Share

Bab 3

last update Last Updated: 2021-09-09 02:43:56

Setelah mendapat ijin dari Sasa, Sabrina berangkat menuju ke kampusnya. Namun siapa sangka setelah sampai dikampus ia malah mendapat masalah baru. 

"Sabrina," panggil salah seorang teman kelasnya.

"Ya." 

"Dipanggil dekan tuh."

"Kenapa ya?" heran Sabrina.

"Nggak tau juga gue, buruan kesana aja."

"Yaudah deh, thanks ya."

Sabrina berjalan menuju ruang dekan, ia melangkah dengan santai tanpa memikirkan apapun. Namun ditengah jalan ia malah bertemu dengan Syan juga teman-temannya.

"Cie ada yang mau kemana nih."

"Arahnya sih ke ruang dekan."

"Mau ngapain loe kesana." 

"Jangan-jangan mau muasin dekan lagi," tawa semuanya, sedangkan Syan hanya diam menatap benci pada Sabrina.

"Kemana lo semalam nginapnya?" sinis Syan menatap hina Sabrina.

"Bukan urusan loe kak."

"Jangan pernah panggil gue kak, atau loe mau gue hancurin!" ancam Syan mencekik leher Sabrina.

Sabrina melawan, ia melepas paksa tangan Syan dari lehernya kemudian dihempaskan secara kasar. Ia pun segera pergi tanpa memperdulikan teriakan dari teman-teman Syan.

"Gue harus banyak-banyakin sabar kalau ngadepin mereka nih," gumam Sabrina didepan ruang dekan. 

Dengan sopan Sabrina mengetuk pintu kemudian dipersilahkan untuk duduk oleh sang dekan. Disana dekan mengatakan alasannya ia memanggil Sabrina menghadapnya.

"Begini Sabrina, bapak tau kamu anak yang cerdas dan juga berprestasi. Tapi kekerasan benar-benar tidak bisa ditolerasi dikampus ini."

"Kekerasan apa ya pak maksudnya."

Dekan memberikan 3 lembar foto didepan Sabrina. Foto-foto tersebut memperlihatkan jika Sabrina tengah menyerang teman kampusnya. 

"Pak ini nggak seperti yang bapak fikirkan."

"Tapi nyatanya para korban sudah melakukan pengaduan kepada pihak kampus."

"Saya sungguh tidak melakukannya pak," seru Sabrina berurai air mata.

"Sabrina, kamu harusnya ingat syarat beasiswa kamu sebelum bertindak."

"Tapi pak."

"Orang tua dari mereka sudah melakukan pengaduan juga, dan pihak kampus sudah membantu kamu untuk tidak sampai kejalur polisi."

"Tapi sungguh bukan begitu kejadiannya." 

"Apapun itu, keputusan kampus sudah dibuat."

"Maksudnya pak?" was-was Sabrina.

"Beasiswa kamu kami cabut, dan jika kamu tidak bisa membayar biayanya kamu bisa keluar dari kampus." 

Sungguh suatu kejutan dipagi hari bagi Sabrina, tak pernah terfikir jika ia akan dijebak hingga kehilangan beasiswa pendidikan yang susah payah didapatnya.

Bibirnya terasa kelu hanya untuk mengucapkan sepatah kata. Pikirannya kosong entah hilang kemana, hanya ada air mata yang terus mengalir tanpa celah membasahi pipinya.

"Makasih pak, saya permisi."

"Tunggu dulu, berikan keputusanmu. Tinggal atau pergi."

"Bapak tau bagaimana kondisi finansial saya, jadi saya memilih untuk pergi," sedihnya.

"Bawalah surat ini nak, jika nanti kamu mendapat kampus baru pakai surat ini untuk mempermudahnya." 

"Terima kasih pak, saya permisi."

Sabrina keluar dengan berderai air mata. Rasanya pupus sudah harapan untuk masa depan yang sudah ia bangun sejak lama.

"Hancur sudah semuanya, tega sekali mereka," tangisnya penuh sesal. 

Namun tiba-tiba ketiga teman Syan datang dan membawa paksa Sabrina menuju area belakang kampus.

"Lepasin." 

"Diam nggak loe!"

"Tau nih, berat tau."

Mereka mendorong Sabrina hingga jatuh tersungkur tepat didepan sepatu milik Syan. Dengan sombongnya Syan menginjak tangan Sabrina dengan kakinya, bahkan ia dengan sengaja menekankan sepatu miliknya tersebut.

"Akhh sakit kak," rintih Sabrina.

"Loe sebut gue apa," makin menekankan sepatu miliknya.

"Tolong, sakit sekali." 

"Enak aja," seru salah satu teman Syan.

"Kenapa kalian kejam, kalian yang memfitnahku hingga aku dikeluarkan dari kampus!"

"Loe emang nggak pantas kuliah disini."

"Loe jahat Syan, kejam" memandang sini saudaranya.

"Kalian berdua, bantu dia keluar dari kampus kita ini," perintah Syan yang sudah tak ingin berlama-lama bersama Sabrina.

"Siap bos," seru keduanya. 

Dengan kasarnya mereka menarik tubuh Sabrina berjalan mengikuti langkah mereka. Didepan pagar kampus, didorongnya Sabrina keluar hingga terjatuh. 

"Aww," pekik Sabrina saat tubuhnya mengenai aspal.

"Bye-bye kuman," ledek kedunya sebelum berbalik meninggalkan Sabrina.

Sabrina berjalan kali menyusuri jalan pinggiran kota, hingga ia lelah dan memilih bangku taman untuk tempatnya beristirahat.

"Apa salah gue? kenapa semua jadi begini," tangisnya menyalahkan keadaan.

"Apa yang harus gue lakuin? Gak ada siapapun yang bisa bantuin gue, termasuk orang tua gue sendiri." 

Hampir satu jam Sabrina duduk menangis menyalahkan keadaan atas apa yang terjadi terhadap dirinya, hingga ia kembali teringat dengan Sasa yang memberinya sebuah kekuatan juga keceriaan.

"Mau nangis sampe mata gue lepas pun semua akan tetap sama," menghapus kasar air matanya.

"Lebih baik gue pulang gue jagain Sasa," semangatnya bangkit dari tempatnya duduk.

Sabrina memutuskan kembali pulang, ia sadar sekarang ini ada Sasa sebagai tanggung jawabnya dalam pekerjaan. Dan ia akan melakukan yang terbaik untuk itu, karena hanya ini pekerjaannya sekarang.

Setelah kejadian Max di cafe, Sabrina yang tak enak hati memutuskan untuk mengundurkan diri dari sana. Awalnya manager menolak, namun Sabrina memberikan alasan yang tak mampu ditolak manager hingga akhirnya mengabulkan keinginannya.

**

Max yang sedang berada diperusahaannya sedang berbahagia dengan kelancaran bisnisnya yang ada diluar kota. Ia tak lupa menghubungi istrinya untuk memberitahukan kabar gembira ini. 

Dan bagi keduanya, kepergian Sabrina inilah yang membawa keberuntungan bagi keluarganya.

"Kita harus merayakannya malam ini pah," seru Carisa disambungan telponnya.

"Tentu saja, malam ini di hotel XX ya mah, jangan lupa kasih tau Syan." 

"Beres pah, kalau gitu mama tutup dulu ya soalnya ada orang bisnis mama."

"Baiklah, i love you sayank."

"Love you more suamiku."

Dan setelah menutup sambungan telpon dengan istrinya, Max menghubungi sekretarisnya untuk membantunya mereservasi tempat nanti malam.

Betapa Max bahagia saat ini dengan keberhasilan proyek milyaran rupiah yang diimpikannya selama ini akhirnya tersampaikan. 

Bahkan tak ada kata yang bisa mewakili rasa bahagia Max kali ini.

"Kalau aku tau mengusir Sabrina bisa mendatangkan proyek ini, maka dari dulu sudah aku usir jauh dia dari rumah," girangnya.

"Hari yang menggembirakan!"

Max betul-betul bahagia, bahkan ia tak hentinya memamerkan senyum manisnya didepan semua karyawannya yang ia lewati.

Hingga siang menjelang, Max mengajak salah satu rekan bisnisnya untuk makan siang bersama. Dan rekan bisnisnya tersebut kebetulan juga membawa teman baiknya dalam jamuan makan siang.

Disebuah restoran mewah Max sudah memesan semua menu andalan restoran tersebut, bahkan Max tak menunggu untuk bertanya pada teman makannya. 

"Keluarkan semua menu terbaik kalian disini dan jangan membuatku kecewa," seru Max angkuh.

Max duduk gelisah menunggu teman makannya siang ini yang tak kunjung datang, saat ia melihatnya ia segera melambaikan tangannya. 

"Siang pak Max," salamnya.

"Selamat siang pak Burhan, " saling berjabat tangan.

"Oh perkenalkan pak, ini pak Darma teman saya."

"Halo pak Max saya Darma," mengulurkan tangannya.

"Saya Max, pengusaha ternama dikota ini" sombongnya dan hanya ditanggapi dengan senyuman oleh keduanya.

"Oh mari silahkan duduk, jangan sungkan."

Ketiganya mulai mengobrol ringan sambil menunggu makanannya datang. Max begitu semangat saat menceritakan semua keberhasilan dirinya dalam dunia bisnis, ia tak memberi ruang sedikitpun bagi keduanya untuk ikut berbicara dan membanggakan bisnisnya.

"Haha, kalau pak Burhan saya tau gimana hebatnya dalam berbisnis. Lantas apa pekerjaan pak Darma saat ini? atau mungkin jika membutuhkan pekerjaan saya bisa mengusahakan sebuah jabatan diperusahaan saya," sombongnya. 

Burhan mulai merasa kesal dengan kesombongam Max, ia tak tahu siapa Darma dan dengan sombongnya menawarinya pekerjaan diperusahaannya.

Namun Darman memegang tangan Burhan saat akan mengungkapkan identitas aslinya. Baginya hal itu tak penting jika hanya akan menjadikan seseorang sebagai penjilat.

"Terima kasih atas tawarannya pak, nanti jika saya membutuhkan bantuan akan menghubungi anda," sopan Darma.

"Peganglah ini. Jika kesulitan anda bisa menghubungi saya nantinya," memberikan selembar kartu namanya.

Dan tak lama makanan mereka datang, pelayan dengan sangat hati-hati menyajikan setiap menu diatas meja. Namun salah satu pelayan tanpa sengaja menumpahkan sedikit saus ke baju Darma, membuat semua orang panik jadinya.

"Ah maafkan saya tuan maaf," gugupnya sambil mengambil tisue mencoba membersikan baju Darma.

"Tak masalah," sahut Darma.

"Bagaimana kerjamu, dimana kau letakkan kedua matamu itu!" Bentak kasar Max.

Ia memaki dengan kasar pelayan tersebut hingga membuat banyak orang menatapnya.

Burhan berdiri mencoba menenangkan Max yang terlalu berlebihan saat Darma bersikap biasa saja. Ia menarik paksa Max untuk kembali duduk dikursinya.

"Tuan maafkan saya," takut pelayan tersebut.

"Gak masalah hanya sedikit kok," ramah Darma.

"Tidak bisa seperti itu pak, dia harus mendapat hukuman! Panggil manager kalian kemari." 

"Pak Max cukup, " tegur Burhan.

"Tapi-

"Ada yang bisa saya bantu?" datanglah manager dengan tiba-tiba.

"Anak buah anda ini menumpahkan saus kebaju rekan saya. Lihatlah," seru Max menggebu-gebu.

"Saya tidak sengaja pak, " ucap pelayan ketakutan.

"Anak buah saya sudah mengakui kesalahannya, saya sungguh minta maaf untuk keteledorannya." 

"Enak saja."

"Saya baik-baik saja dan saya tidak meminta ganti rugi apapun kepadanya. Jadi silahkan kembali bekerja," sopan Darma.

"Terima kasih tuan, kami permisi" pamit semuanya.

"Pak Darman, kenapa anda melepaskan begitu aja."

"Hanya masalah kecil, tidak perlu dibesar-besarkan." 

"Anda terlalu bodoh," seru Max saat kembali duduk.

"Baiklah silahkan dimakan," seru Max.

Max bersama Burhan nampak menikmati makan siangnya, namun Darma hanya menyantap ikan beserta udang didepannya.

"Makanlah kerang ini pak, sangat segar juga lezat" tawarnya.

"Pak Darma alergi terhadap kerang pak Max, " sahut Burhan yang sedikit kesal dengan tingkah Max.

"Oh maaf saya tidak tau. Saya sedikit paham, biasanya orang yang alergi itu tidak pernah menyantap jenis makanan mahal tersebut makanya menimbulkan efek alergi," sombongnya.

"Mungkin juga pak, " sahut Darma saat Burhan akan menyahutinya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
max laki2 sombong..sabrina diusir dari rumah..dikeluarkan dr kampus
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
haHjKKskkxmdmdmdmdmfmd
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus banget ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mendadak jadi Ibu   Teruntuk para Readers tersayang,

    chapter I Semua siap dan semua telah lengkap. Penghulu menjabat tangan Ardan, dengan sekali nafas Ardan kini telah resmi menyunting Tian sebagai istrinya. Sah.. Sah.. Sah.. Seru semua orang dengan gembira, tangis pecah melihat keduanya telah resmi menikah. Tak banyak memang undangannya, namun itu adalah semua orang yang ada dipihak Tian kedepannya. Semua kolega Prambu yang setia siap berdisi di belakang Tian dan memperjuangkan hak miliknya. Acara pasang cincin usai, kini Tian mengambil tangan Ardan dan menciumnya. Hatinya berdesir merasakan bibir Tian melekat dikulitnya secara langsung, hatinya menghangat begitu. Tanpa di duga Ardan juga menggerakkan tangannya, meletakkan tangannya tepat di kepala Tian saat istrinya itu mencium punggung tangannya. Kini berganti Ardan yang mencium kening istrinya, cukup lama kala bibir itu mengecup langsung kulit istrinya. "Gadis yang selama ini sudah kuanggap sebagai adikku kini sudah resmi ku nikahi," batin Ardan. chapter II Tanpa menjawab

  • Mendadak jadi Ibu   Bab 190

    Matius terkejut dengan penolakan dari Selly, ia tak menyangka jika rasa marahnya begitu besar melebihi rasa rindunya. Matius tahu apa kesalahannya, ia juga menerima semua yang Selly lakukan padanya.Matius hanya ingin hidup bahagia bersama keluarga kecilnya, hidup normal seperti orang pada umumnya. Namun sebelum itu ia harus menebus semua kesalahannya, ia harus menyelesaikan semua masa lalunya yang begitu kelam itu."Maaf," lirih Matius mencoba meraih tangan Selly di depannya.Selly murka, ia melampiaskan semua kemarahannya saat ini juga. Ia mengamuk, memukul Matius bahkan juga menghancurkan semua barang yang ada di ruangan tersebut."Bodoh kamu, kamu pergi dari sini. Pergi temui istrimu itu, jangan pernah muncul lagi di depanku!" teriaknya dengan begitu kencang."Tolong dengerin dulu, sebentar saja." mohonnya.Selly terus mengamuk, mengabaikan semua ucapan Matius yang ingin berbicara dengannya. Hingga Matius begitu geram d

  • Mendadak jadi Ibu   Bab 189

    Matahari hari ini bersinar dengan begitu teriknya, Sabrina yang awalnya ingin berkeliling dengan si kembar ke taman pada akhirnya mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih bersantai di dalam rumah sembari menikmati buah-buahan yang Bulan sediakan."Anak cantik mama lagi apa ini, kenapa jarinya di emut-emut gitu?" tanyanya dengan begitu gemas."Aduh, ini si ganteng malah kakinya yang di emut-emut." menepuk keningnya dengan seulas senyumannya.Hari ini semua orang tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, para laki-laki sibuk bekerja sedang Bulan sedang menemani Lena mengatur acara pernikahan anak-anaknya. Sedang Ica hari ini meminta ijin untuk kembali ke Jogja, awalnya Marshel melarangnya dengan berbagai alasannya namun Ica yang keras kepala pada akhirnya memenangkan pertempuran itu.Ica sedang ada di dalam kendaraannya menuju rumahnya, ia di jemput dengan anak buahnya yang selalu setia mengawalnya kemanapun perginya. Namun tiba-tiba Ica mengubah tujuan

  • Mendadak jadi Ibu   Bab 188

    Stevan segera mendapat penanganan dari dokter, wajahnya yang semakin pucat membuat Sabrina juga Nio menjadi semakin pucat. Sedang Stevi terlihat dengan pulas tertidur dalam gendongan sang papa."Gimana ini hubby, kenapa dokter lama banget di dalam?""Sabar, kita tunggu aja di sini."Dan tak lama dokter keluar. Sabrina segera saja memberondong dokter tersebut dengan berbagai pertanyaannya, hingga tanpa sadar dokter tersebut menyunggingkan senyum manisnya."Dokter lagi godain istri saya ya?" ketus Nio melihat dokter laki-laki itu tersenyum menatap istrinya."Oh maafkan saya pak, bukan maksud saya ingin menggoda istri anda. Namun saya hanya tersenyum ketika tahu ternyata saya sedang berhadapan dengan ibu baru," jelasnya dengan begitu ramah.Plakk,"Hubby apaan sih, bisa-bisanya cemburu saat kayak gini," kesalnya."Lalu gimana anak saya dok?""Gpp, hanya demam karena perubahan cuaca saja. Hari ini juga bisa langsung di

  • Mendadak jadi Ibu   Bab 187

    Mata Ica terbuka dengan tiba-tiba, posisi yang begitu kurang nyaman bagi keduanya saat ini. Wajah Marshel begitu dekat dengan wajah Ica, sangat dekat hingga Ica dapat merasakan deru nafas Marshel yang menerpa wajahnya."Ehm, udah bangun ya." canggungnya membuka suara."Iya. Ini kayaknya terlalu dekat deh kita," sahut Ica dengan wajah memerahnya menahan malu.Dengan cepat Marshel menegakkan tubuhnya, berdiri membuang muka ke sembarang arah. Sedang Ica kini juga bangkit membenarkan posisinya, wajahnya sudah sangat merah seperti udang rebus."Loe ngapain di sini?" tanya Ica menutupi rasa canggungnya."Heh, aku kamu. Kenapa jadi loe gue lagi sih," omel Marshel."Iya, iya. Kamu kenapa di sini? Bukannya tadi lagi kerja ya?""Pulang, di suruh sama bunda. Kamu kenapa, tidur sambil nangis?"Ica belum siap membuka kembali lukanya, ia masih tertutup rapat bahkan tak pernah membukanya. Kini ia hanya ingin hidup seperti pada normalnya

  • Mendadak jadi Ibu   Bab 186

    Hari ini semua orang tengah sibuk mempersiapkan acara pertunangan Ica dengan Marshel, semua nampak antusias menjelang acara bahagia tersebut. Sabrina yang tak bisa bergerak leluasa bertugas merangkai bunga bersama kedua buah hatinya, sedang yang lainnya mengawasi petugas dekornya."Sebelah sini ya mas, tolong agak di penuhi lagi jadi biar nggak lubang." seru Bulan."Sebelah sini aja mas bagus, iya itu nanti taruh di sana aja biar bisa buat duduk." sibuk Lena mengarahkan orang-orang.Semua nampak begitu sibuk, sedang Ica sedang berada di kamarnya menikmati spa yang di sediakan Sabrina khusus untuk dirinya. Tak ada para lelaki yang menemani, hanya ada para wanita tangguh sebab laki-laki sedang bertugas mencari nafkahnya."Bun, ini taruh di mana ya?""Wah bagus banget sayang kamu ngerangkai bunganya," takjubnya dengan hasil rangkaian sang putri."Bisa aja, udah ini taruh mana? Berat tau," keluhnya."Sini, biar bunda aja yang bawa ya. Kam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status