Sebagai seorang asisten baru, Lingga tak pernah menyangka menjadi orang kepercayaan dari penulis detektif terkenal, Dwi Sano Anggara. Menggantikan asisten sebelumnya bernama Ardani Aristawati karena memilih keluar dari pekerjaannya demi menikahi seorang pengusaha kaya raya. Namun, saat Lingga dan Dwi menghadiri pernikahan, Ardani tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Rupanya, banyak kejanggalan terjadi di sekeliling kehidupan calon suami Ardani tersebut. Apakah dengan kejadian ini Lingga serta Dwi dapat menyelamatkan Ardani kembali?
Lihat lebih banyak“Masih ada waktu sekitar 2 jam 10 menit untuk sampai di bandara ibu kota dari Balikpapan. Setidaknya saat ini aku bisa menlanjutkan istirahat.”
Begitulah yang terlihat pada layar sandaran kursi pesawat di hadapanku saat ini. Aku bekerja sebagai asisten dari seorang novelis yang sedang tertidur pulas memiringkan kepalanya di sebelahku. Pria ini adalah seorang penulis novel detektif-misteri terkenal karena karyanya yang mengagumkan. Sayangnya, sosok orang ini tidak pernah diliput media lantaran memang keinginannya menutup jati dirinya. Bahkan, namanya saja tidak asli.
Sementara tidak ada yang harus kulakukan, akhirnya hanya menatap jendela pesawat yang gelap menampilkan awan-awan hitam ̶ sebenarnya tidak hitam, hanya langitnya saja yang gelap karena kami berangkat sudah petang. Seorang pramugari mendatangi kursi kami memintaku untuk melepas sabuk pengaman penumpang yang tertidur di sebelahku.
Aku pun berusaha membangunkan orang ini. Kusentuh kepalanya yang bersandar di pundakku supaya dia segera mengangkat kepalanya. Rambutnya begitu halus hampir mengenai hidung dan mataku sehingga menjadi gatal. Orang ini pingsan atau kenapa, sampai-sampai tidak terbangun oleh tanganku yang menggoyangkan kepalanya.
“Gavin, bangun sebentar. Lepaskan sabuk pengamanmu!” perintahku. Gavin akhirnya perlahan membuka kedua mata sambil mengangkat kepalanya membetulkan posisi duduk.
“Sudah sampai?” Gavin mengucek matanya berusaha mengembalikan kesadaran.
“Belum, kau tertidur pulas sekali. Take off your seat belt,” perintahku kembali.
"Yeah, sebentar. Aku ingin mengembalikan kesadaranku dulu."
Gavin tidak segera melakukannya, dia hanya menghela napas pendek. Kulihat dari pandangan matanya terlihat dia begitu kelelahan. Sudah pasti Gavin terlalu banyak pikiran, karena memang itu hobinya. Itu juga sebagai alasan agar dia tidak terlalu memikirkan mantan asistennya yang akan segera menikah.
“Kenapa tidak kau saja melepaskan sabukku? Kita sama-sama pria tidak masalah, kan?”
“Bodoh, merepotkanku saja,” cetusku seraya menurunkan meja dari sandaran kursi pesawat. “Ingin minum apa, Tuan Besar?”
“Segelas air mineral,” pinta Gavin.
Tidak lama setelahnya, pramugari itu kembali dengan mendorong troli minuman untuk ditawarkan para penumpang. Pramugari yang bersolek cantik nan tersenyum ramah itu menawarkan produk minuman maskapai mereka. Tapi aku hanya meminta segelas air mineral dan teh panas. Jangan mengejekku, teh panas ini untuk diriku akibat pendingin udara kabin yang luar biasa membuatku beku.
Gavin meneguk segelas air minumnya habis seketika. Dan kebetulan ternyata gelasnya berukuran kecil. Seperti tidak cocok untuk ukuran Gavin yang butuh banyak minum.
“Lusa kita datang ke pernikahan Ardani, ya?” tanya Gavin. Sembari meletakkan gelasnya dia sudah menebak jadwalnya sebelum aku membuka buku agendaku.
“Ya, apa kau tidak mau hadir?”
Gavin diam sejenak.
“Bicara apa kau? Meskipun aku diam-diam mencintainya, bukan berarti aku tidak mau hadir pada hari bahagianya,” celetuknya.
“Kau tidak merasa patah hati atau semacamnya?”
Gavin menggeleng. Yah, sebenarnya ini bukan urusanku. Tentu saja terbersit ada rasa patah hati pada sosok yang kita cintai, namun orang itu malah memilih bersama yang lain. Gavin memang sudah lama memendam rasa pada mantan asistennya itu.
Jujur saja, aku tidak suka melihat majikanku ini terlalu banyak beban pikiran. Dampaknya akan memperburuk kondisinya. Tugasku sebagai asisten pun alhasil merangkap menjadi juru tulis. Kuputuskan untuk beralih topik.
“Apa yang sudah kau dapatkan selama satu minggu di kota ini?” tanyaku.
Gavin mencibir. “Ah, pertanyaanmu ini lebih baik dari pada membahas yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaanmu, Lingga.”
Sebenarnya kami mengambil waktu dua minggu untuk riset. Masing-masing kami mengambil bahan dari wilayah yang berbeda.
“Baiklah, maafkan aku, Gavin,” timpalku sambil menyeruput teh yang tak lagi panas. Pendingin udara kabin ini keterlaluan dinginnya.
“Ada kabar setelah aku mencari bahan riset siang tadi, seseorang mengatakan pernah ada orang hilang secara misterius di daerah itu dan belum ditemukan hingga saat ini.”
Mendengar kisah nyata itu aku langsung tertarik mendengarkannya. Anehnya, kabar itu tidak sampai ke telinga media massa. Berita itu hanya masuk dalam portal berita daerah sekitar. Aku mendengarkan Gavin dengan saksama, apakah kisah nyata ini bakal dia angkat dalam cerita novelnya kali ini.
“Lalu apa yang akan membuat ceritamu menarik untuk edisi ini?” tanyaku penasaran.
“Terlintas aku mendapat ide akan kubuat sang detektif menghilang secara misterius.”
Kedua mataku membelalak tak percaya. “Oh tidak, tokoh utama kesayanganku menghilang.”
“Ya, aku ingin yang lebih menantang.”
“Kenapa harus si detektif yang menghilang di ceritamu ini?”
“Detektif ini juga seorang manusia, Lingga. Kau ingat, dia punya seseorang yang dia cintai dalam kebisuan? Itulah alasan dia menghilang karena sosok wanita yang ia cintai telah memilih pria lain.”
“Kau ingin cerita ini lebih fokus pada romansa?”
Gavin mengangguk. Aku terkekeh.
“Why you laugh? Are you mocking me?”
“No, Gavin. Hanya saja tidak biasanya cerita novelmu kali ini lebih fokus pada kisah percintaan. Ya, aku tahu novel-novelmu yang lain juga menceritakan sang detektif memiliki perasaan yang lama ia pendam untuk wanita itu.” Lalu aku menyeringai usil lantaran kisah ini nyata dialami sang penulis supaya orang lain turut merasakan yang sedang dialaminya.
Gavin menghela napas. Sejenak ingin mengungkapkan sesuatu.
“Aku memang mencintainya, Lingga. Bahkan di kala acara pernikahannya lusa, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana dan tentu saja aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku ini.” Gavin bertopang dagu. Dari mimik wajahnya kelihatan sekali dia sedang kalut. Kami sebagai laki-laki jika sudah mengenal cinta, tidak tahu harus berbuat apa demi seorang wanita. Aku sendiri bahkan tidak tahu bagaimana harus berbuat dengan situasi semacam ini.
“Mungkin lebih baik kau ungkapkan saja pada Ardani. Jadi, kalian sama-sama lega,” celetukku.
Gavin melirikku sinis. “Kau ingin aku merusak hubungan pengantin baru?”
“Maksudku, dari pada kau merasa pikiran itu selalu membebanimu, lebih baik kau ungkapkan. Toh, Ardani dan calon suaminya tidak akan segera bercerai saat itu juga,” usulku seenaknya memberi saran.
Gavin diam tidak membalas. Aku beranggapan mungkin dia bakal melakukannya.
Bodohnya aku batal mampir untuk beli minum. Seharian tidak meneguk air apapun itu mau yang berasa atau bukan, rasanya tenggorokan seperti menelan duri. Kalian tahu seperti apa rasanya, bukan? Apalagi cuaca yang panas dari bulatan cahaya api itu sungguh membuatku seperti tak berdaya. Masih bersyukur aku hidup di negara yang di mana aku masih bisa menjangkau minimarket terdekat. Terutama air yang masih tersebar di mana-mana.Sayangnya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Tapi, bagiku untuk minum dari air keran saja bagiku sudah cukup bersyukur. Karena aku masih menyimpan uang, tidak ada salahnya, dong, aku lebih memilih air kemasan. Akhirnya aku mampir sebentar ke ATM. Kuhentikan motorku di area parkir sebuah bank milik siapapun ini.Mengantre adalah hal yang paling aku…tidak terlalu kubenci tapi juga tidak aku sukai. Satu, dua orang saja, aku masih bisa memaklumi. Namun, terkadang satu orang di dalam ATM bisa bermenit-menit lamanya. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi, orang
"Besok sore?!” aku berseru kaget. Dwi tersentak bersamaan reaksi yang kuberikan tiba-tiba. Dia hanya balas mengangguk.“Kenapa kau terkejut begitu?” Dwi kembali menyilangkan kedua tangannya. Memperlihatkan air mukanya yang bingung. Justru seharusnya aku yang memperlihatkan muka bingung.“Y-Ya, tapi, ini dadakan, Dwi, anu, Gavin,” aku tergagap.Tentu saja ini tidak masuk akal, mengapa dia membuat acaranya yang dadakan tanpa persiapan bahkan aku tidak diberitahu sedari awal. Aku benar-benar sudah mulai membenci orang ini.“Begitulah kalau kau mau bekerja denganku. Banyak jadwal dadakan yang harus kau patuhi dan penuhi.”“Tapi, ini baru pertama kalinya aku bekerja denganmu. Jadi, setidaknya berikan arahan terlebih dulu supaya aku terbiasa.”“Tidak. Aku tidak memiliki prosedur semacam itu,” kata Dwi. “Tapi, untuk pertama kali perkenalan antara aku dan kau kemudian mengenalkan suasana tempatmu bekerja, aku sudah memenuhi prosedur pengenalan pekerjaan yang mainstream itu. Seperti itu maksud
Dwi memerintahku untuk masuk elevator. Dari bahasa tubuhnya, dia mulai geregetan lantaran aku tidak menuruti apa yang dia perintahkan. Aku tidak bisa diperdaya seperti itu. Setidaknya, jelaskan dulu mengapa dia tiba-tiba memberiku sebuah kartu, yang menurutku adalah kunci apartemen mewah ini. Aku mengangkat tanganku menunjukkan benda itu, “Kartu apa ini?” Laki-laki bule itu memandangku tak percaya, “Kamu benar-benar tidak tahu benda itu?” Aku menggeleng kesal. Aku pura-pura berlagak bodoh supaya dia mau berbicara. “Itu kunci kamar apartemen. Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini. Tentu saja kamu punya kamar sendiri,” Dwi menjelaskan. Tak lama, pintu elevator kembali menutup otomatis. Mataku membelalak, “Yang benar saja?” seruku. Salah seorang dari balik meja penyambut tamu menatapku kaget. Seberapa kaya orang ini sampai-sampai bisa menyewa dua kamar apartemen mewah. Tapi, kalau dipikir kembali, novel-novelnya memang sudah sampai diproduksi ke layar lebar. Maka dari itu, karya bu
Aku menggeleng mencoba memahami. “Maaf, Anda, Dwi Anggara? Dwi S Anggara penulis novel detektif yang terkenal itu?” tanyaku memaksa. “Tunggu, saya tidak mengerti. Kalau begitu mengapa Anda tidak memperkenalkan diri saat kita bertemu di depan?” Pria bule bernama Dwi ini menggaruk kepalanya entah gatal atau malu. “Ya, aku memang suka menutup diri. Toh, kalau misal kamu tidak diterima jadi asisten, aku tidak perlu repot mengenalkan diriku,” Dwi meringis. Aku masih tidak percaya pria bule ini adalah novelis favoritku. Persis di depan mataku. “Bagaimana? Atau perlukah aku berlutut supaya kamu mau menjadi asistenku?” Aku melotot kaget. Sontak penulis dengan nama pasaran di negeriku ini tiba-tiba bersiap untuk berlutut. Buru-buru aku langsung menghentikan perbuatannya. “Baik. Saya mau.” Kata-kata itu otomatis keluar dari mulutku. “Salam kenal, Lingga. Panggil saja aku Dwi. Mohon kerjasamanya.” Aku mengangguk menghela napas pasrah. “Ayo kita ke apartemenku.” “Hah?” “Kamu sudah jadi a
Aku memang laki-laki tulen. Memuji seorang pria tampan bukankah itu normal? Semua orang pasti setuju denganku setelah melihat laki-laki Kaukasia ini memang tampan. Melihat sesuatu yang indah sampai terkesima sudah bagian respon otak untuk bekerja memahami keindahan itu sendiri. Sial, aku malah jadi minder. Aku tidak tampan, tapi ibuku dulu bilang aku ini anak paling tampan. “Y-yes, Sir!” Ah, kenapa aku malah jadi gugup. Kenapa ada bule di tempat seperti ini? Dan kenapa aku memanggilnya, Sir? “Then, come in,” orang itu tersenyum ramah. Terlintas aku memikirkan, apa pekerjaan bule ini di penerbitan sampai-sampai bisa mendapatkan kendaraan sport keren seperti itu. Dia mendahuluiku dan parfumnya seketika meninggalkan jejaknya. Ternyata orang tampan memiliki bau parfum yang berbeda, pasti merek parfum mahal. Ataukah itu feromonnya? Oh, gawat. Kami berdua masuk ke ruang tamu. Aku terangkan, kantor penerbit ini jelas lebih seperti rumah. Perabotannya hampir sama, bedanya ada meja dan kurs
Cintya begitu panik. “Maaf, Lingga. Aku cuma bercanda. Bukan maksudku kamu benar-benar menyandang nama ‘istri’. Tapi-” Dia berhenti bicara takut keadaanku bakal semakin kacau. Aku masih tersedak tapi anehnya malah sambil tertawa. Wajah Cintya menatapku cemas akibat kesalahannya yang asal celetuk. “Iya, aku tahu kamu cuma bercanda. Memang laki-laki nggak boleh, ya, masak masakan yang enak?” balasku. Cintya menawarkan tisu kering untuk membersihkan kekacauan makan siangku. Cintya menggeleng. Sejenak ragu dari jawaban bahasa tubuhnya. “Boleh, dong! Justru itu nilai tambah sebagai kriteria seorang laki-laki,” timpal Cintya. Dia memang gadis yang menarik. Termasuk dia yang paling bisa mengimbangiku dengan khayalan anehku. Aku cuma mengangguk setuju. Masih melanjutkan membereskan makan siangku yang berantakan. Lalu aku beringsut untuk mengisi ulang botol minumku. Akan tetapi, Cintya malah merebut botolku dan berlari menuju galon air minum, mungkin sebagai rasa penyesalannya. Wajahnya me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen