Home / Fantasi / Cucu Kegelapan / Teman-teman Baru

Share

Teman-teman Baru

last update Huling Na-update: 2021-09-03 13:52:22

Venus pikir mereka juga akan diantarkan ke dalam bangunan itu setelah Meres membuka pintu. Namun, ternyata ada seseorang yang sudah menunggu di balik pintu untuk menyambut, atau lebih tepat, mencoba mengintimidasi mereka. Orang itu adalah seorang lelaki paruh baya berbadan besar dan kekar. Tatapannya begitu dingin dengan bibir yang senantiasa merengut. Di mata Venus, Meres bahkan tampak lebih ramah dibandingkan orang ini.

“Sudah selesai?” Pria itu bertanya pada Meres dengan suara berat.

Meres cuma mengangguk, lalu ia keluar bersama Lan tanpa berkata apapun. Dan, dengan berani Venus mengganggu pria seram berpakaian serba putih di depannya itu. Tentu saja dengan perasaan agak keder.

“Siapa Anda?” Suara Venus terdengar kecil, tapi ia tak peduli.

Lelaki itu memandangnya, seketika menguarkan hawa dingin yang menakutkan. Gawat, Venus bakal ditelannya bulat-bulat!

“Rokuga.”

Venus membuang napas lega tanpa kentara.

“Ayo,” ucap Rokuga seraya berjalan pergi.

“Jadi, kita harus memanggilnya Rokuga saja tanpa embel-embel lain?” Venus berbisik pada si cowok bayi sambil mengikuti si pria seram, diam-diam berpikir betapa nama itu mengingatkannya pada negara Jepang.

“Dia itu seorang krona, jadi sopan sedikit,” tukas si cowok bayi. “Kalau-kalau kau tanya, krona itu semacam guru di sini.”

“Ah, kalau di duniaku seperti profesor, ya?” kata Venus sok tahu.

Si cowok bayi memandangnya bingung.

Si cowok bayi.

Aduh, Venus benar-benar harus menanyakan siapa namanya.

“Mungkin,” kata cowok itu ragu. “Aku tidak tahu apapun tentang duniamu, soalnya.”

Sialan. Lupakan saja soal nama itu.

Mereka melewati lorong agak panjang berlantai marmer hitam. Dinding batunya bersinar agak redup, cukup untuk menerangi jalan yang sedang mereka lewati.

“Itu semacam tumbuhan parasit bercahaya bernama biriam,” si cowok bayi tiba-tiba berbisik pada Venus.

“Memangnya aku tanya?” balas Venus jengkel. Wajah si cowok bayi memerah.

Di dunia Venus, maksudnya Bumi Pertama, juga ada tumbuhan (atau hewan?) semacam ini, meskipun sebutannya mungkin berbeda. Tentu saja Venus tidak mau menanyakan hal yang jelas-jelas sudah ia ketahui. Sudah jelas Venus bakal jadi salah satu remaja tanpa pengetahuan yang cukup di sini, jadi setidaknya ia jangan sampai kelihatan bodoh-bodoh amat. Meskipun pada dasarnya ia memang tidak begitu pintar.

Mungkin Venus memang kelewatan. Padahal niat cowok itu kelihatannya baik. Venus jadi tidak tega.

“Maaf,” gumam Venus, agak-agak tidak rela.

Cowok bayi itu tersenyum cerah, “Tidak apa-apa.”

Duh. Puing-puing tak berguna.

Beberapa detik kemudian mereka berhenti dan Venus terpana. Melihat wajah si cowok bayi yang ikut terkesan, Venus rasa dia juga bukannya serba tahu tentang segala hal di Volta Juana ini (kenapa, oh, kenapa, Venus selalu teringat dengan marijuana?!).

Mereka berdiri di sebuah aula megah yang juga berlantai marmer hitam. Pada atapnya tampak pemandangan langit siang, menyembunyikan fakta bahwa hari sebenarnya sudah malam. Si cowok bayi bilang langit-langit itu dicat dengan zat yang bisa bersinar (lagi-lagi sebuah kesia-siaan informasi). Tidak ada indikasi adanya lampu di sana, tetapi ruangan tetap saja tampak terang. Mungkin tersembunyi.

“Carilah tempat duduk,” suara es Pak Rokuga menyentak Venus. “Dan jangan membuat onar.”

Memangnya wajah mereka tampak seperti anak-anak badung?! Venus memberengut kesal.

“Eh, kita duduk di mana?” Si cowok bayi tiba-tiba bertanya.

Venus menatapnya, lalu mendengus satu kali.

“Di kursi yang masih kosong,” kata Venus datar.

Si cowok bayi cuma merengut.

Venus memandang ruangan besar itu. Ada banyak sekali meja dengan satu penyangga berbentuk tabung di bawah bundaran mejanya yang berkilat. Masing-masing meja dikelilingi lima sampai tujuh kursi kayu yang beralaskan bantal. Hampir semua kursi ditempati, dan setelah beberapa menit yang bodoh, mereka memutuskan untuk bergabung dengan dua cewek yang menempati meja di pojokan dengan tampang kalem. Sejujurnya, Venus-lah yang memutuskan, atau dalam kata lain, memaksa.

Kedua cewek tersebut tidak tampak menakutkan sama sekali, namun sikap anak-anak lain terlihat aneh. Seakan kedua cewek tadi sedang dihindari karena entah alasan apa, sebab Venus sempat melihat tatapan beberapa anak yang tampak agak takut, bahkan juga mungkin benci. Karena itulah, Venus jadi tertarik dan penasaran. Alasan itu sepertinya membuat si cowok bayi tampak sebal, namun Venus tidak peduli.

Tentu saja, Venus harus peduli.

Awalnya tak ada yang memperhatikan atau bahkan melirik Venus dan si cowok bayi, tetapi saat anak-anak lain sadar akan tujuan mereka, bisik-bisik mulai merambat menyebalkan. Wajah si cowok bayi merona merah muda, tetapi tampaknya hal itu malah membuat kepercayaan dirinya meningkat. Ia berjalan dengan tampang sombong sambil menyusupkan tangan ke saku celana, sementara Venus hanya memutar bola mata tak habis pikir.

Venus berjalan sembari membalas tatapan anak-anak yang kebanyakan berasal dari para senior itu. Ia melewati seorang cewek bertubuh kecil yang menatapnya dengan dahi berkerut khawatir. Seperti Venus akan mati saja.

Tiba-tiba, cewek tersebut mencekal lengan Venus dan berbisik dengan keras, “Mereka itu berbahaya! Lebih baik kau dan temanmu mencari tempat duduk yang lain!”

Venus memasang ekspresi sok kaget. Sayang sekali, dia salah fokus pada jerawat cewek itu.

“Masa? Kalau begitu, doakan keselamatan kami, ya?” Pandangan Venus beralih pada mulut kompor yang lain. “Nah, berhenti bergosip seakan kami bakal dibunuh alih-alih bergabung dengan kakak-kakak cantik itu! Kalian ini anak-anak baik, jadi jangan bersikap seperti orang bego!”

“Jangan membuat masalah, Anak Baru!” Si cewek berjerawat balas menggertak Venus dengan sorot mata yang berubah.

Venus menyentakkan tangan si Cewek Berjerawat, lalu menggandeng si cowok bayi. Venus menyeretnya sambil melotot pada siapapun yang masih menatap mereka secara terang-terangan.

“Jadi, siapa kakak-kakak kita yang dimusuhi ini?” Venus bertanya ringan seraya mengempaskan pantat, lupa sama sekali dengan nasibnya yang kini berada di dunia antah-berantah.

“Kau boleh juga, Dik,” kata cewek yang berada di samping Venus. Rambutnya dicat sewarna api dan dikucir kuda. Matanya yang lebar menyorot geli.

“Nggak ada yang boleh merusak kekepoan seorang Venus,” seringai Venus pongah.

Kekepoan?!” Si cowok bayi tiba-tiba menceletuk jengkel. “Gara-gara itulah kau baru saja mengundang ketidaksukaan orang pada kita!”

“Ah, sudahlah. Tidak apa-apa,” tukas Venus mengibas-ngibaskan tangan di depan hidung si cowok bayi, tiba-tiba saja meneladani cowok itu dengan mengubah kata “tidak”-nya yang tidak baku dengan lebih sopan. “Orang tidak boleh begitu saja berpikiran buruk! Bukan salahku kalau aku tidak terima dan jadi marah pada mereka. Lagipula, kau tadi terlihat menikmatinya. Jadi, buat apa jadi munafik?”

Wajah si cowok bayi kontan berubah merah.

Cewek yang satu lagi berdeham-deham. Rambutnya yang ikal berwarna coklat dan terurai. Sebenarnya ia manis, andaikan ekspresinya tak setegas itu.

“Kau membuatku terharu,” ujarnya tersenyum singkat. “Namun, benar apa kata temanmu. Kau tidak boleh bersikap sembarangan, bahkan jika nalurimu mengatakan demikian. Siapa yang tahu semisal kami memang sejahat itu?”

Venus menatapnya sebal.

“Sudahlah, Ris,” sela si cewek berambut merah. “Dia sudah berbaik hati mempercayai kita!”

Cewek itu balik memandang Venus dan si cowok bayi, lalu berkata, “Aku Lou, dan yang di sebelahku ini Ris. Dan tolong, panggil saja nama kami tanpa sebutan Kakak. Kalian?”

“Venus,” gadis itu menatap si cowok bayi, “tapi, aku belum tahu siapa namanya.”

“Sudah sejauh ini, dan kalian bahkan belum berkenalan?!” Lou tertawa geli. “Apa-apaan ini?”

Venus melemparkan cengiran pada si cowok bayi.

“Ah, kurasa Venus lupa berkenalan gara-gara terlalu fokus dengan dunia barunya,” ujar si cowok bayi sambil tersenyum maklum. “Ngomong-ngomong, aku Virzash.”

Venus mengangguk-angguk. Dipikir-pikir, tampang si cowok bayi bertubuh kecil ini ternyata lumayan juga (aduh, Venus tetap saja menyebutnya si cowok bayi!). Sejauh ini, Venus menyimpulkan Virzash selalu berusaha tampak keren, hanya saja dalam waktu yang bersamaan wajahnya menjadi merah padam. Seolah bersikap menjadi keren akan selalu membuatnya malu sekaligus juga bangga. Lihat, seperti anak kecil, bukan? Imut banget.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Cucu Kegelapan   Sekutu

    Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven

  • Cucu Kegelapan   Pertemuan

    Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti

  • Cucu Kegelapan   Rencana

    Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn

  • Cucu Kegelapan   Pembunuhan

    Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat

  • Cucu Kegelapan   Mereka Datang

    Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih

  • Cucu Kegelapan   Kemarahan

    “Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status