Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.
Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.
Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.
Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarnya; begitu berbaring di ranjang, kantuk Venus tiba-tiba menghilang.
Anak itu semakin uring-uringan saat siaran berita pagi sudah membahas tentang Venus dan segala yang membuatnya berbahaya. Makin hari semakin buruk saja citra Venus di mata Dasina.
Semakin buruk … menurut Venus itu bagus. Itu artinya ia benar-benar ditakuti sehingga memudahkan apa pun yang ingin dilakukan Venus di masa depan.
Masalahnya adalah: Ildara tak kunjung kembali. Venus hampir-hampir berniat akan membunuh Ildara kalau wanita itu masih saja entah di mana.
Bagaimana pun, Ildara punya cukup keberuntungan.
Pada pukul enam pagi, perut Venus terasa perih karena lapar. Ia hanya menggoreng telur dan memakannya dengan secentong nasi sisa kemarin di pemanas nasi.
(Mustaka?) Venus mencoba untuk yang ketiga kalinya. Namun sekali lagi masih tak ada jawaban.
Baru beberapa suap, tiba-tiba terdengar pintu dibuka di lantai bawah. Venus tercenung sejenak. Tergesa-gesa ia turun ke lantai bawah.
Venus berhenti mendadak di tengah-tengah tangga saat matanya menatap Ildara yang sudah berada di ruang tamu bersama seseorang berjubah gelap.
Ildara mendongak. “Halo, Venus! Seperti yang kau bilang: dua minggu. Tepat hari ini. Kuharap aku tidak salah dengar waktu itu.”
“Tidak. Kau tidak salah dengar,” gumam Venus.
Gadis itu menuruni tangga lebih cepat; matanya terus memancang ke sosok berjubah di samping Ildara. Orang itu memakai tudung jubah yang besar dan menunduk, sehingga Venus tak bisa melihat wajahnya.
Semakin dekat langkah Venus dengan kedua orang itu, semakin menusuk bau busuk di hidungnya. Venus mengernyit. Ia berhenti di jarak satu meter dari mereka.
“Kalian membawa apa?” tanya Venus curiga. “Kenapa ba—”
“Sstt!” Ildara menempelkan satu jari telunjuknya ke bibir.
Venus semakin tidak mengerti.
“Hei, kau siapa?” Venus balik bertanya pada sosok berjubah. Sepertinya bau busuk itu berasal dari tubuh orang itu.
Sosok itu menyahut dengan suara seperti harimau yang menggeram. Ia mengangkat kepala.
Venus tersurut mundur. Perutnya bergejolak. Venus tiba-tiba bersyukur ia belum menghabiskan sarapannya di atas.
Sosok itu seperti manusia, tapi penampakannya … Venus meneguk salivanya yang terasa aneh. Wajah sosok itu benar-benar mencerminkan kekacauan dan kebusukan.
Belatung kecil-kecil menghiasi wajahnya yang sangat rusak dan lembek, bagaikan daging busuk yang dibiarkan begitu saja. Namun, kebusukan itu tampak sangat segar. Seakan-akan wajah itu tak pernah kehabisan daging busuk meski ratusan belatung hidup di sana.
Venus menelan ludah lagi. Ia nyaris tak bisa mengalihkan pandang dari mata makhluk itu yang dipenuhi belatung-belatung kecil nan menjijikkan.
Venus memejamkan mata. Ia memutar badan ke belakang dengan satu tangan berkacak di pinggang. Tangan yang lain memijat keningnya yang tiba-tiba pening.
“Kau baik-baik saja?” Venus mendengar Ildara berkata.
Venus menarik napas menggunakan mulut, mencoba sebisanya untuk tidak mengambil oksigen menggunakan hidung sebentar saja.
Ia memutar badan lagi, kali ini langsung menatap mata Ildara.
“Apa sebenarnya—” tanpa bisa dicegah, mata Venus melirik lagi manusia busuk itu yang kini sudah menunduk kembali. Serta merta Venus memandang lantai di bawahnya. Namun tak ada indikasi adanya belatung yang terjatuh di sana.
Perut Venus memberontak lagi. Ia mencengkeramnya kuat-kuat. Matanya memelototi Ildara.
“Kuharap dia berguna, Ildara,” gertak Venus di antara giginya yang mengatup rapat.
Ildara mengangkat tangan dan bahunya. Ia duduk di sebuah sofa, sedangkan manusia busuk itu tetap di sana. Hanya tubuhnya saja yang berputar hingga menghadap ke arah Ildara.
Venus nyaris berlari menyusul Ildara. Ia duduk di kursi yang paling jauh jaraknya dari makhluk busuk itu.
“Dia sangat berguna,” ucap Ildara seraya menyilangkan kakinya. Ia sama sekali tak tampak jijik dengan bau busuk yang menguar dari tubuh makhluk itu. “Kaisar yang merekomendasikan langsung kepadaku. Amerta bahkan belum pernah mendapatkan sekutu dari makhluk ini.”
Venus membersut. Ia mencoba bernapas menggunakan hidung, tapi bau busuk itu masih saja ada.
“Tak bisakah makhluk itu keluar dulu?” tanya Venus gusar.
Ildara menyeringai. “Begitu ia melihatmu, kepatuhan makhluk itu berpindah padamu. Dia pemimpin para vingsai, kalau-kalau kau bertanya.”
Venus mendengus seraya mengerling makhluk itu lagi. “Yang membawaku pada satu pertanyaan lain, Ildara. Vingsai itu apa? Bagaimana bisa kepatuhannya berpindah padaku?”
“Siapa lagi kalau bukan karena Kaisar?” Ildara terkekeh geli saat Venus mengerjap-ngerjap seakan baru ingat. “Vingsai—seperti yang satu itu—” Ildara mengedikkan dagu ke arah manusia busuk tadi, “—adalah manusia mati yang dulunya jahat dan tercipta kembali oleh amarah-amarah yang terkumpul di Bumi Pertama.”
Venus mengerutkan keningnya. “Apa hubungannya dengan Bumi Pertama?”
Ildara mencondongkan tubuhnya ke depan. “Setiap dimensi di Bumi selalu berhubungan, Venus. Kau pikir dari mana asal roh-roh yang ada di Bumi Pertama? Atau makhluk-makhluk yang disebut banaspati itu? Manusia volt mungkin berasal dari Bumi Pertama, tapi tidak dengan semua makhluk-makhluk gaib di dalamnya.”
Venus menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. Penjelasan itu terkesan terlalu singkat baginya. Ia melirik si vingsai dengan ragu.
“Ia punya kekuatan teleportasi,” jelas Ildara lebih lanjut. “Dia yang membawaku ke sini. Kalau tidak, kurasa aku baru akan sampai ke sini secepat-cepatnya besok.”
“Memangnya kau dari mana?” Venus bertanya ingin tahu. “Aku melihat berita-berita tentang makhluk-makhluk gelap yang mulai terlihat di sana-sini. Apa itu juga ….”
Ildara mengangguk. “Beberapa perwakilan mereka berkumpul di satu tempat. Sebaiknya kau cepat bersiap-siap. Kita harus segera berangkat ke sana. Mereka menunggumu.”
“Menunggu?” Venus membeo. “Berkumpul? Di mana?”
Ildara melambai asal-asalan. “Berapa kali aku harus berkata? Kaisar menunjukmu sebagai pemimpin baru mereka. Apa kau lupa siapa Kaisar sebenarnya?”
“Penguasa Empat Dimensi,” otomatis Venus menjawab. “Tapi tak pernah terpikir olehku bahwa ia juga pemimpin para iblis.”
Ildara tertawa rendah. Ia menyandarkan punggung di sofa yang didudukinya. “Seharusnya kau tidak berpikir begitu, sebab Kaisar Azafer adalah raja iblis itu sendiri. Giris Druiksa jadi wakil sekaligus rekan ‘kerjanya’. Dan kau … sekarang jadi anak kesayangan Kaisar.”
Venus mendengus lagi. Ia tak begitu memedulikan kalimat terakhir itu. Gadis itu berdiri untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
“Sekali lagi,” ujar Venus sebelum meninggalkan ruang tamu. “Ke mana kita akan pergi?”
“Ngarai Hiren. Letaknya di antara perbatasan kota Sembada dan kota Sentana.”
Rasanya percuma saja Venus bertanya, karena ia bahkan tidak tahu di mana itu.
Namun itu bukan masalah, ia membatin seraya menaiki anak-anak tangga menuju lantai atas. Vrosiden Argantra, kau boleh berbahagia. Sebab aku akan menemuimu tak lama lagi.
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti
Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven
“Dia benar-benar sedang keluar, kan?” Venus bergumam sendiri.Gadis itu tinggal di Koba, Bangka Tengah, di mana semua hal terasa begitu dekat jaraknya. Ia baru saja pulang dari sekolah, berganti pakaian, dan langsung menuju dapur. Hari ini acaranya cuma kerja bakti, dan para penjual di kantin memutuskan untuk libur berjamaah. Hanya ada satu, dan penjual keliling itu sama sekali tidak menyediakan makanan berat seperti nasi. Untung saja kerja bakti ini tak sampai tengah hari.Meski begitu, entah mengapa Venus berpendapat makan di rumah lebih baik, daripada makan di sebuah kedai dan membuang-buang uang saku. Selain itu, dia juga yakin bahwa ibu tirinya sedang keluar. Salah satu teman Venus mengaku melihat ibu tiri Venus menumpang mobil teman arisannya. Apapun itu, Venus tetap waswas. Ia memutuskan untuk menyerah saja, meski tidak terlalu yakin.Tentu saja, menyerah itu pertanda buruk.“Ah, Sayang. Apa yang kau lakukan?”Suara i
Selang beberapa menit kemudian, setelah acara makan sendiri yang semuram awan kelabu, Venus sudah berada di Pantai Tanjung, tak jauh dari tempatnya semula. Anak perempuan itu duduk di salah satu batang pohon yang sudah tumbang. Di sebelahnya tumbuh beberapa pohon yang ia tak tahu persis apa namanya. Semilir angin membawa serta aroma asin air laut, membuai pikiran siapa saja yang menghirupnya. Samar-samar tercium bau amis dari air laut di bibir pantai yang berwarna kecokelatan itu.Venus menoleh dan melihat beberapa orang sedang berlutut di tepi pantai agak jauh darinya. Tiga anak kecil tampak berkejar-kejaran. Tawa gembira mereka terbawa serta oleh angin, bahkan ketika mereka menceburkan diri ke air yang agak keruh itu. Mereka yang berlutut tampaknya sedang mengorek-orek pasir, dan sesekali memasukkan sesuatu ke dalam wadah berupa kantong plastik atau stoples. Venus menebak mereka sedang mencari remis. Salah satu dari mereka menoleh memandang Venus. Wanita itu sepertinya meny
Suara berisik tiba-tiba membangunkan Venus. Gadis itu bersusah-payah membuka matanya dan berkedip-kedip memandang jam dinding. Pukul delapan malam.Venus mengeluh dan merutuk dalam hati sambil memeluk kembali bantal gulingnya. Sedetik kemudian ia duduk terkaget saat pintu kamarnya digedor dari luar.“VENUS!”Venus mengeluh lagi. Itu suara ayahnya. Dalam dan besar.Gadis itu tersaruk-saruk menuju pintu untuk membukanya.“Apa-apaan kau ini?!” bentak sang ayah begitu melihat Venus.Venus mengucek mata sambil mencoba merapikan rambutnya menggunakan tangan. Gadis itu merengut sebal pada sosok tegap nan galak di depannya.“Yang apa-apaan itu Ayah,” gerutu Venus. “Kenapa, sih, membangunkan aku malam-malam begini?”“Rapikan dirimu, ganti baju dan sandalmu, lalu pergi ke kamar Ayah.”Ekspresi datar sang ayah mengganggu Venus. Apa ia akan dihukum karena sudah membentak Se
Venus tersentak bangun kala tubuhnya meluncur keluar dari sesuatu yang terasa seperti seluncur tabung. Atau setidaknya ia pikir begitu. Venus menginjak permukaan tanah dengan goyah, dan pasti akan tersungkur seandainya tak ada tangan-tangan yang menolongnya. Venus menatap tanah yang ia pijak dengan wajah semringah.“Wah, aku nggak jadi mati, nih!” cetus Venus senang sambil tersenyum lebar, menyederhanakan perasaan bahagia yang sebenarnya.Venus menatap lingkaran putih tempat ia keluar. Lingkaran bercahaya itu kini suram. Venus mendongak ke atas dan hanya mendapati kegelapan. Penglihatannya beralih pada dua orang yang menolongnya. Seorang pria dengan ekspresi galak dan seorang wanita berwajah ramah. Wanita itu tersenyum. Venus tak pernah melihat mereka sebelumnya.“Apa ini?” Venus bertanya ragu-ragu, “Teknologi baru yang bisa dipesan siapa saja atau bagaimana?”Si Pria Galak menyahut dengan agak dongkol, “Aku tak t
Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan pintu gerbang hitam yang terbuka. Pintu itu terlalu kecil jika dibandingkan temboknya, tetapi juga lebih besar dari pintu gerbang pada umumnya. Di depan pintu tersebut berdiri seorang cowok pendek dengan wajah seperti bayi.“Hei, mana Penjaga Portal yang seharusnya mengantarmu?” tanya Lan khawatir.Cowok itu menyusupkan tangan di saku celananya.“Temannya yang sedang menjaga portal agak kesulitan, jadi dia menyuruhku untuk menunggu di sini dan ikut penjaga lain jika ada yang lewat,” jelas si cowok dengan telinga agak memerah.“Dasar orang tak bertanggung jawab,” dengus Meres sebal, “bisa-bisanya main titip-titipan.”Lan memukul lengan Meres pelan.“Kadang kita juga melakukan hal yang sama, kan?” tegurnya sambil tertawa. “Misalnya, saat aku harus pergi ke toilet karena keadaan benar-benar mendesak?”Lan mengedipkan sebel
Venus pikir mereka juga akan diantarkan ke dalam bangunan itu setelah Meres membuka pintu. Namun, ternyata ada seseorang yang sudah menunggu di balik pintu untuk menyambut, atau lebih tepat, mencoba mengintimidasi mereka. Orang itu adalah seorang lelaki paruh baya berbadan besar dan kekar. Tatapannya begitu dingin dengan bibir yang senantiasa merengut. Di mata Venus, Meres bahkan tampak lebih ramah dibandingkan orang ini.“Sudah selesai?” Pria itu bertanya pada Meres dengan suara berat.Meres cuma mengangguk, lalu ia keluar bersama Lan tanpa berkata apapun. Dan, dengan berani Venus mengganggu pria seram berpakaian serba putih di depannya itu. Tentu saja dengan perasaan agak keder.“Siapa Anda?” Suara Venus terdengar kecil, tapi ia tak peduli.Lelaki itu memandangnya, seketika menguarkan hawa dingin yang menakutkan. Gawat, Venus bakal ditelannya bulat-bulat!“Rokuga.”Venus membuang napas lega tanpa kentara