu, ngepel dan bersih-bersih rumah.Aku melirik jam dinding yang ada di ruang tamu. Sudah pukul tujuh lewat namun Mas Dimas belum juga pulang. Aku semakin gelisah dibuatnya. Hati diselimuti berjuta tanya, kemana gerangan suamiku itu?Aku duduk di atas kursi ruang tamu. Kuraihremotetelevisi yang tergeletak di atas meja. Seperti biasa, aku akan menghabiskan pagi minggu dengan menonton berita gosipselebritytanah air.Ya, aku sangat senang mendengar berita seputar pesohor dunia keartisan. Apalagi tentang gosip kawin cerai dengan usia pernikahan yang masih seumur jagung. Gemes rasanya.Tiba-tiba ibu mertuaku keluar dari pintu kamarnya. Sepertinya dia baru saja bangun dan pasti perutnya kosong. Kalau saja sarapan belum ada, singa betina itu a
Aku membuka mata, memberanikan diri menatap wajah Mas Dimas. Sorotan tajam mata lelaki itu kembali ditujukannya padaku.Aku mengalah, lalu membuang tatapan. Tak ingin rasanya berlama-lama berada dalam kamar bersama suami yang sedang terbakar emosi. Perlahan aku bergegas menuruni kasur."Mau kemana kamu?!" Mas Dimas mencegah langkahku yang baru saja hendak meninggalkan kamar."Aku mau keluar, Mas.""Tunggu!" Tangan lelaki itu mendorong bagian bahuku. Tentu saja dengan tenaga kuatnya aku terpental satu langkah ke belakang.Aku menghela nafas dalam. Mencoba mengatur irama jantung yang sedari tadi berdegup tak berirama.Aku memperkuat mentalku. "Cukup, Mas! Aku ini istrimu. Jangan seenaknya memperlakukanku dengan sikap kasarmu itu.""Oh! Jadi kamu sudah berani melawan suami? Ha!"Hentakan suara di ujung kalimat yang diucapkan Mas Dimas, mencoba untuk menghancurkan pertahananku. Tapi aku tahu kalau saat itu dia hanya menggertak.
Aku terhenyak mendengar perkataan Indah. Entah ini kebetulan nama yang sama dengan orang yang berbeda. Atau bahkan benar, kalau mama Indah itu adalah orang yang sedang dalam penyelidikanku saat ini.“Kok, Bu Rindu diam?” tanya murid cantikku itu polos.“Nggak apa-apa, Nak, Ibu hanya terpesona mendengar ceritamu tadi. Bagus banget.”Indah hanya tersenyum mendengar pujian dariku.Bel istirahat telah berbunyi, aku bergegas kembali ke ruang guru. Sesampainya di sana, nampak ruang itu hening karena memang guru-guru lain biasanya sudah di kantin.Ketika hendak duduk di kursi, mataku membentur sebuah kotak yang telah dibungkus rapi dengan kertas kado.Aku penasaran kotak itu berisi apa, dan siapa yang meletakkannya di atas mejaku. Sekali lagi aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, namun benar-benar tak kudapati seorangpun.Hadiah untuk Rindu.Tulisan secarik kertas yang menempel pada kado itu berhasil
Setelah mencium punggung tanganku dan Pak Arif. Indah lalu membuka pintu mobil dan keluar menghampiri mamanya.Pak Arif menurunkan kaca mobilnya, lalu ia menyapa Lina. “Mbak, kami tinggal dulu ya.”“Makasih ya, Rif,” balas wanita itu singkat. Pak Arif hanya memberikan senyuman pada wanita itu.Sementara aku hanya membeku duduk di sebelah. Sengaja aku tak ingin melihat wanita itu lebih lama lagi, karena takut emosi besar ini nanti meluap.Mobil perlahan menjauh meninggalkan Indah bersama mamanya.“Sepatunya sudah dicoba, Bu?” tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil.“Sudah, Pak. Pas banget di kakiku.”“Bu Rindu suka sepatunya?” Lelaki itu menatapku penuh arti.Aku mulai canggung berada dalam posisi itu. “Itu sepatu impian saya, Pak.”Dia mengembangkan senyum manis di bibirnya. Aku mulai curiga, jangan-jangan hadiah itu dari Pak Arif.“Pa