Pagi harinya Darma terbangun lebih dulu, ia keluar dari kamar hendak melangkah menuju dapur.
Namun tanpa sengaja ia berpapasan dengan pelayan yang sedang membersihkan rumahnya.
"Permisi tuan," panggil pelayannya.
"Iya, ada apa," menghentikan langkahnya tepat didepan pelayan tersebut.
"Maaf tuan, tadi saat saya bersih-bersih nggak sengaja menemukan amplop ini didepan ruangan kerja tuan," memberikan sebuah amplop berwarna coklat yang tadi ia temukan.
"Terima kasih ya bik," ucap tulus Darma kepada pelayannya. Namun setelah itu ia mengurungkan niatnya untuk pergi ke dapur dan segera menuju ruang kerjanya.
Duduk dikursi kerja, Darma terus membolak-balik amplop coklat yang ada ditangannya.
"Kampus pelangi," gumamnya saat melihat ada logo sebuah kampus yang tertera disudut amplop.
Darma membuka laptopnya dan mencari tahu tetang kampus pelangi.
"Ternyata kampus terbaik juga di kota ini, kenapa aku baru tahu ya."
"Apa ini punya Sabrina ya," seruny bertanya-tanya.
Darma yang tak bisa merasa penasaran segera menghubungi anak buahnya. Ia meminya semua informasi tentang Sabrina, ia bahkan memberikan batas waktu hingga jam makan siang.
"Cari semua informasi sekecil apapun itu," seru Darma dari sambungan telponnya.
"Baik tuan."
"Cari juga informasi mengenai kampus pelangi, saya juga ingin melihat semua donatur didalam kampus tersebut."
"Segera saya kerjakan tuan."
"Saya mau sebelum jam makan siang berakhir, semua laporan tentang keduanya sudah ada dimeja saya."
"Baik tuan."
Darma mematikan sambungan telponnya, bersandar pada kursi ia mecoba menebak-nebak siapa sebenarnya Sabrina itu.
"Siapa ya dia, nggak mungkin kalau hanya orang bisa. Pasti ada sesuatu," curiga Darma.
Tak lama Bulan datang menghampirinya, ditariknya tangan Darma berjalan mengikutinga kembali kedalam kamar.
**
Syan terbangun dari tidurnya, silaunya sinar mentari mulai masuk menusuk indra pengelihatannya dan terpaksa membuatnya terbangun dari indah mimpi-mimpinya.
"Akhh," pekiknya kesakitan saat menggerakan badan bagian bawahnya.
Syan yang terkejut segera membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Dan betapa ia terkejut saat melihat dirinya terbangun tanpa sehelai benangpun ditubuhnya.
Belum lagi ia syok saat ada bercak darah diatas sprei ranjangnya.
"Nggak, nggak mungkin ini," gugupnya penuh ketakutan.
Sabrina mencoba mengingat kembali tentang apa yang terjadi dengan dirinya semalam. Namun ia hanya mengingat saat pulang bersama dengan seorang laki-laki, tapi ia lupa siapa dia.
Ditatapnya laki-laki yang kini tengah tertidur pulas disebelahnya. Syan yang murka segera mengambil bantal dan memukulinya secara brutal.
"Woi, stop. Gue bisa mati," teriak Aldo yang mendapat serangan dari Syan.
"Mati aja loe, dasar sampah! Berani sekali meniduriku!"
"Kebalik tau, loe tuh yang semalam memperkosa gue," belanya pada dirinya sendiri.
"Gue nggak percaya, loe pasti berbohong," serunya menggila.
"Gila loe, stop nggak!"
"Nggak akan," jawab Syan murka.
Aldo yang sudah tak tahan segera menangkis serangan dari Syan, namun tenaganya yang cukup besar malah membuat Syan terdorong hingga jatuh terbungkur dilantai.
"Loe," geram Syan menunjuk Aldo dengan telunjuknya.
Keduanya terus saja bertengkar saat jam sudah menunjukkan pukul 12 siang.
Dan didalam ruangannya, Darma nampak termenung memikirkan tentang seorang Sabrina.
Tok.. tok..
Seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya. Setelah mendapat persetujuan dari Darma, semua orang masuk.
"Ini hasil kami tuan," menyerahkan sebuah amplop coklat.
"Nggak mungkin," seru Darma terkejut.
chapter I Semua siap dan semua telah lengkap. Penghulu menjabat tangan Ardan, dengan sekali nafas Ardan kini telah resmi menyunting Tian sebagai istrinya. Sah.. Sah.. Sah.. Seru semua orang dengan gembira, tangis pecah melihat keduanya telah resmi menikah. Tak banyak memang undangannya, namun itu adalah semua orang yang ada dipihak Tian kedepannya. Semua kolega Prambu yang setia siap berdisi di belakang Tian dan memperjuangkan hak miliknya. Acara pasang cincin usai, kini Tian mengambil tangan Ardan dan menciumnya. Hatinya berdesir merasakan bibir Tian melekat dikulitnya secara langsung, hatinya menghangat begitu. Tanpa di duga Ardan juga menggerakkan tangannya, meletakkan tangannya tepat di kepala Tian saat istrinya itu mencium punggung tangannya. Kini berganti Ardan yang mencium kening istrinya, cukup lama kala bibir itu mengecup langsung kulit istrinya. "Gadis yang selama ini sudah kuanggap sebagai adikku kini sudah resmi ku nikahi," batin Ardan. chapter II Tanpa menjawab
Matius terkejut dengan penolakan dari Selly, ia tak menyangka jika rasa marahnya begitu besar melebihi rasa rindunya. Matius tahu apa kesalahannya, ia juga menerima semua yang Selly lakukan padanya.Matius hanya ingin hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, hidup normal seperti orang pada umumnya. Namun sebelum itu ia harus menebus semua kesalahannya, ia harus menyelesaikan semua masa lalunya yang begitu kelam itu."Maaf," lirih Matius mencoba meraih tangan Selly di depannya.Selly murka, ia melampiaskan semua kemarahannya saat ini juga. Ia mengamuk, memukul Matius bahkan juga menghancurkan semua barang yang ada di ruangan tersebut."Bodoh kamu, kamu pergi dari sini. Pergi temui istrimu itu, jangan pernah muncul lagi di depanku!" teriaknya dengan begitu kencang."Tolong dengerin dulu, sebentar saja." mohonnya.Selly terus mengamuk, mengabaikan semua ucapan Matius yang ingin berbicara dengannya. Hingga Matius begitu geram d
Matahari hari ini bersinar dengan begitu teriknya, Sabrina yang awalnya ingin berkeliling dengan si kembar ke taman pada akhirnya mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih bersantai di dalam rumah sembari menikmati buah-buahan yang Bulan sediakan."Anak cantik mama lagi apa ini, kenapa jarinya di emut-emut gitu?" tanyanya dengan begitu gemas."Aduh, ini si ganteng malah kakinya yang di emut-emut." menepuk keningnya dengan seulas senyumannya.Hari ini semua orang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, para laki-laki sibuk bekerja sedang Bulan sedang menemani Lena mengatur acara pernikahan anak-anaknya. Sedang Ica hari ini meminta ijin untuk kembali ke Jogja, awalnya Marshel melarangnya dengan berbagai alasannya namun Ica yang keras kepala pada akhirnya memenangkan pertempuran itu.Ica sedang ada di dalam kendaraannya menuju rumahnya, ia di jemput dengan anak buahnya yang selalu setia mengawalnya kemanapun perginya. Namun tiba-tiba Ica mengubah tujuan
Stevan segera mendapat penanganan dari dokter, wajahnya yang semakin pucat membuat Sabrina juga Nio menjadi semakin pucat. Sedang Stevi terlihat dengan pulas tertidur dalam gendongan sang papa."Gimana ini hubby, kenapa dokter lama banget di dalam?""Sabar, kita tunggu aja di sini."Dan tak lama dokter keluar. Sabrina segera saja memberondong dokter tersebut dengan berbagai pertanyaannya, hingga tanpa sadar dokter tersebut menyunggingkan senyum manisnya."Dokter lagi godain istri saya ya?" ketus Nio melihat dokter laki-laki itu tersenyum menatap istrinya."Oh maafkan saya pak, bukan maksud saya ingin menggoda istri anda. Namun saya hanya tersenyum ketika tahu ternyata saya sedang berhadapan dengan ibu baru," jelasnya dengan begitu ramah.Plakk,"Hubby apaan sih, bisa-bisanya cemburu saat kayak gini," kesalnya."Lalu gimana anak saya dok?""Gpp, hanya demam karena perubahan cuaca saja. Hari ini juga bisa langsung di
Mata Ica terbuka dengan tiba-tiba, posisi yang begitu kurang nyaman bagi keduanya saat ini. Wajah Marshel begitu dekat dengan wajah Ica, sangat dekat hingga Ica dapat merasakan deru nafas Marshel yang menerpa wajahnya."Ehm, udah bangun ya." canggungnya membuka suara."Iya. Ini kayaknya terlalu dekat deh kita," sahut Ica dengan wajah memerahnya menahan malu.Dengan cepat Marshel menegakkan tubuhnya, berdiri membuang muka ke sembarang arah. Sedang Ica kini juga bangkit membenarkan posisinya, wajahnya sudah sangat merah seperti udang rebus."Loe ngapain di sini?" tanya Ica menutupi rasa canggungnya."Heh, aku kamu. Kenapa jadi loe gue lagi sih," omel Marshel."Iya, iya. Kamu kenapa di sini? Bukannya tadi lagi kerja ya?""Pulang, di suruh sama bunda. Kamu kenapa, tidur sambil nangis?"Ica belum siap membuka kembali lukanya, ia masih tertutup rapat bahkan tak pernah membukanya. Kini ia hanya ingin hidup seperti pada normalnya
Hari ini semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara pertunangan Ica dengan Marshel, semua nampak antusias menjelang acara bahagia tersebut. Sabrina yang tak bisa bergerak leluasa bertugas merangkai bunga bersama kedua buah hatinya, sedang yang lainnya mengawasi petugas dekornya."Sebelah sini ya mas, tolong agak di penuhi lagi jadi biar nggak lubang." seru Bulan."Sebelah sini aja mas bagus, iya itu nanti taruh di sana aja biar bisa buat duduk." sibuk Lena mengarahkan orang-orang.Semua nampak begitu sibuk, sedang Ica sedang berada di kamarnya menikmati spa yang di sediakan Sabrina khusus untuk dirinya. Tak ada para lelaki yang menemani, hanya ada para wanita tangguh sebab laki-laki sedang bertugas mencari nafkahnya."Bun, ini taruh di mana ya?""Wah bagus banget sayang kamu ngerangkai bunganya," takjubnya dengan hasil rangkaian sang putri."Bisa aja, udah ini taruh mana? Berat tau," keluhnya."Sini, biar bunda aja yang bawa ya. Kam