Duduk berdua didalam kamar, Sabrina berhadapan langsung dengan mata Sasa yang terus menatap tajam dirinya.
Glekk,
Sabrina dengan susah payah menelan salivanya, entah darimana ia akan menjelaskan permasalahan tentang adik untuk bocah kecil didepannya itu.
"Ayo mah buat adek," seru Sasa tak sabar.
"Sayang, buat adek itu gak gampang loh."
"Susah ya mah. Apa perlu pakai tepung?" polosnya berbicara, mengundang tawa Sabrina yang tertahan.
"Ehm, iya pakai tepung tapi kan kita belum beli tepungnya kan?" jawabnya.
"Gitu ya ma, nanti kita beli tepung ya mama. Sasa udah gak sabar mau bikin adek," ajaknya penuh semangat, membuat Sabrina pusing untuk menjelaskan.
"Bukan cuma butuh tepung aja sayang, tapi juga butuh telur."
"Kan nanti kita beli telur sekalian aja ma."
"Gak bisa, telurnya ini spesial. Cuma papanya Sasa aja yang punya," Sabrina segera menutup mulutnya saat tak sengaja berbicara hal aneh didepan Sasa.
"Begok banget, kenapa harus bawa-bawa telur papanya Sasa," batinnya merutuki kebodohannya.
"Telur? Tapi kan papa bukan ayam ma, jadi gak punya telur."
"Hehe, iya juga ya sayang. Papa Sasa kan manusia bukan ayam," salah tingkahnya.
Tanpa keduanya sadari, Darma juga Bulan sedari tadi berada didepan pintu kamar mendengarkan percakapan mereka.
Darma tak bisa menahan tawanya saat mendengar Sabrina yang mengatakan tentang telur milik anaknya. Ingin rasanya ia masuk dan mentertawakan kebodohan Sabrina tersebut.
"Pah, diam nanti kita ketawan," tegur Bulan saat suaminya terus saja tertawa.
"Aduh maaf mah, susah nahannya."
Bulan memukul perlahan lengan suaminya agar berhenti tertawa, namun Darma masih saja cekikikan dibelakangnya.
Bulan yang tak ingin ketawan tengah menguping didepan pintu segera menarik suaminya kembali ke dalam kamarnya. Dengan kesal ia mendorong Darma hingga terduduk diatas ranjang.
**
"Kenapa sih mah, kok bete gitu."
Bulan berdiri didepan kaca kamarnya sambil menatap kesal suaminya itu. Tak habis fikir dia kenapa bisa suaminya begitu menyebalkan, jauh dari image nya diluar sana.
"Pakai nanya lagi, kalau kita ketahuan tadi gimana sama Sabrina? Kan malu kita," seru Bulan kesal.
Namun bukannya merasa bersalah pada istrinya, Darma malah terus tertawa mengingat ucapan yang diucapakan Sabrina kepada Sasa tentang pembuatan adiknya.
"Tuh anak lucu banget ya mah, papa sampai sakit perut dibuatnya," Darma masih saja tertawa saat kembali mengingat ucapan Sabrina kepada Sasa cucunya.
"Pah, " seru Bulan duduk didekat Darma.
"Apa ma, apa?"
"Gimana menurut papa kalau kita jadiin Sabrina mama aslinya Sasa," tanya Bulan.
"Maksud mama," tanya Darma sedikit bingung.
"Anak nakal kita itu kan udah lama menduda pah, sudah waktunya juga dia punya pendamping lagi."
"Maksudnya mama mau jodohin Sabrina sama dia," tebak Darma.
"Betul sekali," senang Bulan saat suaminya cepat tanggap.
"Papa akan selidiki dulu latar belakang Sabrina mah, papa nggak mau juga ada masalah dikemudian hari," waspada Darma yang tak ingin kecolongan untuk kedua kalinya.
"Mama setuju pah, tapi gimana nanti cara mendekatkan mereka berdua ya?"
"Mama pokoknya tenang aja, kalau latar belakang Sabrina aman papa sudah punya rencana untuk mereka berdua."
"Apa pah," tanyanya penasaran.
"Nanti mama juga bakal tahu kok," teka-tekinya, membuat Bulan kesal jadinya.
chapter I Semua siap dan semua telah lengkap. Penghulu menjabat tangan Ardan, dengan sekali nafas Ardan kini telah resmi menyunting Tian sebagai istrinya. Sah.. Sah.. Sah.. Seru semua orang dengan gembira, tangis pecah melihat keduanya telah resmi menikah. Tak banyak memang undangannya, namun itu adalah semua orang yang ada dipihak Tian kedepannya. Semua kolega Prambu yang setia siap berdisi di belakang Tian dan memperjuangkan hak miliknya. Acara pasang cincin usai, kini Tian mengambil tangan Ardan dan menciumnya. Hatinya berdesir merasakan bibir Tian melekat dikulitnya secara langsung, hatinya menghangat begitu. Tanpa di duga Ardan juga menggerakkan tangannya, meletakkan tangannya tepat di kepala Tian saat istrinya itu mencium punggung tangannya. Kini berganti Ardan yang mencium kening istrinya, cukup lama kala bibir itu mengecup langsung kulit istrinya. "Gadis yang selama ini sudah kuanggap sebagai adikku kini sudah resmi ku nikahi," batin Ardan. chapter II Tanpa menjawab
Matius terkejut dengan penolakan dari Selly, ia tak menyangka jika rasa marahnya begitu besar melebihi rasa rindunya. Matius tahu apa kesalahannya, ia juga menerima semua yang Selly lakukan padanya.Matius hanya ingin hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, hidup normal seperti orang pada umumnya. Namun sebelum itu ia harus menebus semua kesalahannya, ia harus menyelesaikan semua masa lalunya yang begitu kelam itu."Maaf," lirih Matius mencoba meraih tangan Selly di depannya.Selly murka, ia melampiaskan semua kemarahannya saat ini juga. Ia mengamuk, memukul Matius bahkan juga menghancurkan semua barang yang ada di ruangan tersebut."Bodoh kamu, kamu pergi dari sini. Pergi temui istrimu itu, jangan pernah muncul lagi di depanku!" teriaknya dengan begitu kencang."Tolong dengerin dulu, sebentar saja." mohonnya.Selly terus mengamuk, mengabaikan semua ucapan Matius yang ingin berbicara dengannya. Hingga Matius begitu geram d
Matahari hari ini bersinar dengan begitu teriknya, Sabrina yang awalnya ingin berkeliling dengan si kembar ke taman pada akhirnya mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih bersantai di dalam rumah sembari menikmati buah-buahan yang Bulan sediakan."Anak cantik mama lagi apa ini, kenapa jarinya di emut-emut gitu?" tanyanya dengan begitu gemas."Aduh, ini si ganteng malah kakinya yang di emut-emut." menepuk keningnya dengan seulas senyumannya.Hari ini semua orang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, para laki-laki sibuk bekerja sedang Bulan sedang menemani Lena mengatur acara pernikahan anak-anaknya. Sedang Ica hari ini meminta ijin untuk kembali ke Jogja, awalnya Marshel melarangnya dengan berbagai alasannya namun Ica yang keras kepala pada akhirnya memenangkan pertempuran itu.Ica sedang ada di dalam kendaraannya menuju rumahnya, ia di jemput dengan anak buahnya yang selalu setia mengawalnya kemanapun perginya. Namun tiba-tiba Ica mengubah tujuan
Stevan segera mendapat penanganan dari dokter, wajahnya yang semakin pucat membuat Sabrina juga Nio menjadi semakin pucat. Sedang Stevi terlihat dengan pulas tertidur dalam gendongan sang papa."Gimana ini hubby, kenapa dokter lama banget di dalam?""Sabar, kita tunggu aja di sini."Dan tak lama dokter keluar. Sabrina segera saja memberondong dokter tersebut dengan berbagai pertanyaannya, hingga tanpa sadar dokter tersebut menyunggingkan senyum manisnya."Dokter lagi godain istri saya ya?" ketus Nio melihat dokter laki-laki itu tersenyum menatap istrinya."Oh maafkan saya pak, bukan maksud saya ingin menggoda istri anda. Namun saya hanya tersenyum ketika tahu ternyata saya sedang berhadapan dengan ibu baru," jelasnya dengan begitu ramah.Plakk,"Hubby apaan sih, bisa-bisanya cemburu saat kayak gini," kesalnya."Lalu gimana anak saya dok?""Gpp, hanya demam karena perubahan cuaca saja. Hari ini juga bisa langsung di
Mata Ica terbuka dengan tiba-tiba, posisi yang begitu kurang nyaman bagi keduanya saat ini. Wajah Marshel begitu dekat dengan wajah Ica, sangat dekat hingga Ica dapat merasakan deru nafas Marshel yang menerpa wajahnya."Ehm, udah bangun ya." canggungnya membuka suara."Iya. Ini kayaknya terlalu dekat deh kita," sahut Ica dengan wajah memerahnya menahan malu.Dengan cepat Marshel menegakkan tubuhnya, berdiri membuang muka ke sembarang arah. Sedang Ica kini juga bangkit membenarkan posisinya, wajahnya sudah sangat merah seperti udang rebus."Loe ngapain di sini?" tanya Ica menutupi rasa canggungnya."Heh, aku kamu. Kenapa jadi loe gue lagi sih," omel Marshel."Iya, iya. Kamu kenapa di sini? Bukannya tadi lagi kerja ya?""Pulang, di suruh sama bunda. Kamu kenapa, tidur sambil nangis?"Ica belum siap membuka kembali lukanya, ia masih tertutup rapat bahkan tak pernah membukanya. Kini ia hanya ingin hidup seperti pada normalnya
Hari ini semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara pertunangan Ica dengan Marshel, semua nampak antusias menjelang acara bahagia tersebut. Sabrina yang tak bisa bergerak leluasa bertugas merangkai bunga bersama kedua buah hatinya, sedang yang lainnya mengawasi petugas dekornya."Sebelah sini ya mas, tolong agak di penuhi lagi jadi biar nggak lubang." seru Bulan."Sebelah sini aja mas bagus, iya itu nanti taruh di sana aja biar bisa buat duduk." sibuk Lena mengarahkan orang-orang.Semua nampak begitu sibuk, sedang Ica sedang berada di kamarnya menikmati spa yang di sediakan Sabrina khusus untuk dirinya. Tak ada para lelaki yang menemani, hanya ada para wanita tangguh sebab laki-laki sedang bertugas mencari nafkahnya."Bun, ini taruh di mana ya?""Wah bagus banget sayang kamu ngerangkai bunganya," takjubnya dengan hasil rangkaian sang putri."Bisa aja, udah ini taruh mana? Berat tau," keluhnya."Sini, biar bunda aja yang bawa ya. Kam