Share

Mendadak jadi Ibu
Mendadak jadi Ibu
Penulis: 𝓢𝓮𝓷𝓳𝓪 𝓜𝓮𝓻𝓪𝓱

Bab 1

Pagi yang cerah dirumah yang begitu mewah, memperlihatkan halaman luas dengan berbagai tanaman bermekaran didepannya.

"Sabrinaaaaaaa," teriak Syan dari balkon kamarnya. 

Sabrina Titian Saputra, anak angkat dari keluarga Taulin. Gadis periang yang begitu malang selalu ditindas oleh keluarganya.

Sedang yang berteriak adalah Syan, anak dari keluarga Taulin. Satu-satunya ahli waris keluarga.

Ia begitu membenci Sabrina, ia menganggap Sabrina selalu merebut apapun yang diinginkannya. 

Sabrina yang polos dan apa adanya selalu lebih menarik perhatian dari pada dirinya yang selalu tampil glamor juga seksi.

Keluarga Taulin terkenal dengan keangkuhannya, namun bisnis mereka mememang sukses dimana-mana. Max Taulin juga Carisa Melian merupakan pasangan pengusaha, mereka mengelola usaha masing-masing hingga sukses dalam bidangnya.

"Ada apa teriak-teriak," sahut Sabrina mendongakkan kepalanya. 

"Kesini loe! Baju gue mau kekampus nggak ada," teriaknya. 

Sabrina hanya bisa menghela nafasnya, ia bergegas menemui saudarinya itu agar tak dapat masalah nantinya. 

"Mau kemana kamu?" tanya Carisa ketus saat berpapasan dengan Sabrina.

"Mah, aku mau ke kamar kakak dulu. " 

"Sana-sana." 

Sabrina menaiki anak tangga dengan sedikit berlari, dan ketika ia memasuki kamar tiba-tiba saja Syan melemparkan tumpukan pakaian padanya.

"Astaga kak," kaget Sabrina.

"Loe beresin semuanya ya, terus loe cari baju bunga-bunga yang baru gue beli kemarin," perintahnya. 

"Kenapa harus bunga-bunga sih kak, kan bisa pakai yang lainnya?" ucapnya sambil memunguti pakain kakaknya. 

"Kalau gue bilang itu ya harus itu!"

"Yaudah gue cari dulu kalau gitu."

Sabrina mencari disemua almari namun tak menemukan baju yang kakaknya cari. Ia yang lelah memandangi Syan yang sedang merias diri didepan cerminnya.  

"Kak, nggak ada nih," serunya. 

"Yaudahlah, cariin gue baju yang bagus."

Sabrina mengambil satu mini dres diatas paha berwarna pastel. Namun saat memberikan pada Syan, ia justru dimakinya.

"Loe pikir gue apaan pakai baju ginian!! Loe mau bikin reputasi gue sebagai wanita tercantik dikampus hancur ya!!" bentaknya melemparkan baju itu tepat kewajah adiknya.

"Terus mau pakai yang mana kak?" sedihnya.

"Minggir loe!!" Mendorong Sabrina hingga hampir terjatuh. 

"Emang dasar nggak ada gunanya, ngapain dulu nyokap sama bokap mungut loe yang nggak guna ini," oceh Syan terus-terusan.

Sabrina hanya diam tak berekspresi, baginya hinaan itu adalah sarapan paginya setiap hari. Namun tak bisa dipungkiri jika ia juga merasa sakit hati tiap kali mendengarnya. 

"Yaudah kalau gitu gue keluar dulu ya kak."

"Keluar sana loe! Bikin mata gue sakit aja."

Sesampainya dikamar miliknya, Sabrina segera mengganti pakaian dan juga bersiap untuk pergi kekampus.  

Sikap keluarga Taulin memanglah sangat kejam kepada Sabrina, Max tak pernah menegur ataupun memarahi istri juga anaknya saat menindas Sabrina didepannya. Ia hanya diam seakan acuh dengan keadaan disekitarnya.  

"Kak, boleh nggak gue nebeng loe ke kampus?" tanya Sabrina berdiri disamping Syan yang sedang menyantap sarapannya. 

Carisa tiba-tiba saja berdiri dan menyiramkan jus jeruknya pada Sabrina. Ia berdiri menatap tajam Sabrina yang terkejut dengan sikapnya.

"Mah, kenapa menyiramku?" paniknya membersihkan bajunya yang basah oleh jus jeruk.

"Itu karena kamu berani mau satu mobil dengan anak saya! Kamu itu ya pantasnya jalan kaki saja." 

Sabrina tak lagi membalasnya, ia memundurkan langkah dan berbalik menuju kamarnya. Sabrina tak pernah menitikan air matanya saat menerima perlakuan buruk keluarganya. Terakhir kali ia menangis adalah saat ia kelas satu SMA, kala itu ia yang mendapat piala perlombaan dimaki bahkan pialanya dihancurkan oleh Carisa.

"Loe bisa, loe udah biasa diperlakukan kayak gini," serunya didepan cermin setelah mengganti pakaiannya.

Sesampainya dikampus, Syan yang sudah lebih dulu datang menunggu Sabrina. Bersama ketiga temannya, Syan menyusun rencana untuk mengerjai Sabrina. 

Dikampus tidak ada yang tahu jika Syan dan Sabrina adalah saudara. Nama marga mereka yang berbeda membuat tak satupun mencurigai keduanya, dan itu membuat Syan begitu lega.

"Tuh si lumut datang," seru salah seorang teman Syan. 

"Lumut datang nih, naik apa mut tadi?" ledek ketiga teman Syan. 

Syan hanya diam bersandar pada depan mobilnya, menatap mentertawakan Sabrina yang terus menerus dihina oleh teman-temannya. 

"Stop guys, nanti ada yang cabut dari kampus loh." 

"Lah cabut ya cabut aja lah Syan, toh si lumut bisa kuliah disini juga gara-gara beasiswa kan," hinanya.

"Iya juga sih, orang miskin mana mampu bayar uang gedung disini," tersenyum didepan wajah Sabrina.

"Cabut guys, sebelum kita kena sial karena anak sialan ini," lanjut Syan sebelum berlalu pergi bersama teman-temannya. 

"Sabar Sabrina," serunya pada diri sendiri.

**

Sore hari selesai dari kampus, Sabrina bergegas menuju cafe coffee tempatnya bekerja. Disana ia sebagai waiters penyaji kopi yang bekerja part time. Baginya ia bersyukur diterima kerja disana, sebab gajinya mampu untuk ia memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

"Sabrina, loe antar kopi ini kemeja depan no. 10 ya," ucap barista ditempat kerjanya.

"Siap kak," semangatnya. 

Namun siapa sangka jika ia akan bertemu dengan Max yang sedang melakukan sebuah meeting disana.

Hal yang tak didugapun terjadi, seorang anak kecil tanpa sengaja menyenggol Sabrina hingga kopi yang dibawanya terjatuh mengenai berkas-berkas penting milik Max. 

"Astaga," seru rekan bisnis Max yang terkejut.

"Maaf, maafkan saya," Sabrina yang ketakutan segera membersihkan meja tersebut.

Max diam dan berdiri dari bangkunya. Ia menatap tajam Sabrina yang juga sedang menatapnya penuh sesal. 

Plak.. 

Tamparan keras mengenai pipi Sabrina hingga meninggalkan bekas merah juga luka dibibirnya. Semua orang tekejut melihat Max yang menampar seorang waiters disana.

"Pak Max, " seru rekan bisnis Max.

"Dimana matamu saat bekerja! Kau tau berkas apa yang kau hancurkan hari ini!" bentaknya pada Sabrina yang tertunduk penuh sesal.

"Ma maaf tuan," cicitnya.

"Maaf tidak akan bisa mengganti kerja keras saya dalam berkas yang kau hancurkan! Dasar bodoh!" Didorongnya tubuh Sabrina hingga terjatuh ketanah dengan kerasnya. 

"Ada apa ini ?" tanya manager yang tiba-tiba datang.

Seorang manager cafe keluar setelah mendapat laporan mengenai keribuatan. Ia tak ingin membela karyawannya yang salah, namun ia juga tak bisa menghakimi tanpa tau persoalannya.

"Maaf pak, tadi anak saya nggak sengaja menabrak karyawan bapak," sesal ibu dari anak yang sudah menabrak tubuh Sabrina.

"Bisa didengar sendiri, bukan karyawan saya yang lalai pada kejadian ini. Dan anda tidak seharusnya berlaku kasar pada karyawan saya," tegas manager pada Max didepannya.

Sabrina hanya diam ketakutan menundukkan kepalanya. Ia sangat ketakutan setiap kali melihat kemarahan dari Max si papa tirinya. 

"Sebaiknya kita pergi saja pak, " ajak rekan bisnis Max.

Max tak menyahutinya, tapi ia segera membereskan semua barangnya dan pergi meninggalkan cafe tanpa sepatah kata. 

"Pergilah kebelakang, obati dulu lukanya," seru manager.

"Makasih pak." 

Namun Sabrina yang tau betul dengan papanya itu merasa tak tenang. Ia segera meminta ijin pada manager untuk pulang terlebih dahulu. 

Setelah menerima ijin manager, Sabrina bergegas pulang kerumahnya. 

Namun sesampainya dirumah ia malah mendapat sebuah kejutan tak terduga. Carisa juga Syan dengan teganya menyiram Sabrina dengan air tepat didepan pintu masuk.

Tak hanya itu, mereka juga menarik paksa Sabrina dan melemparnya hingga bersimpuh dibawah dikaki Max. 

"Ambilkan cambuk papa," seru Max.

"Nggak pah, ampun pah. Maafin Sabrina pah," mohonnya dengan penuh ketakutan.

"Cepat!!" teriak Max saat Carisa tak kunjung kembali.

"Ini pah cambuknya." 

"Menyingkir kalian." 

"Pah, ampun. Jangan pah." 

Max dengan brutalnya mencambuk Sabrina walaupun Sabrina terus memohon ampun juga meraung kesakitan. Hanya ada sorot mata kemarahan pada diri Max saat ini, bahkan Carisa juga Syan pun tak berani bertindak. 

"Syan, kemasi semua barang-barang anak sial ini!" perintahnya setelah membuang cambuknya kesembarang arah. 

"Nggak pah, tolong jangan usir aku," pintanya memeluk kedua kaki papanya. 

"Lepas!" Menendang tubuh Sabrina menjauh. 

Syan datang membawa koper berisikan semua pakaian milik Sabrina. Namun Max bertindak lain, ia pergi mengambil sebuah gunting dan merusak semua pakaian milik Sabrina tepat dihadapannya. 

"Papa cukup pa, pakaian ku," serunya dalam tangis.

Setelah merusaknya, Max menarik paksa Sabrina keluar dari dalam rumah. Malam yang dingin membuat Sabrina terus memohon juga meminta pengampunan, namun hati nurani Max sudah mati nampaknya.

Sabrina keluar hanya membawa jaket yang sempat ia selamatkan dari amukan Max, sebab malam yang semakin larut membuat udara dingin semakin menusuk disekujur tulangnya.

"Kemana aku harus pergi, aku nggak punya siapa-siapa," tangisnya berjalan mengikuti langkah kakinya.

Sabrina berhenti dan duduk disebuah bangku taman, ia terdiam sambil menangis meratapi nasib hidupnya.

"Apa salahku hingga harus hidup seperti ini. Apa aku begitu tak pantas hidup?" tangisnya.

Tiba-tiba datanglah seorang anak kecil menyentuh tangannya dan menatapnya dengan teduh. 

"Are you oke mama?" tanya anak tersebut.

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
sedih..jadi nak angkat..sabrina diusir
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
babajajakaksjsjzjnsnsnsbs
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus banget ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status