"Hei! Turunkan aku!" Nalira meronta, ingin rasanya menendang dan memukul punggung pria kurang ajar itu, tetapi tangannya terikat ke belakang tubuhnya, dan Aaron bahkan tidak bergeming.
Pria itu terus melangkah tanpa henti, membiarkan Nalira meronta di atas punggungnya. Otot-otot punggungnya tetap kokoh, seolah-olah keberatan tubuh Nalira bukanlah apa-apa baginya. Napas wanita itu memburu, amarah dan rasa takut bercampur menjadi satu. "Lepaskan aku, dasar pria tidak tahu sopan santun!" Nalira berteriak, tubuhnya menggeliat, mencoba mencari celah untuk melarikan diri. Aaron hanya mendengus, matanya menatap lurus ke depan, tanpa memedulikan perlawanan wanita itu. "Lebih baik kau diam sebelum aku mengikat mulutmu juga." Nalira mendengus frustrasi. Pria ini benar-benar tidak memiliki belas kasihan! Aaron terus bergerak melewati hutan yang semakin gelap. Bayangan pepohonan raksasa menjulang tinggi, ranting-rantingnya menjalar seperti tangan kurus yang ingin mencengkeram siapa saja yang lewat. Udara semakin pekat, aroma tanah basah bercampur dengan sesuatu yang anyir. Tetapi yang paling mengerikan adalah pemandangan yang muncul di hadapan mereka. Nalira membelalakkan matanya di atas punggung Aaron. Di antara pepohonan yang menjulang, sesuatu bergelantungan di dahan-dahan tinggi, bukan buah atau daun, melainkan... kepala manusia. Kepala-kepala itu diikat dengan ranting-ranting kering tergantung seperti trofi mengerikan yang dipajang sebagai peringatan. Mata mereka kosong, sebagian masih memiliki ekspresi ketakutan yang membeku. Beberapa kepala bahkan sudah membusuk, dagingnya menghitam, meninggalkan tengkorak yang tersenyum mengerikan. Jantung Nalira berdegup kencang. Tenggorokanya tercekat, membuatnya sulit bernapas. 'Pohon-pohon berbuah kepala manusia. Jadi semua gosip itu benar adanya. Hutan gelap di utara ini benar-benar wilayah pembataian atau bahkan lebih berbahaya dari yang di ceritakan.' Nalira membatin, tubuhnya mulai gemetar. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri, tapi udara terasa begitu dingin. Ia bisa merasakan kematian di sekelilingnya. Aaron akhirnya berhenti. Ia menurunkan Nalira dari bahunya, membiarkan wanita itu berdiri dengan kaki sendiri dengan tangannya tetap terikat. "Selamat datang di neraka," ujar Aaron dingin. "Kau seharusnya bersyukur masih hidup." Nalira menatap Aaron dengan mata penuh kebencian. "Kau monster!" bisiknya dengan suara tertahan. Pria itu hanya menyeringai tipis. "Aku hanyalah alat bagi kerajaan. Dan kau, putri Duke Elvandale, hidupmu dalam bahaya." Aaron terkekeh pelan, tatapanya semakin tajam. Ia mendekat, menatap Nalira dari jarak yang sangat dekat. "Berdoalah, Nalira Elvandale," bisiknya pelan. "Karena jika kau benar-benar mata-mata, aku sendiri yang akan menggantung kepalamu di sini." Nalira menahan napas. Ia tahu saat ini tidak ada jalan keluar, tetapi Nalira pun tak begitu terancam sebab dia memang bukanlah seorang mata mata. "Ikut aku!" Aaron mendorong tubuh Nalira dengan kasar, membuatnya hampir tersungkur ke tanah yang lembap dan berlumut. Tangan wanita itu masih terikat, memaksanya untuk menjaga keseimbangan dengan susah payah. "Jangan membuatku kesal!" seru Aaron dengan suara dingin. Nalira menggigit bibirnya, menahan kemarahan yang mendidih di dadanya. Pria ini benar benar membayahakan. Mereka terus melangkah masuk lebih dalam ke hutan. Hingga kemudian Nalira melihat sebuah bangunan tua yang nampak menyeramkan. Ia mengernyitkan dahi, napasnya tertahan beberapa detik. The Bloodthorn Fortress bukan sekadar markas biasa. Ia adalah neraka di bumi. Sebuah monumen kematian yang dibangun dari darah, tulang, dan ketakutan. Sekali masuk, hanya ada dua kemungkinan: akan menjadi prajuritnya... atau menjadi bagian dari pagarnya. Markas itu memiliki dinding batu yang kusam dan ditumbuhi lumut menjulang tinggi, seolah menjadi benteng yang mengurung kegelapan di dalamnya. Cahaya dari obor-obor yang terpancang di sepanjang jalan setapak memantulkan bayangan menyeramkan, bergoyang-goyang di antara kabut yang menggantung rendah. Namun yang paling mengerikan adalah pagar di sekitar bangunan itu yang terbuat dari tulang-belulang manusia yang tersusun rapi, menjadi tiang dan jeruji yang menjulang menyerupai pagar berduri. Tengkorak manusia bertumpuk di beberapa sudut, serta beberapa masih dengan bekas darah mengering, seolah baru saja diambil dari tubuh pemiliknya. Bau busuk menyengat menusuk hidung, membuat perut Nalira bergejolak. Tak bisa ditahan lagi, ia memuntahkan isi perutnya di tanah. Aaron berhenti sejenak, menatapnya dari atas dengan ekspresi meremehkan, dan tak ada sedikit pun belas kasihan dalam sorot matanya. "Jangan lemah," ucapnya dingin, lalu menarik paksa lengan Nalira dan menyeretnya menuju gerbang besar yang terbuat dari kayu hitam berukir simbol-simbol asing. Gerbang itu berderit saat didorong terbuka. Di dalamnya, api unggun besar menyala di tengah halaman berbatu, menerangi sosok-sosok berbaju zirah gelap yang berdiri di sepanjang tepi bangunan. Wajah mereka tersembunyi di balik helm baja, tetapi aura mengancam yang mereka pancarkan begitu jelas terasa. Beberapa dari mereka tertawa kecil saat melihat Nalira yang masih berusaha berdiri tegak dengan tangan terikat. "Jadi ini tawanannya?" salah satu prajurit berbadan besar melangkah maju, matanya menyipit menilai Nalira dari ujung kepala hingga kaki. "Tidak terlihat seperti mata-mata." Nalira mengangkat dagunya, menatap tajam pria itu. "Aku memang bukan." Prajurit itu tertawa, tetapi Aaron tidak ikut tertawa. Ia hanya berjalan ke tengah, menyeret Nalira bersamanya, lalu menoleh ke arah seseorang yang berdiri di ambang pintu markas. "Siapkan ruangan tahanan. Aku ingin dia tetap hidup… untuk saat ini." titahnya dengan suara dingin.Setelah beberapa hari dari kejadian itu, desas-desus ceriita tentang putri bangsawan yang tewas mengenaskan mulai menyebar dari mulut ke mulut. Saat itu Lioren sedang makan siang di sebuah kedai pasar bawah, tempat kumuh, berdebu, dan tak disukai kaum darah biru. Tapi justru di sanalah kabar beracun paling cepat tumbuh dan menyebar. "Kasihan sekali... Putri dari Duke Naevien, kabarnya diperkosa setelah di bunuh, dia ditemukan telanjang di pinggir sungai_" Lioren menelan roti dengan mata menyipit tajam. Anak buahnya pasti telah berbuat kelewat batas pada jasad sang putri. Ia harus bertindak cepat sebelum pengawal istana menemukan mereka. Lioren meneguk anggur merah, dan bangkit meninggalkan kedai. Ia harus kembali ke markas menemui anak buahnya, tetapi begitu ia tiba disana, secara mengejutkan ia mendapat kepungan dari prajurit istana. Lioren yang masih muda dan hanya berbekal belati dan pedang usang, bertarung melawan mereka satu persatu. Beberapa di antaranya tewas, bahkan
Ia kehilangan masa kecilnya, tak pernah merasakan kehangatan cinta dan kasih sayang dari tangan kedua orang tuanya. Hidupnya hanya penuh tuntutan dan tanggung jawab yang tak seharusnya ia pikul di usia yang masih belia. Pukulan rotan, tamparan, dan sulutan bara api di kulitnya menjadi makanan sehari-hari jika ia melakukan sedikit kesalahan. Tak kuasa dengan semua penderitaan itu, Aaron yang dulu bernama Lioren, melarikan diri dari rumah saat usianya belum genap sepuluh tahun. Ia tak tahu ke mana harus pergi. Malam itu hujan mengguyur keras dan tubuh kecilnya menggigil hebat tanpa alas kaki, tanpa bekal. Tapi Lioren memilih kelaparan di jalanan daripada satu malam lagi dalam rumah yang menyebut dirinya 'anak pembawa kutukan'. Salju turun semakin tebal, tetapi pria itu tak sekalipun menghentikan langkahnya, pikiranya seolah kembali ke masa lalu yang menyiksa. Ia benci perasaan itu, ia benci seseorang mengingatkan siapa dirinya dahulu. Dulu, pasar adalah tempat ia mencari sisa-si
Di Astheria tepat tengah malam, lonceng istana berdentang pelan. Nalira menguap kecil sambil menutup laporan logistik terakhirnya. Di sampingnya, Tiffany masih duduk di atas tumpukan buku, kini mulai menggambar lingkaran sihir kecil di udara hanya untuk bermain-main. "Sudah lewat tengah malam," ujar Tiffany sambil menyipitkan mata ke arah jendela, bulan purnama bersinar malu-malu di balik awan. Nalira hanya tersenyum kecil. "Berarti sihirnya sudah bekerja." "Kau yakin dia tidak akan membalas, Tuan Putri?" tanya Tiffany, nadanya agak ragu. "Itu Jenderal Aaron. Pria yang bisa menghancurkan benteng tanpa menyentuh gerbang." "Dia bisa menghancurkan apa saja," sahut Nalira pelan, sembari menatap teh yang sudah dingin di cangkirnya, "tapi aku ingin tahu... apa yang akan dia lakukan saat sesuatu atau seseorang menghancurkan egonya."ucapnya, membuat mata Tiffany membulat. Ia lalu menutup buku catatannya, kemudian berdiri dan berjalan menuju balkon. Merasakan salju turun menyen
Tiffany menunduk, mengangguk pelan menatap Tuan putrinya kembali duduk di meja kerjanya, tanganya perlahan membuka kertas kertas dokumen kerajaan tetapi wajahnya datar bahkan terlihat dingin. Tiffany tahu sang Tuan sedang dalam keraguan tentang jati dirinya, tapi memberitahukan kebenaran tanpa diskusi dengan anggota peri kerajaan bukanlah tindakan tepat. Peri kecil itu menoleh ke cermin, pemandangan masih menampakan Aaron yang tengah menarik tali kekang kereta kuda di jalanan yang sepi dan berkabut. Sihir dari ritualnya belum terjadi karena menggunakan sistem sihir diralva, dimana sihir akan bekerja sesuai waktu yang diniatkan atau di ritualkan, sedangkan sihir dari ritual Nalira dan Tiffany itu akan terjadi setelah pukul tengah malam. Tiffany mendengus pelan. Membayangkan malam ini akan meriah karena suara tawa Tuan putri yang puas mengerjai sang Jenderal, tapi malah berakhir kesunyian yang membingungkan. Ia mengayunkan tongkat sihirnya ke cermin lalu cahaya ungu berpendar, kab
Cahaya itu terus berputar di udara, detik berikutnya cahaya itu meledak kecil membuat Nalira tersentak mundur ke belakang. Lalu dari cahaya yang meledak itu, sosok gadis kecil muncul di balik gumpalan debu ungu yang terbang ke atas seperti kunang kunang. Mata Nalira melebar sempurna. "Tiffany! kau?" Mata Nalira menunjukan ketidakpercayaanya, peri kecil itu nampak berbeda, jauh lebih bersinar daripada biasanya. Darah Nalira seketika berdesir, seolah dapat merasakan aura sihir kuat pada Tiffany yang perlahan turun menginjak tanah. "Tuan Putri... kau benar! Sekarang berkat ritual kecil dari buku mantra itu telah membuka level sihirku secara signifikan, dan tongkat logam ini akan menjadi perantaraku." ucap Tiffany ia lalu mengayunkan tongkat logam berkarat itu ke arah perpustakaan, sebuah buku keluar dan melayang di udara membuat Nalira takjub sekaligus bingung. "Tongkat ini adalah perantaraku sekarang. Sumber pemusatan sihir baru yang muncul setelah... yah, kau dan ritual kec
Nalira tiba di depan Aaron dengan napas terengah-engah, matanya berbinar dengan senyum tak biasa yang dipancarkan wanita itu, membuat Aaron curiga. "Beruntung kau belum pergi, aku hanya ingin memberimu sedikit oleh-oleh, mohon untuk di terima" suara Nalira lembut. Aaron mengerling ke arah kotak kayu yang berukuran sedang di tangan Nalira. "Apa itu?" tanyanya. "Oleh-oleh." jawab Nalira tanpa ragu. Aaron mendengus, jawaban Nalira yang tak memuaskan semakin membuatnya curiga, ia ingin menolak tapi melihat raja memperhatikan interaksi mereka, membuatnya tidak berkenan. "Baiklah, Terima kasih." Aaron akhirnya menerima dengan senyum dingin yang hanya Nalira lihat. Aaron kemudian melangkah lebih dekat ke tubuh wanita itu, bibirnya hampir menempel ke telinga Nalira. "Jika ini semacam lelucon, kau akan menyesal pernah mencoba." Napas hangatnya menyapu sisi wajah Nalira, membuat wanita itu berkedip pelan. Namun bukannya mundur, Nalira malah menegakkan tubuhnya dan menoleh sed