Beranda / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 103 : Bunga Yang Paling Memikat

Share

Bab 103 : Bunga Yang Paling Memikat

Penulis: Adil Perwira
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-10 07:00:00

Di halaman Istana yang sejuk, penuh dengan aneka bunga-bunga dan pohon yang hijau, Puteri Seroja sedang berjalan ditemani oleh dua orang dayang.

Selagi malam masih belum larut, dia sejenak ingin berkeliling menikmati suasana, menghirup udara segar sambil menatap keindahan bintang-bintang yang bertaburan di langit.

Halaman istana ini tetap terang walaupun saat malam hari, karena ada banyak sekali obor-obor yang terikat pada setiap batang bambu di sekitaran halaman.

Aroma bunga cempaka, mawar, dan juga melati menyemerbak harum, suasana langit begitu cerah, tak ada sedikit pun awan hitam yang bertengger di wajah rembulan.

Patrioda rupanya juga sedang berada di luar, dia menguntit Puteri Seroja secara diam-diam, sambil mengendap di antara pohon bunga, dia terus memperhatikan kecantikan wanita itu.

“Kau sungguh cantik, Puteri Seroja. Andai wanita sepertimu bisa menjadi milikku,” batinnya dalam hati sambil senyum-senyum sendiri. Dia sangat be

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 128 : Dendam Yang Akhirnya Tunai

    “Tampaknya kau sangat dendam sekali padaku, hey Anak Muda,” kata Jimbaang Loreng. Dia bisa merasakan bara api kemarahan dalam dada Patrioda. Hal itu terlihat dari sorot mata Patrioda yang menatapnya tak berkedip.“Sebelum syafak merah lenyap di Barat, kau akan lebih dulu kukirim ke nereka,” kata si murid Datuk Ancala Raya itu. Walau badannya telah beberapa kali kena cakaran, tapi dia tetap kuat bertahan.Jimbalang Loreng menggerakkan misainya yang kiri. Pendekar harimau itu menunjuk ke arah Patrioda.“Sombong sekali kau, Anak Bau Curut. Justru dirimulah yang akan kukirim menyusul gurumu yang sudah berkalang tanah.”Patrioda tak mau lagi banyak bicara, tanpa perlu menjawab Jimbalang Loreng, dia pun lalu memasang kuda-kuda tengah, kemudian melakukan gerakan silat.Nya api tiba-tiba muncul berbentuk seekor naga, berkelok-kelok mengelilingi tubuh Patrioda mulai dari ujung kaki hingga sampai ke puncak kepala.Jimbalang Loreng pun juga bersiap-siap. Dia harus lebih waspada lagi sekarang, ka

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 127 : Kulit Yang Sudah Mati Rasa

    Syafak merah masih bersinar di sebelah Barat. Pertarungan di lereng Gunung Ratri kini telah memasuki permulaan malam. Satu persatu bintang mulai menduduki langit. Cahaya perak bulan purnama menerangi kegelapan dalam hutan.Bagai hantu dengan rambut yang putih terurai, Nyai Jamanika berjalan menghampiri ketiga lawannya. Senopati Wibisana dan yang lain pun tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi si ahli sihir ini.“Dari tadi aku tak jua melihat si Bhiantar yang keparat itu muncul. Aku sudah bosan bermain dengan para cecunguk seperti kalian!” ujar Nyai Jamanika.Senopati Wibisana menjawab, “Mpu Bhiantar memang tidak ikut bersama kami. Kenapa kau ingin mencarinya?”“Bukan urusanmu harus ikut tahu,” tukas Nyai Jamanika. “Katakan saja dimana dia sekarang, karena aku lebih menginginkan nyawanya daripada nyawa para cecunguk seperti kalian.”Senopati Wibisana pun diam sebentar. Dia sebetulnya tidak ingin memb

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 126 : Bukan Lagi Disebut Manusia

    Kecamuk perang masih berlanjut hingga matahari lenyap di kaki cakrawala. Walaupun Panglima Sanca selaku pimpinan Nogo Ireng telah tewas, tapi musuh berikutnya yang sekarang lebih sulit dihadapi adalah Nyai Jamanika. Nenek Peot ini begitu tangguh dan tidak bisa dipojokkan.Senopati Wibisana bersama dengan Alindra dan Patrioda mengeroyok perempuan tua ini. Walau digempur dari berbagai arah, dia tetap bisa mengatasi setiap serangan. Malah Senopati Wibisana dan para pendekar yang kemudian beberapa kali terpental akibat pukulan tongkat darinya.‘Heh, jadi cuma segitu kemampuan kalian? Ternyata para pejuang kerajaan hanyalah kesatria-kesatria bau kencur!”Kekuatan mereka bertiga tampaknya tak sebanding untuk melawan Nyai Jamanika. Bagaimana bisa, dia adalah pendekar sepuh yang sudah sangat senior dalam bertarung dan penguasaan ilmu kanuragan.Melihat anggotanya yang mulai kewalahan menghadapi si nenek peot, Damayanti yang sudah berhasil membunuh Panglima Sanca pun ikut bergabung untuk memba

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 125 : Kematian Panglima Sanca

    Keadaan menjadi semakin genting. Para pendekar dan prajurit tidak mungkin hanya terus bertahan dengan menangkis setiap anak panah yang melanda dari balik kabut. Harus ada jalan untuk menghentikan ini.Sementara yang lain sibuk digempur oleh panah habis-habisan, Damayanti yang kesakitan di bawah berjuang untuk kembali bangkit. Serangan dari Jimbalang Loreng tadi masih menyisakan nyeri di dadanya.Karena kabut hitam ini terlalu tebal, Senopati Wibisana akhirnya paham kalau sihir ini sebenarnya tercipta dari kekuatan tenaga dalam. Jika ada tenaga dalam yang lebih kuat mampu melawannya, barangkali kabut ini akan musnah.“Kita harus menyatukan kekuatan kita untuk menghancurkan kabut sihir ini,” kata Senopati Wibisana pada yang lain.“Aku setuju,” jawab Alindra. “Kita tidak mungkin hanya tetap begini menerima gempuran dari mereka.”“Terserahlah dengan cara apa saja, yang penting kabut hitam ini segera lenyap,” ujar Patrioda. Dia pun tampaknya sudah jengkel juga sekarang.Senopati Wibisana l

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 124 : Gempuran Anak Panah

    Hari sudah berganti senja. Warna langit yang tadinya terang kini telah kelabu. Para pendekar dan Prajurit kerajaan masih terus menyusuri lereng Gunung Ratri. Dengan tetap waspada akan kehadiran musuh, rombongan itu berhati-hati dan memperhatikan ke sekeliling hutan.Di tengah belantara yang luas ini, dimana pohon-pohon besar yang berdaun lebat memenuhi di sekitar mereka, sangat menguntungkan bagi pasukan musuh yang suka bersembunyi, jika sedikit saja mereka lengah, maka serangan bisa datang dengan tiba-tiba.Senopati Wibisana tetap berdiri di barisan paling depan. Sebagai ketua rombongan, dialah yang paling berusaha waspada dari yang lain. Dari tadi bola matanya terus saja menyapu ke segala penjuru.“Damayanti, aku tahu di antara kita semua kaulah yang instingnya paling tajam. Apa kau merasakan sesuatu?” tanya Senopati Wibisana.Damayanti yang berjalan di belakangnya dari tadi juga berusaha merasakan kehadiran lawan. Tapi sampai sekarang, naluri pendekarnya tak menangkap energi apa pu

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 123 : Posisi Terciduk

    Di area yang lebih sepi dalam hutan, jauh dari tempat para prajurit berkumpul, di balik sebatang pohon besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah seperti rambut setan, Alindra hanya duduk berdua saja dengan Senopati Wibisana. Inilah saat dimana luka dalamnya akan segera dipulihkan.Alindra membelakangi sang senopati, dia melepas ikatan sabuk di pinggang dan mulai membuka baju, memperlihatkan punggungnya yang putih. Sebenarnya hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh sepasang pria dan wanita yang belum menikah, namun tak ada pilihan lain, hanya ini cara satu-satunya untuk mengobati luka Alindra.Meski punggung perempuan itu cukup membuat Senopati Wibisana jadi terpesona, tapi dia masih sadar kalau niatnya semata-mata ingin menolong Alindra, maka tak boleh ada pikiran kotor yang merasuki khayalannya.Tanpa menunggu lama, akhirnya Senopati Wibisana pun mulai membangkitkan tenaga dalam. Sesaat dia melakukan gerakan bunga silat, lalu mengarahkan kedua telapak tangannya ke punggung Alindr

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status