Nalira kehilangan segalanya saat kerajaannya dihancurkan. Sebagai tawanan perang, ia dihadapkan pada Aaron Devonsa, Duke utara sekaligus Jendral berhati dingin dan kejam, pria yang paling ia benci. Di balik ambisinya yang tak terhentikan, Aaron menyembunyikan rahasia kelam yang perlahan melahap sisi kemanusiaannya. Sementara Nalira, dengan keberanian dan luka yang ia bawa, menjadi satu-satunya yang mampu menantangnya. Dalam permainan dendam, obsesi, dan hasrat, mereka bertarung bukan hanya untuk kekuasaan, tetapi juga untuk hati yang seharusnya tak mereka miliki. Namun, ketika kutukan mematikan mengancam nyawanya, hanya sentuhan Aaron yang mampu menyelamatkannya. Terikat dalam takdir yang tak mereka inginkan, kebencian di antara mereka berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
View MoreNalira mengarahkan kudanya melewati jalan setapak yang sempit. Gadis cantik berambut hitam legam itu baru saja menyelesaikan pelatihannya bersama pamannya, Halim, dan ingin segera kembali ke istana.
Di punggungnya terikat sebuah busur panah, serta kantong berisi anak panah yang tergantung di sisi tubuhnya. Dengan keahliannya, senjata itu tak hanya menjadi pelengkap, tetapi juga alat untuk perlindungan. Namun, bukannya mengikuti rute utama, ia memilih jalur pintas melalui hutan yang belum pernah ia lalui sebelumnya, berharap hutan itu bisa mempercepat perjalanannya. Tetapi Nalira sungguh tak mengindahkan peringatan siapapun untuk menjauhi hutan itu. Sejak pertama memasukinya, ia merasakan suasana yang sangat aneh. Angin berbisik di antara pepohonan raksasa yang tumbuh jauh lebih besar dari biasanya. Udara terasa lembap, aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk menguar memenuhi indra penciumannya. Semakin jauh ia masuk, semakin hutan itu terasa mencekam. Tidak ada kicau burung. Tidak ada gemerisik serangga, benar benar senyap, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya. Nalira mulai merasa ada yang tidak beres. Ia menarik tali kekang, menghentikan kudanya. Hewan itu gelisah, telinganya bergerak-gerak, kakinya menghentak tanah seakan ingin berlari menjauh. "Apa yang membuatmu cemas, Rano?" gumam Nalira, tangannya menenangkan leher kudanya. Ia menoleh ke belakang. Jalan setapak yang tadi ia lalui kini samar, tertutup bayangan pepohonan yang menjulang. Ia mencoba memutar arah, kembali memacu kudanya. Namun alih-alih menemukan jalan keluar, ia justru semakin tersesat sampai tiba tiba kuda kuning kecoklatan miliknya itu menginjak tanah yang lunak. Hewan itu meringkik, tubuhnya goyah sebelum akhirnya terjerembap ke dalam kubangan lumpur yang dalam. Kaki-kakinya berkecipak, berjuang keras untuk menarik tubuhnya keluar. Nalira segera turun, mencoba menarik tali kekang, mesti mustahil, tubuh hewan itu 5 kali lipat lebih besar darinya. "Bertahanlah, Rano" gumam Nalira mencoba menarik tubuh kudanya dengan susah payah, hingga tiba tiba suara lesatan anak panah membelah udara dan dalam sekejap benda runcing itu menembus leher kudanya. "Rano!" teriaknya. Napasnya tercekat saat melihat kudanya meronta, darah mengalir deras bercampur dengan lumpur hitam pekat. Hewan itu mengerang lemah, matanya yang penuh semangat kini meredup dalam hitungan detik. "Tidak...! Rano!" ia berlutut suaranya pecah, nyaris tak terdengar di tengah heningnya hutan, meratapi kuda kesayanganya harus mati dengan cara mengenaskan. Ia lalu berdiri dadanya naik turun dengan tangan terkepal gemetar, amarahnya meledak begitu saja. "Kurang ajar!" teriaknya, matanya menyala liar. "Siapa yang melakukan ini?!" teriakanya menggema. Ia lalu menyambar busurnya, menarik anak panah dan melesatkannya ke arah semak-semak di sekelilingnya. Tak peduli siapa pelakunya, ia akan membalas. tetapi sayangnya tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam, menelan setiap denting anak panah yang hilang di balik pepohonan. Nalira mengatupkan rahangnya, air matanya luruh, ia mendekat ke arah kudanya, mencium kening kuda itu yang telah setia menemaninya selama bertahun-tahun. Ia ingin meratap lebih lama,tapi ia tak punya waktu banyak sementara keluarga di istana pasti telah menunggunya. Nalira mengusap sudut matanya. menghapus jejak air mata sebelum menegakkan bahu, lalu melangkah menjauh dengan perasaan berat. Semakin lama ia berjalan, semakin hutan itu terasa seperti perangkap. Ranting ranting tajam menggores dan mengoyak sebagian gaun indahnya, bahkan tak jarang ia terjatuh dalam kubangan lumpur yang membuat penampilannya tak di kenali sebagai seorang Tuan putri. "Sungai..." gumamnya tatkala ia menemukan aliran sungai yang airnya tampak jernih, di tengah rasa lelahnya bagaia oase di tengah gurun, sungai itu mengalir tenang di bawah cahaya senja, meski uuranya terasa mencekam. Namun rasa haus membuat Nalira tak memedulikannya. Dengan langkah lunglai ia mendekat lalu berjongkok, menciduk air dengan telapak tangan, dan meneguknya perlahan hingga dahaganya terpuaskan. krek. krek. krek. Seketika Nalira mengang, seluruh indranya waspada kala tiba-tiba Suara ranting patah memecah kesunyian. Langkah kaki itu mendekat membuat jantungnya berdegup cepat. Tak berpikir panjang Nalira berdiri lalu dengan gerakan cepat ia memutar tubuhnya. Mata biru Nalira membelalak, ketika ujung pedang yang tajam berkilat hampir menusuk lehernya. Nalira menahan napas. Di hadapannya kini berdiri seorang pria dengan mata sehitam malam, bertubuh tinggi, berbahu lebar, dan berbalut jubah gelap yang menyatu dengan bayangan hutan. "Siapa kau?" suara pria itu berat, dan tatapanya penuh ancaman. Nalira berusaha tetap tenang, mengendalikan degup jantungnya yang berderap. "Seharusnya aku yang bertanya. Kau menyerang tanpa alasan!" Pria itu mendengus kecil. "Kau berkeliaran di hutan ini, di wilayah yang seharusnya tidak boleh dimasuki siapa pun." Nalira menyipitkan mata. "Aku hanya mengambil jalan pintas dan tersesat." jawabnya. Pria itu mendekat, menekan pedangnya lebih dalam hingga mata Nalira membelalak sesaat. "Bohong. Mata-mata sepertimu selalu punya alasan." Wanita itu menelan amarahnya. Ia bisa saja bertarung, tapi dalam jarak sedekat ini, satu gerakan salah akan membuatnya kehilangan nyawa. "Mata-mata?" Ia tertawa pendek. "Itu tuduhan konyol. Aku tidak memiliki alasan untuk menjadi mata-mata." ucap Nalira. Namun pria itu tidak terpengaruh, terus mencari tahu identitas wanita di hadapannya. "Namamu?" "Kalau aku menolak?" Nalira mengangkat dagu penuh keangkuhan dan pria di depannya justru tersenyum licik "Kau akan merasakan betapa tajamnya pedang ini," bisik pria itu, mengancam. Nalira mengepalkan tangan. Ia tahu ia tidak bisa sembarangan melawan. Pria ini jelas seorang prajurit, mungkin lebih dari itu. Akhirnya dengan enggan ia pun menjawab, "Nalira. Nalira Elvandale, putri Duke Elvandale, dari selatan." Mata pria itu menyipit. "Putri seorang Duke ? Lalu apa yang kau lakukan di sini tanpa pengawal?" "Aku sudah mengatakan alasanku," Nalira mendesis, tidak suka diinterogasi seperti penjahat. "Sekarang, siapa kau sebenarnya?" Nalira balik bertanya. Pria itu diam sejenak, sebelum akhirnya menarik pedangnya dengan gerakan cepat. "Aaron Devonsa," katanya dingin. "Jendral, Sekaligus Duke paling berkuasa di Utara" Mata Nalira membelalak. Nama itu bukanlah nama sembarangan. Aaron Devonsa, seorang Duke sekaligus panglima perang yang tak terkalahkan, sosok yang ditakuti di medan pertempuran. "Aku tidak percaya bahwa seorang jendral seperti dirimu bersembunyi di tengah hutan. Menjadi pengecut dan membunuh kuda tanpa alasan." Aaron menyarungkan pedangnya, tatapannya tidak berubah. "Itu karena aku sedang memburu mata mata "Sudah kubilang aku bukan mata-mata!' Nalira menegaskan, suaranya lantang. Aaron mendengus. "Dan aku harus begitu saja percaya?" Tanpa memberi Nalira kesempatan menjawab, pria itu tiba-tiba mencengkeram lengannya erat. Nalira tersentak, mencoba melepaskan diri, tetapi genggaman Aaron jauh lebih kuat. "Lepaskan aku!" Nalira berontak, namun Aaron menariknya lebih dekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa jengkal. "Jangan harap! Putri seorang Duke yang tiba-tiba muncul di hutan ini? Entah kau memang bodoh atau punya niat tersembunyi." Aaron berbisik dingin. Nalira menatapnya penuh amarah. "Aku tidak punya urusan dengan kerajaanmu!" Aaron diam sejenak, matanya mengamati wajah Nalira seakan menilai apakah wanita itu berbohong. Lalu, tanpa Nalira sadari ia menarik tali kulit dari ikat pinggangnya, lalu merampas busur beserta anak panahnya, dan melemparkannya ke tengah sungai tanpa ragu. "Apa yang kau lakukan? Busurku!" Nalira memandang senjatanya yang melayang terjun ke sungai sambil berusaha menghindar, tetapi percuma. Dalam satu gerakan cepat, pria itu membelit pergelangan tangannya dengan tali kulit, mengikatnya kuat ke belakang. Nalira menggertakkan gigi, pergelangannya terasa perih saat kulitnya bergesekan dengan serat kasar tali itu. "Lepaskan aku!" desisnya penuh amarah. Aaron hanya tersenyum miring. "Jangan banyak bergerak, atau kau akan merasakannya semakin ketat." serunya. " Setelah ini aku akan membawamu ke markas," "Kalau kau benar-benar tidak bersalah, kau akan bebas. Tapi kalau aku menemukan bukti bahwa kau mata-mata, aku sendiri yang akan menghabisimu." ancam Aaron. Darah Nalira berdesir. Pria ini benar-benar gila! "Aku tidak akan ikut denganmu!" teriaknya, tetapi Aaron hanya mengangkat sebelah alisnya, lalu tanpa berkata-kata lagi ia mengangkat tubuh wanita itu dengan mudah dan melemparkannya ke atas punggung seperti membawa sekarung gandum.Setelah beberapa hari dari kejadian itu, desas-desus ceriita tentang putri bangsawan yang tewas mengenaskan mulai menyebar dari mulut ke mulut. Saat itu Lioren sedang makan siang di sebuah kedai pasar bawah, tempat kumuh, berdebu, dan tak disukai kaum darah biru. Tapi justru di sanalah kabar beracun paling cepat tumbuh dan menyebar. "Kasihan sekali... Putri dari Duke Naevien, kabarnya diperkosa setelah di bunuh, dia ditemukan telanjang di pinggir sungai_" Lioren menelan roti dengan mata menyipit tajam. Anak buahnya pasti telah berbuat kelewat batas pada jasad sang putri. Ia harus bertindak cepat sebelum pengawal istana menemukan mereka. Lioren meneguk anggur merah, dan bangkit meninggalkan kedai. Ia harus kembali ke markas menemui anak buahnya, tetapi begitu ia tiba disana, secara mengejutkan ia mendapat kepungan dari prajurit istana. Lioren yang masih muda dan hanya berbekal belati dan pedang usang, bertarung melawan mereka satu persatu. Beberapa di antaranya tewas, bahkan
Ia kehilangan masa kecilnya, tak pernah merasakan kehangatan cinta dan kasih sayang dari tangan kedua orang tuanya. Hidupnya hanya penuh tuntutan dan tanggung jawab yang tak seharusnya ia pikul di usia yang masih belia. Pukulan rotan, tamparan, dan sulutan bara api di kulitnya menjadi makanan sehari-hari jika ia melakukan sedikit kesalahan. Tak kuasa dengan semua penderitaan itu, Aaron yang dulu bernama Lioren, melarikan diri dari rumah saat usianya belum genap sepuluh tahun. Ia tak tahu ke mana harus pergi. Malam itu hujan mengguyur keras dan tubuh kecilnya menggigil hebat tanpa alas kaki, tanpa bekal. Tapi Lioren memilih kelaparan di jalanan daripada satu malam lagi dalam rumah yang menyebut dirinya 'anak pembawa kutukan'. Salju turun semakin tebal, tetapi pria itu tak sekalipun menghentikan langkahnya, pikiranya seolah kembali ke masa lalu yang menyiksa. Ia benci perasaan itu, ia benci seseorang mengingatkan siapa dirinya dahulu. Dulu, pasar adalah tempat ia mencari sisa-si
Di Astheria tepat tengah malam, lonceng istana berdentang pelan. Nalira menguap kecil sambil menutup laporan logistik terakhirnya. Di sampingnya, Tiffany masih duduk di atas tumpukan buku, kini mulai menggambar lingkaran sihir kecil di udara hanya untuk bermain-main. "Sudah lewat tengah malam," ujar Tiffany sambil menyipitkan mata ke arah jendela, bulan purnama bersinar malu-malu di balik awan. Nalira hanya tersenyum kecil. "Berarti sihirnya sudah bekerja." "Kau yakin dia tidak akan membalas, Tuan Putri?" tanya Tiffany, nadanya agak ragu. "Itu Jenderal Aaron. Pria yang bisa menghancurkan benteng tanpa menyentuh gerbang." "Dia bisa menghancurkan apa saja," sahut Nalira pelan, sembari menatap teh yang sudah dingin di cangkirnya, "tapi aku ingin tahu... apa yang akan dia lakukan saat sesuatu atau seseorang menghancurkan egonya."ucapnya, membuat mata Tiffany membulat. Ia lalu menutup buku catatannya, kemudian berdiri dan berjalan menuju balkon. Merasakan salju turun menyen
Tiffany menunduk, mengangguk pelan menatap Tuan putrinya kembali duduk di meja kerjanya, tanganya perlahan membuka kertas kertas dokumen kerajaan tetapi wajahnya datar bahkan terlihat dingin. Tiffany tahu sang Tuan sedang dalam keraguan tentang jati dirinya, tapi memberitahukan kebenaran tanpa diskusi dengan anggota peri kerajaan bukanlah tindakan tepat. Peri kecil itu menoleh ke cermin, pemandangan masih menampakan Aaron yang tengah menarik tali kekang kereta kuda di jalanan yang sepi dan berkabut. Sihir dari ritualnya belum terjadi karena menggunakan sistem sihir diralva, dimana sihir akan bekerja sesuai waktu yang diniatkan atau di ritualkan, sedangkan sihir dari ritual Nalira dan Tiffany itu akan terjadi setelah pukul tengah malam. Tiffany mendengus pelan. Membayangkan malam ini akan meriah karena suara tawa Tuan putri yang puas mengerjai sang Jenderal, tapi malah berakhir kesunyian yang membingungkan. Ia mengayunkan tongkat sihirnya ke cermin lalu cahaya ungu berpendar, kab
Cahaya itu terus berputar di udara, detik berikutnya cahaya itu meledak kecil membuat Nalira tersentak mundur ke belakang. Lalu dari cahaya yang meledak itu, sosok gadis kecil muncul di balik gumpalan debu ungu yang terbang ke atas seperti kunang kunang. Mata Nalira melebar sempurna. "Tiffany! kau?" Mata Nalira menunjukan ketidakpercayaanya, peri kecil itu nampak berbeda, jauh lebih bersinar daripada biasanya. Darah Nalira seketika berdesir, seolah dapat merasakan aura sihir kuat pada Tiffany yang perlahan turun menginjak tanah. "Tuan Putri... kau benar! Sekarang berkat ritual kecil dari buku mantra itu telah membuka level sihirku secara signifikan, dan tongkat logam ini akan menjadi perantaraku." ucap Tiffany ia lalu mengayunkan tongkat logam berkarat itu ke arah perpustakaan, sebuah buku keluar dan melayang di udara membuat Nalira takjub sekaligus bingung. "Tongkat ini adalah perantaraku sekarang. Sumber pemusatan sihir baru yang muncul setelah... yah, kau dan ritual kec
Nalira tiba di depan Aaron dengan napas terengah-engah, matanya berbinar dengan senyum tak biasa yang dipancarkan wanita itu, membuat Aaron curiga. "Beruntung kau belum pergi, aku hanya ingin memberimu sedikit oleh-oleh, mohon untuk di terima" suara Nalira lembut. Aaron mengerling ke arah kotak kayu yang berukuran sedang di tangan Nalira. "Apa itu?" tanyanya. "Oleh-oleh." jawab Nalira tanpa ragu. Aaron mendengus, jawaban Nalira yang tak memuaskan semakin membuatnya curiga, ia ingin menolak tapi melihat raja memperhatikan interaksi mereka, membuatnya tidak berkenan. "Baiklah, Terima kasih." Aaron akhirnya menerima dengan senyum dingin yang hanya Nalira lihat. Aaron kemudian melangkah lebih dekat ke tubuh wanita itu, bibirnya hampir menempel ke telinga Nalira. "Jika ini semacam lelucon, kau akan menyesal pernah mencoba." Napas hangatnya menyapu sisi wajah Nalira, membuat wanita itu berkedip pelan. Namun bukannya mundur, Nalira malah menegakkan tubuhnya dan menoleh sed
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments