Nalira mengarahkan kudanya melewati jalan setapak yang sempit. Gadis cantik berambut hitam legam itu baru saja menyelesaikan pelatihannya bersama pamannya, Halim, dan ingin segera kembali ke istana.
Di punggungnya terikat sebuah busur panah, serta kantong berisi anak panah yang tergantung di sisi tubuhnya. Dengan keahliannya, senjata itu tak hanya menjadi pelengkap, tetapi juga alat untuk perlindungan. Namun, bukannya mengikuti rute utama, ia memilih jalur pintas melalui hutan yang belum pernah ia lalui sebelumnya, berharap hutan itu bisa mempercepat perjalanannya. Tetapi Nalira sungguh tak mengindahkan peringatan siapapun untuk menjauhi hutan itu. Sejak pertama memasukinya, ia merasakan suasana yang sangat aneh. Angin berbisik di antara pepohonan raksasa yang tumbuh jauh lebih besar dari biasanya. Udara terasa lembap, aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk menguar memenuhi indra penciumannya. Semakin jauh ia masuk, semakin hutan itu terasa mencekam. Tidak ada kicau burung. Tidak ada gemerisik serangga, benar benar senyap, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya. Nalira mulai merasa ada yang tidak beres. Ia menarik tali kekang, menghentikan kudanya. Hewan itu gelisah, telinganya bergerak-gerak, kakinya menghentak tanah seakan ingin berlari menjauh. "Apa yang membuatmu cemas, Rano?" gumam Nalira, tangannya menenangkan leher kudanya. Ia menoleh ke belakang. Jalan setapak yang tadi ia lalui kini samar, tertutup bayangan pepohonan yang menjulang. Ia mencoba memutar arah, kembali memacu kudanya. Namun alih-alih menemukan jalan keluar, ia justru semakin tersesat sampai tiba tiba kuda kuning kecoklatan miliknya itu menginjak tanah yang lunak. Hewan itu meringkik, tubuhnya goyah sebelum akhirnya terjerembap ke dalam kubangan lumpur yang dalam. Kaki-kakinya berkecipak, berjuang keras untuk menarik tubuhnya keluar. Nalira segera turun, mencoba menarik tali kekang, mesti mustahil, tubuh hewan itu 5 kali lipat lebih besar darinya. "Bertahanlah, Rano" gumam Nalira mencoba menarik tubuh kudanya dengan susah payah, hingga tiba tiba suara lesatan anak panah membelah udara dan dalam sekejap benda runcing itu menembus leher kudanya. "Rano!" teriaknya. Napasnya tercekat saat melihat kudanya meronta, darah mengalir deras bercampur dengan lumpur hitam pekat. Hewan itu mengerang lemah, matanya yang penuh semangat kini meredup dalam hitungan detik. "Tidak...! Rano!" ia berlutut suaranya pecah, nyaris tak terdengar di tengah heningnya hutan, meratapi kuda kesayanganya harus mati dengan cara mengenaskan. Ia lalu berdiri dadanya naik turun dengan tangan terkepal gemetar, amarahnya meledak begitu saja. "Kurang ajar!" teriaknya, matanya menyala liar. "Siapa yang melakukan ini?!" teriakanya menggema. Ia lalu menyambar busurnya, menarik anak panah dan melesatkannya ke arah semak-semak di sekelilingnya. Tak peduli siapa pelakunya, ia akan membalas. tetapi sayangnya tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam, menelan setiap denting anak panah yang hilang di balik pepohonan. Nalira mengatupkan rahangnya, air matanya luruh, ia mendekat ke arah kudanya, mencium kening kuda itu yang telah setia menemaninya selama bertahun-tahun. Ia ingin meratap lebih lama,tapi ia tak punya waktu banyak sementara keluarga di istana pasti telah menunggunya. Nalira mengusap sudut matanya. menghapus jejak air mata sebelum menegakkan bahu, lalu melangkah menjauh dengan perasaan berat. Semakin lama ia berjalan, semakin hutan itu terasa seperti perangkap. Ranting ranting tajam menggores dan mengoyak sebagian gaun indahnya, bahkan tak jarang ia terjatuh dalam kubangan lumpur yang membuat penampilannya tak di kenali sebagai seorang Tuan putri. "Sungai..." gumamnya tatkala ia menemukan aliran sungai yang airnya tampak jernih, di tengah rasa lelahnya bagaia oase di tengah gurun, sungai itu mengalir tenang di bawah cahaya senja, meski uuranya terasa mencekam. Namun rasa haus membuat Nalira tak memedulikannya. Dengan langkah lunglai ia mendekat lalu berjongkok, menciduk air dengan telapak tangan, dan meneguknya perlahan hingga dahaganya terpuaskan. krek. krek. krek. Seketika Nalira mengang, seluruh indranya waspada kala tiba-tiba Suara ranting patah memecah kesunyian. Langkah kaki itu mendekat membuat jantungnya berdegup cepat. Tak berpikir panjang Nalira berdiri lalu dengan gerakan cepat ia memutar tubuhnya. Mata biru Nalira membelalak, ketika ujung pedang yang tajam berkilat hampir menusuk lehernya. Nalira menahan napas. Di hadapannya kini berdiri seorang pria dengan mata sehitam malam, bertubuh tinggi, berbahu lebar, dan berbalut jubah gelap yang menyatu dengan bayangan hutan. "Siapa kau?" suara pria itu berat, dan tatapanya penuh ancaman. Nalira berusaha tetap tenang, mengendalikan degup jantungnya yang berderap. "Seharusnya aku yang bertanya. Kau menyerang tanpa alasan!" Pria itu mendengus kecil. "Kau berkeliaran di hutan ini, di wilayah yang seharusnya tidak boleh dimasuki siapa pun." Nalira menyipitkan mata. "Aku hanya mengambil jalan pintas dan tersesat." jawabnya. Pria itu mendekat, menekan pedangnya lebih dalam hingga mata Nalira membelalak sesaat. "Bohong. Mata-mata sepertimu selalu punya alasan." Wanita itu menelan amarahnya. Ia bisa saja bertarung, tapi dalam jarak sedekat ini, satu gerakan salah akan membuatnya kehilangan nyawa. "Mata-mata?" Ia tertawa pendek. "Itu tuduhan konyol. Aku tidak memiliki alasan untuk menjadi mata-mata." ucap Nalira. Namun pria itu tidak terpengaruh, terus mencari tahu identitas wanita di hadapannya. "Namamu?" "Kalau aku menolak?" Nalira mengangkat dagu penuh keangkuhan dan pria di depannya justru tersenyum licik "Kau akan merasakan betapa tajamnya pedang ini," bisik pria itu, mengancam. Nalira mengepalkan tangan. Ia tahu ia tidak bisa sembarangan melawan. Pria ini jelas seorang prajurit, mungkin lebih dari itu. Akhirnya dengan enggan ia pun menjawab, "Nalira. Nalira Elvandale, putri Duke Elvandale, dari selatan." Mata pria itu menyipit. "Putri seorang Duke ? Lalu apa yang kau lakukan di sini tanpa pengawal?" "Aku sudah mengatakan alasanku," Nalira mendesis, tidak suka diinterogasi seperti penjahat. "Sekarang, siapa kau sebenarnya?" Nalira balik bertanya. Pria itu diam sejenak, sebelum akhirnya menarik pedangnya dengan gerakan cepat. "Aaron Devonsa," katanya dingin. "Jendral, Sekaligus Duke paling berkuasa di Utara" Mata Nalira membelalak. Nama itu bukanlah nama sembarangan. Aaron Devonsa, seorang Duke sekaligus panglima perang yang tak terkalahkan, sosok yang ditakuti di medan pertempuran. "Aku tidak percaya bahwa seorang jendral seperti dirimu bersembunyi di tengah hutan. Menjadi pengecut dan membunuh kuda tanpa alasan." Aaron menyarungkan pedangnya, tatapannya tidak berubah. "Itu karena aku sedang memburu mata mata "Sudah kubilang aku bukan mata-mata!' Nalira menegaskan, suaranya lantang. Aaron mendengus. "Dan aku harus begitu saja percaya?" Tanpa memberi Nalira kesempatan menjawab, pria itu tiba-tiba mencengkeram lengannya erat. Nalira tersentak, mencoba melepaskan diri, tetapi genggaman Aaron jauh lebih kuat. "Lepaskan aku!" Nalira berontak, namun Aaron menariknya lebih dekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa jengkal. "Jangan harap! Putri seorang Duke yang tiba-tiba muncul di hutan ini? Entah kau memang bodoh atau punya niat tersembunyi." Aaron berbisik dingin. Nalira menatapnya penuh amarah. "Aku tidak punya urusan dengan kerajaanmu!" Aaron diam sejenak, matanya mengamati wajah Nalira seakan menilai apakah wanita itu berbohong. Lalu, tanpa Nalira sadari ia menarik tali kulit dari ikat pinggangnya, lalu merampas busur beserta anak panahnya, dan melemparkannya ke tengah sungai tanpa ragu. "Apa yang kau lakukan? Busurku!" Nalira memandang senjatanya yang melayang terjun ke sungai sambil berusaha menghindar, tetapi percuma. Dalam satu gerakan cepat, pria itu membelit pergelangan tangannya dengan tali kulit, mengikatnya kuat ke belakang. Nalira menggertakkan gigi, pergelangannya terasa perih saat kulitnya bergesekan dengan serat kasar tali itu. "Lepaskan aku!" desisnya penuh amarah. Aaron hanya tersenyum miring. "Jangan banyak bergerak, atau kau akan merasakannya semakin ketat." serunya. " Setelah ini aku akan membawamu ke markas," "Kalau kau benar-benar tidak bersalah, kau akan bebas. Tapi kalau aku menemukan bukti bahwa kau mata-mata, aku sendiri yang akan menghabisimu." ancam Aaron. Darah Nalira berdesir. Pria ini benar-benar gila! "Aku tidak akan ikut denganmu!" teriaknya, tetapi Aaron hanya mengangkat sebelah alisnya, lalu tanpa berkata-kata lagi ia mengangkat tubuh wanita itu dengan mudah dan melemparkannya ke atas punggung seperti membawa sekarung gandum.Aaron mengikuti sang perwira melewati lorong-lorong istana Astheria. Setiap langkah yang ia ambil, matanya menangkap kemewahan yang nyaris terasa tak masuk akal. Langit-langit tinggi berwarna biru tua dengan aksen emas, pilar-pilar marmer yang dipahat sempurna, serta karpet lembut yang membuat langkahnya terasa senyap. Sampai tibalah mereka di depan sebuah pintu besar, perwira itu membungkuk hormat sebelum membukanya. "Silakan masuk, Jenderal." Aaron melangkah masuk dan langsung berhenti di ambang pintu. Matanya menyapu ruangan luas yang beraroma mawar dan kayu manis. Ranjang besar dengan Kelambu sutra putih berdiri di tengah, dihiasi ukiran emas yang berkilauan di bawah cahaya lilin. Lantai marmernya bertabur kelopak bunga, sementara di sudut ruangan terdapat kolam mandi dengan uap hangat yang naik perlahan. Di sudut meja kayu mahoni, tersaji berbagai hidangan. roti hangat, keju berkualitas tinggi, dan selai buah yang harum. Aaron terdiam beberapa detik. Lalu, dengan nada skep
Felix menoleh cepat, matanya berbinar saat mengenali sosok pria tua yang mendekatinya. "Penasehat, Aldric." Senyum hangat terukir di wajah Felix saat pria tua itu akhirnya berdiri di depannya. Aldric, penasehat kerajaan yang setia nan bijaksana. "Kau kembali dengan selamat, Pangeran. Syukurlah," kata Aldric dengan nada lega, meskipun sekilas pandangannya melirik ke arah Aaron dengan sorot waspada. Nalira melangkah maju. "Penasehat Aldric," sapanya dengan anggukan hormat. Aldric menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Tuan Putri, aku khawatir akan keselamatanmu. Tapi melihatmu di sini... aku merasa sedikit tenang." Sementara itu, Aaron hanya berdiri diam di tempatnya, memperhatikan interaksi itu tanpa ekspresi. Gavriel meliriknya sekilas sebelum kembali fokus pada situasi. "Nalira!" Suara nyaring itu menggema, membuat semua kepala menoleh ke sumbernya. "Ibu!" seru Nalira. Matanya berbinar hangat saat melihat ibunda dan ayahnya berjalan cepat ke arahnya, dayang dayang di belakangny
Di bawah sebuah pohon rindang, Jenderal Gavriel duduk memangku lengan di salah satu lututnya dengan ekspresi serius, matanya sesekali melirik ke arah Pangeran Felix yang masih terlihat lemas. Pasukan berjaga di sekeliling mereka, membentuk lingkaran perlindungan. Pangeran Felix menarik napas dalam, mencoba meredakan mual yang tadi membuatnya muntah di tengah pasar. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap tajam saat ia menoleh ke arah Gavriel. "Kenapa Nalira begitu lama?" tanyanya lirih, suaranya dipenuhi kecemasan. Gavriel menoleh. "Tenanglah, pangeran. Ada prajuritku yang mengawasi mereka dari kejauhan. Jenderal Aaron mungkin pria yang kejam, tapi dia tidak akan mencelakai Nalira. Bukan dalam keadaan seperti ini." Felix menggigit bibirnya, jelas tak puas dengan jawaban itu. "Tetap saja… dia pria yang tidak bisa dipercaya. Aku tak suka Nalira berada di dekatnya terlalu lama." Gavriel tersenyum tipis... "Kau tidak sendirian dalam hal itu, Pangeran." Tak lama, dari kejauhan, suara g
Aaron menahan dirinya untuk tidak menepis tangan Nalira, meskipun sentuhan itu mengusik sesuatu di dalam dirinya. Matanya menajam, menatap punggung wanita itu yang dengan percaya diri menariknya ke tengah pasar yang kumuh dan bau. Ia kemudian berhenti di depan seorang wanita tua yang duduk bersandar di dinding kayu lapuk, tangannya gemetar saat mencoba menjajakan sekeranjang roti keras yang tampak lebih seperti batu daripada makanan. Ia lalu melepas genggamannya pada Aaron dan berlutut sejajar dengan wanita tua itu. "Berapa kau jual ini?" tanyanya. Orang orang di sekitar terus mencuri pandang ke arahnya. Berbisik ke rekan jualanya yang lain, merasa iri karena Putri bangsawan itu lebih memilih membeli roti keras ke wanita tua. "Satu kord saja Tuan putri." katanya dengan suara lembut dan mata berbinar. "Satu kord?" Nalira bingung. "Itu mata uang kami." timpal Aaron yang berdiri di belakang Nalira dengan melipat lengan ke dada. Nalira tersenyum, lalu menarik kantong yang ia ikatk
Kereta melintasi jalan setapak yang diapit oleh pepohonan lebat ketika tiba-tiba Nalira meminta mereka berhenti. Aaron menghela napas panjang, tetapi tetap menarik tali kekang hingga kereta berhenti perlahan di jalan berbatu. Kuda-kuda yang menarik kereta meringkik pelan, merasa terganggu oleh perubahan ritme perjalanan mereka. Jenderal Gavriel dan Pangeran Felix segera menarik tali kekang kuda mereka, menghentikan laju pasukan yang mengawal. Aaron menghela napas kasar, jelas tak senang dengan permintaan mendadak itu. "Untuk apa kita berhenti?" tanyanya, penuh kejengkelan. "Tidak perlu tahu, diam dan ditunggu saja di sini!" katanya dengan nada sinis. Tangan Nalira terulur membuka kunci pintu kereta, lalu turun dengan anggun dan berjalan ke arah kuda Pangeran Felix di sisi kanan. Aaron yang penasaran tetap di atas kudanya menoleh sedikit ke belakang, mengintip setiap gerakan wanita bertubuh ramping itu yang berbicara singkat dengannya. Pangeran Felix tidak turun dari kudanya, h
Felix dan Nalira pun akhirnya terpaksa melepaskan diri dari momen intim mereka. Nalira menyeka bibirnya, sementara Felix menoleh dengan ekspresi sedikit enggan, seakan masih ingin menikmati kebersamaan dengan wanita yang ia rindukan. "Apa kau baik-baik saja, Tuan Putri?" ujar Jendral Gavriel. Nalira menoleh dan tersenyum tipis. "Tentu Jendral, kau bisa melihatku sekarang dalam keadaan baik." Nalira meyakinkan, ia melirik Aaron dengan kedipan mata licik, sementara pria itu hanya menahan napas, waspada jika wanita itu membocorkan kesepakatan. Jendral Gavriel mengangguk pelan, tapi tak begitu saja percaya. Ia tahu seberapa kejamnya sosok Aaron Devonsa, mempercayai Nalira baik-baik saja tanpa melewati penyiksaan saat bersamanya, begitu mustahil. "Aku ingin penjelasan, Jenderal Aaron," tuntut Jendral Gavriel. "Mengapa Putri Nalira ada di sini?" Aaron tetap berdiri tegap, dengan ekspresi datar lalu mengangguk kecil. "Hanya ada sedikit kesalahpahaman." jawabnya singkat. Nam