LOGINPagi harinya, kediaman Keluarga Polin di ibu kota.Willy duduk di meja makan menikmati sarapan. Hari ini dia tampak luar biasa bersemangat. Dia memakai setelan jas rapi dengan dasi kupu-kupu, penampilannya benar-benar memukau.Di seberangnya, Irham meneguk seteguk susu, lalu berkata, "Willy, kamu sudah dengar kabar semalam?""Kabar apa?" tanya Willy."Kamu belum tahu?" Irham agak terkejut. Dalam pandangannya, putranya ini biasanya tahu segala hal. Tidak ada urusan besar di ibu kota yang bisa lolos dari telinganya."Semalam aku keluar minum dengan teman, agak kebanyakan minum, jadi tidur lebih awal," jawab Willy santai. "Ayah, maksudnya kabar apa?"Irham menatapnya dan berkata perlahan, "Dewa Perang meninggalkan ibu kota tadi malam.""Oh?" Willy sedikit terkejut. "Setahuku, Dewa Perang sudah sepuluh tahun nggak pernah meninggalkan ibu kota. Ke mana dia pergi?""Dia pergi ke barat laut," jawab Irham. "Berangkat dini hari, sebelum matahari terbit sudah kembali.""Jangan-jangan terjadi ses
Di hadapan sang pria tua itu duduk seorang wanita bercadar. Wajahnya tertutup cadar, tetapi dari siluet tubuhnya yang anggun sudah bisa dipastikan, dia adalah wanita yang memiliki kecantikan tiada tara di dunia ini.Wanita itu memegang sebutir bidak hitam dengan jari-jarinya yang ramping dan halus, tapi lama tak kunjung menurunkannya ke papan catur."Venus, giliranmu," ujar sang pria tua dengan suara tenang.Wanita itu meletakkan bidak itu di papan dengan gerakan malas, lalu berkata, "Dewa Perang, aku menyerah. Nggak ingin bermain lagi."Dewa Perang menatapnya heran. "Kenapa berhenti?"Wanita itu terdiam, tak menjawab.Tatapan Dewa Perang mendadak berubah dalam tertuju pada mata wanita itu. "Apakah karena Ewan?""Ya," jawab Venus jujur."Itu bukan gayamu," kata Dewa Perang. "Aku masih ingat, di hari pertama kamu bergabung dengan Aula Raja Maut, kamu berkata kepadaku, siapa bilang wanita nggak bisa menandingi pria? Suatu hari kamu akan menjadi panglima tertinggi.""Sekarang kenapa? Hany
"Anak takdir, malapetaka menjadi keberuntungan!"Saat Rindra melihat kata-kata itu, dadanya seketika sesak. Selesai sudah! Ewan benar-benar celaka!Rindra sangat memahami Master Nazar. Orang tua itu terkenal tak bisa diandalkan soal ramalan, kebanyakan ramalannya harus dibaca terbalik. Kalau Master Nazar bilang malapetaka besar, berarti justru keberuntungan besar. Kalau dia bilang keberuntungan besar, justru berbahaya."Kelihatannya, kali ini Ewan celakanya lebih banyak daripada untungnya," gumam Rindra.Baru saja Rindra berpikir demikian, Latif sudah memegang foto itu dengan wajah pucat, lalu tiba-tiba tersenyum dan berkata, "Menurut kata Master Nazar, nampaknya Ewan kali ini justru dapat menukar musibah menjadi keberuntungan."Rindra tidak ingin merusak suasana hati Latif, jadi hanya berkata, "Tenang saja. Ewan orang yang beruntung, dia pasti baik-baik saja."Latif duduk kembali, lalu mendesah, "Bencana itu sandaran bagi keberuntungan, keberuntungan itu sarang bagi bencana.""Ewan ce
Di seberang telepon hening selama tiga detik. Tiga detik kemudian, suara berat Dewa Perang akhirnya terdengar, "Latif, maafkan aku."Wajah Latif seketika berubah, suaranya tergesa-gesa, "Apakah terjadi sesuatu sama Ewan?"Dewa Perang menjawab, "Ewan tertimbun di bawah pasir saat menyelamatkan rekan-rekannya. Sekarang, nasibnya belum diketahui."Brak!Wajah Latif langsung pucat pasi. Tangan yang memegang gagang telepon bergetar hebat.Dewa Perang melanjutkan, "Setelah kejadian itu, Tandi segera memimpin penyelamatan. Sekarang seluruh pasukan khusus wilayah barat laut sedang menggali pasir untuk mencari Ewan. Tapi sudah lebih dari sepuluh jam sejak kejadian dan mereka masih belum menemukannya. Ewan ... kemungkinan besar sudah gugur."Trak!Telepon terjatuh ke lantai.Tubuh Latif oleng dan hampir terjatuh. Untung saja Rindra menahannya dengan sigap. "Pak, ada apa dengan Ewan?"Selama bertahun-tahun menemani Latif, Rindra hanya pernah melihat Latif kehilangan kendali dua kali. Pertama adal
Larut malam. Di kediaman Keluarga Aditya di ibu kota."Ah ...." Tiba-tiba, Latif menjerit dan terbangun dari tidurnya, keringat membasahi seluruh tubuhnya."Pak, ada apa?" suara Rindra terdengar lembut, sosoknya muncul tanpa suara di samping tempat tidur.Latif duduk tegak dan berkata dengan napas tersengal-sengal, "Aku baru saja mimpi buruk. Aku bermimpi tentang Ewan.""Dalam mimpi itu, Ewan terbaring di hamparan pasir kuning, seluruh tubuhnya berlumuran darah. Wajahnya menyeramkan, dia memintaku mengembalikan ayahnya. Dia bilang kalau aku nggak mengembalikan Ega padanya, dia akan membunuhku."Rindra tersenyum tipis. "Kata orang, mimpi sering berlawanan dengan kenyataan. Kalau begitu, itu justru pertanda baik."Latif bertanya, "Apa yang sedang dilakukan Ewan sekarang?""Dia dikirim oleh Dewa Perang untuk menjalankan misi di barat laut.""Barat laut?" Latif langsung teringat pada pasir dalam mimpinya, hatinya tiba-tiba terasa tak tenang."Apakah misinya sudah selesai?" tanyanya lagi.R
Tandi menatap Logan dengan mata memerah, suaranya bergetar saat bertanya, "Menurutmu ... Ewan masih hidup, 'kan?""Ewan akan hidup. Dia pasti masih hidup, dia ...." Logan belum sempat menyelesaikan kalimatnya, air mata tiba-tiba menetes di pipinya.Setelah terdiam setengah menit, Logan menghapus air matanya dengan kasar, lalu berbalik dan berteriak kepada para prajurit di sekitarnya, "Saudara-saudara! Katakan padaku dengan lantang, apa semboyan pasukan kita?""Tidak menyerah! Tidak meninggalkan siapa pun!" Suara para prajurit bergema serempak menggetarkan langit."Benar! Semboyan pasukan kita adalah tidak menyerah, tidak meninggalkan siapa pun! Aku tahu kalian semua sudah lelah, tubuh kalian sudah nyaris runtuh, tapi kita tidak boleh berhenti! Ewan adalah rekan kita, saudara kita, dan juga penyelamat kita. Karena itu, kita harus menemukannya! Sebelum dia ditemukan, kita tidak boleh menyerah!"Begitu Logan menyelesaikan kata-katanya, para prajurit langsung berteriak lantang."Tidak bole







