MasukEwan mendorong pintu masuk dan langsung melihat dua perempuan asing duduk di sofa.Salah satunya berusia sekitar 50 tahun lebih. Dia mengenakan gaun, berdandan tebal, penuh perhiasan emas dan giok. Di lehernya tergantung liontin giok hijau, tampak anggun dan mewah.Perempuan satunya lagi berusia sekitar awal 30-an. Dia mengenakan gaun Chanel, di sampingnya terletak sebuah tas Hermès. Di jarinya terpasang cincin berlian setidaknya satu karat yang berkilau.Sekilas saja, Ewan sudah menyadari bahwa latar belakang kedua perempuan ini jelas tidak sederhana.'Sejak kapan Ibu mengenal teman-teman seperti ini? Kenapa aku nggak pernah melihat mereka sebelumnya?'Ewan merasa agak aneh. Dia melirik ke samping dan melihat Aruna duduk di kursi dekat meja, raut wajahnya terlihat canggung."Bu, aku pulang," sapa Ewan.Di wajah Aruna langsung terlintas ekspresi terkejut sekaligus senang. Dia berdiri dengan cepat dan berkata, "Bukannya hari ini kamu kerja? Ewan, kenapa nggak ke kantor?"Aruna sama seka
Sorot mata Dinda dipenuhi kilatan dingin, nadanya tajam dan kasar."Sudahlah. Anggap saja aku nggak bilang apa-apa. Kalau Kak Lisa bangun, sampaikan padanya. Aku pulang."Ewan meletakkan sumpitnya, lalu pergi tanpa menoleh lagi.Dinda berjalan ke meja makan. Melihat setengah mangkuk mi tomat yang tersisa, wajahnya langsung mengeras. "Ewan, dasar bajingan. Kusumpahi kamu mati mengenaskan!"Sambil memaki, Dinda mengangkat mangkuk itu dan hendak membawanya ke dapur untuk dibuang. Begitu dia berbalik, dia langsung melihat Lisa berdiri di belakangnya.Tatapan Lisa saat ini terasa sangat dingin.Dinda terkejut dan hampir melompat. Dengan gugup dia bertanya, "Bu Lisa, kamu ... sejak kapan kamu bangun?""Baru saja," jawab Lisa tanpa ekspresi. "Kenapa kamu mengutuk Ewan?""Aku ... aku membuatkan mi untukmu, tapi dimakan olehnya," kata Dinda. "Aku marah.""Dia bahkan sudah memakanku, apalagi cuma semangkuk mi," kata Lisa dengan nada tajam. "Kamu ingin membunuh Ewan?""Nggak ...."Belum sempat Di
Hati Ewan langsung menegang.Sida menelepon di tengah malam, pasti ada sesuatu yang besar terjadi.Apa yang sebenarnya terjadi?"Kak Lisa, jangan bergerak dulu. Aku angkat telepon sebentar, nanti kita lanjutkan," kata Ewan sambil menekan tombol jawab. "Sida, ada apa mencariku?"Sida langsung berterus terang, "Ewan, aku baru dapat kabar. Kakekmu sudah sekarat."Ewan malah mengembuskan napas lega, lalu bertanya, "Kamu menelepon tengah malam hanya untuk menyampaikan hal ini?""Kalau nggak, untuk apa lagi?""Aku kira ada urusan besar. Aku masih ada urusan, tutup dulu."Setelah berkata demikian, Ewan langsung mematikan telepon. Dia sama sekali tidak peduli nasib kakeknya. Dulu saat Ega mengalami musibah, Aruna membawa Ewan yang masih bayi kembali ke Keluarga Kunantara di Soharia. Alih-alih mendapat perlindungan, mereka malah diusir dari keluarga.Selama lebih dari dua puluh tahun, Keluarga Kunantara tidak pernah peduli pada nasib mereka berdua. Kalau begitu, kenapa Ewan harus peduli pada na
"Oh ...," jawab Dinda pelan. Suaranya terdengar sedikit kecewa. Lalu, dia melanjutkan, "Bu Lisa, gimana kalau kamu ajak Ewan, kita makan barbeku sama-sama? Atau aku masakkan semangkuk mi untukmu?""Aku nggak lapar. Kamu cepat tidur," kata Lisa.Dinda masih belum menyerah. "Bu Lisa, tadi aku melihat ada kecoa di kamarmu ....""Nggak apa-apa. Ada Ewan di sini, aku nggak takut apa pun.""Bu Lisa, kalau begitu aku siapkan air hangat. Kamu rendam kaki dulu sebelum tidur.""Sudah, Dinda. Kamu ini berisik banget sih? Jangan ganggu aku dan Ewan istirahat," kata Lisa dengan nada kesal.Dinda berdiri di luar pintu, mengepalkan tinju erat-erat sampai pipinya menggembung karena marah.'Ewan. Ewan lagi! Bu Lisa sampai bilang aku berisik gara-gara Ewan. Aku ... aku benar-benar marah!'Sebelum Dinda sempat pergi, dari dalam kamar tiba-tiba terdengar suara desahan Lisa yang terengah-engah. Seketika, hati Dinda seperti hancur berkeping-keping.Air mata tak tertahankan mengalir turun."Bu Lisa, kenapa k
Lisa mengenakan setelan kerja putih. Riasannya tampak rapi dan anggun, rambutnya tergerai di bahu, terlihat memesona.Begitu turun dari mobil sportnya, dia melihat Dinda berjalan cepat ke arahnya."Hah, sudah selarut ini kamu belum istirahat?" Lisa tampak agak terkejut.Dinda melirik Lisa. Di matanya terlintas sekilas rasa kagum yang nyaris tak tertangkap, lalu dia berkata, "Bu Lisa, kamu lapar nggak? Aku tahu ada tempat barbeku yang enak. Ayo kita makan.""Boleh," Lisa langsung setuju."Bu Lisa, tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu.""Oke."Dinda berbalik hendak masuk ke dalam rumah. Tepat saat itu, suara Ewan terdengar dari lantai dua. "Kak Lisa!"Begitu mendengar suara Ewan, Lisa langsung mendongak. Saat melihat Ewan, sorot cinta di matanya hampir meluap. Dia langsung melempar kunci mobil ke arah Dinda."Kamu saja yang pergi makan barbeku," kata Lisa.Setelah itu, Lisa berlari masuk ke vila dengan langkah tergesa-gesa.Dinda memegang kunci mobil itu dan terpaku di tempat. Baru setel
"Apa urusannya sama kamu?" bentak Dinda dengan nada tidak ramah."Kalau kamu pernah memelihara bunga mawar, kamu pasti tahu, mawar memang indah, tapi kalau nggak disiram, nggak butuh waktu lama untuk layu.""Sebenarnya wanita itu sama seperti bunga mawar. Kalau nggak mendapatkan 'nutrisi' dari pria, mereka akan cepat layu. Jadi menurutku, kamu membutuhkan aku."Ewan berbicara dengan wajah serius, sementara sorot matanya terus berkeliling tanpa sungkan di tubuh Dinda. Hal itu membuat Dinda semakin muak."Kamu bicara panjang lebar begini, maksudmu mau mendekatiku?" kilat dingin menyala di mata Dinda.'Bajingan ini. Sudah punya Bu Lisa dan Neva masih saja nggak puas, sekarang malah berani mengincarku. Cepat atau lambat, akan aku kebiri dia.'Ewan menggeleng. "Kamu salah paham. Bukan aku yang ingin mendekatimu, tapi kamu yang membutuhkan pria.""Orang gila!" maki Dinda.Tanpa disangka, Ewan malah berkata, "Aku nggak gila, tapi kamu yang sakit.""Kamu yang sakit!""Kenapa kamu nggak percaya






